• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUKTIAN TERBALIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBUKTIAN TERBALIK"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

 

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang

Oleh :

NAMA : MARSINTA ULY

NIM : B2A 006 182

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2010

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI Penulisan Hukum

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang

Oleh : MARSINTA ULY

B2A 006 182

Penulisan Hukum Dengan Judul di Atas Telah Disahkan Dan Disetujui Untuk  Diperbanyak Kemudian Diujikan

Pembimbing I Pembimbing II

(3)

HALAMAN PENGUJIAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI Dipersiapkan dan Disusun

Oleh :

MARSINTA ULY B2A 006 182

Telah Diujikan di Depan Dewan Penguji Pada Hari Senin , Tanggal 24 Maret 2010

Semarang, Maret 2010 Dewan Penguji

Ketua Sekretaris

(Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

(Eko Soponyono, SH.MH.) (Suparno, SH.M.Hum)

Penguji

(4)

MOTTO

  Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan

 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap,

supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu

  Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya setia

  Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati

 Rendahkanlah dirimu dihadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu

  The duty of youth is to challenge corruption (Kurt Cobain)

  If you dont have enemy, you dont have character (Paul Newman)

(5)

PERSEMBAHAN 

Ku persembahkan karyaku ini kepada :

  Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kekuatan dan penghiburan

  Bapak dan Mama yang kusayangi yang selalu mendoakan aku

  Kakak dan Adik yang kusayangi untuk semua semangat dan dukungan yang diberikan

  Almamaterku Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kukagumi

(6)

KATA PENGANTAR

Syalom,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI”.

Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk  itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak  yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, antara lain kepada :

1.  Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, M.S., Med., Sp.And. selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang;

2.  Bapak Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;

3.  Bapak Eko Soponyono, SH.M.H selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(7)

4.  Bapak Suparno, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya;

5.  Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H.,M.H selaku Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;

6.  Bapak Dadang Siswanto, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan arahan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;

7.  Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah banyak membantu selama masa studi penulis;

8.  Bapak Bima Suprayoga Kepala bagian pidana khusus kejaksaan negeri Semarang dan Bapak Joko, Bapak Rasamala Aritonang bagian Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Bapak Yunanto Hakim tindak pidana korupsi yang telah bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian dan memberikan data-data yang dibutuhkan penulis dalam skripsi ini;

9.  Kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan cintai dengan sepenuh hati, terima kasih buat setiap doa, tetesan keringat, kerja keras, dan air mata, serta dukungan materiil maupun spiritual yang telah diberikan kepada penulis selama ini, serta kakak dan adik-adik penulis : Ka Ita, Trysia, Desi, Michael dan Evi yang selalu memberikan semangat buat penulis.

(8)

10.  Sahabat-sahabatku Marini, Selprida, Wilma, Vina, Grace, Sephine. Terima kasih atas dukungan, doa dan persahabatan yang telah kita jalin selama ini; 11.  Saudara-saudaraku di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Fakultas

Hukum Undip, teman-teman seperjuanganku: Mikhael, Inggrid, Xenia, Asti dan adik-adikku terkasih Juris, Ana, Bena, Togi, Indry, Tere, Vera, Nova, Marco, Kristo.Bagiku kalian adalah keluarga terhebat yang aku miliki di Semarang. Pengalaman yang aku peroleh bersama kalian selama di PMK takkan pernah terlupakan sampai kapan pun. Terima kasih buat semua kasih sayang yang telah kalian berikan selama aku kuliah di Fakultas Hukum Undip tercinta ini;

12.  Saudara-saudaraku yang terkasih di FKPMI (Forum Kristiani Pemimpin Muda Indonesia) : Ka neta, Ka Dwi, Ka Sabet, Ka Yohana, Bang Coki,Bang Iman, Bang Anjo,Ijal, Ka Renti, Dwipa, Mekel. Terima kasih buat dukungan, semangat serta bantuan yang diberikan kepada penulis. Tetap semangat untuk menjadi terang ” Being Light in Law Area”

13.  Saudara-saudaraku yang terkasih di movers, Ka lina, Selpi, Anggiat, Jefri, Maestro, Mas Bayu dan Basten. Semoga kita tetap bisa bergerak dimanapun kita berada.

