• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBING Averrhoa carambola L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBING Averrhoa carambola L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

Di M

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nugraheni Dwiari Kristanti NIM : 068114127

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2010

(2)

Di M

ii SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nugraheni Dwiari Kristanti NIM : 068114127

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2010

(3)
(4)
(5)

Bapak dan ib

seb

v

Ku persembahkan karya ini untuk:

Tuhan Yesus sumber kehidupanku

dan ibuku sebagai tanda cinta dan kasih y

sebanding dengan kasih yang diberikan

Kakak dan adikku tercinta

(6)
(7)

vii

berjudul Uji Efek Anti-Inflamasi Dan Analgesik Sari Buah Belimbing (Averrhoa carambola L.) Pada Mencit Putih Betina dengan baik dan lancar. Skripsi ini ditulis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Program Studi

Ilmu Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bimbingan, bantuan,

dukungan dan pengarahan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati

penulis menghaturkan terimakasih kepada:

1. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Farmasi, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku pembimbing utama skripsi ini atas bimbingan, masukan dan motivasi sehingga penelitian dan penyusunan skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

(8)

viii

yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna

penelitian sripsi ini.

8. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Yuono dan semua staf

laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama

penelitian berlangsung.

9. Bapak, Ibu, Kakak dan Adik atas semua dukungan, kasih sayang dan doa

yang tak putus-putusnya diberikan kepada penulis selama ini.

10. Pramudito Adhi yang telah menemani dan memberikan pertahatian yang tulus

serta semangat pada penulis.

11. Teman-teman penelitian, Jeffry, Dewi, Ricky, Felix dan Gun atas bantuan dan kerjasama suka duka penelitian.

12. Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu mengingatkan untuk segera

menyelesaikan skripsi ini Simbok, Cita, Fea, Ciput, Della, Esti, Helen, Henny

dan Riri serta semangat yang selalu diberikan dalam persahabatan kami.

13. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.

14. Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C, Yoki, Yacob dan Windra

yang ikut meramaikan persahabatan kami.

(9)

ix

kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis membuka diri untuk

segala masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca,

perkembangan ilmu pengetahuan serta masyarakat.

Yogyakarta, Maret 2010

(10)
(11)

xi

inflamasi serta mengetahui seberapa besar daya analgesik dan daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada mencit putih betina. Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek anti-inflamasi sedangkan untuk menguji efek analgesiknya digunakan metode rangsang kimia.

Penelitian ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian eksperimental murni dengan pola acak lengkap satu arah. Variabel utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) dan variabel tergantung yaitu efek anti-inflamasi dan analgesik sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.). Data kuantitatif pengamatan yang didapat dianalisis dengan Komogorov-Smirnov test untuk melihat distribusi data. Setelah diketahui data terdistribusi normal, maka analisis dilanjutkan dengan one-way Anova test dan Scheffe testdengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian membukikan bahwa sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik. Efek anti-inflamasi yang dinyatakan oleh daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada dosis 8,33 ml/kgBB; 16,67 ml/kgBB; dan 33,33 ml/kgBB berturut-turut adalah 7,78%; 3,50%; dan 51,51% sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 22,69%; 51,06%; dan 57,56%.

(12)

xii

potencies are. Modified Langford method is used for the anti-inflammatory effect test meanwhile for the analgesic effect test using the chemical stimulation method.

This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The main variable used in this study is dosage of star fruit extract (Averrhoa carambolaL.) and the dependent variable is the anti-inflammatory and analgesic effect of star fruit extract (Averrhoa carambola L.). The quantitative data from the study analyzed with Kolmogrov-Smirnov test to find out the distributions of the data. After the data distribution discovered normal, analysis continued with one-way Anova test and Scheffe test with level of confidence 95%.

The results of study shown that star fruit extract (Averrhoa carambolaL.) have both anti-inflammatory and analgesic effects. The anti-inflammatory effects are expressed by anti-infammatory potency of star fruit extract at dose 8,33 ml/kgBW; 16,67 ml/kgBW and 33,33 ml/kg BW respectively are 7,78%; 3,50%; and 51,51% while the analgesic potencies are 22,69%; 51,06% and 57,56% (respectively).

(13)

xiii

HALAMAN PENGESAHAN………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA………... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. xi

INTISARI……… xii

ABSTRACT………... xiii

DAFTAR ISI……… xiv

DAFTAR TABEL……… xvi

DAFTAR GAMBAR………... xix

DAFTAR LAMPIRAN………... xxi

BAB I. PENGANTAR……… 1

A. Latar Belakang……… 1

1. Permasalahan……… 2

2. Keaslian penelitian………... 3

3. Manfaat penelitian………. 4

B. Tujuan Penelitian……… 5

1. Tujuan umum……… 5

(14)

xiv

2. Morfologi tumbuhan……….. 6

3. Nama daerah……….. 7

4. Kandungan kimia………... 7

5. Khasiat penggunaan………... 7

B. Flavonoid………. 7

C. Inflamasi……….. 10

1. Definisi………... 10

2. Gejala………... 11

3. Mekanisme peradangan………. 13

D. Nyeri………... 16

E. Obat Anti-Inflamasi Non Steroid……… 20

F. Analgetika……… 21

G. Diklofenak………... 22

H. Parasetamol………. 23

I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi………... 25

J. Metoda Pengujian Efek Analgesik……….. 28

1. Golongan analgetika narkotik……… 28

2. Golongan analgetika non narkotik………. 31

(15)

xv

B. Metode Uji yang Digunakan………... 36

C. Variabel dan Definisi Operasional……….. 36

D. Alat dan Bahan Penelitian………... 38

E. Tata Cara Penelitian... 39

BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 50

A. Identifikasi Buah Belimbing………... 50

B. Uji Pendahuluan……….. 50

C. Uji Daya Anti-Inflamasi……….. 66

D. Uji Daya Analgesik………. 75

E. Perbandingan Profil Parasetamol Dengan Sari Buah Belimbing……… 83

F. Perbandingan Daya Anti-inflamasi dan Analgesik Sari Buah Belimbing…………... 85

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 88

A. Kesimpulan………. 88

B. Saran……… 88

DAFTAR PUSTAKA……….. 89

LAMPIRAN………. 94

(16)

xvi

kaki... 52

Tabel II Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki... 53

Tabel III Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak... 54

Tabel IV Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian

diklofenak... 55

Tabel V Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian

diklofenak... 56

Tabel VI Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian

diklofenak... 57 Tabel VII Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam

asetat... 60

Tabel VIII Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penentuan

dosis asam asetat... 61

Tabel IX Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam

asetat... 62

Tabel X Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat... 63

(17)

xvii

Tabel XIV Rata-rata persen daya anti-inflamasi pada kelompok perlakuan... 68

Tabel XV Uji Scheffe persen daya anti-inflamasi pada kelompok perlakuan... 71

Tabel XVI Rata-rata persen daya anti-inflamasi dan potensi relatif kelompok

perlakuan dibandingkan dengan diklofenak... 72

Tabel XVII Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan... 75

Tabel XVIII Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan... 77

Tabel XIX Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada

kelompok perlakuan... 78

Tabel XX Perubahan persen proteksi geliat kelompok perlakuan terhadap kontrol positif... 81

