INTISARI
Nyeri adalah salah satu sensasi yang acapkali mengganggu dan mempengaruhi kerja dan fungsi tubuh serta ingin dihilangkan oleh penderitanya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memakai obat tradisional dari bahan tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai pereda nyeri adalah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Virgin Coconut Oil atau yang lebih dikenal sebagai VCO saat ini telah banyak dikonsumsi untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektivan kerja air perasan daging buah makuto dewo dengan penambahan Virgin Coconut Oil dalam menghilangkan nyeri dan untuk melihat komposisi campuran yang menghasilkan daya analgesik yang optimal.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Pengujian daya analgesik dilakukan dengan metode rangsang kimia. Sebanyak enam puluh tiga ekor mencit betina, galur Swiss, umur 2-3 bulan dibagi secara acak dalam 9 kelompok, yaitu : Kelompok I merupakan kelompok kontrol negatif diberi aquadest. Kelompok II merupakan kelompok kontrol positif diberi parasetamol. Kelompok III – IX merupakan kelompok perlakuan diberi air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. Setelah sepuluh menit diberi rangsang kimia berupa asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kg BB secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam. Jumlah kumulatif geliat kemudian diubah ke dalam persentase penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan Handersoth – Forsaith.
Dari penelitian ini diperoleh hasil daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 sebesar 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Sedangkan daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo murni sebesar 57,14% dan Virgin Coconut Oil murni sebesar 58,05%.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo akan efektif meningkatkan daya analgesik. Daya analgesik terbesar dihasilkan oleh penambahan 4 bagian Virgin Coconut Oil murni pada 1 bagian perasan daging buah makuto dewo.
Kata kunci : Analgesik, perasan daging buah makuto dewo, Virgin Coconut Oil
ABSTRACT
. Pain is one sensation which often annoying and gives a direct functional impact to the body. Some of the sufferers try to recover this sensation by using traditional medicines that usually natural. The medicines are made of plants. For example makuto dewo Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). in the other hand, we may also familiar with Virgin Coconut Oil (VCO) that is well known of its ability in curing some disease. Essentially, this research is made not only to analyze the effectivity of the combination of Makuto dewo essence and Virgin Coconut Oil in curing the pain, but also to find out the exact composition of those ingredients in produsing the maximum analgesic ability.
This research was a pure experimental one used simple randomize design. The analgesic ability was evaluated by using chemical stimulant method. It used 63 white female rat divided randomizely into 9 group. The first group (negative control) was given aquadest. The second group (positive group) was given paracetamol. The third to ninth group (treatment group)was given the pure essence of makuto dewo and pure Virgin Coconut Oil and combination of them with camparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. the análisis started by monitoring the wriggle responses with 5 minutes respites in 1 hours. It could be started 10 minutes right alter the objects were treated with chemical stimulant of 1% asetic acid with dose 50 mg/kgBB intraperitoneally. The accumulative amount of the wriggles were changed into resistant percentages of the wriggles using Handersooth-Forsaith method.
Based on this research, there was a fact that the analgesic ability of the combination of makuto dewo pure essence and VCO with the comparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 for 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Separately, the analgesic ability of makuto dewo pure essence was 57,14% and pure VCO was 58,05%.
Conclusively, the process of adding VCO in makuto dewo essence effectively produced the analgesic ability in curing the pain. The biggest analgesic ability was produced by the combining those ingredients in 4 : 1 comparison range.
Key Word : Analgesic, essence of makuto dewo, Virgin Coconut Oil
PENGARUH PENAMBAHAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) PADA PERASAN DAGING BUAH MAKUTO DEWO (PHALERIA MACROCARPA
(SCHEFF.) BOERL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA : Kajian Terhadap Daya Analgesik
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Ignatius Madya S.P. Putra NIM : 038114055
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
AD MAIOREM DEI GLORIAM
(St. Ignatius Loyola)KEMBANGKAN SAYAP TUK MELAYANG JAUH TINGGI MENGGAPAI
CITA dan CINTA
TIADA KATA MENYERAH UNTUK SEBUAH KEGAGALAN
TIADA WAKTU TUK BERMALAS dan BERMANJA
YANG ADA HANYALAH USAHA-KERJA KERAS-DOA
SELAMA ADA KEMAUAN DISITU TUHAN KAN BERI JALAN
TERUNTUK :
YESUS KRISTUS JURU SLAMATKU
BUNDA MARIA PELINDUNGKU
AYAH dan IBU TERCINTA
ADIK-ADIKKU
VICKY,
HENRY,
DION
KEKASIHKU
FRANSISKA
INDAH
PRATIWI
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Bapa di Surga atas karunia rahmat dan terang Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo pada mencit putih betina kajian terhadap daya analgesik.
Selama pelaksanan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
3. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.
4. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.
5. Ayah dan Ibuku tercinta atas kehidupan yang indah selama ini, atas biaya selama kuliah dan selama penelitian berlangsung hingga akhir penyusunan dan atas dukungan cinta, kasih, perhatian dan doa yang tanpa henti sehingga semua ini dapat terjadi.
6. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Andre, dan Mas Sigit atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium dan selama penulis menjadi asisten praktikum.
7. Sahabatku Jimmy Prasetyo, Daniel Hendri Saputra Siagian, Luhur Arief atas doa, dukungan, canda tawa dan kebersamaan selama waktu lalu hingga saat ini.
8. Teman-teman “seperjuanganku“ Punto (wawan) dan Vera (cicik), Terimakasih telah mau berbagi suka dan duka selama di laboratorium, kerja sama yang sangat luar biasa selama penelitian hingga saat saat akhir dan sesudah penelitian.
9. My “Little Girl”, untuk cinta, semangat, doa dan dukungan yang terus menerus selama ini sehingga membuatku semakin dewasa dan matang. Terima kasih pula atas Makuto dewonya.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2003 kelompok praktikum C (Anien, Siska, Ratna, Komang, Yulia, Eveline, Hartono, Titien, Devi, Indu, Punto, Esti, Budi, Tata, Vian, Rosa, Vera, Maria, Ratih) atas canda tawa, suka duka selama ini serta dukungan dan keakraban yang terus menerus yang telah kalian berikan yang membuat hidupku menjadi lebih hidup.
11. Anak- anak Kontrakan (Bang Aan, Hengky, Manto, Daru, Taufan, Bakrie, Vendi, Vian, Budi, Rizky, dan Irwan untuk olokan, celaan, kegilaan, keceriaan, dan semangat yang kalian berikan. Warna-warni hidup telah kalian isikan dalam lembaran hidupku.
12. Teman-teman KKNku di Dusun Gatak, Desa Gesikan, Gantiwarno Klaten, Ardian, Sugi, Dhajeng, Dewi, Septi, Vica, Fifi, untuk secercah kisah indah bersama kalian.
