Di M
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nugraheni Dwiari Kristanti NIM : 068114127
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
Di M
ii SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nugraheni Dwiari Kristanti NIM : 068114127
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
Bapak dan ib
seb
v
Ku persembahkan karya ini untuk:
Tuhan Yesus sumber kehidupanku
dan ibuku sebagai tanda cinta dan kasih y
sebanding dengan kasih yang diberikan
Kakak dan adikku tercinta
vii
berjudul Uji Efek Anti-Inflamasi Dan Analgesik Sari Buah Belimbing (Averrhoa carambola L.) Pada Mencit Putih Betina dengan baik dan lancar. Skripsi ini ditulis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Program Studi
Ilmu Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bimbingan, bantuan,
dukungan dan pengarahan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
penulis menghaturkan terimakasih kepada:
1. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku pembimbing utama skripsi ini atas bimbingan, masukan dan motivasi sehingga penelitian dan penyusunan skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
viii
yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna
penelitian sripsi ini.
8. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Yuono dan semua staf
laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama
penelitian berlangsung.
9. Bapak, Ibu, Kakak dan Adik atas semua dukungan, kasih sayang dan doa
yang tak putus-putusnya diberikan kepada penulis selama ini.
10. Pramudito Adhi yang telah menemani dan memberikan pertahatian yang tulus
serta semangat pada penulis.
11. Teman-teman penelitian, Jeffry, Dewi, Ricky, Felix dan Gun atas bantuan dan kerjasama suka duka penelitian.
12. Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu mengingatkan untuk segera
menyelesaikan skripsi ini Simbok, Cita, Fea, Ciput, Della, Esti, Helen, Henny
dan Riri serta semangat yang selalu diberikan dalam persahabatan kami.
13. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.
14. Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C, Yoki, Yacob dan Windra
yang ikut meramaikan persahabatan kami.
ix
kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis membuka diri untuk
segala masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca,
perkembangan ilmu pengetahuan serta masyarakat.
Yogyakarta, Maret 2010
xi
inflamasi serta mengetahui seberapa besar daya analgesik dan daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada mencit putih betina. Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek anti-inflamasi sedangkan untuk menguji efek analgesiknya digunakan metode rangsang kimia.
Penelitian ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian eksperimental murni dengan pola acak lengkap satu arah. Variabel utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) dan variabel tergantung yaitu efek anti-inflamasi dan analgesik sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.). Data kuantitatif pengamatan yang didapat dianalisis dengan Komogorov-Smirnov test untuk melihat distribusi data. Setelah diketahui data terdistribusi normal, maka analisis dilanjutkan dengan one-way Anova test dan Scheffe testdengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian membukikan bahwa sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik. Efek anti-inflamasi yang dinyatakan oleh daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada dosis 8,33 ml/kgBB; 16,67 ml/kgBB; dan 33,33 ml/kgBB berturut-turut adalah 7,78%; 3,50%; dan 51,51% sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 22,69%; 51,06%; dan 57,56%.
xii
potencies are. Modified Langford method is used for the anti-inflammatory effect test meanwhile for the analgesic effect test using the chemical stimulation method.
This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The main variable used in this study is dosage of star fruit extract (Averrhoa carambolaL.) and the dependent variable is the anti-inflammatory and analgesic effect of star fruit extract (Averrhoa carambola L.). The quantitative data from the study analyzed with Kolmogrov-Smirnov test to find out the distributions of the data. After the data distribution discovered normal, analysis continued with one-way Anova test and Scheffe test with level of confidence 95%.
The results of study shown that star fruit extract (Averrhoa carambolaL.) have both anti-inflammatory and analgesic effects. The anti-inflammatory effects are expressed by anti-infammatory potency of star fruit extract at dose 8,33 ml/kgBW; 16,67 ml/kgBW and 33,33 ml/kg BW respectively are 7,78%; 3,50%; and 51,51% while the analgesic potencies are 22,69%; 51,06% and 57,56% (respectively).
xiii
HALAMAN PENGESAHAN………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
PRAKATA………... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. xi
INTISARI……… xii
ABSTRACT………... xiii
DAFTAR ISI……… xiv
DAFTAR TABEL……… xvi
DAFTAR GAMBAR………... xix
DAFTAR LAMPIRAN………... xxi
BAB I. PENGANTAR……… 1
A. Latar Belakang……… 1
1. Permasalahan……… 2
2. Keaslian penelitian………... 3
3. Manfaat penelitian………. 4
B. Tujuan Penelitian……… 5
1. Tujuan umum……… 5
xiv
2. Morfologi tumbuhan……….. 6
3. Nama daerah……….. 7
4. Kandungan kimia………... 7
5. Khasiat penggunaan………... 7
B. Flavonoid………. 7
C. Inflamasi……….. 10
1. Definisi………... 10
2. Gejala………... 11
3. Mekanisme peradangan………. 13
D. Nyeri………... 16
E. Obat Anti-Inflamasi Non Steroid……… 20
F. Analgetika……… 21
G. Diklofenak………... 22
H. Parasetamol………. 23
I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi………... 25
J. Metoda Pengujian Efek Analgesik……….. 28
1. Golongan analgetika narkotik……… 28
2. Golongan analgetika non narkotik………. 31
xv
B. Metode Uji yang Digunakan………... 36
C. Variabel dan Definisi Operasional……….. 36
D. Alat dan Bahan Penelitian………... 38
E. Tata Cara Penelitian... 39
BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 50
A. Identifikasi Buah Belimbing………... 50
B. Uji Pendahuluan……….. 50
C. Uji Daya Anti-Inflamasi……….. 66
D. Uji Daya Analgesik………. 75
E. Perbandingan Profil Parasetamol Dengan Sari Buah Belimbing……… 83
F. Perbandingan Daya Anti-inflamasi dan Analgesik Sari Buah Belimbing…………... 85
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 88
A. Kesimpulan………. 88
B. Saran……… 88
DAFTAR PUSTAKA……….. 89
LAMPIRAN………. 94
xvi
kaki... 52
Tabel II Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki... 53
Tabel III Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak... 54
Tabel IV Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian
diklofenak... 55
Tabel V Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian
diklofenak... 56
Tabel VI Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian
diklofenak... 57 Tabel VII Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam
asetat... 60
Tabel VIII Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penentuan
dosis asam asetat... 61
Tabel IX Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam
asetat... 62
Tabel X Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat... 63
xvii
Tabel XIV Rata-rata persen daya anti-inflamasi pada kelompok perlakuan... 68
Tabel XV Uji Scheffe persen daya anti-inflamasi pada kelompok perlakuan... 71
Tabel XVI Rata-rata persen daya anti-inflamasi dan potensi relatif kelompok
perlakuan dibandingkan dengan diklofenak... 72
Tabel XVII Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan... 75
Tabel XVIII Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan... 77
Tabel XIX Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada
kelompok perlakuan... 78
Tabel XX Perubahan persen proteksi geliat kelompok perlakuan terhadap kontrol positif... 81
Tabel XXI Hasil uji daya anti-inflamasi dan proteksi nyeri sari buah