Tabel XXI Hasil uji daya anti-inflamasi dan proteksi nyeri sari buah

(18)

xviii

Gambar 2. Struktur katekin………... 10

Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan

skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi... 15

Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan

jaringan... 17

Gambar 5. Sruktur diklofenak………... 23

Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol... 24

Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu

pemotongan kaki... 52

Gambar 8. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian diklofenak... 55

Gambar 9. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian

diklofenak sebelum pemberian karagenin... 57

Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi penentuan dosis

pemberian asam asetat... 60

Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktu pemberian

asam asetat... 62 Gambar 12. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis

(19)

xix

Gambar 15. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh

suatu flavonoid katekin... 74 Gambar 16. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok

perlakuan... 76

Gambar 17. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok uji... 77

Gambar 18. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri

kelompok perlakuan... 81

Gambar 19. Grafik profil kelompok perlakuan sari buah belimbing dan

parasetamol……….... 84

(20)

xx

Lampiran 2. Foto buah belimbing...95

Lampiran 3. Potongan buah belimbing... 95

Lampiran 4. Fotojuice extractor...95

Lampiran 5. Foto sari buah belimbing... 96

Lampiran 6. Foto geliat mencit yang memenuhi syarat...96

Lampiran 7. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya... 97

Lampiran 8. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian diklofenak dan hasil analisis statistiknya ...99

Lampiran 9. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak dan hasil analisis statistiknya... 101

Lampiran 10. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat berserta hasil analisis statistiknya...103

Lampiran 11. Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat dan hasil analisis statistiknya ... 106

(21)

xxi

Lampiran 15. Contoh cara perhitungan % daya anti-inflamasi dan potensi relatif.. 115

Lampiran 16. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis statistiknya...117

Lampiran 17. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik berserta hasil

analisis statistiknya...120

Lampiran 18. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji

efek analgesik ...122

Lampiran 19. Perhitungan penetapan peringkat dosis sari buah belimbing pada

(22)

1

Inflamasi merupakan suatu respon biologis dari jaringan-jaringan vaskular

yang kompleks terhadap rangsangan yang dapat membahayakan seperti patogen, iritan, dan kerusakan sel (Denko, 1992). Peradangan sebenarnya merupakan suatu

keadaan yang membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis dan

pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada proses penyembuhan (Price dan Wilson,

1995). Namun inflamasi atau peradangan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang

tidak diinginkan, dan salah satu gejala yang ditimbulkan akibat adanya peradangan

adalah nyeri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu obat guna mengatasi inflamasi

sehingga diharapkan juga dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dari proses

inflamasi.

Dengan pengetahuan dan peralatan yang sederhana para orang tua dan nenek

moyang masyarakat Indonesia telah mampu mengatasi problem kesehatan. Berbagai

macam penyakit dan keluhan ringan maupun berat diobati dengan memanfaatkan

ramuan dari tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah didapat di sekitar pekarangan

rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Salah satu obat tradisional yang

digunakan secara turun temurun adalah buah belimbing manis. Beberapa senyawa

kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis adalah senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin A,

(23)

tentang isolasi dan identifikasi senyawa aktif dari sari buah belimbing manis

(Averrhoa carambola Linn) menemukan bahwa isolat merupakan senyawa flavonoid

golongan katekin. Secara empiris buah belimbing manis berkhasiat sebagai analgesik,

diuretik, dan peluruh air liur (Sukadana, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, diduga dengan adanya kandungan senyawa golongan katekin dan vitamin C dalam buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi

dan analgesik. Katekin dan vitamin C sebagai antioksidan diduga dapat melindungi

tubuh dari kerusakan jaringan dengan menangkap radikal bebas. Oleh karena itu,

peneliti ingin menguji apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan

analgesik dari beberapa peringkat dosis. Cara pengujian yang digunakan adalah

dengan metode Langford yang dimodifikasi karena metode ini cukup spesifik untuk

menguji efek anti-inflamasinya, sedangkan untuk menguji efek analgesiknya

digunakan metode rangsang kimia yang cocok digunakan untuk skrining awal adanya efek analgesik.

1. Permasalahan

a. Apakah sari belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik terhadap

mencit putih betina?

b. Seberapa besar persentase daya anti-inflamasi dan daya analgesik yang

dimiliki sari buah belimbing pada mencit putih betina?

2. Keaslian penelitian

Sepanjang penelusuran penulis, penelitian mengenai efek anti-inflamasi dan

(24)

Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah Belimbing adalah

sebagai berikut :

a. Pengujian Beberapa Efek Farmakologi Buah Averrhoa carambola Linn pada

Hewan Percobaan (Andreanus, Rianti, dan Padmawinata, 1978). Hasilnya

efek analgesik pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kgBB, efek diuretik dan hipoglikosemik pada dosis 5 dan 10 ml/kgBB. Sari buah pada dosis 2,5; 5;

dan 10ml/kgBB tidak menunjukkan efek antipiretik pada tikus. Ekstrak

kloroform pada dosis 40 mg/kgBB (setara dengan 25,4 g buah segar) hanya

menunjukkan efek hipoglikosemik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

yang akan dilakukan oleh penulis adalah dosis yang digunakan penulis tidak

sama dengan penelitian sebelumnya. Selain itu, pada penelitian ini digunakan

finilkinon 0,02 % sebagai penginduksi nyeri dan asetosal sebagai

pembanding, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan penulis digunakan asam asetat sebagai penginduksi nyeri dan parasetamol sebagai

pembanding.

b. Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid Dari Sari Buah Belimbing Manis

(Averrhoa carambola Linn) (Sukadana, 2009). Hasil pemisahan dengan

kromatografi kolom terhadap ekstrak air diperoleh fraksi FBpositif flavonoid

dengan berat sekitar 0,2027 g yang berwarna orange. Hasil identifikasi

menunjukkan bahwa isolat (fraksi FB) merupakan senyawa golongan katekin.

Isolat dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada 100 ppm dan S.

(25)

c. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing (Averrhoa carambola

L.) Dengan Metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Maya, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing

memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan nilai IC50 sebesar 28,82 ±

0,04 µg/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing tergolong antioksidan kuat, karena nilai IC50 kurang dari 200

μg/mL.

d. Uji Efek Antiinflamasi Dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averrhoa

carambola L.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss (Susanti, 2010). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 g/kgBB dan

6,67 g/kgBB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik.

3. Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu

kefarmasian dan kedokeran serta obat tradisional dengan memberikan

informasi baru mengenai efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah

belimbing (Averrhoa carambolaL.).

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi dan masukan kepada masyarakat umumnya mengenai alternatif pengobatan

(26)

anti-inflamasi serta mengetahui seberapa banyak jumlah belimbing yang dapat

digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat sari

buah belimbing (Averrhoa carambola L.) terutama sebagai anti-inflamasi dan

analgesik.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan

analgesik.

b. Mengetahui seberapa besar daya anti-inflamasi dan daya analgesik sari buah

(27)

6

A. Tanaman Belimbing 1. Keterangan botani

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)

Ordo : Geraniales

Familia : Oxalidaceae

Genus :Averrhoa

Spesies :Averrhoa carambolaL.

