• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Pengumpulan Data

Dalam dokumen PEMBUKTIAN TERBALIK (Halaman 64-112)

BAB III :METODE PENELITIAN

C.   Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, penulis akan mempergunakan data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut :

1.  Data Primer

Data primer dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan, yaitu dengan wawancara kepada hakim, jaksa dan anggota Komisi Pemberantasan

Korupsi atau para pihak yang terkait dengan permasalahan yang dikemukakan oleh penulis. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terpimpin yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan lebih dahulu sebagai garis pedoman yang ditetapkan sebelumnya dengan tujuan agar arah wawancara dapat dikendalikan dan tidak menyimpang dari pedoman yang telah ditetapkan.

2.  Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka guna menemukan landasan teoritis berupa peraturan perundang-undangan maupun berbagai literatur. Adapun data sekunder di bidang hukum yang dapat diteliti adalah :

1.  Bahan hukum primer adalah badan hukum yang mengikat, terdiri dari sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan rumusan pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Bahan hukum primer terdiri atas :

a.  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak  Pidana Korupsi

b.  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

c.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi d.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

2.  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjadi karya para sarjana, baik yang telah dipublikasikan maupun belum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain berupa :

a.  Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

b.  Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi c.  Hasil karya para sarjana, tulisan atau pendapat para pakar hukum d.  Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan pada

penelitian ini

Selain data sekunder di bidang hukum tersebut, penelitian ini juga meneliti data sekunder yang bersifat publik yaitu data arsip dan data resmi dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan.

D. Metode Analisis Data

Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul maka dilanjutkan dengan menganalisis data-data tersebut. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode analisis normatif kualitatif, yaitu proses analisis terhadap data yang terdiri dari kata-kata yang dapat ditafsirkan, yaitu data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk tulisan dan segera dianalisa.

36

Apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.37 Dalam metode kualitatif tidak perlu diperhitungkan jumlah data yang dianalisis, melainkan memperhitungkan data

36

Dari S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik , (Bandung: PT. Tarsito, 1968), hal. 129

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal 250

dari kemampuannya mewakili keadaan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Data primer dan data sekunder dikumpulkan, diolah dan disusun secara jelas dan sistematis. Kemudian dianalisis menurut disiplin ilmu hukum pidana sehingga menjadi pembahasan yang sinergis dan terpadu. Selanjutnya ditarik kesimpulan dari hasil pembahasan tersebut.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi Saat Ini

Delik korupsi adalah delik yang dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara yang semakin canggih dan rumit sehingga banyak perkara-perkara delik korupsi lolos dari jaringan pembuktian melalui sistem KUHAP. Karena itu, undang-undang tindak pidana korupsi mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik. Namun rumusan pembuktian terbalik yang dicantumkan di dalam undang-undang belum pernah bisa dilaksanakan. Untuk bisa dilaksanakan maka perlu diadakan suatu kebijakan hukum pidana.

Kebijakan hukum pidana adalah usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang sehingga untuk membuat suatu kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik harus dikaji melalui undang-undang yang pernah dan sedang merumuskan pembuktian terbalik yaitu diantaranya adalah undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang dan undang-undang

nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kebijakan legislasi pemberantasan korupsi sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur mengenai pembuktian terbalik. Hal ini disebabkan oleh perspektif kebijakan legislasi yang memandang perbuatan korupsi sebagai delik  biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures).

1.  Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan formulasi dalam UU No. 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembuktian terbalik. Ketentuan Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1)  Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

(2)  Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperkenankan dalam hal:

a.  apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak  merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau

b.  apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.

(3)  Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. (4)  Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang

tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak  pidana korupsi.38 

Selanjutnya, ketentuan pasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh Hakim.

(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan setiap saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.39 

Dalam penjelasan pasal 17 ayat (1), aturan mengenai pembuktian terbalik  tidak diikuti sepenuhnya meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasal ini menghendaki suatu pembuktian yang terbalik. Pembuktian terbalik akan mengakibatkan penuntut umum dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Sebaliknya, terdakwa dibebani untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam pasal ini hakim memperkenankan terdakwa memberi keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, tetapi segala sesuatu yang dapat lebih memberikan kejelasan tentang perkara tersebut. Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka pembuktian terbalik hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, pembuktian terbalik tidak  dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat mempergunakan

38

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 17

39

pembuktian terbalik sepanjang hakim memperkenankan untuk kepentingan pemeriksaan. Oleh karena itu, ada tidaknya ketentuan tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap hak terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa keterangan pembuktian itu adalah bahan penilaian bagi hakim yang dapat dipandang sebagai hal yang menguntungkan atau merugikan terdakwa. Keterangan yang menguntungkan atau merugikan tersebut bukanlah hal yang mengandung suatu penghukuman atau pembebasan dari penghukuman. Apabila terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian penuntut umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. Dapat dikatakan lebih jauh, tanpa adanya ketentuan itu, dalam persidangan terdakwa lazimnya akan menyangkal dakwaan yang diajukan kepadanya dan sedapat mungkin berusaha lepas dari dakwaan jaksa penuntut umum.