xviii
Gambar 2. Struktur katekin………... 10
Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan
skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi... 15
Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan
jaringan... 17
Gambar 5. Sruktur diklofenak………... 23
Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol... 24
Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu
pemotongan kaki... 52
Gambar 8. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian diklofenak... 55
Gambar 9. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian
diklofenak sebelum pemberian karagenin... 57
Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi penentuan dosis
pemberian asam asetat... 60
Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktu pemberian
asam asetat... 62 Gambar 12. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis
xix
Gambar 15. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh
suatu flavonoid katekin... 74 Gambar 16. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok
perlakuan... 76
Gambar 17. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok uji... 77
Gambar 18. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri
kelompok perlakuan... 81
Gambar 19. Grafik profil kelompok perlakuan sari buah belimbing dan
parasetamol……….... 84
xx
Lampiran 2. Foto buah belimbing...95
Lampiran 3. Potongan buah belimbing... 95
Lampiran 4. Fotojuice extractor...95
Lampiran 5. Foto sari buah belimbing... 96
Lampiran 6. Foto geliat mencit yang memenuhi syarat...96
Lampiran 7. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya... 97
Lampiran 8. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian diklofenak dan hasil analisis statistiknya ...99
Lampiran 9. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak dan hasil analisis statistiknya... 101
Lampiran 10. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat berserta hasil analisis statistiknya...103
Lampiran 11. Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat dan hasil analisis statistiknya ... 106
xxi
Lampiran 15. Contoh cara perhitungan % daya anti-inflamasi dan potensi relatif.. 115
Lampiran 16. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis statistiknya...117
Lampiran 17. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik berserta hasil
analisis statistiknya...120
Lampiran 18. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji
efek analgesik ...122
Lampiran 19. Perhitungan penetapan peringkat dosis sari buah belimbing pada
1
Inflamasi merupakan suatu respon biologis dari jaringan-jaringan vaskular
yang kompleks terhadap rangsangan yang dapat membahayakan seperti patogen, iritan, dan kerusakan sel (Denko, 1992). Peradangan sebenarnya merupakan suatu
keadaan yang membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis dan
pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada proses penyembuhan (Price dan Wilson,
1995). Namun inflamasi atau peradangan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang
tidak diinginkan, dan salah satu gejala yang ditimbulkan akibat adanya peradangan
adalah nyeri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu obat guna mengatasi inflamasi
sehingga diharapkan juga dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dari proses
inflamasi.
Dengan pengetahuan dan peralatan yang sederhana para orang tua dan nenek
moyang masyarakat Indonesia telah mampu mengatasi problem kesehatan. Berbagai
macam penyakit dan keluhan ringan maupun berat diobati dengan memanfaatkan
ramuan dari tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah didapat di sekitar pekarangan
rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Salah satu obat tradisional yang
digunakan secara turun temurun adalah buah belimbing manis. Beberapa senyawa
kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis adalah senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin A,
tentang isolasi dan identifikasi senyawa aktif dari sari buah belimbing manis
(Averrhoa carambola Linn) menemukan bahwa isolat merupakan senyawa flavonoid
golongan katekin. Secara empiris buah belimbing manis berkhasiat sebagai analgesik,
diuretik, dan peluruh air liur (Sukadana, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, diduga dengan adanya kandungan senyawa golongan katekin dan vitamin C dalam buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi
dan analgesik. Katekin dan vitamin C sebagai antioksidan diduga dapat melindungi
tubuh dari kerusakan jaringan dengan menangkap radikal bebas. Oleh karena itu,
peneliti ingin menguji apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesik dari beberapa peringkat dosis. Cara pengujian yang digunakan adalah
dengan metode Langford yang dimodifikasi karena metode ini cukup spesifik untuk
menguji efek anti-inflamasinya, sedangkan untuk menguji efek analgesiknya
digunakan metode rangsang kimia yang cocok digunakan untuk skrining awal adanya efek analgesik.
1. Permasalahan
a. Apakah sari belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik terhadap
mencit putih betina?
b. Seberapa besar persentase daya anti-inflamasi dan daya analgesik yang
dimiliki sari buah belimbing pada mencit putih betina?
2. Keaslian penelitian
Sepanjang penelusuran penulis, penelitian mengenai efek anti-inflamasi dan
Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah Belimbing adalah
sebagai berikut :
a. Pengujian Beberapa Efek Farmakologi Buah Averrhoa carambola Linn pada
Hewan Percobaan (Andreanus, Rianti, dan Padmawinata, 1978). Hasilnya
efek analgesik pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kgBB, efek diuretik dan hipoglikosemik pada dosis 5 dan 10 ml/kgBB. Sari buah pada dosis 2,5; 5;
dan 10ml/kgBB tidak menunjukkan efek antipiretik pada tikus. Ekstrak
kloroform pada dosis 40 mg/kgBB (setara dengan 25,4 g buah segar) hanya
menunjukkan efek hipoglikosemik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh penulis adalah dosis yang digunakan penulis tidak
sama dengan penelitian sebelumnya. Selain itu, pada penelitian ini digunakan
finilkinon 0,02 % sebagai penginduksi nyeri dan asetosal sebagai
pembanding, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan penulis digunakan asam asetat sebagai penginduksi nyeri dan parasetamol sebagai
pembanding.
b. Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid Dari Sari Buah Belimbing Manis
(Averrhoa carambola Linn) (Sukadana, 2009). Hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom terhadap ekstrak air diperoleh fraksi FBpositif flavonoid
dengan berat sekitar 0,2027 g yang berwarna orange. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa isolat (fraksi FB) merupakan senyawa golongan katekin.
Isolat dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada 100 ppm dan S.
c. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing (Averrhoa carambola
L.) Dengan Metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Maya, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing
memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan nilai IC50 sebesar 28,82 ±
0,04 µg/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing tergolong antioksidan kuat, karena nilai IC50 kurang dari 200
μg/mL.
d. Uji Efek Antiinflamasi Dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averrhoa
carambola L.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss (Susanti, 2010). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 g/kgBB dan
6,67 g/kgBB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik.
3. Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
kefarmasian dan kedokeran serta obat tradisional dengan memberikan
informasi baru mengenai efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah
belimbing (Averrhoa carambolaL.).