13. Teman-teman angkatan 2003 seluruhnya untuk canda tawa, kebersaman, dan dukungannya selama ini.
14. Teman-teman di POSKES Kotabaru, untuk pengalaman dan pembelajaran yang sangat membantuku.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta, Maret 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
INTISARI ... xvii
ABSTRACT ... xviii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 3
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Makuto Dewo ... 7
1. Morfologi ... 7
2. Nama Daerah ... 8
3. Sistematika ... 9
4. Kandungan kimia ... 9
5. Kegunaan makuto dewo ... 12
B. Virgin Coconut Oil ... 14
1. Kandungan kimia ... 14
2. Kegunaan ... 14
C. Nyeri ... ... 15
D. Analgetika ... 19
1. Analgetika narkotik ... 20
2. Analgetika non narkotik ... 21
E. Prostaglandin ... 25
F. Radikal bebas dan Antioksidan ... 26
G. Parasetamol ... 27
H. Antaraksi obat ... 28
1. Antaraksi farmakokinetik ... 28
2. Antaraksi farmakodinamik ... 29
3. Antaraksi farmasetika ... 29
I. Metode pengujian daya analgesik ... 29
1. Golongan analgetika narkotika ... 29
2. Golongan analgetika non narkotika ... 32
J. Landasan Teori ... 34
K. Hipotesis ... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 36
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 36
C. Bahan atau Materi Penelitian... 37
D. Alat Penelitian ... 38
E. Tata Cara Penelitian ... 38
1. Pengumpulan dan determinasi tanaman ... 38
2. Pembuatan perasan daging buah makuto dewo ... 38
3. Pencampuran larutan uji ... 38
4. Pembuatan CMC-Na 1% ... 39
5. Pembuatan suspensi parasetamol ... 39
6. Penetapan kriteria geliat ... 39
7. Penetapan kontrol negatif ... 39
8. Penetapan dosis parasetamol ... 39
9. Pemilihan konsentrasi dan dosis asam asetat ... 39
10. Penentuan waktu pemberian rangsang ... 40
11. Perlakuan hewan uji ... 40
12. Perhitungan persen proteksi nyeri ... 41
13. Analisis data ... 41
14. Tolok ukur penelitian ... 41
15. Pembandingan hasil ... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Determinasi Tanaman ... 43
B. Pembuatan Larutan Uji ... 44
1. Pembuatan air perasan daging buah makuto dewo ... 44
2. Pencampuran larutan uji ... 44
C. Uji Pendahuluan ... 44
1. Penentuan kriteria geliat ... 45
2. Penetapan dosis asam asetat ... 45
3. Penentuan selang waktu pemberian rangsang ... 48
4. Pemilihan kontrol negatif ... 50
5. Pemilihan dosis parasetamol ... 51
D. Pengujian Daya Analgesik ... 54
E. Perbandingan Hasil ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
LAMPIRAN ... 77
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Rata rata jumlah kumulatif respon geliat setelah pemberian asam asetat
pada berbagai dosis pada mencit betina ... 46
Tabel 2. Data Ringkasan analisis variansi satu arah pada penetapan dosis asam asetat ... 47
Tabel 3. Hasil Uji Scheffe penetapan dosis asam asetat ... 47
Tabel 4. Rata-rata jumlah geliat pada beberapa selang waktu ... 48
Tabel 5. Analisis variansi satu arah penentuan selang waktu pemberian asam asetat ... 49
Tabel 6. Uji Scheffe pada penentuan selang waktu pemberian rangsang .... 49
Tabel 7. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada pemilihan kontrol negatif ... 50
Tabel 8 Rata-rata jumlah geliat pada pemilihan dosis parasetamol ... 51
Tabel 9 Analisis variansi satu arah pada pemilihan dosis parasetamol ... 52
Tabel 10 Data uji Scheffe pada pemilihan dosis parasetamol ... 52
Tabel 11 Data rata-rata geliat, % proteksi nyeri, dan perubahan % proteksi nyeri ... 55
Tabel 12 Hasil analisis variansi satu arah persen proteksi nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan... 56
Tabel 13 Hasil uji Scheffe persen proteksi nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ... 57
Tabel 14 Hasil uji daya anti-inflamasi, proteksi nyeri, dan daya hepatoprotektif pada kelompok perlakuan ... 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1a. Stuktur Flavonoid ... 10 Gambar 1b. Aturan Penomoran turunan Flavonoid ... 10 Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan
jaringan... 18 Gambar 3. Diagram perombakan asam arakidonat... 23 Gambar 4. Diagram batang persen proteksi nyeri pada masing-masing
kelompok ... 56 Gambar 5. Diagram batang perbandingan persen proteksi nyeri dengan daya anti
inflamasi pada masing-masing kelompok ... 65 Gambar 6. Diagram batang perbandingan uji daya antiinflamasi, persen proteksi
nyeri dengan daya hepatoprotektif pada kelompok perlakuan 68 Gambar 7. Mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh flavonoid 69 Gambar 8. Mekanisme resonansi radikal bebas flavonoid ... 70 Gambar 9. mekanisme penggabungan radikal bebas flavonoid ... 70
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Surat pengesahan Identifikasi /Determinasi tanaman makuto
dewo ... 77
Lampiran 2. Foto buah makuto dewo ... 78
Lampiran 3. Foto Hasil Perasan Buah Makuto dewo ... 79
Lampiran 4. Foto Virgin Coconut Oil ... 80
Lampiran 5. Foto Homogenizer ... 81
Lampiran 6. Data jumlah geliat serta hasil variansi analisis satu arah pada penetapan konsenterasi asam asetat ... 82
Lampiran 7. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 84
Lampiran 8. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada penetapan kontrol negatif ... 86
Lampiran 9. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada pemilihan dosis parasetamol ... 87
Lampiran 10. Data jumlah geliat pada semua kelompok kontrol ... 89
Lampiran 11. Data jumlah geliat kelompok perlakuan ... 91
Lampiran 12. Analisis data kelompok perlakuan ... 98
INTISARI
Nyeri adalah salah satu sensasi yang acapkali mengganggu dan mempengaruhi kerja dan fungsi tubuh serta ingin dihilangkan oleh penderitanya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memakai obat tradisional dari bahan tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai pereda nyeri adalah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Virgin Coconut Oil atau yang lebih dikenal sebagai VCO saat ini telah banyak dikonsumsi untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektivan kerja air perasan daging buah makuto dewo dengan penambahan Virgin Coconut Oil dalam menghilangkan nyeri dan untuk melihat komposisi campuran yang menghasilkan daya analgesik yang optimal.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Pengujian daya analgesik dilakukan dengan metode rangsang kimia. Sebanyak enam puluh tiga ekor mencit betina, galur Swiss, umur 2-3 bulan dibagi secara acak dalam 9 kelompok, yaitu : Kelompok I merupakan kelompok kontrol negatif diberi aquadest. Kelompok II merupakan kelompok kontrol positif diberi parasetamol. Kelompok III – IX merupakan kelompok perlakuan diberi air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. Setelah sepuluh menit diberi rangsang kimia berupa asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kg BB secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam. Jumlah kumulatif geliat kemudian diubah ke dalam persentase penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan Handersoth – Forsaith.
Dari penelitian ini diperoleh hasil daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 sebesar 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Sedangkan daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo murni sebesar 57,14% dan Virgin Coconut Oil murni sebesar 58,05%.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo akan efektif meningkatkan daya analgesik. Daya analgesik terbesar dihasilkan oleh penambahan 4 bagian Virgin Coconut Oil murni pada 1 bagian perasan daging buah makuto dewo.
Kata kunci : Analgesik, perasan daging buah makuto dewo, Virgin Coconut Oil
ABSTRACT
. Pain is one sensation which often annoying and gives a direct functional impact to the body. Some of the sufferers try to recover this sensation by using traditional medicines that usually natural. The medicines are made of plants. For example makuto dewo Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). in the other hand, we may also familiar with Virgin Coconut Oil (VCO) that is well known of its ability in curing some disease. Essentially, this research is made not only to analyze the effectivity of the combination of Makuto dewo essence and Virgin Coconut Oil in curing the pain, but also to find out the exact composition of those ingredients in produsing the maximum analgesic ability.