14.  Adek-Adek Komsel ku : Aline, Jojo, Rocky, Tian. Terima kasih buat setiap semangat dan dukungan yang kalian berikan.

15.  Teman-Teman Kostan Singosari 1 No.11 : Mb Mimin, Ayu, Cintya, QaQa, Didior, Imel, Mb Pipit, Mb Tri yang telah menemani hari-hari penulis

(9)

selama di semarang. Terima kasih buat hari-hari dengan segala kegilaan dan canda tawa yang mengisi hari-hari penulis.

16.  Teman-Teman seperjuangan dalam penyusunan skripsi : Mitha, Dhaniar, Nana, Elis, Hakenia, Martin dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu. Tetap semangat yah guys.

17.  Teman- teman Tim I KKN PPM Undip 2010 Desa Kedung Karang .Terima kasih buat dukungan kalian.

18.  Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Undip;

19.  Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak  kekurangan dan kesalahan yang tentu saja tidak disengaja, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

Semarang, Maret 2010

Hormat Penulis

(10)

ABSTRAKSI

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang di dalam penanganannya diperlukan undang-undang yang luar biasa pula. Salah satu upaya yang dianggap mampu untuk menyelesaikan perkara korupsi tersebut adalah dengan dirumuskannya pembuktian terbalik di dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi saat ini yang diawali dalam Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian disempurnakan ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Formulasi pembuktian terbalik merupakan penyimpangan dari pembuktian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, agar tidak terjadi tumpang tindih maka pembuktian terbalik harus memiliki arah kebijakan hukum pidana yang jelas di dalam perumusannya dengan tetap memperhatikan efektifitas dan efisiensi dari kegunaan rumusan pembuktian terbalik tersebut.

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini adalah bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi saat ini serta bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik  dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang.

Metode pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan dan perundang-undangan yang berkaitan tindak pidana korupsi. Selain itu untuk  mengenai kebijakan dalam tataran aplikasinya maka diperoleh data dengan diadakannya wawancara terhadap praktisi hukum yang terkait yaitu jaksa tindak  pidana korupsi, hakim tindak pidana korupsi dan anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….………... i 

HALAMAN PENGESAHAN………..…………... ii 

HALAMAN PENGUJIAN………. iii

MOTTO………... iv  PERSEMBAHAN………... v KATA PENGANTAR………. vi ABSTRAKSI………... x DAFTAR ISI………... xi DAFTAR TABEL………... xv BAB I : PENDAHULUAN A.  Latar Belakang Permasalahan……….. 1

B.  Perumusan Masalah………. 8

C.  Tujuan Penelitian……….……… 8

D.  Kegunaan Penelitian……… 9

E.  Sistematika Penulisan……….. 10 

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA  A. Kebijakan Hukum Pidana……….………... 12

B.  Tindak Pidana Korupsi……… 20

1.  Pengertian Tindak Pidana.…………..…….…... 20

(12)

3.  Pengertian Pidana dan Jenis-Jenis dan Teori

Pemidanaan………... 24

4.  Pengertian Tindak Pidana Korupsi……… 26

C.  Hukum Pembuktian………... 31

1.  Tinjauan Umum mengenai Pembuktian……..…………... 31

2.  Teori Hukum Pembuktian………..………... 34

a. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif……… 34

b. Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim… 36 c. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif……….. 38

d. Teori Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van het   Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof ) 39 1. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum………... 39

2. Beban Pembuktian pada Terdakwa……….. 40

3. Beban pembuktian Berimbang………. 40

e. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan ( Balanced Probability of Principles) dalam Tindak Pidana Korupsi………. 44

BAB III :METODE PENELITIAN  A. Metode Pendekatan………. 48

B.  Spesifikasi Penelitian………...…………... 49

(13)

D. Metode Analisis Data………..…….………. 51 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

A. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana

Korupsi Saat Ini………... 53 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi……… 54

2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi……… 57

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang- Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi………. 58

4. Kebijakan Aplikasi terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik  dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001………. 65 B.  Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian

Terbalik di Masa Mendatang……… 78

1. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi………… 78

2. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi……… 81

3. Formulasi Pembuktian Terbalik di Beberapa Negara ……….. 85 a. Negara Malaysia……….. 85

(14)

b. Negara Singapura ………..87 c. Negara Hongkong………... 88 BAB V : PENUTUP  A. Kesimpulan………... 90 B.  Saran………... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.  Penanganan Kasus oleh KPK Tahun 2004 ... 66 2.  Jumlah Kasus/Perkara yang ditangani oleh KPK Selama

Tahun 2005-2008 ... 67 3. Penanganan Perkara Korupsi Periode 2004 s/d 2009

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Setiap negara merdeka pasti memiliki tujuan di dalam menjalankan pemerintahan. Tujuan setiap negara mewujudkan kesejahteraan rakyat. Konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia menetapkan tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Guna mencapai kesejahteraan rakyat serta menjamin keadilan sosial, maka setiap negara berkewajiban melakukan pembangunan terutama pembangunan di sektor ekonomi.

Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif diantaranya berupa kejahatan (tindak pidana) yang

dapat meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak  ekonomi masyarakat. Selain itu, korupsi adalah masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai

(17)

demokrasi dan moralitas. Akan lebih berbahaya lagi kalau perbuatan ini menjadi budaya di masyarakat. Oleh karena itu, korupsi menjadi musuh utama dalam proses pembangunan bangsa.

Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi di dalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi.

Korupsi terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak  pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek  kehidupan masyarakat.

(18)

Melihat akibat yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana korupsi, maka pemerintah Indonesia membuat peraturan perundang-undangan mengenai tindak  pidana korupsi dimulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan karena dianggap terlalu luas dan tidak  sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat maka undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi beberapa pasalnya di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Diberlakukannya Undang-Undang Korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi.

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ternyata belum bisa menjadi senjata yang ampuh dalam menanggulangi dan memberantas masalah korupsi. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut white collar crime  atau kejahatan kerah putih. White collar crime atau kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dan terhormat berkaitan dengan jabatannya.

Melihat kesulitan dalam melakukan pembuktian, perkara korupsi memerlukan pembuktian khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana biasa, seperti halnya pembuktian yang dianut oleh UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 17 yang menganut adanya pembagian beban pembuktian antara jaksa dan terdakwa. Akan tetapi, undang-undang

(19)

tersebut sudah ketinggalan zaman, tidak relevan lagi dalam menyelesaikan perkara korupsi yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Pembuktian dalam undang-undang tersebut di rasa sulit dan berbelit-belit dalam mengungkap kasus korupsi. Akibatnya, banyak orang yang didakwa melakukan korupsi ternyata hanya dijatuhi pidana yang jauh lebih ringan.

Pembuktian perkara korupsi yang dianut oleh UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dirasakan cukup sulit bagi upaya menjerat para pelakunya karena pada undang-undang tersebut lebih menitikberatkan pada delik materil, yaitu terjadinya kerugian pada keuangan dan atau perekonomian negara.

Seorang tersangka yang telah mengembalikan harta yang telah dikorupsinya, sering diklasifikasikan tidak termasuk merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara sehingga sulit bagi jaksa untuk membuktikan salah satu unsur perbuatan pidana korupsi tersebut, yaitu merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Menghadapi masalah sulitnya pembuktian ini, diperlukan suatu pembuktian yang mudah dan tidak berbelit-belit dalam pelaksanaannya, baik bagi terdakwa maupun bagi Jaksa Penuntut Umum seperti yang dianut oleh UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 yaitu pembuktian terbalik.

Pembuktian terbalik merupakan penyimpangan dari pasal 66 KUHAP, karena dalam pembuktian terbalik jaksa penuntut umum dan terdakwa sama-sama dibebani pembuktian, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak 

(20)

melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa tidak langsung bebas karena jaksa penuntut umum masih wajib membuktikan dakwaannya.

Pembuktian terbalik bukanlah hal baru yang digunakan dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut oleh negara lain seperti Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974 :

“or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfaktory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.”1 

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gaji seorang pejabat pemerintah pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau pejabat tersebut dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai.

Pemberlakuan sistem pembuktian terbalik ini menurut keterangan seorang pejabat   Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif 

1

(21)

untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut melakukan korupsi dikarenakan kesulitan memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah.

Indonesia juga menggunakan sistem pembuktian terbalik tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan dirumuskannya pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B, 37 dan 37A, 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Perumusan pasal mengenai pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana korupsi diharapkan akan membantu proses pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Namun, rumusan pasal tersebut yang menjelaskan bahwa pembuktian terbalik merupakan hak terdakwa dan tergantung kepada terdakwa untuk menggunakan atau tidak  membuat rumusan pasal tersebut menjadi kurang jelas fungsinya dan dianggap kurang memberikan batasan yang jelas.