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi dan masukan kepada masyarakat umumnya mengenai alternatif pengobatan
anti-inflamasi serta mengetahui seberapa banyak jumlah belimbing yang dapat
digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat sari
buah belimbing (Averrhoa carambola L.) terutama sebagai anti-inflamasi dan
analgesik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesik.
b. Mengetahui seberapa besar daya anti-inflamasi dan daya analgesik sari buah
6
A. Tanaman Belimbing 1. Keterangan botani
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae
Genus :Averrhoa
Spesies :Averrhoa carambolaL.
(Backer dan Backhuizen van den Brink, 1965)
2. Morfologi tumbuhan
Tinggi 5-12 m, tanda bekas daun bentuk tonjolan. Anak daun bulat telur
memanjang, meruncing , 1,5-9 kali 1-4,5 cm, ke arah ujung poros semakin besar,
bawah hijau biru. Malai bunga kebanyakan terkumpul rapat, panjangnya 1,5-7,5 cm.
Bunga sebagian dengan benang sari panjang dan tangkai putik pendek. Kelopak
tinggi 4 mm, daun mahkota di tengah bergandengan, bulat telur terbalik memanjang,
tajam, kuning muda, panjang 4-13 cm. Ditanam sebagai pohon buah, kadang-kadang
menjadi liar (Steenis, 1947).
3. Nama daerah
Belimbing manis (Indonesia), Belimbing manih (Minangkabau), Belimbing
legi (Jawa), Belimbing amis (Sunda), Bhalimbing manes (Madura), Balirang (Bugis) (Haryanto, 2009).
4. Kandungan kimia
Beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis
adalah senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium,
fosfor, zat besi, serta vitamin A, B1 dan vitamin C (Wiryowidagdo dan Sitanggang,
2002). Menurut Sukadana (2009) pada belimbing manis (Averrhoa carambola Linn)
mengandung senyawa flavonoid golongan katekin.
5. Khasiat penggunaan
Buah belimbing mempunyai rasa yang asam, manis dan menetralkan. Buah
belimbing juga mempunyai efek antibakteri dari senyawa flavonoid katekin
(Sukadana, 2009). Berkhasiat pula sebagai anti-inflamasi, analgesik dan diuretik,
selain itu dapat digunakan sebagai obat batuk, demam, kencing manis, kolesterol
tinggi serta sakit tenggorokan. (Soedibyo, 1998).
B. Flavonoid
Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada
terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan
mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan
tradisional. Penghambatan siklooksigenase oleh flavonoid dapat menimbulkan
pengaruh lebih luas karena reaksi lipooksigenase merupakan langkah pertama pada
jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Karena flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, maka mereka
menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim.
Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida
dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak
(Robinson, 1995).
Menurut Robinson (1995), golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai
deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6
(cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon :
C C C
Gambar 1. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995)
Flavonoid termasuk ke dalam kelompok antioksidan polifenolik yang aktivitas
antioksidannya ditampilkan dalam uji in vitro danin vivo. Flavonoid yang terdiri dari
flavonols, flavons, flavonons, katekin, dan antosianidin, telah diketahui memiliki efek mempengaruhi sistim kekebalan, baik melalui penekanan atau oleh meningkatkan
Beberapa senyawa golongan flavonoid dilaporkan dapat menghambat
peroksidasi lipid. Secarainvivo, dilaporkan bahwa peroksidasi lipid melibatkan reaksi
rantai radikal terdiri dari permulaan, perbanyakan, dan pengakhiran (Middleton dkk,
2000). Tahap permulaan peroksidasi lipid dapat diperantarai oleh radikal hidroksil
(·OH). Dilaporkan juga bahwa penangkapan radikal hidroksil oleh flavonoid dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid.
Induksi peroksidasi lipid dapat terjadi sebagai berikut:
Permulaan LH + ·OH → H2O + L·
Perbanyakan L· + O2 → LOO·
LOO· + LH → LOOH + L·
Pengakhiran LOO· + LOO· → produk nirradikal
L· + L· → produk nirradikal
LOO· + L· → produk nirradikal
Peroksidasi lipid dapat dicegah pada tahap permulaan oleh penangkal radikal bebas
sedangkan tahap perbanyakan dapat diputuskan oleh penangkal radikal peroksil,
seperti antioksidan fenolik. Aktivitas antioksidan flavonoid sebagai pemutus rantai
reaksi dapat ditunjukkan sebagai berikut:
LOO· + FL-OH → LOOH + FL-O·
di mana FL-OH merupakan senyawa flavonoid. Terminasi radikal lipid (L·), radikal
peroksil lipid (LOO·) dan radikal alkosil (LO·) oleh antioksidan fenolik ditunjukkan seperti di bawah ini:
di mana A-OH merupakan antioksidan fenolik (misal,α-tokoferol, flavonoid) dan AO·
merrupakan radikal fenoksil (Middleton dkk, 2000).
O
OH OH
OH
HO
OH
Gambar 2. Struktur katekin (Nakanishi, Ozawa, dan Ikota, 2002)
Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai penangkap
radikal yang paling kuat di antara senyawa golongongan flavonoid lainnya.
Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknyanya terkait dengan
sruktur kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus
hidroksil mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C.
C. Inflamasi 1. Definisi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang
Secara umum respon inflamasi dibagi 3 fase: inflamasi akut, inflamasi sub
akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap adanya
gangguan pada jaringan, yang ditandai dengan pelepasan beberapa mediator kimia
yang biasanya mendahului respon imun. Inflamasi akut biasanya berlangsung cepat,
singkat serta bersifat berat. Sedangkan pada fase sub akut sel-sel imuno kompeten teraktivasi oleh substansi antigenik yang terlepas selama respon inflamasi akut
berlangsung. Respon imun ini tentunya bertujuan melindungi tubuh dengan cara
memfagosit atau menetralisir substansi antigenik yang lepas dari sel yang meradang,
namun adakalanya respon ini merugikan bila berlanjut pada inflamasi kronis tanpa
adanya penyelesaian atau penyembuhan peradangan dan kerusakan jaringan. Pada
inflamasi kronis terjadi pelepasan mediator lain yang tidak menonjol pada inflamasi
akut (Masjoer, 2002).
2. Gejala
Radang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang merusak (noksi) dari
berbagai jenis, jaringan ikat pembuluh bereaksi dengan cara yang sama pada tempat
kerusakan dengan menyebabkan suatu radang. Gejala reaksi meradang yaitu rubor,
calor, tumor, dolordanfunctiolaesa(Mutschler, 1986).
a. Rubor
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar akibat adanya pelepasan
b. Calor
Panas atau calor, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut.