This research was a pure experimental one used simple randomize design. The analgesic ability was evaluated by using chemical stimulant method. It used 63 white female rat divided randomizely into 9 group. The first group (negative control) was given aquadest. The second group (positive group) was given paracetamol. The third to ninth group (treatment group)was given the pure essence of makuto dewo and pure Virgin Coconut Oil and combination of them with camparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. the análisis started by monitoring the wriggle responses with 5 minutes respites in 1 hours. It could be started 10 minutes right alter the objects were treated with chemical stimulant of 1% asetic acid with dose 50 mg/kgBB intraperitoneally. The accumulative amount of the wriggles were changed into resistant percentages of the wriggles using Handersooth-Forsaith method.
Based on this research, there was a fact that the analgesic ability of the combination of makuto dewo pure essence and VCO with the comparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 for 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Separately, the analgesic ability of makuto dewo pure essence was 57,14% and pure VCO was 58,05%.
Conclusively, the process of adding VCO in makuto dewo essence effectively produced the analgesic ability in curing the pain. The biggest analgesic ability was produced by the combining those ingredients in 4 : 1 comparison range.
Key Word : Analgesic, essence of makuto dewo, Virgin Coconut Oil
BAB I
PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG
Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan. Alam Indonesia yang sangat mendukung telah menyediakan berbagai macam jenis tumbuhan yang berkhasiat obat yang sangat berlimpah sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Salah satu tanaman yang terkenal karena memiliki khasiat obat dan telah digunakan secara turun temurun dalam masyarakat Indonesia adalah tanaman makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.).
Selama ini daun dan buah makota dewo dimanfaatkan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, sebagai obat penyakit kulit, gatal-gatal, dan eksim. Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya tanaman ini telah diketahui memiliki manfaat sebagai pelindung hati dan jaringan organ dalam manusia, sebagai anti radang, sebagai pereda rasa nyeri, sebagai obat untuk penyakit jantung, ginjal dan anti tumor, untuk mengobati penyakit ringan seperti flu, batuk, pusing, sakit perut serta berbagai manfaat lainnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ekstrak etanol daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) memiliki khasiat sebagai analgesik (Anggoro, 2005), menurut penelitian yang dilakukan oleh Marissa (2006) dan Puspitasari (2006), ekstrak etanol daging buah makuto dewo terbukti memiliki
daya anti inflamasi pada mencit putih betina. Berdasarkan penelitian (Sisilia, 2001; Linawati, 2002; Wijayanti, 2003; Hariyanto, 2003; Prasetia, 2003; Yudanti, 2005; Purwandani, 2005) juga telah dibuktikan bahwa buah makuto dewo dapat berkhasiat sebagai hepatoprotektif.
Kurang lebih tiga tahun yang lalu orang masih asing bila mendengar istilah Virgin Coconut Oil (VCO) atau yang lebih dikenal dengan minyak perawan. Namun
memasuki awal tahun 2005 lalu, wacana mengenai Virgin Coconut Oil mulai mengemuka dan meluas ke seluruh pelosok nusantara serta menjadi bahan pembicaraan para praktisi kesehatan di Indonesia. Bahkan saat ini Virgin Coconut Oil telah mulai diresepkan oleh banyak dokter spesialis di Indonesia seperti yang
dilaporkan oleh Trubus, April 2006. Manfaat dari Virgin Coconut Oil diantaranya mematikan berbagai virus yang menyebabkan mononucleosis, influenza, hepatitis C, cacar air, herpes dan penyakit lainnya, memperbaiki sekresi insulin dan pendayagunaan glukosa darah, membantu meredakan gejala-gejala dan mengurangi resiko kesehatan yang dihubungkan dengan diabetes, berfungsi sebagai antioksidan pelindung, dan membantu mencegah sakit liver serta berfungsi sebagai anti radang dan pereda rasa nyeri (Faris, 2005). Virgin Coconut Oil mengandung asam lemak jenuh minyak kelapa yang didominasi oleh asam laurat yang merupakan Medium Chain Trigliceride (MCT) (Sukartin dan Sitanggang, 2005). Asam laurat inilah yang
diketahui, salah satu penyebab hepatitis adalah infeksi virus, sehingga VCO dapat digunakan menjadi obat antihepatitis.
Menurut Donatus (1992), obat hepatitis yang ideal seharusnya tidak hanya mempunyai aspek preventif (perlindungan hati dari aneka hepatotoksin/ hepatoprotektif) tetapi harus pula mempunyai aspek kuratif (penanggulangan radang/ inflamasi) dan aspek suportif (meningkatkan sistem imun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa obat hepatitis yang ideal harus memiliki efek hepatoprotektif, daya anti inflamasi dan daya analgesik.
Melihat kenyataan bahwa buah makuto dewo memiliki efek hepatoprotektif, efek analgesik dan anti inflamasi dan karena kandungan senyawa dari Virgin Coconut Oil yang cukup menjanjikan ini telah memunculkan ide menggabungkan keduanya agar dapat menjadi salah satu alternatif obat hepatitis yang ideal, dan dalam hal ini peneliti secara spesifik ingin menguji daya analgesiknya pada mencit putih betina.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini.
a. Apakah campuran Virgin Coconut Oil dan air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) mempunyai efek analgesik?
c. Berapakah besar penambahan Virgin Coconut Oil yang efektif pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dalam kajian daya analgesik?
C. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian mengenai buah makuto dewo yang pernah dilakukan antara lain dengan judul sebagai berikut ini.
a. Efek Hepatoprotektif Perasan Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol (Sisilia, 2001). b. Efek Hepatoprotektif Perasan Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa
(Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Wijayanti, 2002).
c. Efek Hepatoprotektif Infusa Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Linawati, 2002).
d. Efek Hepatoprotektif Infusa Simplisia Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol
(Prasetia, 2002).
e. Efek Hepatoprotektif Infusa Simplisia Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Karbontetraklorida
(Harianto, 2003).
g. Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol
(Purwandani, 2005).
h. Daya Analgesik Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Kimia (Anggoro,
2005).
i. Daya Anti-Inflamasi Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Karagenin
(Marissa, 2006).
j. Daya Anti-Inflamasi Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Formalin
(Puspitasari, 2006).
Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo pada mencit betina kajian terhadap daya analgesik, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo ini diharapkan memiliki manfaat yaitu sebagai berikut ini.
a. Manfaat teoritis
tanaman obat tradisional yang berkhasiat sebagai analgesik, seperti daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo sebagai obat tradisional.
E. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo ini memiliki tujuan sebagai berikut ini.
a. Tujuan Umum
Penelitian ini dikerjakan untuk membuktikan kebenaran dan keefektifan penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) sebagai obat analgesik.
b. Tujuan khusus
Penelitian ini dikerjakan bertujuan untuk mendapatkan bukti bahwa penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria
macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dapat memberikan daya analgesik yang lebih besar
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Makuto dewo
1. Morfologi
Tanaman makuto dewo merupakan tanaman berupa herba dengan tinggi
kira-kira mencapai 5 meter. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian
1000 meter di atas permukaan laut (Anonim, 2000).
a. Pohon makuto dewo terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Bunga:
merupakan bunga majemuk payung dengan anak bunga berjumlah 2-4 tanpa
tangkai; daun tenda bunga berjumlah 4 berlekatan membentuk tabung, tenda
bunga berwarna putih bagian pangkalnya berwarna hijau, bagian ujung dari
tenda bunga berbelah 4, panjang bunga sekitar 1,5-2 cm; bunga sempurna
(berkelamin dua); benang sari dua kali jumlah tenda bunga dalam dua
lingkaran panjang dan pendek, tangkai sari yang panjang melekat pada
bagian tengah daun tenda bunga dan yang pendek diantara daun tenda bunga;
tangkai putik bulat panjang berwarna putih, setinggi tenda bunga, bakal buah
bulat menumpang.
b. Daun: daun tunggal, berhadapan, bangun daun memanjang (oblongus), tepi
rata ujung daun meruncing, warna hijau tua, permukaan atas mengkilat,
permukaan bawah suram; pertulangan daun menyirip; urat daun agak
menonjol tersusun agak rapat melengkung ke atas; tangkai daun kurang dari
1 cm, warna hijau.
c. Buah: merupakan buah batu, berdaging dengan daging buah berserat,
permukaan licin dan mengkilat; buah muda berwarna hijau, buah masak
berwarna merah cerah, ukuran diameternya lebih dari 1,5 cm, bentuk buah
bulat.
d. Batangnya terdiri dari kulit dan kayu. Kulitnya berwarna coklat kehijauan,
sementara kayunya berwarna putih. Batangnya bergetah. Diameternya
mencapai 15 cm. percabangan batang cukup banyak. Batang ini secara
empiris terbukti bisa mengobati penyakit kanker tulang (Ning, 2001).
e. Biji makuto dewo memiliki bentuk bulat, warna putih, sangat beracun.
2. Nama Daerah
Tanaman makuto dewo memiliki berbagai macam nama yang diberikan oleh
berbagai masyarakat di dunia. Di Indonesia sendiri, tanaman ini memiliki berbagai
nama seperti Makuto dewo (Jawa), Makuto rojo (Jawa), Makuto ratu (Jawa), Raja
obat (Banten), Simalakama (Jawa), Mahkota dewa (Indonesia) atau Simalakama
(Sumatera/ Melayu). Dalam bahasa Cina disebut Pau, sedangkan dalam bahasa
3. Sistematika
Kedudukan tanaman makuto dalam sistematika tumbuhan adalah :
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiosperma
Classis : Dicotyledonae
Subclassis : Archichlamydeae
Ordo : Thymelaeles
Familia : Thymelaceae
Genus : Phaleria
Species : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.
( Backer & Bakhuizen Van De Brink, 1963)
4. Kandungan kimia
Zat aktif yang terkandung dalam daun dan kulit buah antara lain alkaloid,
terpenoid, saponin, dan senyawa resin. Pada daun diketahui terkandung polifenol,
sedangkan pada kulit buah terkandung zat flavonoid (Winarto, 2005).
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dan sebenarnya
terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepungsari,
nektar, bunga, buah buni, dan biji. Flavonoid berkhasiat sebagai anti-inflamasi, anti
untuk proteksi pada mukosa saluran cerna atau gastrik. Efek-efek tersebut
berhubungan dengan pengaruh flavonoid pada metabolisme asam arakhidonat
(Evan, 1989).
Kerangka dasar flavonoid dan sistem penomoran untuk turunan flavonoid
terlihat pada gambar 1.
C C C
Gambar 1. Kerangka flavonoid (1a) dan sistem penomoran turunan flavonoid (1b) (Robinson, 1995)
Efek flavonoid terhadap organisme banyak macamnya, sehingga tumbuhan
yang mengandung flavonoid dapat dipakai dalam pengobatan (Robinson, 1995).
Diantara senyawa flavonoid yang telah lama dikenal dan merupakan suatu kelompok
antioksidan yakni, kelompok polifenol memiliki kemampuan sebagai scavenger
superoksida, oksigen singlet, dan radikal peroksi lipid.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas antioksidan flavonoid
ditentukan oleh gugus tertentu dalam struktur flavonoid tersebut. Karakteristik
struktur flavonoid yang mampu memberikan efek antioksidan antara lain karena
adanya (1) gugus katekol (O-dihidroksi) pada cincin B yang mempunyai sifat
sebagai donor proton, (2) gugus pirogalol (trihidroksi) pada cincin B, (3) gugus
4-oxo pada cincin heterosiklik, serta (5) gugus 5-OH dan 7-OH yang potensial pada
keadaan tertentu (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004). Ketika
senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas maka terbentuk radikal baru yang
a. Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih
dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat
seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa
dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1984).
Saponin merupakan surfaktan alami, atau detergent yang banyak ditemukan
pada beberapa jenis tanaman. Ekstrak dari tanaman ini biasa digunakan sebagai
foaming agent pada banyak minuman. Sifat biokimianya juga memiliki aplikasi
komersial di bidang industri dan banyak digunakan pada beberapa produk kosmetik
dan shampo.
Senyawa glikosida seperti saponin dan glikosida jantung tidak larut dalam
pelarut non polar. Senyawa ini paling cocok diekstraksi dari tumbuhan memakai
etanol atau metanol panas 70-95% (Robinson, 1995).
b. Tanin
Tanin merupakan substrat kompleks yang biasanya terjadi sebagai campuran
polifenol yang sulit diseparasi karena tidak dapat dikristalkan. Tanin dapat tersebar
luas dalam tumbuhan berpembuluh dalam angiospermae khususnya dalam jaringan
kayu (Harborne, 1984).
Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang
mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena
kemampuannya menyambung silang protein. Dalam dunia kesehatan tanin
digunakan sebagai astringen yang mengakibatkan pengurangan bengkak (edema),
5. Kegunaan makuto dewo
Pengobatan dengan ramuan makuto dewo diyakini dan telah terbukti secara
turun-temurun dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti kanker, tumor,
diabetes mellitus, hepatitis, jantung, rematik, asam urat tinggi, penyakit kulit, dan
gangguan ginjal (Winarto, 2005). Tanaman makuto dewo dapat menyembuhkan
penyakit seperti sakit lever, kanker, sakit jantung, kencing manis, asam urat,
reumatik, sakit ginjal, tekanan darah tinggi, lemah syahwat. Dan ketagihan narkoba.
Dapat digunakan untuk obat luar seperti eksim, jerawat dan luka gigitan serangga.
Pengolahannya dengan cara direbus atau diperas. Makuto dewo banyak digunakan
untuk mengobati penyakit liver, ginjal, kanker, jantung, diabetes, darah tinggi,
rematik, asam urat, penambah stamina, penyakit kulit, alergi, penurun kolesterol dan
ketergantungan narkoba. Buah yang dikeringkan dikonsumsi sebagai obat ginjal dan
kanker. Daun dan kulit buah segar ataupun yang telah dikeringkan berkhasiat
mengobati penyakit desentri, eksim, kulit, dan anti tumor (Jamaluddin, 2001). Selain
itu makuto dewo juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit insomnia (Anonim,
2004).