Penjelasan pasal 18 menjelaskan kalau terdakwa dalam perkara pidana korupsi tidak dapat memberikan keterangan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut selain dapat digunakan untuk  memperkuat keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak  pidana korupsi juga dapat dipandang suatu petunjuk adanya perbuatan memperkaya diri seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sub a. Berbeda dengan penilaian harta benda yang dahulu diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penilik  Harta Benda yang bersifat perdata maka kewajiban terdakwa memberi keterangan tentang sumber kekayaannya hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana (korupsi). Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan pasal tersebut mengenai

pembuktian terbalik baik terhadap kesalahan maupun harta kepemilikan pelaku tindak pidana diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu. Pembuktian terbalik tersebut juga tidak dapat dijadikan hakim sebagai dasar untuk  memutuskan terdakwa bersalah atau tidak walaupun terdakwa telah membuktikan hasil harta kekayaannya karena hakim juga harus melihat pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum.

2.  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan hukum Indonesia mengenai pembuktian terbalik juga diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yaitu di dalam Pasal 37. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak  melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.40 

Kemudian penjelasan ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan bahwa ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti

40

melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk  membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik  yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa terdakwa menggunakan pembuktian terbalik merupakan hak dari terdakwa bukan atas perkenan hakim untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana Ketentuan UU No. 3 Tahun 1971. Ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 memberikan keleluasaan bagi hak terdakwa untuk membuktikan secara negatif tentang ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi.

Dikaji dari perspektif hukum, kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik pada Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap menggunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, dikaji dari beban pembuktian, undang-undang tersebut tetap mengacu pada kewajiban penuntut umum untuk  membuktikan dakwaannya disamping terdakwa mempunyai hak untuk  membuktikan.

3.  Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Beberapa ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 masih terdapat banyak  kelemahan sehingga dilakukan perbaikan dengan mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2001. Perbaikan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001. Apabila diperbandingkan, pada ketentuan

Pasal 37 ayat (1) baik dalam UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001 adalah sama, sedangkan untuk ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001 ada sedikit perbedaan dan penyempurnaan. Penyempurnaan terhadap undang-undang tersebut memunculkan dua pengertian dalam hal pembuktian terbalik. Pengertian pembuktian terbalik tersebut bisa diartikan secara luas dan sempit. Pembuktian terbalik dalam arti luas terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 38B dimana pengertian pembuktian terbalik adalah terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas dakwaan yang ditujukan kepadanya dan bahwa setiap harta benda yang dimilikinya bukan hasil tindak pidana korupsi Sedangkan pembuktian terbalik dalam arti sempit terdapat dalam Pasal 12 B mengenai gratifikasi. Dimana pengertian pembuktian terbalik  adalah terdakwa yang melakukan gratifikasi dengan nilai di atas 10 juta wajib membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan suap.

Pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adanya penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi “keterangan tersebut  dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya” diubah menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk  menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”. Sehingga bunyi keseluruhan dari Pasal 37 adalah sebagai berikut :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak  melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak  terbukti.

Dalam penjelasan pasal tersebut, ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik  terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang. Selain itu, pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001 yang berasal dari pemenggalan ayat (3), (4) dan (5) Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999.

Apabila dianalisis, pembuktian terbalik merupakan hak dari terdakwa. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka hal itu sudah menjadi dasar untuk menyatakan dakwaan tidak terbukti. Oleh karena itu kepadanya harus dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak requitool) berdasarkan pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Sekilas, undang-undang tersebut menggunakan pembuktian terbalik secara mutlak. Namun di dalam Pasal 37 A ayat 3 disebutkan lain bahwa Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dimana Pasal 37A ayat (3), UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi :

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12

Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk  membuktikan dakwaannya.”41 