Sebenarnya, panas hanyalah merupakan suatu sifat reaksi peradangan pada
permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37 ºC, yaitu suhu
di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah (pada suhu 37 ºC) yang
disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang normal. Fenomena panas
lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam
tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37ºC, dan
hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan (Price & Wilson, 1992).
c. Tumor
Yaitu benjolan akibat penimbunan cairan abnormal di jaringan interstitial atau
rongga tubuh, yang dinamakan denganoedema. Karena radang akut selalu diikuti oleh extravasasi cairan ke jaringan interstitial maka disebut juga radang exudatif
(Sander, 2003).
d. Dolor
Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai
cara, antara lain perubahan pH lokal, perubahan konsentrasi lokal ion-ion tertentu,
pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya
dapat merangsang saraf. Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa sakit (Price & Wilson,
e. Functiolaesa
Kehilangan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu proses
radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara
sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,
pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Mutschler, 1986).
3. Mekanisme terjadinya peradangan
Reaksi peradangan sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan
baik secara dinamis dan kontinyu. Reaksi peradangan akan timbul bila jaringan itu
hidup dan memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan mengalami nekrosis
berat, maka reaksi peradangan tidak ditemukan di tengah jaringan tetapi pada
pinggirannya yaitu diantara jaringan mati dan jaringan hidup dengan sirkulasi utuh
(Price & Wilson, 1992).
Proses inflamasi ini melibatkan zat kimia toksik mengalir kemana-mana, sel
darah putih yang sangat teraktivasi memakan segala sesuatu yang ditemukannya, dan
semua patogen yang ada di daerah tersebut melawan dengan zat kimianya sendiri.
Jika proses tidak dibatasi, jaringan sehat disekelilingnya dapat tertarik ke dalam
peperangan. Mereka melindungi dirinya sendiri dengan melepaskan zat kimia yang
membatasi penyebaran inflamasi (Pizzorno, 1998).
Prostaglandin merupakan mediator yang paling penting dalam proses inflamasi. Prostaglandin merupakan hasil pemecahan dari asam arakhidonat oleh
ini disimpan atau tersedia sebagai bentuk ester dari struktur fosfolipida di membran
sel dari kebanyakan jaringan, tetapi dapat juga asam arakhidonat ini berasal dari ester
trigliserida atau ester kolesterol. Prostaglandin tidak disimpan secara intraseluler.
Prostaglandin ini hanya baru terbentuk bila telah ada pelepasan asam arakhidonat dari
membran sel.
Asam arakhidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu:
1. Metabolisme oleh siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk yaitu
COX-1 dan COX-2. Enzim ini akan menginisiasi biosintesis prostaglandin dan
tromboksan.
2. Metabolisme oleh lipoksigenase yang akan menginisiasi sintesis leukotrien dan
Keterangan :
PG = prostaglandin PGI2 =prostacyclin
TX = thromboxane
LT =leukotriene
HETE = hydroxyecosatetraenoic acid HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid
PAF =platelet-activating factor
NSAIDs =non-steroidal anti-inflammatory drugs
Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi
(Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003)
Kerusakan sel karena inflamasi menyebabkan pelepasan enzim lisosom dari
leukosit melalui aksinya pada membran sel. Dilepas juga kemudian asam arakhidonat
dari senyawa pendahulunya oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase mengkatalis
perubahan asam arakhidonat menjadi endoperoksida, zat biologik aktif dan berumur
Lipoksigenase adalah enzim yang mengkatalis perubahan asam arakhidonat
menjadi leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eusinofil,
neutrofil dan makrofag serta mendorong terjadinya bronkokontriksi dan perubahan
permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan
jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan radikal bebas derivat oksigen. Anion superoksida
dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain
yang reaktif seperti hidrogen peroksida dan hidroksil radikal. Interaksi
substansi-substansi ini dengan asam arakhidonat menyebabkan munculnya substansi
kemotaktif, sehingga melestarikan proses inflamasi (Wibowo dan Gofir, 2001).
D. Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak
mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya
(Mutschler, 1999). Menurut Baumann (2005), nyeri merupakan gejala yang paling
umum pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan
tubuh yang penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Kemampuan
merasakan nyeri disebut juga nosiseptif yang membantu individu untuk menghindari
situasi yang berbahaya dan merusak di lingkungan sekitar.
Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yaitu rangsang
jaringan. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi meliputi braikinin,
serotonin, histamin, ion kalium, asam, dan asetilkolin. Zat-zat ini dilepaskan sebagai
mediator di pusat dan di perifer yang berperan penting dalam mekanisme nyeri
(Guyton dan Hall, 1996).
Rangsangan yang merusak
Kerusakan jaringan
Pembebasan : Pembentukan kinin
H+(pH<6) (misalnya: bradikinin,prostaglandin) K+(>20 mmol/L)
Asetilkolin Sensibilitas reseptor Serotonin
Histamnin Nyeri lama
Nyeri pertama
Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan (Mutschler, 1999)
Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan
jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang
disebut zat nyeri (mediator nyeri). Yang termasuk zat nyeri yang potensinya kecil
adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri
keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam interstisium
pada konsentrasi > 20 mmol/liter juga menimbulkan rasa sakit (Mutschler, 1999).
Demikian pula berbagai neurotransmiter bekerja sebagai zat nyeri pada
kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/L) terbukti
sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang
dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak dapat menimbulkan rasa nyeri.
Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri.
Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari
kelompok transmiter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini
adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk penyebab nyeri terkuat.
Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilitas reseptor nyeri dan
disamping itu menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri (Mutschler, 1999).
Mediator nyeri ini dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang,
yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas kulit, mukosa dan
jaringan lain. Nociceptor (reseptor nyeri) ini terdapat di seluruh jaringan dan organ
tubuh, kecuali di sistem saraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2002).
Penghantaran nyeri nosiseptis terbagi dalam 4 tahap, yaitu :
1. Stimulasi
Perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor merupakan tahap pertama yang mengalami timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat
mekanis, panas, dan kimiawi. Pelepasan bradikinin, K+, prostaglandin, histamin,
leukotrien, serotonin dan substansi P (Peptide) dapat menimbulkan kepekaan dan atau
aktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan
sepanjang saraf aferen ke sumsum tulang belakang (Baumann, 2005).
2. Transmisi
Proses transmisi nosiseptis berlangsung melewati serabut Aδ dan C.
rangsangan yang melewati serabut saraf Aδ (memiliki myelin, diameternya besar)
biasanya tajam, lokasi nyerinya jelas, sedangkan yang melewati serabut saraf C (tidak
mempunyai myelin, berdiameter kecil) biasanya bersifat tumpul, rasa sakit yang
menyebar, dan biasanya tidak terlokalisasi dengan baik. Rangsangan nyeri ini
kemudian disampaikan melalui banyak lapisan dari serabut saraf spinal pada sumsum
tulang belakang dengan pelepasan berbagai macam neurotransmiter (Baumann,
2005). 3. Persepsi
Timbulnya nyeri berasal dari aktivitas akhiran saraf tertentu yang
menghasilkan respon terhadap rangsang yang kuat. Perangsangan ini menimbulkan
impuls saraf yang berjalan sepanjang sensorik dan mencapai medulla spinalis, lalu
dikirim ke korteks sereberal di hipotalamus (Baumann, 2005).