Perumusan pembuktian terbalik menimbulkan pendapat yang berbeda di kalangan ahli hukum. Pembuktian terbalik yang berlaku saat ini sulit untuk  diterapkan karena dianggap bertentangan dengan   presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah. Selain itu, pembuktian terbalik juga dianggap melanggar hak asasi manusia karena setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak  kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak 

(22)

absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.

Menurut Todung Mulia Lubis penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak  mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-kekayaan “haram” yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa diinvestigasi.2 

Berdasarkan pertimbangan pemikiran di atas, maka dianggap perlu diadakan suatu kebijakan hukum pidana mengenai formulasi rumusan pembuktian terbalik tersebut di dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Dimana, kebijakan hukum terutama diimplementasikan dalam suatu kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini terutama menggunakan sarana penal pada tahap formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan atau penyusunan hukum pidana dalam hal ini perumusan suatu perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. Kebijakan legislatif  merupakan tahap paling strategis dari upaya penanggulangan kejahatan melalui   penal policy. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif 

merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.3 

2

www. google.com

3

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal.75

(23)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas ditemukan berbagai masalah terkait formulasi rumusan pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan. Masalah-masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.  Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini?

2.  Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penelitian merupakan pencerminan arah dan penjabaran strategi terhadap masalah yang muncul dalam penelitian. Dengan adanya tujuan maka suatu penelitian akan lebih terarah dan lebih bermanfaat. Adapun tujuan yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.  Untuk mengetahui dan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini.

2.  Untuk mengetahui dan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang.

(24)

D. Manfaat Penelitian

Setiap hasil penelitian termasuk penelitian hukum pasti mempunyai manfaat. Manfaat penelitian biasanya sering disebut juga dengan kegunaan penelitian. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian hukum ini adal;ah sebagai berikut :

1.  Kegunaan Teoritis

Menambah dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu hukum mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik pada saat ini dan yang akan datang.

2.  Kegunaan Praktis

a.  Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti serta memberikan dasar-dasar atau landasan untuk penelitian lebih lanjut.

b.  Memberikan wawasan kepada para mahasiswa dan akademisi lainnya mengenai formulasi rumusan pembuktian terbalik serta aplikasinya dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini dan yang akan datang.

c.  Memberikan masukan kepada setiap pihak yang terkait tentang formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik dalam pemberantasan tindak  pidana korupsi.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami isinya, maka penulisan skripsi ini disajikan dalam bentuk rangkaian bab, yang terdiri dari lima bab yang berisi tentang uraian secara umum, teori-teori yang diperlukan dalam menganalisa permasalahan dan

(25)

pembahasan hasil penelitian serta kesimpulan dan saran. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : 

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang alasan atau latar belakang penelitian yang menjadi pengantar menuju ke pokok permasalahan yang akan dibahas, perumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan landasan teoritis untuk mendasari penganalisaan masalah yang akan dibahas, yang berisi kerangka pemikiran atau teori-teori yang berkaitan kebijakan hukum pidana, tindak pidana, tindak pidana korupsi dan mengenai teori-teori hukum pembuktian serta teori pembalikan beban pembuktian yang akan menunjang dalam menjawab permasalahan mengenai kebijakan hukum pidana tehadap formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik  dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini dan yang akan datang.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan metode penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

(26)

Bab ini berisi hasil dan pembahasan dari penelitian. Dimana akan dijelaskan mengenai rumusan pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu akan dibahas aplikasi dari rumusan pembuktian terbalik tersebut di dalam proses persidangan, proses pembuktian serta kendala-kendalanya. Bab ini juga akan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap rumusan pembuktian terbalik yang akan datang dengan menganalisis rumusan pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kristalisasi dari semua yang telah dicapai di dalam masing-masing bab sebelumnya mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Bab ini menyajikan saran bagi pihak terkait dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kebijakan, juga dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan di suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.4 

Istilah ”kebijakan diambil dari istilah ” policy” (Inggris) atau ” politiek ” (Belanda). Oleh karena itu, istilah ”kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik hukum pidana” atau sering dikenal dengan istilah ” penal  policy”, ”criminal law policy” atau ”strafrechtspolitiek ”.5 

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defense) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), hal. 131

5

(28)

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). Secara skematis hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut :

Dari uraian skema di atas terlihat, bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti :

a.  Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dengan politik sosial; b.  Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan

”penal” dan ”non penal”.

Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan (nasional). Sudarto mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam

Social Policy

Social Welfare Policy

Social Defense Policy

Criminal Policy

Penal

Non-Penal

(29)

usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat/modernisasi, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.6 

Marc Ancel pernah menyatakan bahwa ”modern criminal science” terdiri dari tiga komponen ”Criminology”, ”Criminal Law” dan ”Penal Policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa ”Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memberi pedoman tidak  hanya pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.7 

Dengan demikian, hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping itu memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

Kebijakan hukum pidana dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :

6

Ibid, hal. 3-4

7

(30)

a.  Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.  Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

c.  Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.8 

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik  hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, ”Politik Hukum” adalah :

a.  Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b.  Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk  menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9 

Bertolak dari pengertian di atas Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan ”politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Sudarto juga menyatakan bahwa melaksanakan ”politik  hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik.10 

Menurut Marc Ancel, istilah kebijakan hukum pidana sama dengan istilah ”penal policy” yaitu suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk 

8 Ibid, hal. 1 9 Ibid, hal. 22 10 Ibid, hal.23

(31)

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam defenisi Marc Ancel jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah ”penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah ”kebijakan atau politik hukum pidana”.

Menurut A. Mulder, ”Strafrechtspolitiek ” ialah garis kebijakan untuk  menentukan:

a.  Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;

b.  Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c.  cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik  kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik  hukum pidana identik dengan pengertian ”kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya   juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

(32)

Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social Policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian ” social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya ” social welfare policydan ”social defense policy”.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1.  perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2.  sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach).

Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adaah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuanitatif serta tidak memberi

(33)

kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai ke dalam proses pembuatan keputusan.

Namun demikian, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emosional (the emosionally laden value judgement approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif.

Dari sudut operasionalisasi/fungsionalisasi, dalam arti bagaimana perwujudan dan bekerjanya, hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga fase/tahap, yaitu :

1.  Tahap formulasi, yaitu tahap penetapan hukum pidana mengenai macam perbuatan yang dapat dipidana dan jenis sanksi yang dapat dikenakan. Kekuasaan yang berwenang dalam melaksanakan tahap ini adalah kekuasaan legislatif/formulatif.

2.  Tahap Aplikasi, yaitu tahap menerapkan hukum pidana, atau penjatuhan pidana kepada seseorang atau korporasi oleh hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Yang berwenang dalam tahap ini adalah kekuasaan aplikatif/yudikatif.

3.  Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana atas orang atau korporasi yang telah dijatuhi pidana tersebut. Kewenangan dalam hal ini ada pada kekuasaan eksekutif/administratif.11 

11

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 99

(34)

Dari ketiga tahap tersebut di atas, maka tahap formulasi atau tahap penetapan hukum pidana dalam perundang-undangan merupakan tahap yang paling strategis, karena dalam tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan legislasi yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan peradilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana.

M. Cherif Bassioni menyebutkan adanya tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judicial) dan tahap eksekusi (proses administrasi).12Pada dasarnya, kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis dan menentukan dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Karena kebijakan legislatif merupakan tahap strategis dan menentukan, kesalahan pada tahap legislasi akan berpengaruh besar ketahap aplikasi dan administrasi. Selain itu, tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto, sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap in concreto.

Pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tidak lepas dari kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan kebijakan formulasi merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana yang juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan usaha rasional yang dilakukan untuk  menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.

Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi

12

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi , (Bandung : Alumni, 2007), hal. 71

(35)

Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu.13 

Dengan demikian kebijakan legislatif / formulatif atau disebut pula sebagai kebijakan perundang-undangan merupakan langkah awal di dalam penanggulangan kejahatan, yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan itu dituangkan ke dalam perundang-undangan dan meliputi :

a.  Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan yang dilarang

b.  Perencanaan/ kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelakunya (baik berupa pidana atau denda) dan sistem penerapannya.

c.  Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.

B. Tindak Pidana Korupsi 1.  Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti “straafbaarfeit ”. Menurut Simons, dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

13

Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara” , (Semarang : UNDIP, 1994), hal. 63

(36)

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.14 

Menurut Pompe, perkataan straafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Moeljatno mengatakan straafbaarfeit merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.15 

Ada dua aliran yang merumuskan tentang unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1)  Aliran monistis

Aliran monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak  pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidana, syarat pidananya itu masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.