(Backer dan Backhuizen van den Brink, 1965)

2. Morfologi tumbuhan

Tinggi 5-12 m, tanda bekas daun bentuk tonjolan. Anak daun bulat telur

memanjang, meruncing , 1,5-9 kali 1-4,5 cm, ke arah ujung poros semakin besar,

bawah hijau biru. Malai bunga kebanyakan terkumpul rapat, panjangnya 1,5-7,5 cm.

Bunga sebagian dengan benang sari panjang dan tangkai putik pendek. Kelopak

tinggi 4 mm, daun mahkota di tengah bergandengan, bulat telur terbalik memanjang,

(28)

tajam, kuning muda, panjang 4-13 cm. Ditanam sebagai pohon buah, kadang-kadang

menjadi liar (Steenis, 1947).

3. Nama daerah

Belimbing manis (Indonesia), Belimbing manih (Minangkabau), Belimbing

legi (Jawa), Belimbing amis (Sunda), Bhalimbing manes (Madura), Balirang (Bugis) (Haryanto, 2009).

4. Kandungan kimia

Beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis

adalah senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium,

fosfor, zat besi, serta vitamin A, B1 dan vitamin C (Wiryowidagdo dan Sitanggang,

2002). Menurut Sukadana (2009) pada belimbing manis (Averrhoa carambola Linn)

mengandung senyawa flavonoid golongan katekin.

5. Khasiat penggunaan

Buah belimbing mempunyai rasa yang asam, manis dan menetralkan. Buah

belimbing juga mempunyai efek antibakteri dari senyawa flavonoid katekin

(Sukadana, 2009). Berkhasiat pula sebagai anti-inflamasi, analgesik dan diuretik,

selain itu dapat digunakan sebagai obat batuk, demam, kencing manis, kolesterol

tinggi serta sakit tenggorokan. (Soedibyo, 1998).

B. Flavonoid

Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada

(29)

terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan

mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan

tradisional. Penghambatan siklooksigenase oleh flavonoid dapat menimbulkan

pengaruh lebih luas karena reaksi lipooksigenase merupakan langkah pertama pada

jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Karena flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, maka mereka

menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim.

Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida

dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak

(Robinson, 1995).

Menurut Robinson (1995), golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai

deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6

(cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon :

C C C

Gambar 1. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995)

Flavonoid termasuk ke dalam kelompok antioksidan polifenolik yang aktivitas

antioksidannya ditampilkan dalam uji in vitro danin vivo. Flavonoid yang terdiri dari

flavonols, flavons, flavonons, katekin, dan antosianidin, telah diketahui memiliki efek mempengaruhi sistim kekebalan, baik melalui penekanan atau oleh meningkatkan

(30)

Beberapa senyawa golongan flavonoid dilaporkan dapat menghambat

peroksidasi lipid. Secarainvivo, dilaporkan bahwa peroksidasi lipid melibatkan reaksi

rantai radikal terdiri dari permulaan, perbanyakan, dan pengakhiran (Middleton dkk,

2000). Tahap permulaan peroksidasi lipid dapat diperantarai oleh radikal hidroksil

(·OH). Dilaporkan juga bahwa penangkapan radikal hidroksil oleh flavonoid dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid.

Induksi peroksidasi lipid dapat terjadi sebagai berikut:

Permulaan LH + ·OH → H2O + L·

Perbanyakan L· + O2 → LOO·

LOO· + LH → LOOH + L·

Pengakhiran LOO· + LOO· → produk nirradikal

L· + L· → produk nirradikal

LOO· + L· → produk nirradikal

Peroksidasi lipid dapat dicegah pada tahap permulaan oleh penangkal radikal bebas

sedangkan tahap perbanyakan dapat diputuskan oleh penangkal radikal peroksil,

seperti antioksidan fenolik. Aktivitas antioksidan flavonoid sebagai pemutus rantai

reaksi dapat ditunjukkan sebagai berikut:

LOO· + FL-OH → LOOH + FL-O·

di mana FL-OH merupakan senyawa flavonoid. Terminasi radikal lipid (L·), radikal

peroksil lipid (LOO·) dan radikal alkosil (LO·) oleh antioksidan fenolik ditunjukkan seperti di bawah ini:

(31)

di mana A-OH merupakan antioksidan fenolik (misal,α-tokoferol, flavonoid) dan AO·

merrupakan radikal fenoksil (Middleton dkk, 2000).

O

OH OH

OH

HO

OH

Gambar 2. Struktur katekin (Nakanishi, Ozawa, dan Ikota, 2002)

Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai penangkap

radikal yang paling kuat di antara senyawa golongongan flavonoid lainnya.

Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknyanya terkait dengan

sruktur kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus

hidroksil mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C.

C. Inflamasi 1. Definisi

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik.

Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang

(32)

Secara umum respon inflamasi dibagi 3 fase: inflamasi akut, inflamasi sub

akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap adanya

gangguan pada jaringan, yang ditandai dengan pelepasan beberapa mediator kimia

yang biasanya mendahului respon imun. Inflamasi akut biasanya berlangsung cepat,

singkat serta bersifat berat. Sedangkan pada fase sub akut sel-sel imuno kompeten teraktivasi oleh substansi antigenik yang terlepas selama respon inflamasi akut

berlangsung. Respon imun ini tentunya bertujuan melindungi tubuh dengan cara

memfagosit atau menetralisir substansi antigenik yang lepas dari sel yang meradang,

namun adakalanya respon ini merugikan bila berlanjut pada inflamasi kronis tanpa

adanya penyelesaian atau penyembuhan peradangan dan kerusakan jaringan. Pada

inflamasi kronis terjadi pelepasan mediator lain yang tidak menonjol pada inflamasi

akut (Masjoer, 2002).

2. Gejala

Radang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang merusak (noksi) dari

berbagai jenis, jaringan ikat pembuluh bereaksi dengan cara yang sama pada tempat

kerusakan dengan menyebabkan suatu radang. Gejala reaksi meradang yaitu rubor,

calor, tumor, dolordanfunctiolaesa(Mutschler, 1986).

a. Rubor

Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar akibat adanya pelepasan

(33)

b. Calor

Panas atau calor, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut.

Sebenarnya, panas hanyalah merupakan suatu sifat reaksi peradangan pada

permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37 ºC, yaitu suhu

di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah (pada suhu 37 ºC) yang

disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang normal. Fenomena panas

lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam

tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37ºC, dan

hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan (Price & Wilson, 1992).

c. Tumor

Yaitu benjolan akibat penimbunan cairan abnormal di jaringan interstitial atau

rongga tubuh, yang dinamakan denganoedema. Karena radang akut selalu diikuti oleh extravasasi cairan ke jaringan interstitial maka disebut juga radang exudatif

(Sander, 2003).

d. Dolor

Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai

cara, antara lain perubahan pH lokal, perubahan konsentrasi lokal ion-ion tertentu,

pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya

dapat merangsang saraf. Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa sakit (Price & Wilson,

(34)

e. Functiolaesa

Kehilangan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu proses

radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara

sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,

pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Mutschler, 1986).

