• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

C. Antioksidan

5. Metode pengujian aktivitas antioksidan

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Uji kualitatif bertujuan untuk mengetahui apakah suatu senyawa memiliki aktivitas antioksidan. Uji kualitatif ini dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas. Metode pengujian dengan kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk memisahkan campuran antioksidan yang kompleks sekalipun.

Uji aktivitas antioksidan juga dapat dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan spektrofotometri. Beberapa metode yang digunakan untuk uji aktivitas antioksidan secara kuantitatif antara lain : metode conjugated diene, metode penangkapan radikal hidroksil, metode Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP), metode Trapping Antioxidant Parameter (TRAP), dan metode DPPH (Shivaprasad, Mohan, Kharya, Shiradkar, and Lakshman, 2005).

a. Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu bentuk kromatografi planar. Fase diam pada kromatografi lapis tipis berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau pelat pastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending).

1) Fase diam KLT

Fase diam yang digunakan pada KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µ m. Semakin kecil ukuran rata-rata fase diam, maka semakin baik kinerja KLT yang dihasilkan, baik dalam hal resolusi dan efisiensinya. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorbsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi. Lempeng KLT disiapkan dengan melapiskan penjerap ke permukaan lapisan kaca, gelas, atau alumunium dengan ketebalan 250 µ m (Gandjar, dan Rohman, 2007).

2) Fase gerak KLT

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sifat dan komposisi kimia fase gerak ditentukan oleh jenis zat yang dipisahkan dan jenis fase diam yang digunakan. Komposisi fase gerak dapat berupa pelarut murni maupun campuran

kompeks dari beberapa pelarut (Touchstone dan Dobbin, 1983). Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :

a) Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.

b) Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2 - 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

c) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut dan juga nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar kedalam pelarut non polar akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.

d) Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam (Gandjar, dan Rohman, 2007).

3) Aplikasi (penotolan) sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis akan optimal hanya jika sampel ditotolkan dengan ukuran bercak yang sekecil dan sesempit mungkin. Jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resoluai. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tabel II.

Tabel II. Parameter-parameter aplikasi penotolan sampel yang direkomendasikan Menurut Adamovies, (1997)

Tujuan Diameter bercak (mm) Konsentrasi

sampel (%) Banyaknya sampel (µ g) Densitrometri 2 mm untuk volume

sampel 0,5 µg 0,02-0,2

0,1-1 (untuk KLT-KT) 1-10 (konvensional) Identifikasi 3 mm untuk volume

sampel 1 µg 0,1-1 1-20

Uji Kemurnian 4 mm untuk volume

sampel 2 µg 5 100

Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µ l. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 µ l. maka penotolan harus dillakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar, dan Rohman, 2007).

4) Pengembangan

Pengembangan dilakukan ketika sampel telah ditotolkan pada pelat KLT. Pengembangan sampel dilakukan dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan dengan uap fase gerak. Bagian bawah lempeng KLT yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak harus di bawah batas totolan sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sesedikit mungkin, namun masih bisa mengelusi lempeng sampai ketinggian yang ditentukan. Untuk penjenuhan fase gerak, biasanya bejana kromatografi dilapisi dengan kertas saring sebagai indikator. Jika kertas saring telah basah sepenuhnya maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh sepenuhnya. Ada beberapa teknik pengembangan yang terdapat dalam kromatografi lapis tipis yaitu teknik pengembangan secara menaik (ascending), secara menurun

(descending), secara melingkar, maupun secara mendatar (Gandjar, dan Rohman, 2007).

5) Deteksi bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara fisika, kimia, maupun biologi. Deteksi secara kimia dilakukan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Pereaksi semprot yang biasanya digunakan dalam kromatografi lapis tipis ini dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu :

(a) Senyawa-senyawa yang dapat membentuk warna ketika tereduksi (kalium peranganat, ferri-sianida, ferri-dipiridil, dan asam fosfomolibdat),

(b) senyawa yang dapat berikatan dengan senyawa fenol, seperti pereaksi diazo, magnesium sulfat, aldehid aromatik-anisaldehid, vanillin, dan pereaksi Gibbs yang akan membentuk indofenol (akan membentuk garam berwarna dalam kondisi basa),

(c) radikal bebas stabil yang menerima radikal hidrogen dari antioksidan (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil), dan

(d)Senyawa-senyawa yang membentuk senyawa adisi yang berwarna. (Davidek, 1997)

Secara fisika dapat dilakukan dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar UV. Secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:

(a) Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna.

