• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

H. Parasetamol

Cl Cl

Gambar 5. Sruktur Diklofenak (Kartasasmita, 2002)

Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien dan meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang daripada dengan beberapa AINS lainnya (Katzung, 2002).

H. Parasetamol

Parasetamol merupakan analgesik dan antipiretik yang umum di Indonesia pada dewasa dan anak-anak. Parasetamol merupakan metabolit mayor dari phenacetin, efek analgesiknya sama dengan aspirin, tetapi dalam dosis terapi parasetamol hanya memiliki daya anti-inflamasi yang lemah. Parasetamol hanya menghambat sintesis prostaglandin hanya pada lingkungan rendah kadar peroksida seperti hipotalamus. Peroksida biasa dihasilkan oleh leukosit karena adanya inflamasi (Wilmana, 1995).

Parasetamol merupakan serbuk hablur yang berwarna putih, tidak berbau, rasanya pahit, larut dalam air mendidih, NaOH, dan mudah larut dalam etanol. Bobot

molekul parasetamol adalah 151,16 dengan rumus molekul C8H9NO2 (Anonim, 1979).

Menurut Anonim (1979), struktur parasetamol adalah seperti gambar di bawah ini :

OH

N HCOCH3

Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol

Parasetamol tidak menghambat aktivasi neurotrofil seperti yang dilakukan AINS. Dosis tunggal atau berulang tidak berefek pada kardiovaskular dan sistem respirasi. Perubahan suasana asam dan basa tidak berpengaruh. Parasetamol tidak mengakibatkan iritasi lambung, erosi atau pendarahan yang mungkin dapat terjadi setelah pemberian salisilat (Roberts dan Morrow, 2001). Parasetamol atau asetaminophenmerupakan inhibitor lemah enzimCOXdi jaringan perifer, akan tetapi ia lebih efektif menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan menghasilkan aksi analgesik dan antipiretik. Daya kerja dosis parasetamol sama dengan daya kerja dari setengah dosis aspirin (Rang dkk, 2003).

I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi

Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya anti-inflamasi, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Uji eritema

Eritema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi. Timbulnya eritema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti xilem, minyak kroton, vesikan, histamin dan bradikinin. Selain iritan-iritan tersebut radiasi ultraviolet (uv) juga dapat menginduksi terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan respon eritema (Gryglewski, 1977). Eritema ini dapat diamati 2 jam setelah kulit diradiasi dengan sinar uv. Kelemahan metode ini adalah uv eritema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya tidak menghambat sintesa prostaglandin. Kemungkinan besar dapat terjadi positif palsu dan negatif (Turner, 1965).

2. Induksi udema telapak kaki belakang

Metode ini berdasarkan pada kemampuan agen dalam menghambat terjadinya udema pada telapak kaki tikus setelah pemberian bahan-bahan phlogistik seperti brewer’s yeast, formaldehid, dextran, albumin, kaolin, serta polisakarida sulfat (Vogel, 2002).

Metode ini dilakukan dengan cara : hewan uji dibagi ke dalam kelompok masing-masing 6-8 per dosis. Ekstrak tanaman diberikan 1 jam sebelum bahan penginflamasi jika diberikan secara oral atau 30 menit sebelumnya jika diberikan secara i.p. Udema kaki ditimbulkan oleh injeksi bahan penginflamasi secara sub

plantar kaki kanan belakang. Volume kaki diukur pada selang waktu 5 jam. Pada mencit pengukuran dilakukan dengan mengorbankan mencit kemudian memotong kedua kaki pada pergelangannya, selanjutnya mengukur udema dengan membandingkan kaki yang dibengkakkan dengan kaki yang tidak dibengkakkan (Williamson, Okpako, dan Evans 1996).

Iritan yang paling banyak digunakan adalah karagenin. Karagenin adalah fosfolipida tersulfatasi yang diekstrak dari lumut irlandia Chondrus crispus (Gryglewski, 1997). Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang diinduksi dengan karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara umum proses atau mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.

Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan serotonin (5-hidroksitriptamin) dari sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus berlanjut hingga fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma dan penetrasi sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).

Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas yang dapat merusak jaringan. Produksi radikal oksigen bebas ini menyebabkan pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada fosolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan memproduksi prostaglandin (Rainsford, 1984).

Aktivitas anti-inflamasi ditunjukkan dengan adanya pengurangan volume udema. Metode uji udema telapak kaki tikus merupakan metode yang banyak digunakan dalam penelitian dan telah dibuktikan sesuai untuk tujuan evaluasi selanjutnya (Vogel, 2002). Metode ini banyak digunakan karena sederhana dan murah dari segi peralatan, bahan, dan cara kerjanya (Jain, Patil, Singh, dan Kulkarni, 2001).

3. Tes granuloma

Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjeksikan bagian punggungnya secara sub kutan dengan 10-25 ml udara kemudian 1,50 minyak kapas sebagai senyawa iritan yang merangsang pembentukan udema diinjeksikan pada tempat yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot selanjutnya diukur volume cairannya (Turner, 1965).

4. Induksi arthritis

Metoda induksi arthritis merupakan metoda inflamasi kronis. Hewan uji diinjeksi subplantar 50-100 μl suspensi yang mengandung 300-750 μl Mycobacterium BCG. Udema pada telapak kaki mencapai puncaknya 4-5 hari stelah injeksi (respon primer) dan penyakit sistemik dimana terlihat benjolan pada telinga dan ekor (respon sekunder). Obat antiinflamasi steroid atau non streroid akan menghambat respon primer dan sekunder tersebut (Gryglewski, 1977).

5. Percobaan in vitro

Percobaan in vitro bermanfaat untuk mengetahui peran dan pengaruh substansi-substansi fisiologis seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan lain-lain pada saat terjadinya inflamasi. Ada beberapa percobaan in vitro yang dapat digunakan untuk mengukur daya anti-inflamasi diantaranya adalah3H-Bradikinin reseptor binding, Assay of PMN leucocytes chemotaxisin vitro, serta Inhibition of IL-1ß converting enzyme (Vogel, 2002).

Dokumen terkait