Khasiat dari tanaman makuto dewo yang telah diteliti adalah :
a. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sumastuti (2001a) menyebutkan
bahwa ekstrak daun dan buah tua maupun buah muda makuto dewo
menyebabkan penurunan kontraksi histamin murni.
b. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sumastuti (2001b) menyebutkan
bahwa ekstrak daun dan buah makuto dewo mempunyai efek memacu
c. Penelitian yang telah dilakukan Saragih (2001) menyebutkan bahwa
rebusan daging buah makuto dewo dapat untuk menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI)
dengan kekuatan rendah dibandingkan insulin. Dosis efektifnya sebesar
27,64 dan 35,28 g/kgBB serta memberikan efek hipoglikemik pada menit
ke-30 dan berakhir pada menit ke-180.
d. Penelitian yang telah dilakukan Bestari (2001) menyebutkan bahwa
perasan daging buah makuto dewo dapat untuk menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin
(DMTTI) dengan kemampuan yang hampir sama dengan tolbutamid.
Dosis efektifnya sebesar 52,63; 5,263; dan 0,5263 g/kgBB.
e. Penelitian yang telah dilakukan oleh Renety (2001) menyebutkan bahwa
potensi ketoksikan akut (LD50) rebusan daging buah makuto dewo pada
mencit galur Swiss adalah semu yaitu 44,226 g/kgBB (relatif tidak
berbahaya).
f. Penelitian yang dilakukan oleh Sisilia (2001) menyebutkan bahwa air
perasan daging buah makuto dewo dapat memberikan efek
hepatoprotektif pada mencit yang terinduksi parasetamol. Dosis efektif
tengah (ED50 ) yang didapat sebesar 0,67 g/kgBB. Disebutkan pula
bahwa kemungkinan besar dari keempat kandungan buah makuto dewo
B. Virgin Coconut Oil
Minyak kelapa murni (VCO) merupakan salah satu hasil olahan dari buah
kelapa (Cocos nucifera) famili Arecaceae (Palmae).
1. Kandungan kimia
Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan minyak
tak jenuh (10%). Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan minyak
kelapa sebagai sumber saturated fat.
Asam lemak pada minyak kelapa banyak mengandung medium chain fatty
acid (MCFA) yang berfungsi memperbaiki asam lemak tubuh secara sinergis dengan
asam lemak esensial. Dengan mengonsumsi MCFA, bisa meningkatkan efisiensi
asam lemak esensial sebesar 100%. Kandungan MCFA juga sama seperti air susu
ibu (ASI), yaitu memberi gizi dan melindungi tubuh dari penyakit menular dan
penyakit degeneratif. Selain itu, MCFA juga bermanfaat dalam mengubah protein
menjadi sumber energi (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Minyak kelapa mengandung fosfatida, gums, sterol, dan tokoferol. Tokoferol
berfungsi sebagai antioksidan alami yang dapat memperpanjang periode terjadinya
proses oksidasi sampai timbulnya bau tengik. Tokoferol juga mengandung
komponen aktif biologis yang secara umum diterima sebagai aktivitas vitamin E
dalam menjaga kekebalan tubuh manusia (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
2. Kegunaan
Menurut guru besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Walujo S. Soejobroto, minyak kelapa sebenarnya memiliki banyak kelebihan, 50%
asam tersebut merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang mudah dimetabolisir
dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri, dan antijamur) sehingga dapat
meningkatkan imun tubuh (kekebalan tubuh) dan mudah diubah menjadi energi.
Dalam tubuh, asam laurat menjadi monolaurin, sedangkan asam kapriat menjadi
monokaprin. Selain itu, ternyata hasil pecahan lemak jenuh rantai sedang jarang
disimpan sebagai lemak dan jarang menumpuk di pembuluh darah. Minyak kelapa
memiliki kadar asam lemak tidak jenuh ganda omega-3 eicosa-penta-einoic acid
(EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA) yang dapat menurunkan very low density
lipoprotein (VLDL) dan viskositas darah, menghambat tromboksan, serta mencegah
penyumbatan pembuluh darah.
Asam laurat dan asam lemak jenuh berantai pendek, seperti asam kaprat,
kaprilat, dan miristat yang terkandung dalam minyak kelapa murni dapat berperan
positif dalam proses pembakaran nutrisi makanan menjadi energi. Fungsi lain dari
zat ini, antara lain sebagai antivirus, antibakteri, dan antiprotozoa (Sutarmi dan
Rozaline, 2005).
C. Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering diderita.
Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering
memudahkan diagnosis, pasien sering merasakannya sebagai sesuatu yang tidak
mengenakkan bahkan menyiksa sehingga mereka berusaha untuk menghilangkannya
Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui
suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa yang sering disebut senyawa nyeri
(Mutschler, 1995).
Nyeri seringkali disertai reaksi otonomik. Biasanya ini mengawali aktivitas
dari sistem saraf simpatik dan pelepasan katekolamin. Reaksi otonomik ini
seringkali terlihat pada nyeri viseral (Anonim, 2001).
Nociceptor atau reseptor nyeri terhubung dengan akson saraf yang mengirim
informasi nyeri ke spinal cord. Informasi elektrik bekerja secara otonom dan refleks
nociceptif mengirim transmit sinyal nyeri ke otak. Secara fungsional, reseptor nyeri
bekerja melalui empat tahap; transduksi, abstraksi, modulasi dan plastikasi (Anonim,
2001).
Karakteristik yang paling penting dari reseptor nociceptive somatoviseral
adalah bagaimana mereka merespon hanya pada stimulus yang merusak jaringan.
Rangsang mekanik, termal dan kimiawi yang tidak sampai merusak jaringan, tidak
akan mengaktivasi reseptor nyeri (Anonim, 2001).
Nyeri secara kualitatif dapat dibagi menurut tempat terjadinya, yaitu nyeri
somatik dan nyeri viseral atau yang juga dikenal sebagai nyeri dalaman.
Nyeri somatik ini lalu dibagi lagi ke dalam dua golongan yaitu nyeri
permukaan dan nyeri dalam. Apabila rasa nyeri berasal dari kulit maka disebut nyeri
permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang dan jaringan
ikat disebut nyeri dalam. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar
Nyeri dalaman (viseral) atau nyeri perut terjadi antara lain pada tegangan
organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai
radang (Mutschler, 1995).
Rangsang nyeri diterima oleh reseptor khusus yang disebut dengan reseptor
nyeri. Reseptor nyeri berupa saraf khusus dengan ujungnya yang bebas sehingga
dapat menerima rangsang sensasi lain. Secara fungsional, reseptor nyeri dibedakan
menjadi dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua sistem serabut yang berbeda
yaitu.
a. Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-
delta bermielin
b. Termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C
yang tidak bermielin (Mutschler, 1995).
Serabut A-delta merupakan saraf unimodal dan memiliki myelin pada aferen.
Kecepatan penghantaran listriknya 2-30 m/s. Reseptor ini merespon rangsang
mekanik dan termal serta memproduksi nyeri yang terlokalisasi (Anonim, 2001).
Serabut C merupakan saraf polimodal yang tidak bermyelin sehingga daya
hantar listriknya lebih lambat menjadi sekitar 0,5-2 m/s. Luas area wilayah pada
permukaan kulit sekitar 1 mm2. reseptor ini merespon stimulus mekanik, termal dan
secara khusus kimiawi. Efek yang dirasakan terasa lama dan rasa nyeri yang
membakar (Anonim, 2001).
Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri adalah kerusakan
jaringan atau gangguan metabolisme jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri
dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang disebut zat nyeri (mediator nyeri), yang
autacoida dan terdiri dari antara lain histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien, dan
prostaglandin 2. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan
kejang-kejang, dan jaringan yang lain (Tjay dan Rahardja, 2002).
Yang termasuk zat nyeri dengan potensi kecil adalah ion hidrogen. Pada
penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada
kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Kerja lemah yang mirip dipunyai juga oleh
ion kalium yang keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan
dalam interstitium pada konsentrasi >20 mmol/liter menimbulkan rasa nyeri.
Demikian pula berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada
kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/l) terbukti
sebagai zat nyeri (Guyton dan Hall, 1995; Mutschler, 1995).
Rangsangan atau noksius
Kerusakan jaringan
Pembentukan Kinin (misalnya: bradikinin)
Prostaglandin
Sensibilitas reseptor Pembebasan:
H+(pH < 6) K+ (> 20 mmol/L) Asetilkolin
Serotonin Histamin
Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan Nyeri pertama Nyeri lama
Asetilkolin pada konsentrasi rendah menstabilisasi reseptor nyeri terhadap
zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama sama senyawa yang dalam konsentrasi
yang sesuai secara mandiri tidak berkhasiat dapat menyebabkan nyeri pada
konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri.
Kelompok senyawa penting lainnya adalah golongan kinin, terutama bradikinin
yang merupakan salah satu senyawa penyebab nyeri terkuat.
Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri,
menstabilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu pada nyeri lama
(Mutschler, 1995).
Nyeri merupakan suatu hal yang kompleks sehingga dalam
penanggulangannya memerlukan keakuratan diagnosis serta pengobatan yang tepat
dan efektif. Dalam penanggulangan nyeri, perlu dilakukan evaluasi atas seluruh
komponen nyeri seperti aspek perilaku pasien, aspek kognitif, aspek sosial dan
kultural (Baumann, 2005).
Dalam mengatasi nyeri dan menghilangkan penyebabnya dapat dilakukan
berbagai macam tindakan seperti terapi farmakologi, terapi stimulasi, dan terapi
psikologi (Baumann, 2005).
D. Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum (Mutschler, 1995).
Menurut Djamhuri (1996), analgetika adalah obat yang menghilangkan rasa nyeri
Efek ini dapat dicapai dengan berbagai cara, seperti menekan kepekaan reseptor
terhadap rangsang nyeri mekanik, termik listrik atau kimiawi di pusat atau dengan
cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri
(Anonim, 1991). Turner (1965) secara umum membagi analgetika menjadi tiga tipe,
yaitu analgetika perifer, analgetika hipotalamus, dan analgetika narkotika.
Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan
dalam dua kelompok, yaitu analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat dan
analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
(Mutschler, 1995). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua
kelompok besar oleh Tjay dan Rahardja (2002), yakni analgetika perifer
(non-narkotik) dan analgetika narkotik.
Berdasarkan kerja farmakologisnya, Tjay dan Rahardja (2002) membagi
analgetika dalam dua kelompok besar, yakni:
1. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fractura dan kanker.
2. analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
1. Analgetika narkotik
Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiat), adalah zat
yang bekerja terhadap reseptor opiod khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons
emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002).
Analgetika kuat diindikasi pada kondisi nyeri yang sangat kuat yang jika
tidak, tak cukup untuk dipengaruhi. Di sini terutama nyeri akibat kecelakaan, nyeri
2. Analgetika non narkotika
Analgetika jenis ini, yang juga disebut analgetika yang bekerja perifer atau
‘kecil’, memiliki spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun struktur
kimianya berbeda. Di samping kerja analgetika, senyawa-senyawa ini menunjukkan
kerja antipiretika dan juga komponen kerja antiflogistika dengan kekecualian
turunan asetilanilida. Sebaliknya senyawa-senyawa ini tidak mempunyai sifat-sifat
psikotropik dan sifat sedasi dari hipnoanalgetika. Akibat spektrum kerja ini,
pemakaian luas dan karena itu termasuk pada bahan-bahan obat yang paling banyak
digunakan (Mutschler, 1995).
Istilah ‘analgetika berkhasiat lemah’ tidak benar untuk sifat-sifat dari
kelompok obat ini karena beberapa senyawa ini memiliki efek analgetik lebih kuat
jika dibandingkan hipnoanalgetika lemah. Walaupun demikian, untuk membedakan
dari hipnoanalgetika, pengertian ini telah diambil (Mutschler, 1995).
Obat ini mampu meringankan atau menghalau rasa nyeri, tanpa
mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan.
Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan / atau antiradang. Oleh karena itu,
obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada
gangguan demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan
mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek
samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas
Untuk mengetahui kerja dan efek samping analgetika berkhasiat lemah,
penemuan Vane menunjukkan bahwa senyawa ini bekerja mempengaruhi proses
sintesis prostaglandin dan terbukti bermanfaat. Senyawa-senyawa ini menghambat
sistem siklooksigenase yang menyebabkan asam arakhidonat dan asam-asam C20 tak
jenuh lain menjadi endoperoksida siklik. Endoperoksida siklik merupakan prazat
dari prostaglandin, serta prazat dari tromboksan A2 dan prostasiklin (Mutschler,
1995).
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin yang mampu
menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Sejumlah besar
histamin disimpan dalam sel mast, sel basofil, dan trombosit. Banyak cedera fisik
menyebabkan degranulasi sel mast dan melepaskan histamin (Price and Wilson,
1992)
Pada beberapa tahun terakhir ini perhatian dipusatkan pada metabolit asam
arakhidonat sebagai mediator inflamasi yang penting. Bila membran sel mengalami
kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis maka enzim
fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di situ menjadi
asam arakhidonat (Tjay dan Rahardja, 2002).
Asam arakhidonat yang merupakan suatu asam lemak 20-karbon, disimpan
atau tersedia dalam bentuk ester dari struktur fosfolipid di membran sel dari
kebanyakan jaringan, tetapi dapat juga berasal dari ester trigliserida atau ester
kolesterol (Wilmana, 1995). Agar dapat dipergunakan sel membentuk mediator,
asam arakhidonat harus dibebaskan dari membran fosfolipid oleh aktivitas
fosfolipase sel. Selama proses radang, lisosom neutrofil diyakini merupakan sumber
Asam arakhidonat dimetabolisme melalui dua alur utama yaitu alur
siklooksigenase (COX) dan alur lipoksigenase.
Perombakan asam arakidonat dapat dilihat pada gambar 3.
Fosfolipida
Gambar 3. Diagram perombakan asam arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2002)
Keterangan:
--- : golongan obat yang menghambat proses kerja
: proses pembentukan
Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput
arachidonic acid kemudian dilepaskan dari persenyawaan-persenyawaan terdahulu,
dan berbagai ercosanoid disintesis. Pada jalur cyclooxygenase (COX) dari
metabolisme arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin, yang
mempunyai berbagai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang
terlibat dalam inflamasi. Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX-2).
Isoform COX-1 yang konstitutif cenderung menjadi homeostatis dalam fungsinya,
sedangkan COX-2 diinduksi selama inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi
respons inflamasi (Katzung, 2002).