(b) Mengamati lempeng di bawah sinar UV pada panjang gelombang emisi 254 dan 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluorosensi terang pada dasar yang berfuorosensi seragam.

(Gandjar, dan Rohman, 2007). Derajat retensi dinyatakan dengan niai Rf, nilai Rf ini digunakan untuk menyatakan posisi zat setelah pengembangan. Gugus–gugus yang besar dari senyawa–senyawa yang susunannya mirip sering kali memiliki harga Rf yang berdekatan satu dengan yang lainnya. Harga Rf dapat didefinisikan sebagai berikut :

Harga Rf = ( )

( )

(Sastrohamidjojo, 2007)

b. Spektrofotometri visibel. Spektrofotometri visibel merupakan suatu teknik analisis fisika-kimia yang mengamati tentang interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang 380-780 nm. (Mulja dan

Suharman, 1995). Menurut Molyneux (2003), absorbansi DPPH terjadi dengan baik pada cahaya tanpak (visibel), oleh sebab itu digunakan spektrofotometri visibel untuk pengukuran absorbansinya.

Spektrofotometer UV-Vis ini hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa yang memiliki gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan cahaya tampak jika gugus ini diikat oleh senyawa-senyawa bukan pengabsorbsi (auksokrom). Hampir semua kromofor mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi (diena, dienon, benzen, dan lain-lain). Sedangkan auksokrom adalah gugus-gugus fungsional seperti –OH, -NH2, -NO2, -X, yaitu gugus yang memiiki elektron tidak berpasangan dan tidak mengabsorbsi UV jauh (Dirjen POM, 1995).

Suatu kromofor pada senyawa dapat muncul atau memberikan serapan pada sepektrum serapan UV-Vis jika senyawa tersebut mmiliki panjang geombang maksimum yang lebih besar dari 190 nm dan daya serap molarnya lebih besar dari 1000 agar konsentrasi yang digunakan tidak terlalu besar. Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan cahaya tampak terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dengan jangkauan 200-800 nm dan suatu alat yang sesuai untuk menentukan serapan. Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk analisa kualitatif dan terutama untuk analisa kuantitatif (Dirjen POM, 1995).

Interaksi antara senyawa-senyawa yang mempunyai gugus kromofor dengan radiasi elektromagnetik pada daerah UV-Vis (200-800 nm) akan menghasilkan

transisi elektromagnetik dan spektra absorbansi elektromagnetik. Jumlah radisi elektromagnetik yang diserap akan sebanding dengan jumlah molekul penyerapnya, sehingga absorbansi dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Fessenden dan Fessenden, 1995).

Ketetapan analisa oleh spektrofotometer UV-Vis ini dipengaruhi juga oleh spektrum serapan yang terbentuk. Spektrum serapan adalah suatu penampilan dalam bentuk grafik dari serapan atau fungsi dari serapan terhadap panjang gelombang atau fungsi dari panjang gelombang (Dirjen POM, 1995). Pembentukan spektrum serapan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

1) Jenis pelarut

Pelarut yang digunakan tidak boleh mengabsorbsi cahaya pada daerah panjang gelombang dimana dilakukan pengukuran sampel. Pelarut yang umum digunakan adalah air, etanol, metanol, dan n-heksan karena pelarut ini transparan pada daerah UV.

2) pH larutan

Cara pembuatan pelarut yang tidak sama dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis. Pada senyawa yang sangat sensitif terhadap pH, perubahan kecil pada pH dapat mempengaruhi panjang gelombang maksimum atau daya serapnya.

3) Kadar larutan

Jika konsentrasi tinggi akan terjadi polimerasi yang menyebabkan panjang gelombang maksimum berbeda sama sekali.

4) Tebal larutan

Jika digunakan kuvet dengan tebal yang berbeda maka akan memberikan spektrum serapan yang berbeda.

5) Lebar celah

Makin lebar celah (slit width), maka semakin lebar pula serapan (band width) dimana cahaya semakin polikromatis sehingga resolusi dan puncak-puncak kurva tidak sempurna.

Dokumen terkait