4. Modulasi
reseptor opioid dan menghambat penghantaran rangsangan nyeri. Sistem saraf pusat
juga mengandung suatu sistem desending untuk mengontrol penghantaran rasa nyeri.
Sistem ini berawal dari otak dan dapat menghambat penghantaran nyeri sinaptik pada
dorsal horn(Baumann, 2005).
E. Obat Anti-inflamasi Non steroid
Obat-obat anti-inflamasi secara umum dibagi dalam 2 golongan, yaitu obat
anti-inflamasi golongan steroid dan golongan non steroid. Obat anti-inflamasi
golongan kortikosteroid memiliki daya antiinflamasi kuat yang mekanismenya
sebagian berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan
menghambat fosfolipase, sedangkan obat anti-inflamasi non steroid mekanismenya
berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat
enzim siklooksigenase (Tjay dan Rahardja, 2002).
Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) memiliki efek analgetik, antipiretik,
dan pada dosis yang lebih tinggi, bersifat anti-inflamasi. OAINS membentuk
kelompok yang berbeda-beda secara kimia, tetapi semuanya mempunyai kemampuan
untuk menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin yang
diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapetiknya (Neal, 2006). Satu hipotesis
menyebutkan bahwa hambatan selektif COX-2 akan menghasilkan efek
menghilangnya rasa nyeri atau inflamasi tanpa menyebabkan efek samping akibat hambatan COX-1 seperti ulkus peptikum, disfungsi trombosit dan kerusakan ginjal
OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1,
tetapi inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini. Celecoxib,
etoricoxib, dan valdecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif yang mempunyai
efikasi yang serupa terhadap inhibitor COX non selektif, tetapi insidensi perforasi
gaster, obstruksi, dan pendarahan berkurang paling tidak 50%. Akan tetapi, obat-obat baru ini tidak memberikan kardioproteksi apapun karena tidak mempengaruhi
agregasi platelet (Neal, 2006).
F. Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika)
2. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat anti-inflamasi
(Mutschler, 1991).
Menurut Tjay dan Rahardja (2002), atas dasar farmakologisnya, analgesik
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu analgesik perifer (non narkotik) dan
analgesik narkotik. Untuk analgesik non narkotik, terdiri dari obat-obatan yang tidak
bersifat narkotik dan bekerja tidak sentral, sedangkan untuk analgesik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fraktura dan
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yaitu dengan:
1. analgesik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri
perifer
2. anestetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris 3. analgesik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi
umum.
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, seperti parasetamol,
asetosal, mefenaminat, propifenazon atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri
dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein atau kodein. Nyeri
yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya (Tjay dan Rahardja,
2002).
G. Diklofenak
Diklofenak adalah derivat sederhana dari phenylacetic acid(asam fenilasetat)
yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini adalah penghambat
siklooksigenase yang relatif non selektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas
asam arakhidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik yang biasa. Obat-obatan ini cepat diserap sesudah pemberian secara oral,
COOH
N H
Cl Cl
Gambar 5. Sruktur Diklofenak (Kartasasmita, 2002)
Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien
dan meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung
dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang daripada
dengan beberapa AINS lainnya (Katzung, 2002).
H. Parasetamol
Parasetamol merupakan analgesik dan antipiretik yang umum di Indonesia
pada dewasa dan anak-anak. Parasetamol merupakan metabolit mayor dari
phenacetin, efek analgesiknya sama dengan aspirin, tetapi dalam dosis terapi
parasetamol hanya memiliki daya anti-inflamasi yang lemah. Parasetamol hanya
menghambat sintesis prostaglandin hanya pada lingkungan rendah kadar peroksida
seperti hipotalamus. Peroksida biasa dihasilkan oleh leukosit karena adanya inflamasi (Wilmana, 1995).
Parasetamol merupakan serbuk hablur yang berwarna putih, tidak berbau,
molekul parasetamol adalah 151,16 dengan rumus molekul C8H9NO2 (Anonim,
1979).
Menurut Anonim (1979), struktur parasetamol adalah seperti gambar di
bawah ini :
OH
N HCOCH3
Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol
Parasetamol tidak menghambat aktivasi neurotrofil seperti yang dilakukan
AINS. Dosis tunggal atau berulang tidak berefek pada kardiovaskular dan sistem
respirasi. Perubahan suasana asam dan basa tidak berpengaruh. Parasetamol tidak
mengakibatkan iritasi lambung, erosi atau pendarahan yang mungkin dapat terjadi setelah pemberian salisilat (Roberts dan Morrow, 2001). Parasetamol atau
asetaminophenmerupakan inhibitor lemah enzimCOXdi jaringan perifer, akan tetapi
ia lebih efektif menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan
menghasilkan aksi analgesik dan antipiretik. Daya kerja dosis parasetamol sama
I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya
anti-inflamasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Uji eritema
Eritema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi. Timbulnya eritema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti xilem,
minyak kroton, vesikan, histamin dan bradikinin. Selain iritan-iritan tersebut
radiasi ultraviolet (uv) juga dapat menginduksi terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan respon eritema (Gryglewski, 1977).
Eritema ini dapat diamati 2 jam setelah kulit diradiasi dengan sinar uv. Kelemahan
metode ini adalah uv eritema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya tidak
menghambat sintesa prostaglandin. Kemungkinan besar dapat terjadi positif palsu
dan negatif (Turner, 1965).
2. Induksi udema telapak kaki belakang
Metode ini berdasarkan pada kemampuan agen dalam menghambat terjadinya
udema pada telapak kaki tikus setelah pemberian bahan-bahan phlogistik seperti
brewer’s yeast, formaldehid, dextran, albumin, kaolin, serta polisakarida sulfat
(Vogel, 2002).
Metode ini dilakukan dengan cara : hewan uji dibagi ke dalam kelompok
masing-masing 6-8 per dosis. Ekstrak tanaman diberikan 1 jam sebelum bahan penginflamasi jika diberikan secara oral atau 30 menit sebelumnya jika diberikan
plantar kaki kanan belakang. Volume kaki diukur pada selang waktu 5 jam. Pada
mencit pengukuran dilakukan dengan mengorbankan mencit kemudian memotong
kedua kaki pada pergelangannya, selanjutnya mengukur udema dengan
membandingkan kaki yang dibengkakkan dengan kaki yang tidak dibengkakkan
(Williamson, Okpako, dan Evans 1996).
Iritan yang paling banyak digunakan adalah karagenin. Karagenin adalah
fosfolipida tersulfatasi yang diekstrak dari lumut irlandia Chondrus crispus
(Gryglewski, 1997). Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang
diinduksi dengan karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara
umum proses atau mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.
Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan
serotonin (5-hidroksitriptamin) dari sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin
dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus
berlanjut hingga fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma
dan penetrasi sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).
Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali
terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas
yang dapat merusak jaringan. Produksi radikal oksigen bebas ini menyebabkan
pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada fosolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan
Aktivitas anti-inflamasi ditunjukkan dengan adanya pengurangan volume
udema. Metode uji udema telapak kaki tikus merupakan metode yang banyak
digunakan dalam penelitian dan telah dibuktikan sesuai untuk tujuan evaluasi
selanjutnya (Vogel, 2002). Metode ini banyak digunakan karena sederhana dan
murah dari segi peralatan, bahan, dan cara kerjanya (Jain, Patil, Singh, dan Kulkarni, 2001).
3. Tes granuloma
Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjeksikan bagian
punggungnya secara sub kutan dengan 10-25 ml udara kemudian 1,50 minyak
kapas sebagai senyawa iritan yang merangsang pembentukan udema diinjeksikan
pada tempat yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara
dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot
selanjutnya diukur volume cairannya (Turner, 1965). 4. Induksi arthritis
Metoda induksi arthritis merupakan metoda inflamasi kronis. Hewan uji
diinjeksi subplantar 50-100 μl suspensi yang mengandung 300-750 μl
Mycobacterium BCG. Udema pada telapak kaki mencapai puncaknya 4-5 hari
stelah injeksi (respon primer) dan penyakit sistemik dimana terlihat benjolan pada
telinga dan ekor (respon sekunder). Obat antiinflamasi steroid atau non streroid
5. Percobaan in vitro
Percobaan in vitro bermanfaat untuk mengetahui peran dan pengaruh
substansi-substansi fisiologis seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan
lain-lain pada saat terjadinya inflamasi. Ada beberapa percobaan in vitro yang dapat
digunakan untuk mengukur daya anti-inflamasi diantaranya adalah3H-Bradikinin reseptor binding, Assay of PMN leucocytes chemotaxisin vitro, serta Inhibition of
IL-1ß converting enzyme (Vogel, 2002).
J. Metoda Pengujian Efek Analgesik
Pengujian daya analgesik oleh Turner (1965), dikelompokkan menjadi dua
golongan, yakni :
1. Golongan analgetika narkotik a. Metode jepit ekor
Sekelompok mencit dinjeksi dengan senyawa uji dengan dosis tertentu
secara sub kutan atau intravena, kemudian setelah 30 menit jepitan dipasang
pada pangkal ekor mencit selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi senyawa
uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang
diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Respon positif adanya
daya analgetika ditunjukkan dengan tidak adanya usaha untuk melepaskan diri
b. Metode rangsang panas
Pada metode ini digunakan lempeng panas (hot plate) dengan suhu yang
diatur dalam kisaran 50 ºC sampai 55 ºC, dilengkapi dengan penangas yang
berisi campuran aseton dan etil formiat dengan perbandingan 1:1. Hewan uji
yang telah diberi laruatan uji secara subkutan atau peroral diletakkan padahot
plate, kemudian diamati reaksinya ketika hewan uji mulai menjilat kaki
belakang dan kemudian melompat.
c. Metode pengukuran tekanan
Digunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor
tikus secara seragam dalam metode ini, yaitu dua buah syringe yang
dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat
pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan
manometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap
syringe, ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan
terhubung pada sistem hidrolik pada syringe pertama lalu pada ekor tikus.
Tekanan yang sama padasyringekedua akan meningkatkan tekanan pada ekor
tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer.
Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan
d. Metode potensi petidin
Metode ini kurang baik karena hewan uji yang cukup banyak, tiap
kelompok terdiri dari tikus sebanyak 20 ekor, setengah kelompok dibagi
menjadi 3 bagian yang diberi petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg.
Setengah kelompok yang lainnya diberi senyawa uji dengan dosis 20 % dari LD
50. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas.
e. Metode antagonis nalorfin
Uji analgetik dengan menggunakan metode ini untuk mengetahui aksi
dari obat-obat seperti morfin, karena mempunyai kemampuan untuk
meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang bisa digunakan pada metode ini
adalah tikus, mencit dan anjing. Hewan tersebut diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diberi nalorfin (0,5-10,0 mg/kg BB) secara intravena.
Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan
reseptornya, sehingga ikatan antara morfin dengan reseptornya terlepas.
f. Metode kejang oksitosin
Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituari
posterior, yang dapat menyebabkan konstraksi uterus sehingga menimbulkan
kejang pada tikus. Responnya berupa kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan jumlah kejang diamati dan ED
50
2. Golongan analgetika non narkotik a. Metode rangsang kimia
Pada metode ini, digunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji
secara intraperitonial, sehingga akan menimbulkan rasa nyeri. Beberapa zat
kimia yang biasanya digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana,reproducible(dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup
peka untuk menguji senyawa analgetik dengan daya analgetik lemah, namun
mempunyai kekurangan yaitu masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu
metode ini sering digunakan untuk penapisan (screening). Daya analgetik
dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat
menggunakan persamaan menurut Handershot dan Forsaith.
% proteksi rangsang nyeri = 100 100 %
P : jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuan.
K: jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol.
Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam,
antara lain : anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang
sering digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap
rangsang lebih besar daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati
adalah lompatan dan konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang
b. Metode pedolorimeter
Hewan uji diletakkan pada kandang yang bagian atasnya terbuat dari
kepingan metal sehingga bisa dialiri arus listrik. Respon yang timbul yaitu
ketika hewan uji mengeluarkan teriakan dengan pengukuran dilakukan tiap 10
menit selama 1 jam. c. Metode rektodolorimeter
Tikus diletakkan di sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas
tembaga yang dihubungkan dengan penginduksi berupa sebuah gulungan.
Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektrode
tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang
dihubungkan dengan sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt.
Pemberian tegangan sebesar 1 sampai 2 volt akan menimbulkan respon berupa
suara teriakan tikus.
Selain uji-uji di atas, terdapat pula uji in vitro. Uji in vitro yang
digunakan untuk menguji aktivitas analgesik sentral antara lain : survei, ikatan 3
H-Naloxone dengan jaringan, 3H-Dihydromorphinei yang terikat reseptor μ
opiat otak tikus, 3H-Bremazocineyang terikat resptor k opiat pada otak kecil
babi Guinea, penghambatan enkephalinase, reseptor yang mengikat
nociceptin, vasoactive intestinal polypeptid (VIP), reseptor yang terikat
cannabinoid, reseptor yang terikatvanilloid(Vogel, 2002). Senyawa-senyawa tersebut mengandung suatu molekul hidrogen yang bersifat radioaktif 3H
K. Landasan Teori
Peradangan sebenarnya merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi,
penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada
proses penyembuhan (Price dan Wilson, 1995). Tetapi inflamasi atau peradangan
cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan karena salah satu manifestasi dari inflamasi adalah nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling umum
pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang
penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh.
