• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

H. Antaraksi obat

I. Metode pengujian daya analgesik

Secara umum, pengujian aktivitas analgetika dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgetika sentral yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki atau berikatan dengan reseptor. Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi menjadi 2 (Turner, 1965), yaitu:

1. golongan analgetika narkotika

Metode penapisan aktivitas analgesik untuk analgetika narkotika antara lain sebagai berikut ini.

a. Metode jepitan ekor. Sekelompok mencit disuntik dengan senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan (s.c.) atau intravena (i.v.). Tiga puluh menit kemudian, jepitan dipasang pada pangkal ekor mencit selama 30 detik.

Mencit yang tidak diberi senyawa uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Dalam rentang waktu tertentu jepitan dipasang kembali. Respon positif yang menunjukkan adanya daya analgesik apabila tidak ada usaha untuk melepaskan jepitan selama 15 detik pada tiga kali pengamatan. b. Metode rangsang panas. Hewan percobaan ditempatkan di atas lempeng

panas dengan suhu 50o C sampai 55o C sebagai stimulus nyeri, dilengkapi dengan penangas yang berisi campuran sama banyak aseton dan etil format yang mendidih. Mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi mencit adalah menjilat kaki depan, kaki belakang lalu meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, disebut waktu reaksi, dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetika. Perpanjangan waktu reaksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgesik.

c. Metode pengukuran tekanan. Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya yang bersifat elastis, fleksibel, dan pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisa pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan secara vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada syringe yang pertama kemudian dengan ekor tikus. Tekanan yang sama

pada syringe yang kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. Metode potensi petidin. Metode ini kurang baik, karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar, tetapi dapat digunakan untuk uji sedatif. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut yaitu 2, 4, dan 8 mg/kg. Setengah kelompok dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok petidin

dan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung

dengan bantuan metode rangsang panas.

e. Metode antagonis nalorfin. Uji analgesik dengan metode ini bertujuan untuk menunjukkan aksi obat-obat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB) secara intravena. Sebuah obat yaitu piritramid dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan setelah 1 menit pemberian nalorfin 1,25 mg/kgBB yang disuntikkan secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya.

f. Metode kejang oksitosin. Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi

abdominal sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Respon kejang dapat diatasi dengan pemberian morfin atau turunannya. Tikus betina diberi estrogen dengan menanam atau memasukkan 15 mg pelet dietilstilbestrol secara subkutan pada paha tikus. Setelah 10 minggu hewan uji siap diuji analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan 15 menit secara subkutan sebelum diberi oksitosin secara intraperitoneal. Penurunan kejang dapat

teramati dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetika

yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, meperidin.

g. Metode pencelupan air panas. Sepuluh tikus disuntik intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (suhu 58o C). respon tikus dilihat dari hentakan ekornya dari air panas.

2. golongan analgetika non narkotika a. metode induksi kimia

Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang secara intraperitonial pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk memberikan respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa konstraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Metode ini peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgesik yang memiliki daya analgesik lemah. Selain itu, metode ini cukup sederhana dan memberikan hasil yang spesifik. Pada metode ini, daya

analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat, yaitu:

% penghambatan terhadap geliat = 100 – [ (P/K) x 100 ] Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah ditetapkan

K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol

Sumber lain menyatakan bahwa pada metode rangsang kimia, adanya aktivitas analgetika dinyatakan oleh jumlah terjadinya geliat pada hewan uji lebih sedikitnya ≥ 50% dari kelompok kontrol (Anonim, 1991).

b. Metode pedodolometer. Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgesik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.

c. Metode rektodolometer. Tikus diletakkan dalam kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada di atas gulungan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.

Dokumen terkait