3. Mekanisme terjadinya peradangan

Reaksi peradangan sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan

baik secara dinamis dan kontinyu. Reaksi peradangan akan timbul bila jaringan itu

hidup dan memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan mengalami nekrosis

berat, maka reaksi peradangan tidak ditemukan di tengah jaringan tetapi pada

pinggirannya yaitu diantara jaringan mati dan jaringan hidup dengan sirkulasi utuh

(Price & Wilson, 1992).

Proses inflamasi ini melibatkan zat kimia toksik mengalir kemana-mana, sel

darah putih yang sangat teraktivasi memakan segala sesuatu yang ditemukannya, dan

semua patogen yang ada di daerah tersebut melawan dengan zat kimianya sendiri.

Jika proses tidak dibatasi, jaringan sehat disekelilingnya dapat tertarik ke dalam

peperangan. Mereka melindungi dirinya sendiri dengan melepaskan zat kimia yang

membatasi penyebaran inflamasi (Pizzorno, 1998).

Prostaglandin merupakan mediator yang paling penting dalam proses inflamasi. Prostaglandin merupakan hasil pemecahan dari asam arakhidonat oleh

(35)

ini disimpan atau tersedia sebagai bentuk ester dari struktur fosfolipida di membran

sel dari kebanyakan jaringan, tetapi dapat juga asam arakhidonat ini berasal dari ester

trigliserida atau ester kolesterol. Prostaglandin tidak disimpan secara intraseluler.

Prostaglandin ini hanya baru terbentuk bila telah ada pelepasan asam arakhidonat dari

membran sel.

Asam arakhidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu:

1. Metabolisme oleh siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk yaitu

COX-1 dan COX-2. Enzim ini akan menginisiasi biosintesis prostaglandin dan

tromboksan.

2. Metabolisme oleh lipoksigenase yang akan menginisiasi sintesis leukotrien dan

(36)

Keterangan :

PG = prostaglandin PGI2 =prostacyclin

TX = thromboxane

LT =leukotriene

HETE = hydroxyecosatetraenoic acid HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid

PAF =platelet-activating factor

NSAIDs =non-steroidal anti-inflammatory drugs

Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi

(Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003)

Kerusakan sel karena inflamasi menyebabkan pelepasan enzim lisosom dari

leukosit melalui aksinya pada membran sel. Dilepas juga kemudian asam arakhidonat

dari senyawa pendahulunya oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase mengkatalis

perubahan asam arakhidonat menjadi endoperoksida, zat biologik aktif dan berumur

(37)

Lipoksigenase adalah enzim yang mengkatalis perubahan asam arakhidonat

menjadi leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eusinofil,

neutrofil dan makrofag serta mendorong terjadinya bronkokontriksi dan perubahan

permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan

jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan radikal bebas derivat oksigen. Anion superoksida

dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain

yang reaktif seperti hidrogen peroksida dan hidroksil radikal. Interaksi

substansi-substansi ini dengan asam arakhidonat menyebabkan munculnya substansi

kemotaktif, sehingga melestarikan proses inflamasi (Wibowo dan Gofir, 2001).

D. Nyeri

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak

mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya

(Mutschler, 1999). Menurut Baumann (2005), nyeri merupakan gejala yang paling

umum pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan

tubuh yang penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Kemampuan

merasakan nyeri disebut juga nosiseptif yang membantu individu untuk menghindari

situasi yang berbahaya dan merusak di lingkungan sekitar.

Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yaitu rangsang

(38)

jaringan. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi meliputi braikinin,

serotonin, histamin, ion kalium, asam, dan asetilkolin. Zat-zat ini dilepaskan sebagai

mediator di pusat dan di perifer yang berperan penting dalam mekanisme nyeri

(Guyton dan Hall, 1996).

Rangsangan yang merusak

Kerusakan jaringan

Pembebasan : Pembentukan kinin

H+(pH<6) (misalnya: bradikinin,prostaglandin) K+(>20 mmol/L)

Asetilkolin Sensibilitas reseptor Serotonin

Histamnin Nyeri lama

Nyeri pertama

Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan (Mutschler, 1999)

Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan

jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang

disebut zat nyeri (mediator nyeri). Yang termasuk zat nyeri yang potensinya kecil

adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri

(39)

keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam interstisium

pada konsentrasi > 20 mmol/liter juga menimbulkan rasa sakit (Mutschler, 1999).

Demikian pula berbagai neurotransmiter bekerja sebagai zat nyeri pada

kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/L) terbukti

sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang

dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak dapat menimbulkan rasa nyeri.

Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri.

Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari

kelompok transmiter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini

adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk penyebab nyeri terkuat.

Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilitas reseptor nyeri dan

disamping itu menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri (Mutschler, 1999).

Mediator nyeri ini dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang,

yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas kulit, mukosa dan

jaringan lain. Nociceptor (reseptor nyeri) ini terdapat di seluruh jaringan dan organ

tubuh, kecuali di sistem saraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Penghantaran nyeri nosiseptis terbagi dalam 4 tahap, yaitu :

1. Stimulasi

Perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor merupakan tahap pertama yang mengalami timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat

(40)

mekanis, panas, dan kimiawi. Pelepasan bradikinin, K+, prostaglandin, histamin,

leukotrien, serotonin dan substansi P (Peptide) dapat menimbulkan kepekaan dan atau

aktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan

sepanjang saraf aferen ke sumsum tulang belakang (Baumann, 2005).

2. Transmisi

Proses transmisi nosiseptis berlangsung melewati serabut Aδ dan C.

rangsangan yang melewati serabut saraf Aδ (memiliki myelin, diameternya besar)

biasanya tajam, lokasi nyerinya jelas, sedangkan yang melewati serabut saraf C (tidak

mempunyai myelin, berdiameter kecil) biasanya bersifat tumpul, rasa sakit yang

menyebar, dan biasanya tidak terlokalisasi dengan baik. Rangsangan nyeri ini

kemudian disampaikan melalui banyak lapisan dari serabut saraf spinal pada sumsum

tulang belakang dengan pelepasan berbagai macam neurotransmiter (Baumann,

2005). 3. Persepsi

Timbulnya nyeri berasal dari aktivitas akhiran saraf tertentu yang

menghasilkan respon terhadap rangsang yang kuat. Perangsangan ini menimbulkan

impuls saraf yang berjalan sepanjang sensorik dan mencapai medulla spinalis, lalu

dikirim ke korteks sereberal di hipotalamus (Baumann, 2005).

4. Modulasi

(41)

reseptor opioid dan menghambat penghantaran rangsangan nyeri. Sistem saraf pusat

juga mengandung suatu sistem desending untuk mengontrol penghantaran rasa nyeri.