Menurut Tjay dan Rahardja (2002) analgesik atau obat penghalang nyeri
adalah zat zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Berdasarkan proses terjadinya, rangsang nyeri dapat dilawan dengan
berbagai cara seperti mencegah sensibilitas reseptor nyeri dengan cara
penghambatan sintesis prostaglandin menggunakan analgsik yang bekerja perifer,
merintangi penyaluran rangsangan dari saraf saraf sensorik, blokade pusat nyeri
sistem saraf pusat dengan analgesik sentral serta mencegah pembentukan rangsang
dalam reseptor nyeri dengan menggunakan anastetik lokal.
Sebagai analgesik sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena
kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995). Gambaran umum
dari nefropati analgesik meliputi gagal ginjal kronis, hipertensi, anemia.
Kebanyakan penderita mengalami nefropati karena memakai kombinasi fenasetin,
aspirin, asetaminofen dalam waktu lama dan berlebihan (Robbins dan Kumar,
E. Prostaglandin
Salah satu mediator nyeri adalah prostaglandin (PG), yang merupakan
golongan zat serupa hormon yang mempengaruhi tekanan darah, peradangan
jaringan dan rasa sakit, serta menaikan suhu tubuh. Struktur indeknya adalah asam
prostanoat tak jenuh, turunan asam lemak (Pine, Hendrickson, Cram dan Hammond,
1998).
Prostaglandin bertanggung jawab terhadap jalannya berbagai respon
fisiologi, beberapa diantaranya adalah inflamasi, tekanan darah, demam dan nyeri.
Semua PG memiliki kerangka karbon dengan 20 C, 5 cincin dengan C7 memiliki
substituen asam karboksilat dan C8 memiliki substituen hidrokarbon. Prostaglandin
disintesis dari asam arakhidonat, 20 C asam lemak dengan 4 cis ikatan rangkap.
Asam arakhidonat kembali disintesis dari asam linoleat (Bruice, 1998).
Langkah awal biosintesis PG adalah pelepasan enzim fosfolipase A2.
Interleukin I yang dihasilkan oleh leukosit dapat meningkatkan aktivitas enzim ini
dan memerantarai peradangan. Enzim fosfolipase A2 akan membebaskan asam
arakhidonat dari penyimpanan fosfolipid. Asam arakhidonat yang bebas dapat
dimetabolisme oleh kompleks enzim COX menjadi endoperoksida PG yang tidak
stabil. Endoperoksida dikonversi menjadi PGI2, TXA2 atau PG utama seperti PGE2
atau PGF2α. Jalur alternatif dari metabilisme arakhidonat adalah oksidasi oleh enzim
lipooksigenase (Colegate dan Molyneux, 1993). Tempat sintesis PG adalah
membran sel di fosfolipid. Asam linoleat yang menghasilkan asam arakhidonat
oksidasi asam lemak prazatnya dengan enzim oksigenase, melibatkan zat radikal
bebas (Pine et al, 1998).
F. Radikal bebas dan Antioksidan
Radikal bebas dibentuk oleh suatu ion radikal yang kehilangan satu elektron.
Radikal dapat terbentuk melalui proses homolytic fission yang terjadi karena
putusnya ikatan kovalen sehingga masing masing ataom memiliki elektron tunggal
(Gutteridge dan Halliwell, 1999). Ciri umumnya adalah kereaktivan kimianya sangat
besar karena ada kecenderungan elektron untuk berpasangan. Jumlah radikal bebas
berlebihan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan
nyeri (Pine et al, 1998).
Radikal bebas turunan oksigen yang dihasilkan terdiri dari H2O2, superoksida
(O2 •¯), dan radikal hidroksil (OH*). Radikal oksigen ini menyebabkan kerusakan sel
endotel yang akhirnya meningkatkan permeabilitas vaskuler. Anion superoksida
dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain
yang reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2), serta radikal hidroksil (OH*)
(Robbins and Kumar, 1995). Radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh
adalah radikal derivat oksigen atau sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species
(ROS). Radikal-radikal tersebut berada dalam bentuk triplet (3O2), singlet (1O2),
superoksida (O2˙¯), radikal hidroksida (OH˙), nitrit oksida (NO˙), dll (Kurnani,
2001).
Reaksi radikal yang tidak diinginkan dapat dicegah oleh suatu inhibitor
radikal adalah hidrokuinon. Jika radikal reaktif dibentuk, hidrokuinon dapat
menangkapnya. Radikal semikuinon yang terbentuk terstabilkan oleh resonansi dan
menjadi tidak reaktif dibandingkan radikal lain. Contoh lain inhibitor radikal yang
hadir dalam sistem biologi adalah vitamin C dan E (Bruice. 1998).
Bila produksi radikal bebas terus meningkat sistem pertahanan antioksidan
tubuh tidak akan efektif lagi bekerja sebagai pelindung terhadap serangan radikal
bebas. Dalam keadaan ini akan terjadi apa yang disebut dengan stress oksidatif atau
kerusakan oksidatif. Untuk mencegah terjadinya stress oksidatif ini, antioksidan dari
luar (antioksidan eksogen) sangat diperlukan (Subarnas, 2001).
Sistem antioksidan endogen diperkuat oleh sistem antioksidan eksogen yang
diperoleh dari makanan (Setiati, 2003). Antioksidan eksogen bekerja dengan cara
menangkap radikal dan mencegah reaksi berantai, misalnya retinol, β-karoten,
vitamin C, α-tokoferol (vitamin E), serta albumin. Antioksidan eksogen bekerja
melalui 3 macam mekanisme, yakni pemotongan rantai propagasi dari radikal bebas,
melalui mekanisme khelasi terhadap metal transisi sehingga efek prooksidan dari
metal dapat dihambat, serta memadamkan pengaruh singlet oksigen (Setiati, 2003).
G. Parasetamol
Parasetamol yang juga disebut sebagai asetaminofen mengandung tidak
kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2 dihitung terhadap zat
anhidrat. Pemerian berupa serbuk hablur berwarna putih; tidak berbau dan rasa
sedikit pahit. Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N dan juga mudah larut
Asetaminofen berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala,
myalgia, nyeri pasca persalinan, dan keadaan lain dimana aspirin efektif sebagai
analgesik. Parasetamol lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau
bilamana salisilat tidak bisa ditoleransi (Furst dan Munter, 2001).
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin yang mengurangi sensasi
nyeri. Obat ini efektif untuk menghilangkan nyeri ringan, nyeri sedang, dan sakit
kepala. Mula kerjanya cepat dan lama kerjanya 5 jam atau kurang (Kee dan hayes,
1996). Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah.
Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam-basa (Santoso dan Dewoto, 1995).
H. Antaraksi Obat
Antaraksi obat adalah suatu peristiwa dimana aksi suatu obat diubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan (Suryawati, 1995).
Dalam berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan
terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia
yang masuk dari lingkungan, dan atau dengan obat lain. Antaraksi obat dapat
berakibat menguntungkan atau merugikan (Setiawati, 1995).
1. Antaraksi farmakokinetik
Antaraksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma
obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya akan terjadi peningkatan toksisitas
2. Antaraksi farmakodinamik
Antaraksi farmakodinamik adalah antaraksi obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang
aditif, sinergistik atau antagonistik (Setiawati, 1995).
3. Antaraksi farmasetik
Antaraksi ini merupakan antaraksi fisika kimia antar obat sehingga
mengubah aktivitas farmakologiknya. Yang sering terjadi misalnya dalam
mencampur obat obat dalam cairan secara bersamaan seperti pada infus atau sediaan
injeksi (Suryawati, 1995). Pada antaraksi farmasetik terjadi inkompatibilitas karena
penyiapan atau inaktivasi ketika obat dicampur (Ritter and Mant, 1999).