Metode pengujian efek anti-inflamasi sari buah belimbing menggunakan
metode Langford yang dimodifikasi. Inflamatogen yang digunakan adalah karagenin.
Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang diinduksi dengan
karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara umum proses atau
mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.
Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan
serotonin (5-hidroksitriptamin) dan sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin
dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam
jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus berlanjut hingga
fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma dan penetrasi
sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).
Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas yang
pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada
fosfolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan
memproduksi prostaglandin (Rainsford, 1984). Prostaglandin bertanggung jawab
terhadap sebagian besar dari gejala peradangan, selain itu peroksida yang melepaskan
radikal bebas oksigen juga memegang peranan pada timbulnya nyeri. Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilasi reseptor nyeri dan disamping itu
menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri.
Katekin dan vitamin C merupakan senyawa yang terkandung dalam buah
belimbing. Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai
penangkap radikal yang paling kuat di antara senyawa golongan flavonoid lainnya.
Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknya terkait dengan sruktur
kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus hidroksil
mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C. Kemampuan katekin dalam menangkap radikal bebas dapat menghambat perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin
sehingga peradangan dapat diatasi. Dengan demikian, nyeri yang merupakan
manifestasi dari peradangan juga dapat berkurang.
Metode Langford yang dimodifikasi ini merupakan langkah pengujian awal
untuk mengetahui adanya efek anti-inflamasi pada suatu senyawa. Selain itu metode
ini mudah dilakukan. Sedangkan metode yang digunakan pada pengujian efek
analgesik adalah metode rangsang kimia. Metode ini digunakan karena metode ini cukup peka, sederhana, reprodusibel dan mudah dilakukan untuk pengujian daya
L. Hipotesis
36
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang “Uji Efek Analgesik Dan Anti-Inflamasi Sari Buah Belimbing (Averrhoa Carambola L.) Pada Mencit Putih Betina” ini merupakan
penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Metode Uji yang Digunakan
Metode yang digunakan untuk uji efek analgesik dalam penelitian ini adalah
metode rangsang kimia, sedangkan metode yang digunakan untuk uji efek
anti-inflamasi adalah metode Langford yang dimodifikasi.
C. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama
a. Variabel bebas : dosis sari buah belimbing
b. Variabel tergantung : efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah belimbing.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali :
1) Subjek uji : mencit putih a) Jenis kelamin : betina
c) Umur : 2-3 bulan
d) Galur : Swiss
2) Buah belimbing
Buah belimbing (Belimbing Bali) diambil dari supermarket Superindo,
Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta. b. Variabel pengacau tak terkendali :
1) Kondisi patologis mencit
2) Zat gizi dalam pakan
3) Umur belimbing
3. Definisi operasional
a. Sari buah belimbing diperoleh dari buah belimbing yang dicuci bersih dan
dikupas. Sejumlah (gram) buah dipotong-potong melintang dengan ketebalan
lebih kurang 2 cm disari menggunakan juice extractor, kemudian disaring dengan kain.
b. Injeksi sub plantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum
harus menuju ke jari-jari hewan uji.
c. Definisi geliat adalah apabila mencit menarik badan dan kaki beakang hingga
perut bagian bawah menyentuh alas tempat berpijak.
d. Metode Langford dkk, adalah metode uji efek anti-inflamasi dengan cara
membandingkan kaki udem yang telah diinduksi oleh inflamatogen dengan kelompok perlakuan sehingga dapat diketahui kemampuan perlakuan tersebut
e. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgetika yang tidak spesifik.
Efek tersebut dilihat dari banyak sedikitnya geliat. Adanya efek analgesik
ditunjukkan dengan penurunan jumlah geliat sebesar 50% dari kontrol negatif.
Semakin sedikit geliat semakin besar efek analgesiknya.
D. Alat dan Bahan Penelitian 1. Bahan
a. Buah belimbing Bali (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari
supermarket Superindo, Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta
b. Mencit putih betina galur Swiss 60 ekor diperoleh dari Lembaga Pusat
Penelitian dan Teknologi (LPPT) UGM dengan berat badan 20-30 gram dan
umur 2-3 bulan.
c. Kalium diklofenak, Cataflam D50, Novartis, sebagai kontrol positif.
d. Aquades dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
e. Karagenin tipe 1 (Sigma Chemical Co) sebagai peradang (inflamatogen)
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
f. NaCl Fisiologis (Otsu-NS) sebagai pensuspensi karagenin diperoleh dari
Apotek Kimia Farma, Yogyakarta.
g. Asam asetat sebagai perangsang nyeri berupa cairan jernih, tidak berwarna
h. Parasetamol kualitas berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit
pahit (Anonim,1979) yang diperoleh dari pabrik Berliko.
i. CMC Na yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Alat
a. Jus ekstraktor Miyako type JE-505
b. Neraca analitik merek Metler Toledo
c. Stopwatch
d. Seperangkat alat gelas berupa labu ukur, beker glass, batang pengaduk, gelas
ukur, pipet tetes, gelas arloji
e. Mortir dan stamper
f. Spuit injeksi ukuran 1 ml merek Terumo dan spuit yang dimodifikasi untuk
pemberian oral 1 ml g. Gunting bedah dan pinset
E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan
Bahan yang diuji adalah buah belimbing Bali yang diperoleh dari supermarket
2. Determinasi tanaman
Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman belimbing,
dilakukan di Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Berdasarkan hasil determinasi, tanaman belimbing yang digunakan
benar-benar belimbing yang memiliki nama ilmiahAverrhoa carambola L. surat keterangan determinasi dapat dibaca pada lampiran.
3. Pembuatan sari dan penentuan dosis sari belimbing
Belimbing dipilih yang masih segar, berwarna kuning kehijauan dan tidak
cacat. Belimbing dicuci bersih dan ditimbang beratnya, dipotong-potong
melintang dengan ketebalan lebih kurang 2 cm kemudian disari dengan
menggunakan juice extractor. Filtrat yang diperoleh disaring ulang dengan kain
tipis dan diukur volumenya. Sari belimbing harus selalu dibuat baru. Dosis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 8,33 ml/kg; 16,67 ml/kg; dan 33,33 ml/kg.
4. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang
berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Sebelum diberi perlakuan,
mencit diadaptasikan selama satu minggu dengan kondisi yang sama meliputi :
makanan, minuman, kandang, dan alasnya. Hewan uji juga dipuasakan ± 24 jam
sebelum digunakan dalam percobaan dengan tujuan untuk mengurangi variasi
5. Penelitian efek anti-inflamasi a. Uji pendahuluan
1) Pembuatan larutan karagenin 1%
Larutan karagenin digunakan sebagai zat peradang yang dibuat dengan
melarutkan 100 mg karagenin dalam NaCl 0,9% fisiologis sampai 10 ml akan diperoleh konsentrasi 1%.