Apabila dianalisis, maka pengertian rumusan Pasal 37 adalah seolah-olah terdakwa saja yang membuktikan. Namun rumusan pada Pasal 37 ayat (3) mengatakan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan dakwaannya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa rumusan mengenai pembuktian terbalik tidak mempunyai batasan yang jelas karena tidak diatur bagaimana prosedur dan cara yang harus dilakukan terdakwa dalam penerapan pembuktian terbalik itu dan tidak mengatur syarat atau standar yang harus dipenuhi agar terdakwa dapat dinyatakan mampu atau berhasil membuktikan dirinya tidak  bersalah. Sehubungan dengan itu, maka para ahli hukum berpendapat bahwa prosedur dan cara serta syarat atau standar pembuktian yang harus dipenuhi tetap berpatokan pada cara dan prinsip Pasal 183 KUHAP.

Kebijakan hukum terhadap formulasi pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi bahwa :

“Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.”42 

41

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 37A

42

Pada hakikatnya, ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik  mengenai harta benda yang belum didakwakan dalam rangka menjatuhkan pidana perampasan dimana terdakwa wajib dibebani wajib bukti untuk membuktikan harta tersebut bukan hasil korupsi serta berhasil atau tidaknya tergantung kepada kemampuan atau keberhasilan terdakwa membuktikan sumber perolehan harta benda yang belum didakwakan tersebut.

Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, melainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok.

Apabila dianalisis, kebijakan hukum terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 mengundang problematis yang menyebabkan adanya ketidakjelasan perumusan pengaturan norma pembuktian terbalik yang mengakibatkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam ketentuan UU tersebut. Apabila dijabarkan tentang eksistensi ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, 37A dan 38B UU No. 20 Tahun 2001 tersebut dapat dilihat dari beberapa segi.

Apabila dikaji dari segi perumusan tindak pidana, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakjelasan perumusan norma pembuktian terbalik. Di satu sisi, pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi yang dirumuskan secara tegas dalam pasal 12 B yang berbunyi :

1)  Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.  yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b.  yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.43 

Namun disisi lain tidak dapat diterapkan kepada penerima gratifikasi karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional :

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.”

Karena itu, terdapat kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional “…dianggap pemberian suap”. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “…dianggap pemberian suap”, tetapi sudah termasuk tindakan “ penyuapan”. Eksistensi asas pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional”…dianggap pemberian suap”, tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban.

Selain itu, apabila dikaji dari rumusan pasal 12B, tidak ada perbedaan secara substantif yang ada hanya perbedaan prosedural, yaitu untuk gratifikasi  pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima, sedangkan untuk gratifikasi jenis kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap), pada penuntut umum. Apabila dikaji, pembuktian dalam

43

gratifikasi tidak dapat disebut sebagai pembuktian terbalik yang mutlak, melainkan beban pembuktian berimbang. Teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa.

Secara normatif, ketentuan pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan sebagai pembuktian terbalik. Akan tetapi, dari perspektif  praktik dan sebagai suatu hak, ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidak mempunyai pengaruh terhadap ada atau tidaknya pasal tersebut dicantumkan. Begitu juga halnya dengan ketentuan Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001. Pembuktian terbalik  terhadap harta kekayaan hanya dapat dilakukan terhadap pembuktian perkara pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sesuai ketentuan Pasal 38B ayat (1). Analisis ketentuan pasal ini bahwa pembuktian terbalik terhadap harta benda pelaku yang belum didakwakan, tetapi   juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak berhubungan dengan

ketentuan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Dikaji dari perspektif kebijakan formulatif, eksistensi pembuktian terbalik  dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “ premium  remidium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Konsekuensi logis, tindak  pidana korupsi sebagai extraordinary crime, dan memerlukan extraordinary enforcement  dan extraordinary measures maka aspek krusial dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi adalah upaya pemenuhan beban pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat penegak hukum.

4.  Kebijakan Aplikasi terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan dan terdakwa atau beserta penasihat hukumnya. Tegasnya, praktik perkara korupsi di Indonesia pada tataran aplikatifnya tidak mempergunakan pembuktian terbalik  padahal perangkat hukum memberikan hak kepada terdakwa dan atau Penasihat Hukumnya, Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim untuk menerapkan pembuktian terbalik baik terhadap kesalahan pelaku maupun tentang kepemilikan harta benda pelaku yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU no. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak  hukum atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.

Apabila dianalisis, maka KPK yang mempunyai wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut maka KPK berwenang di dalam menangani kasus gratifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara sesuai dengan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001. Oleh

Dalam dokumen PEMBUKTIAN TERBALIK (Halaman 64-112)

Dokumen terkait