Sistem ini berawal dari otak dan dapat menghambat penghantaran nyeri sinaptik pada

dorsal horn(Baumann, 2005).

E. Obat Anti-inflamasi Non steroid

Obat-obat anti-inflamasi secara umum dibagi dalam 2 golongan, yaitu obat

anti-inflamasi golongan steroid dan golongan non steroid. Obat anti-inflamasi

golongan kortikosteroid memiliki daya antiinflamasi kuat yang mekanismenya

sebagian berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan

menghambat fosfolipase, sedangkan obat anti-inflamasi non steroid mekanismenya

berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat

enzim siklooksigenase (Tjay dan Rahardja, 2002).

Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) memiliki efek analgetik, antipiretik,

dan pada dosis yang lebih tinggi, bersifat anti-inflamasi. OAINS membentuk

kelompok yang berbeda-beda secara kimia, tetapi semuanya mempunyai kemampuan

untuk menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin yang

diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapetiknya (Neal, 2006). Satu hipotesis

menyebutkan bahwa hambatan selektif COX-2 akan menghasilkan efek

menghilangnya rasa nyeri atau inflamasi tanpa menyebabkan efek samping akibat hambatan COX-1 seperti ulkus peptikum, disfungsi trombosit dan kerusakan ginjal

(42)

OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1,

tetapi inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini. Celecoxib,

etoricoxib, dan valdecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif yang mempunyai

efikasi yang serupa terhadap inhibitor COX non selektif, tetapi insidensi perforasi

gaster, obstruksi, dan pendarahan berkurang paling tidak 50%. Akan tetapi, obat-obat baru ini tidak memberikan kardioproteksi apapun karena tidak mempengaruhi

agregasi platelet (Neal, 2006).

F. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau

menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,

mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:

1. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika)

2. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer

dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat anti-inflamasi

(Mutschler, 1991).

Menurut Tjay dan Rahardja (2002), atas dasar farmakologisnya, analgesik

dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu analgesik perifer (non narkotik) dan

analgesik narkotik. Untuk analgesik non narkotik, terdiri dari obat-obatan yang tidak

bersifat narkotik dan bekerja tidak sentral, sedangkan untuk analgesik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fraktura dan

(43)

Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,

yaitu dengan:

1. analgesik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri

perifer

2. anestetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris 3. analgesik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi

umum.

Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, seperti parasetamol,

asetosal, mefenaminat, propifenazon atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri

dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein atau kodein. Nyeri

yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya (Tjay dan Rahardja,

2002).

G. Diklofenak

Diklofenak adalah derivat sederhana dari phenylacetic acid(asam fenilasetat)

yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini adalah penghambat

siklooksigenase yang relatif non selektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas

asam arakhidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan

antipiretik yang biasa. Obat-obatan ini cepat diserap sesudah pemberian secara oral,

(44)

COOH

N H

Cl Cl

Gambar 5. Sruktur Diklofenak (Kartasasmita, 2002)

Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien

dan meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung

dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang daripada

dengan beberapa AINS lainnya (Katzung, 2002).

H. Parasetamol

Parasetamol merupakan analgesik dan antipiretik yang umum di Indonesia

pada dewasa dan anak-anak. Parasetamol merupakan metabolit mayor dari

phenacetin, efek analgesiknya sama dengan aspirin, tetapi dalam dosis terapi

parasetamol hanya memiliki daya anti-inflamasi yang lemah. Parasetamol hanya

menghambat sintesis prostaglandin hanya pada lingkungan rendah kadar peroksida

seperti hipotalamus. Peroksida biasa dihasilkan oleh leukosit karena adanya inflamasi (Wilmana, 1995).

Parasetamol merupakan serbuk hablur yang berwarna putih, tidak berbau,

(45)

molekul parasetamol adalah 151,16 dengan rumus molekul C8H9NO2 (Anonim,

1979).

Menurut Anonim (1979), struktur parasetamol adalah seperti gambar di

bawah ini :

OH

N HCOCH3

Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol

Parasetamol tidak menghambat aktivasi neurotrofil seperti yang dilakukan

AINS. Dosis tunggal atau berulang tidak berefek pada kardiovaskular dan sistem

respirasi. Perubahan suasana asam dan basa tidak berpengaruh. Parasetamol tidak

mengakibatkan iritasi lambung, erosi atau pendarahan yang mungkin dapat terjadi setelah pemberian salisilat (Roberts dan Morrow, 2001). Parasetamol atau

asetaminophenmerupakan inhibitor lemah enzimCOXdi jaringan perifer, akan tetapi

ia lebih efektif menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan

menghasilkan aksi analgesik dan antipiretik. Daya kerja dosis parasetamol sama

(46)

I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi

Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya

anti-inflamasi, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Uji eritema

Eritema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi. Timbulnya eritema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti xilem,

minyak kroton, vesikan, histamin dan bradikinin. Selain iritan-iritan tersebut

radiasi ultraviolet (uv) juga dapat menginduksi terjadinya peningkatan

permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan respon eritema (Gryglewski, 1977).

Eritema ini dapat diamati 2 jam setelah kulit diradiasi dengan sinar uv. Kelemahan

metode ini adalah uv eritema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya tidak

menghambat sintesa prostaglandin. Kemungkinan besar dapat terjadi positif palsu

dan negatif (Turner, 1965).

2. Induksi udema telapak kaki belakang

Metode ini berdasarkan pada kemampuan agen dalam menghambat terjadinya

udema pada telapak kaki tikus setelah pemberian bahan-bahan phlogistik seperti

brewer’s yeast, formaldehid, dextran, albumin, kaolin, serta polisakarida sulfat

(Vogel, 2002).

Metode ini dilakukan dengan cara : hewan uji dibagi ke dalam kelompok

masing-masing 6-8 per dosis. Ekstrak tanaman diberikan 1 jam sebelum bahan penginflamasi jika diberikan secara oral atau 30 menit sebelumnya jika diberikan

(47)

plantar kaki kanan belakang. Volume kaki diukur pada selang waktu 5 jam. Pada

mencit pengukuran dilakukan dengan mengorbankan mencit kemudian memotong

kedua kaki pada pergelangannya, selanjutnya mengukur udema dengan

membandingkan kaki yang dibengkakkan dengan kaki yang tidak dibengkakkan

(Williamson, Okpako, dan Evans 1996).

Iritan yang paling banyak digunakan adalah karagenin. Karagenin adalah

fosfolipida tersulfatasi yang diekstrak dari lumut irlandia Chondrus crispus

(Gryglewski, 1997). Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang

diinduksi dengan karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara

umum proses atau mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.

Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan

serotonin (5-hidroksitriptamin) dari sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin

dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus

berlanjut hingga fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma

dan penetrasi sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).

Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali

terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas

yang dapat merusak jaringan. Produksi radikal oksigen bebas ini menyebabkan

pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada fosolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan

(48)

Aktivitas anti-inflamasi ditunjukkan dengan adanya pengurangan volume

udema. Metode uji udema telapak kaki tikus merupakan metode yang banyak

digunakan dalam penelitian dan telah dibuktikan sesuai untuk tujuan evaluasi

selanjutnya (Vogel, 2002). Metode ini banyak digunakan karena sederhana dan

murah dari segi peralatan, bahan, dan cara kerjanya (Jain, Patil, Singh, dan Kulkarni, 2001).