2) Penetapan dosis karagenin
Dosis karagenin ditetapkan berdasarkan penelitian Williamson dkk
(1996) yaitu dengan kadar 1% yang dilarutkan dalam NaCl 0,9%
fisiologis yang disuntikkan secara sub plantar pada telapak kaki mencit
sebesar 0,05 ml sehingga didapatkan dosis larutan karagenin sebesar 25
mg/kgBB.
Diketahui konsentrasi karagenin yang digunakan adalah 1% dan volume pemberian adalah 0,05 ml. berat badan mencit rata-rata 20 gram =
0,02 kg
3) Penetapan dosis diklofenak
Dosis diklofenak ditetapkan berdasarkan pemilihan dosis yang
volume udema akibat perlakuan karagenin dapat diukur. Pemilihan dosis
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian dari
Maryanto (1997) yaitu untuk tikus berat badan 250 g mempunyai dosis 40
mg/kgBB. Jika berat badan tikus 200 g maka perhitungan dosisnya :
Tikus 200 g
Jika dikonversikan dari tikus 200 g ke mencit 20 g akan diperoleh dosis
natrium diklofenak dengan perhitungan sebagai berikut :
= 0,14 x 32 mg/kgBB
= 4,48 mg/kgBB
sehingga dosis natrium diklofenak yang diberikan pada mencit sebesar 4,48 mg/kgBB. Pada penelitian ini digunakan kalium diklofenak, yang
perhitungan dosisnya mengikuti perhitungan dosis natrium diklofenak.
4) Penetapan selang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin
Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, tiap kelompok 3 ekor
mencit diberi perlakuan kaki kiri diinjeksi secara sub plantar 0,05 ml
karagenin 1% sedangkan kaki kanan diinjeksi secara sub plantar tanpa
diberi karagenin. Selanjutnya tiap kelompok mencit dikorbankan pada
selang waktu tertentu, yakni 1, 2, 3, dan 4 jam kelompok masing-masing. Setelah dikorbankan pada selang waktu masing-masing kelompok, kedua
dengan neraca analitik. Waktu pemotongan kaki ditetapkan pada saat kaki
mengalami peningkatan udema yang berarti.
5) Penetapan waktu pemberian diklofenak
Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, kelompok 1
pemberian diklofenak menit ke-15 sebelum diinjeksi karagenin, kelompok 2 pemberian diklofenak menit ke-30 sebelum diinjeksi karagenin,
kelompok 3 pemberian diklofenak menit ke-45 sebelum diinjeksi
karagenin dan kelompok 4 pada saat menit ke-60 sebelum diinjeksi
karagenin. Setelah pemberian larutan diklofenak secara oral dengan dosis
4,48 mg/kgBB, tiap kelompok mencit disuntik sub plantar 0,05 ml
karagenin 1% pada telapak kaki menurut kelompok masing-masing.
Sesuai hasil orientasi, setelah 3 jam pemberian sub plantar karagenin 1%,
kedua kaki belakang dipotong pada sendi torsocrural lalu ditimbang dengan neraca analitik. Waktu pemberian diklofenak yang digunakan pada
saat berat udema kaki mencit mengalam penurunan yang berarti.
b. Uji efek anti-inflamasi
Metode uji daya anti-inflamasi menggunakan metode pembentukan udema
pada telapak kaki belakang hewan uji yang telah dimodifikasi oleh Langford
dkk (1972). Tiga puluh ekor mencit secara acak dibagi ke dalam 6 kelompok,
tiap kelompok 5 ekor mencit. Masing-masing kelompok perlakuan tersebut adalah:
Kelompok II : kontrol (-) diberi aquades dosis 0,5 ml/20 gBB
Kelompok III : kontrol (+) diberi diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB
Kelompok IV : diberi sari buah belimbing dosis 8,33 ml/kgBB
Kelompok V : diberi sari buah belimbing dosis 16,67 ml/kgBB
Kelompok VI : diberi sari buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB
Kecuali kelompok I, pada menit ke-15, kaki kirinya diinjeksi 0,05 ml
suspensi karagenin 1% secara sub plantar, sedangkan kaki kanan bagian
belakang hanya disuntik dengan spuit injeksi tanpa karagenin. Tiga jam
setelah diinjeksi karagenin, hewan uji dikorbankan, kedua kaki belakangnya
dipotong pada sendi torsocrural, lalu ditimbang dan dihitung selisih bobot
kakinya.
c. Perhitungan % efek anti-inflamasi
Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui efek anti-inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti
inflamasi dengan rumus sebagai berikut :
% efek anti-inflamasi = x100%
U D U
Keterangan :
U = harga rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)
d. Analisis hasil
Data yang diperoleh dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat
distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA
satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian dilanjutkan dengan uji
Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak bermakna (p > 0,05). (Apabila hasil ANOVA secara statistika berbeda tidak
bermakna maka uji lanjutan tidak perlu dilakukan) . Tetapi bila pada hasil
ANOVA dinyatakan berbeda bermakna maka dilanjutkan dengan uji statistikPost
Hoc.
6. Penelitian efek analgesik a. Uji pendahuluan
1) Penetapan kriteria geliat
Respon yang terjadi pada pengujian efek analgesik menggunakan rangsang kimia sangat bervariasi, sehingga perlu ditetapkan geliat yang
sering terjadi sehingga tidak mengacaukan pengamatan. Geliat yang
diamati dan dihitung adalah geliat dengan kriteria menarik satu atau kedua
kaki ke arah belakang dengan sempurna.
2) Penentuan waktu pemberian rangsang
Penentuan ini dilakukan dengan harapan pada selang waktu pemberian
3) Pembuatan larutan CMC Na %
Larutan ini dibuat dengan melarutkan serbuk CMC Na sebanyak 1
gram dalam air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga
mengembang kemudian ditambahkan aquades sampai 100 ml.
4) Pembuatan larutan asam asetat
Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam
asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan
menggunakan rumus:
V x C = V1 x C1
Sebanyak 0,25 mL asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquades
hingga volume 25,00 mL menggunakan labu ukur 25 mL.
5) Pembuatan supensi parasetamol
Parasetamol yang akan digunakan sebagai kotrol positif dibuat dengan menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan
dalam larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.
6) Penentuan dosis parasetamol
Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50kgBB.
Dosis ini kemudian dikonversikan ke mencit, sehingga diperoleh dosis 91
mg/kgBB. Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk diorientasi manakah
yang peling efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; 113,75 mg/kgBB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa dosis 91,00