I. Metode Pengujian Daya Analgesik
Secara umum, pengujian aktivitas analgetika dilakukan secara in vitro dan in
vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgetika sentral
yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki atau berikatan
dengan reseptor. Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik
dibagi menjadi 2 (Turner, 1965), yaitu:
1. golongan analgetika narkotika
Metode penapisan aktivitas analgesik untuk analgetika narkotika antara lain
sebagai berikut ini.
a. Metode jepitan ekor. Sekelompok mencit disuntik dengan senyawa uji dengan
dosis tertentu secara subkutan (s.c.) atau intravena (i.v.). Tiga puluh menit
Mencit yang tidak diberi senyawa uji akan berusaha melepaskan diri dari
kekangan tersebut, tetapi mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan
kekangan tersebut. Dalam rentang waktu tertentu jepitan dipasang kembali.
Respon positif yang menunjukkan adanya daya analgesik apabila tidak ada
usaha untuk melepaskan jepitan selama 15 detik pada tiga kali pengamatan.
b. Metode rangsang panas. Hewan percobaan ditempatkan di atas lempeng
panas dengan suhu 50o C sampai 55o C sebagai stimulus nyeri, dilengkapi
dengan penangas yang berisi campuran sama banyak aseton dan etil format
yang mendidih. Mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau
peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi mencit
adalah menjilat kaki depan, kaki belakang lalu meloncat. Selang waktu
antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, disebut waktu reaksi,
dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetika. Perpanjangan waktu reaksi
selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas
analgesik.
c. Metode pengukuran tekanan. Metode ini menggunakan suatu alat untuk
mengukur tekanan yang diberikan pada ekor tikus secara seragam. Alat
tersebut terdiri dari 2 syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya
yang bersifat elastis, fleksibel, dan pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisa
pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan
secara vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di
bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari
syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik
pada syringe yang kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus.
Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus
yang pertama adalah meronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit)
tanda kesakitan.
d. Metode potensi petidin. Metode ini kurang baik, karena dibutuhkan hewan uji
dalam jumlah besar, tetapi dapat digunakan untuk uji sedatif. Tiap kelompok
tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok
kecil dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut yaitu 2, 4, dan 8 mg/kg.
Setengah kelompok dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok petidin
dan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung
dengan bantuan metode rangsang panas.
e. Metode antagonis nalorfin. Uji analgesik dengan metode ini bertujuan untuk
menunjukkan aksi obat-obat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan
untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam
metode ini adalah tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan
dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB)
secara intravena. Sebuah obat yaitu piritramid dapat menyebabkan respon
seperti hilangnya refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat
dilawan setelah 1 menit pemberian nalorfin 1,25 mg/kgBB yang disuntikkan
secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan
ikatan morfin dengan reseptornya.
f. Metode kejang oksitosin. Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar pituitari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga
abdominal sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Respon kejang
dapat diatasi dengan pemberian morfin atau turunannya. Tikus betina diberi
estrogen dengan menanam atau memasukkan 15 mg pelet dietilstilbestrol
secara subkutan pada paha tikus. Setelah 10 minggu hewan uji siap diuji
analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan 15 menit secara subkutan
sebelum diberi oksitosin secara intraperitoneal. Penurunan kejang dapat
teramati dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetika
yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein,
meperidin.
g. Metode pencelupan air panas. Sepuluh tikus disuntik intraperitoneal dengan
senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (suhu 58o C).
respon tikus dilihat dari hentakan ekornya dari air panas.
2. golongan analgetika non narkotika
a. metode induksi kimia
Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang secara
intraperitonial pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada
selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk memberikan
respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah
geliat berupa konstraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut
menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam.
Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat
yang terjadi berkurang. Metode ini peka untuk pengujian senyawa-senyawa
analgesik yang memiliki daya analgesik lemah. Selain itu, metode ini cukup
analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap
geliat, yaitu:
% penghambatan terhadap geliat = 100 – [ (P/K) x 100 ]
Keterangan:
P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah
ditetapkan
K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol
Sumber lain menyatakan bahwa pada metode rangsang kimia, adanya
aktivitas analgetika dinyatakan oleh jumlah terjadinya geliat pada hewan uji
lebih sedikitnya ≥ 50% dari kelompok kontrol (Anonim, 1991).
b. Metode pedodolometer. Metode ini menggunakan aliran listrik untuk
mengukur besarnya daya analgesik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan
metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut
kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut.
Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.
c. Metode rektodolometer. Tikus diletakkan dalam kandang yang dibuat
khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi
yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian
dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang
sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang
berada di atas gulungan. Tegangan yang sering digunakan untuk
J. Landasan Teori
Nyeri (pain) merupakan suatu gejala yang umum dan sering terjadi
mengikuti salah satu atau lebih penyakit. Hampir sebagian besar penyakit memberi
gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan
tubuh (Anonim, 1991).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan
pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri
didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk pertama kali.
Makuto dewo merupakan obat tradisional yang digunakan masyarakat
Indonesia untuk mengobati penyakit seperti diabetes, asam urat, darah tinggi, darah
rendah, kanker, sakit kepala, dan sakit perut. Selain itu juga untuk mengobati
penyakit jantung, liver, rematik, penyakit ginjal, serta untuk penambah stamina.
Makuto dewo kaya akan senyawa kimia, diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid,
dan senyawa polifenol (Anonim, 2004).
Parasetamol dikenal sebagai obat yang berkhasiat analgesik antipiretik.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim siklooksigenase, yaitu suaru enzim
yang menjadi perantara bagi asam arakhidonat mengkonversi diri menjadi
prostaglandin. Dengan adanya penghambatan enzim siklooksigenase ini maka akan
mengganggu konversi asam arakhidonat menjadi endoperoksida siklik, biosintesis
prostaglandin sebagai mediator nyeri pun akan terganggu sehingga rasa nyeri dapat
Flavonoid adalah penghambat metabolisme asam arakhidonat yang poten.
Jika metabolisme asam arakhidonat dihambat, mediator-mediator nyeri seperti
prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin tidak terbentuk, dengan demikian maka
perangsangan reseptor nyeri juga tidak terjadi (Robinson, 1995).
Minyak kelapa memiliki kadar asam lemak tidak jenuh ganda omega-3
eicosa-penta-einoic acid (EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA) yang dapat
menurunkan very low density lipoprotein (VLDL) dan viskositas darah,
menghambat tromboksan, serta mencegah penyumbatan pembuluh darah.
Karena proses penghambatan metabolisme asam arakhidonat sehingga
mediator nyeri seperti tromboksan tidak terbentuk oleh asam lemak tidak jenuh
ganda omega-3 eicosa-penta-einoic acid (EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA)
pada virgin coconut oil dan karena proses penghambatan pembentukan mediator
nyeri seperti tromboksan oleh flavonoid yang terdapat pada makuto dewo maka
perangsangan reseptor nyeri juga lebih efektif dapat dihambat.
K. Hipotesis
Penambahan virgin coconut oil pada perasan daging buah makuto dewo
akan meningkatkan aktivitas daya analgesik dari perasan daging buah makuto dewo