3. Tes granuloma

Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjeksikan bagian

punggungnya secara sub kutan dengan 10-25 ml udara kemudian 1,50 minyak

kapas sebagai senyawa iritan yang merangsang pembentukan udema diinjeksikan

pada tempat yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara

dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot

selanjutnya diukur volume cairannya (Turner, 1965). 4. Induksi arthritis

Metoda induksi arthritis merupakan metoda inflamasi kronis. Hewan uji

diinjeksi subplantar 50-100 μl suspensi yang mengandung 300-750 μl

Mycobacterium BCG. Udema pada telapak kaki mencapai puncaknya 4-5 hari

stelah injeksi (respon primer) dan penyakit sistemik dimana terlihat benjolan pada

telinga dan ekor (respon sekunder). Obat antiinflamasi steroid atau non streroid

(49)

5. Percobaan in vitro

Percobaan in vitro bermanfaat untuk mengetahui peran dan pengaruh

substansi-substansi fisiologis seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan

lain-lain pada saat terjadinya inflamasi. Ada beberapa percobaan in vitro yang dapat

digunakan untuk mengukur daya anti-inflamasi diantaranya adalah3H-Bradikinin reseptor binding, Assay of PMN leucocytes chemotaxisin vitro, serta Inhibition of

IL-1ß converting enzyme (Vogel, 2002).

J. Metoda Pengujian Efek Analgesik

Pengujian daya analgesik oleh Turner (1965), dikelompokkan menjadi dua

golongan, yakni :

1. Golongan analgetika narkotik a. Metode jepit ekor

Sekelompok mencit dinjeksi dengan senyawa uji dengan dosis tertentu

secara sub kutan atau intravena, kemudian setelah 30 menit jepitan dipasang

pada pangkal ekor mencit selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi senyawa

uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang

diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Respon positif adanya

daya analgetika ditunjukkan dengan tidak adanya usaha untuk melepaskan diri

(50)

b. Metode rangsang panas

Pada metode ini digunakan lempeng panas (hot plate) dengan suhu yang

diatur dalam kisaran 50 ºC sampai 55 ºC, dilengkapi dengan penangas yang

berisi campuran aseton dan etil formiat dengan perbandingan 1:1. Hewan uji

yang telah diberi laruatan uji secara subkutan atau peroral diletakkan padahot

plate, kemudian diamati reaksinya ketika hewan uji mulai menjilat kaki

belakang dan kemudian melompat.

c. Metode pengukuran tekanan

Digunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor

tikus secara seragam dalam metode ini, yaitu dua buah syringe yang

dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat

pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan

manometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap

syringe, ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan

terhubung pada sistem hidrolik pada syringe pertama lalu pada ekor tikus.

Tekanan yang sama padasyringekedua akan meningkatkan tekanan pada ekor

tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer.

Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan

(51)

d. Metode potensi petidin

Metode ini kurang baik karena hewan uji yang cukup banyak, tiap

kelompok terdiri dari tikus sebanyak 20 ekor, setengah kelompok dibagi

menjadi 3 bagian yang diberi petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg.

Setengah kelompok yang lainnya diberi senyawa uji dengan dosis 20 % dari LD

50. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas.

e. Metode antagonis nalorfin

Uji analgetik dengan menggunakan metode ini untuk mengetahui aksi

dari obat-obat seperti morfin, karena mempunyai kemampuan untuk

meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang bisa digunakan pada metode ini

adalah tikus, mencit dan anjing. Hewan tersebut diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diberi nalorfin (0,5-10,0 mg/kg BB) secara intravena.

Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan

reseptornya, sehingga ikatan antara morfin dengan reseptornya terlepas.

f. Metode kejang oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituari

posterior, yang dapat menyebabkan konstraksi uterus sehingga menimbulkan

kejang pada tikus. Responnya berupa kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan jumlah kejang diamati dan ED

50

(52)

2. Golongan analgetika non narkotik a. Metode rangsang kimia

Pada metode ini, digunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji

secara intraperitonial, sehingga akan menimbulkan rasa nyeri. Beberapa zat

kimia yang biasanya digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana,reproducible(dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup

peka untuk menguji senyawa analgetik dengan daya analgetik lemah, namun

mempunyai kekurangan yaitu masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu

metode ini sering digunakan untuk penapisan (screening). Daya analgetik

dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat

menggunakan persamaan menurut Handershot dan Forsaith.

% proteksi rangsang nyeri = 100 100 %

P : jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuan.

K: jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol.

Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam,

antara lain : anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang

sering digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap

rangsang lebih besar daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati

adalah lompatan dan konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang

(53)

b. Metode pedolorimeter

Hewan uji diletakkan pada kandang yang bagian atasnya terbuat dari

kepingan metal sehingga bisa dialiri arus listrik. Respon yang timbul yaitu

ketika hewan uji mengeluarkan teriakan dengan pengukuran dilakukan tiap 10

menit selama 1 jam. c. Metode rektodolorimeter

Tikus diletakkan di sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas

tembaga yang dihubungkan dengan penginduksi berupa sebuah gulungan.

Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektrode

tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang

dihubungkan dengan sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt.

Pemberian tegangan sebesar 1 sampai 2 volt akan menimbulkan respon berupa

suara teriakan tikus.

Selain uji-uji di atas, terdapat pula uji in vitro. Uji in vitro yang

digunakan untuk menguji aktivitas analgesik sentral antara lain : survei, ikatan 3

H-Naloxone dengan jaringan, 3H-Dihydromorphinei yang terikat reseptor μ

opiat otak tikus, 3H-Bremazocineyang terikat resptor k opiat pada otak kecil

babi Guinea, penghambatan enkephalinase, reseptor yang mengikat

nociceptin, vasoactive intestinal polypeptid (VIP), reseptor yang terikat

cannabinoid, reseptor yang terikatvanilloid(Vogel, 2002). Senyawa-senyawa tersebut mengandung suatu molekul hidrogen yang bersifat radioaktif 3H

(54)

K. Landasan Teori

Peradangan sebenarnya merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi,

penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada

proses penyembuhan (Price dan Wilson, 1995). Tetapi inflamasi atau peradangan

cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan karena salah satu manifestasi dari inflamasi adalah nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling umum

pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang

penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh.

Metode pengujian efek anti-inflamasi sari buah belimbing menggunakan

metode Langford yang dimodifikasi. Inflamatogen yang digunakan adalah karagenin.

Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang diinduksi dengan

karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara umum proses atau

mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.

Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan

serotonin (5-hidroksitriptamin) dan sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin

dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam

jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus berlanjut hingga

fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma dan penetrasi

sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).

Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas yang

(55)

pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada

fosfolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan

memproduksi prostaglandin (Rainsford, 1984). Prostaglandin bertanggung jawab

terhadap sebagian besar dari gejala peradangan, selain itu peroksida yang melepaskan

radikal bebas oksigen juga memegang peranan pada timbulnya nyeri. Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilasi reseptor nyeri dan disamping itu

menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri.

Katekin dan vitamin C merupakan senyawa yang terkandung dalam buah

belimbing. Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai

penangkap radikal yang paling kuat di antara senyawa golongan flavonoid lainnya.

Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknya terkait dengan sruktur

kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus hidroksil

mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C. Kemampuan katekin dalam menangkap radikal bebas dapat menghambat perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin

sehingga peradangan dapat diatasi. Dengan demikian, nyeri yang merupakan

manifestasi dari peradangan juga dapat berkurang.

Metode Langford yang dimodifikasi ini merupakan langkah pengujian awal

untuk mengetahui adanya efek anti-inflamasi pada suatu senyawa. Selain itu metode

ini mudah dilakukan. Sedangkan metode yang digunakan pada pengujian efek

analgesik adalah metode rangsang kimia. Metode ini digunakan karena metode ini cukup peka, sederhana, reprodusibel dan mudah dilakukan untuk pengujian daya

(56)

L. Hipotesis

(57)

36

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang “Uji Efek Analgesik Dan Anti-Inflamasi Sari Buah Belimbing (Averrhoa Carambola L.) Pada Mencit Putih Betina” ini merupakan

penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Metode Uji yang Digunakan

Metode yang digunakan untuk uji efek analgesik dalam penelitian ini adalah

metode rangsang kimia, sedangkan metode yang digunakan untuk uji efek

anti-inflamasi adalah metode Langford yang dimodifikasi.

C. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas : dosis sari buah belimbing

b. Variabel tergantung : efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah belimbing.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali :

1) Subjek uji : mencit putih a) Jenis kelamin : betina

(58)

c) Umur : 2-3 bulan

d) Galur : Swiss

2) Buah belimbing

Buah belimbing (Belimbing Bali) diambil dari supermarket Superindo,

Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta. b. Variabel pengacau tak terkendali :

1) Kondisi patologis mencit

2) Zat gizi dalam pakan

3) Umur belimbing

3. Definisi operasional

a. Sari buah belimbing diperoleh dari buah belimbing yang dicuci bersih dan

dikupas. Sejumlah (gram) buah dipotong-potong melintang dengan ketebalan

lebih kurang 2 cm disari menggunakan juice extractor, kemudian disaring dengan kain.

b. Injeksi sub plantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum

harus menuju ke jari-jari hewan uji.

c. Definisi geliat adalah apabila mencit menarik badan dan kaki beakang hingga

perut bagian bawah menyentuh alas tempat berpijak.

d. Metode Langford dkk, adalah metode uji efek anti-inflamasi dengan cara

membandingkan kaki udem yang telah diinduksi oleh inflamatogen dengan kelompok perlakuan sehingga dapat diketahui kemampuan perlakuan tersebut

(59)

e. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgetika yang tidak spesifik.

Efek tersebut dilihat dari banyak sedikitnya geliat. Adanya efek analgesik

ditunjukkan dengan penurunan jumlah geliat sebesar 50% dari kontrol negatif.

Semakin sedikit geliat semakin besar efek analgesiknya.

D. Alat dan Bahan Penelitian 1. Bahan

a. Buah belimbing Bali (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari

supermarket Superindo, Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta

b. Mencit putih betina galur Swiss 60 ekor diperoleh dari Lembaga Pusat

Penelitian dan Teknologi (LPPT) UGM dengan berat badan 20-30 gram dan

umur 2-3 bulan.

c. Kalium diklofenak, Cataflam D50, Novartis, sebagai kontrol positif.

d. Aquades dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

e. Karagenin tipe 1 (Sigma Chemical Co) sebagai peradang (inflamatogen)

diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

f. NaCl Fisiologis (Otsu-NS) sebagai pensuspensi karagenin diperoleh dari

Apotek Kimia Farma, Yogyakarta.

g. Asam asetat sebagai perangsang nyeri berupa cairan jernih, tidak berwarna

(60)

h. Parasetamol kualitas berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit

pahit (Anonim,1979) yang diperoleh dari pabrik Berliko.

i. CMC Na yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Alat

a. Jus ekstraktor Miyako type JE-505

b. Neraca analitik merek Metler Toledo

c. Stopwatch

d. Seperangkat alat gelas berupa labu ukur, beker glass, batang pengaduk, gelas

ukur, pipet tetes, gelas arloji

e. Mortir dan stamper

f. Spuit injeksi ukuran 1 ml merek Terumo dan spuit yang dimodifikasi untuk

pemberian oral 1 ml g. Gunting bedah dan pinset

E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan

Bahan yang diuji adalah buah belimbing Bali yang diperoleh dari supermarket

(61)

2. Determinasi tanaman

Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman belimbing,

dilakukan di Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta. Berdasarkan hasil determinasi, tanaman belimbing yang digunakan

benar-benar belimbing yang memiliki nama ilmiahAverrhoa carambola L. surat keterangan determinasi dapat dibaca pada lampiran.

3. Pembuatan sari dan penentuan dosis sari belimbing

Belimbing dipilih yang masih segar, berwarna kuning kehijauan dan tidak

cacat. Belimbing dicuci bersih dan ditimbang beratnya, dipotong-potong

melintang dengan ketebalan lebih kurang 2 cm kemudian disari dengan

menggunakan juice extractor. Filtrat yang diperoleh disaring ulang dengan kain

tipis dan diukur volumenya. Sari belimbing harus selalu dibuat baru. Dosis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 8,33 ml/kg; 16,67 ml/kg; dan 33,33 ml/kg.

4. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang

berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Sebelum diberi perlakuan,

mencit diadaptasikan selama satu minggu dengan kondisi yang sama meliputi :

makanan, minuman, kandang, dan alasnya. Hewan uji juga dipuasakan ± 24 jam

sebelum digunakan dalam percobaan dengan tujuan untuk mengurangi variasi

(62)

5. Penelitian efek anti-inflamasi a. Uji pendahuluan

1) Pembuatan larutan karagenin 1%

Larutan karagenin digunakan sebagai zat peradang yang dibuat dengan

melarutkan 100 mg karagenin dalam NaCl 0,9% fisiologis sampai 10 ml akan diperoleh konsentrasi 1%.

2) Penetapan dosis karagenin

Dosis karagenin ditetapkan berdasarkan penelitian Williamson dkk

(1996) yaitu dengan kadar 1% yang dilarutkan dalam NaCl 0,9%

fisiologis yang disuntikkan secara sub plantar pada telapak kaki mencit

sebesar 0,05 ml sehingga didapatkan dosis larutan karagenin sebesar 25

mg/kgBB.

Diketahui konsentrasi karagenin yang digunakan adalah 1% dan volume pemberian adalah 0,05 ml. berat badan mencit rata-rata 20 gram =

0,02 kg

3) Penetapan dosis diklofenak

Dosis diklofenak ditetapkan berdasarkan pemilihan dosis yang

(63)

volume udema akibat perlakuan karagenin dapat diukur. Pemilihan dosis

yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian dari

Maryanto (1997) yaitu untuk tikus berat badan 250 g mempunyai dosis 40

mg/kgBB. Jika berat badan tikus 200 g maka perhitungan dosisnya :

Tikus 200 g   

Jika dikonversikan dari tikus 200 g ke mencit 20 g akan diperoleh dosis

natrium diklofenak dengan perhitungan sebagai berikut :

= 0,14 x 32 mg/kgBB

= 4,48 mg/kgBB

sehingga dosis natrium diklofenak yang diberikan pada mencit sebesar 4,48 mg/kgBB. Pada penelitian ini digunakan kalium diklofenak, yang

perhitungan dosisnya mengikuti perhitungan dosis natrium diklofenak.

4) Penetapan selang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin

Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, tiap kelompok 3 ekor

mencit diberi perlakuan kaki kiri diinjeksi secara sub plantar 0,05 ml

karagenin 1% sedangkan kaki kanan diinjeksi secara sub plantar tanpa

diberi karagenin. Selanjutnya tiap kelompok mencit dikorbankan pada

selang waktu tertentu, yakni 1, 2, 3, dan 4 jam kelompok masing-masing. Setelah dikorbankan pada selang waktu masing-masing kelompok, kedua

(64)

dengan neraca analitik. Waktu pemotongan kaki ditetapkan pada saat kaki

mengalami peningkatan udema yang berarti.

5) Penetapan waktu pemberian diklofenak

Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, kelompok 1

pemberian diklofenak menit ke-15 sebelum diinjeksi karagenin, kelompok 2 pemberian diklofenak menit ke-30 sebelum diinjeksi karagenin,

kelompok 3 pemberian diklofenak menit ke-45 sebelum diinjeksi

karagenin dan kelompok 4 pada saat menit ke-60 sebelum diinjeksi

karagenin. Setelah pemberian larutan diklofenak secara oral dengan dosis

4,48 mg/kgBB, tiap kelompok mencit disuntik sub plantar 0,05 ml

karagenin 1% pada telapak kaki menurut kelompok masing-masing.

Sesuai hasil orientasi, setelah 3 jam pemberian sub plantar karagenin 1%,

kedua kaki belakang dipotong pada sendi torsocrural lalu ditimbang dengan neraca analitik. Waktu pemberian diklofenak yang digunakan pada

saat berat udema kaki mencit mengalam penurunan yang berarti.

b. Uji efek anti-inflamasi

Metode uji daya anti-inflamasi menggunakan metode pembentukan udema

pada telapak kaki belakang hewan uji yang telah dimodifikasi oleh Langford

dkk (1972). Tiga puluh ekor mencit secara acak dibagi ke dalam 6 kelompok,

tiap kelompok 5 ekor mencit. Masing-masing kelompok perlakuan tersebut adalah:

(65)

Kelompok II : kontrol (-) diberi aquades dosis 0,5 ml/20 gBB

Kelompok III : kontrol (+) diberi diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB

Kelompok IV : diberi sari buah belimbing dosis 8,33 ml/kgBB

Kelompok V : diberi sari buah belimbing dosis 16,67 ml/kgBB

Kelompok VI : diberi sari buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB

Kecuali kelompok I, pada menit ke-15, kaki kirinya diinjeksi 0,05 ml

suspensi karagenin 1% secara sub plantar, sedangkan kaki kanan bagian

belakang hanya disuntik dengan spuit injeksi tanpa karagenin. Tiga jam

setelah diinjeksi karagenin, hewan uji dikorbankan, kedua kaki belakangnya

dipotong pada sendi torsocrural, lalu ditimbang dan dihitung selisih bobot

kakinya.

c. Perhitungan % efek anti-inflamasi

Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui efek anti-inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti

inflamasi dengan rumus sebagai berikut :

% efek anti-inflamasi =   x100%

U D U

Keterangan :

U = harga rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

(66)

d. Analisis hasil

Data yang diperoleh dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat

distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA

satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian dilanjutkan dengan uji

Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak bermakna (p > 0,05). (Apabila hasil ANOVA secara statistika berbeda tidak

bermakna maka uji lanjutan tidak perlu dilakukan) . Tetapi bila pada hasil

ANOVA dinyatakan berbeda bermakna maka dilanjutkan dengan uji statistikPost

Hoc.

6. Penelitian efek analgesik a. Uji pendahuluan

1) Penetapan kriteria geliat

Respon yang terjadi pada pengujian efek analgesik menggunakan rangsang kimia sangat bervariasi, sehingga perlu ditetapkan geliat yang

sering terjadi sehingga tidak mengacaukan pengamatan. Geliat yang

diamati dan dihitung adalah geliat dengan kriteria menarik satu atau kedua

kaki ke arah belakang dengan sempurna.

2) Penentuan waktu pemberian rangsang

Penentuan ini dilakukan dengan harapan pada selang waktu pemberian

(67)

3) Pembuatan larutan CMC Na %

Larutan ini dibuat dengan melarutkan serbuk CMC Na sebanyak 1

gram dalam air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga

mengembang kemudian ditambahkan aquades sampai 100 ml.

4) Pembuatan larutan asam asetat

Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam

asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan

menggunakan rumus:

V x C = V1 x C1

Sebanyak 0,25 mL asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquades

hingga volume 25,00 mL menggunakan labu ukur 25 mL.

5) Pembuatan supensi parasetamol

Parasetamol yang akan digunakan sebagai kotrol positif dibuat dengan menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan

dalam larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.

6) Penentuan dosis parasetamol

Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50kgBB.

Dosis ini kemudian dikonversikan ke mencit, sehingga diperoleh dosis 91

mg/kgBB. Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk diorientasi manakah

yang peling efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; 113,75 mg/kgBB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa dosis 91,00

Gambar

Gambar 1. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995)
Gambar 2. Struktur katekin (Nakanishi, Ozawa, dan Ikota, 2002)
Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan
Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelahkerusakan jaringan (Mutschler, 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terima kasih juga tertuju kepada Nurul Huda dan Retno (LKiS), yang bersedia menerima lemparan naskah ini untuk diterbitkan. Juga kepada penerbit LKiS yang bersedia menerbitkan

Yang terhormat Pimpinan Sidang. Yang terhormat Saudara Menleri Pendidikan dan Kebudayaan .. Yang terhormat para Anggota Dewan, dan hadirin yang kami muliakan. Terlebih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa dalam memahami materi integral lipat dua pada koordinat polar mata kuliah

Ketepatan waktu penyajian laporan keuangan dan laporan audit merupakan syarat utama bagi peningkatan harga pasar saham perusahaan. Pada perusahaan manufaktur

Pelaksanaan yang telah dilakukan meliputi menginformasikan tentang hasil pemeriksaan dan keadaan ibu, menjelaskan tentang ketidaknyamanan trimester III, menginformasikan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi sehingga mengakibatkan peran perempuan Toraja tergeser bahkan dihilangkan dari salah

[r]

[r]