Tokoh-tokoh yang menganut pandangan monistis antara lain adalah J. E Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, H. J. van Schravedijk, dan Simons.

2)  Aliran dualistis

Golongan dualistis mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana (criminal act atau actus

14

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi , (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 5

15

(37)

reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responbility atau adanya mens rea)16 

Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran dualistis adalah Moeljatno, Pompe dan R. Tresna.

2.  Jenis-jenis Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini jenis delik  dibagi menjadi dua (2) yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pembagian jenis delik  seperti tersebut di atas didasarkan pada perbedaan sebagai berikut :

1). Secara kualitatif 

a.   Rechtsdelicten (delik hukum)

Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Contoh : pembunuhan, pencurian. Delik semacam ini disebut dengan “kejahatan” (mala per se).

b.  Wetsdelicten (delik undang-undang)

Perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana karena undang menyebutnya sebagai delik. Jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana. Delik semacam ini disebut dengan “pelanggaran” (mala quia prohibita).17 

2). Secara kuantitatif 

16

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, FH Undip, 1990), hal. 44

17

(38)

Perbedaan antara ‘kejahatan’ dan ‘pelanggaran’ hanya dilihat dari segi kriminologi, yaitu bahwa ‘pelanggaran’ lebih ringan anaman pidananya dari ‘kejahatan’

Selain jenis delik ‘kejahatan’ dan ‘pelanggaran’, masih terdapat pembagian jenis delik lainnya, antara lain :

1)  Pembagian jenis delik yang didasarkan pada perumusannya, terdiri dari : a.  Delik Formil

Delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik, terlepas dari akibat yang ditimbulkan ada atau tidak dan selesai atau tidak. Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP) dan pencurian (Pasal 362 KUHP).

b.  Delik materil

Delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak  dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak  dikehendaki itu telah terjadi. Misal : penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

2)  Delik-delik yang dibagi menjadi delik  commisionis, delik  omissionis dan delik commisionis per omissionen commisa.

a.  Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang.

(39)

b.  Delik  omissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau yang diharuskan.

c.  Delik  commisionis per omissionen commisa : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat.

3)  Delik-delik yang dibagi menjadi delik dolus dan delik culpa. a.  Delik dolus : delik yang memuat unsure kesengajaan.

b.  Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya. 4)  Delik-delik yang dibagi menjadi delik yang berlangsung terus dan delik 

yang tidak berlangsung terus.

5)  Delik-delik yang dibagi menjadi delik tunggal dan delik berganda. 6)  Delik-delik yang dibagi menjadi delik aduan dan bukan delik aduan.

3.  Pengertian Pidana dan Jenis-Jenis Teori Pemidanaan

Pengertian pidana menurut pendapat dari para ahli hukum pidana seperti Soedarto dan Roeslan Saleh yaitu :

1)  Soedarto

Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.18 

2)  Roeslan Saleh

18

Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal. 2

(40)

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.19 

Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

a.  Pidana itu pada hakikatnya suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b.  Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau yang berwenang.

c.  Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Dalam banyak literature, teori pemidanaan disebut juga dengan teori hukum pidana (strafrecht-theorien). Teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.

1)  Teori Absolut

Dasar pijakan teori ini adalah pembahasan. Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana. Negara berhak menjatuhkan pidana terhadap penjahat karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi. Karena itu, harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukannya.

2)  Teori Relatif atau Teori Tujuan

19

(41)

Teori ini berpangkal pada pendapat bahwa pidana adalah alat untuk  menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk  mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, maka pidana itu adalah suatu yang terpaksa perlu diadakan.

3)  Teori Gabungan

Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini dibedakan menjadi dua golongan yaitu :

a.  Teori Gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. b.  Teori Gabungan yang mengutamakan perlndungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yan dilakukan terpidana.

4.  Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :

a.  Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran20 

b.  Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.21 

20

(42)

Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

1.  Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2.  Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk  kepentingan pribadi).

Perkembangan Pengertian Korupsi antara lain : a.  Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar

Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

b.  Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan 1)  L. Bayley

Perkataan ‘korupsi’ dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

2)  M. Mc Mullan

Seorang pejabat pemerintahan dikatakan ‘korup’ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya

21

(43)

seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.22 

3)  J.S Nye

Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal ini mencakup tindakan, seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak  saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk  kepentingan/keperluan pribadi).23 

c.  Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum

Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.

d.  Rumusan korupsi dari sisi pandang politik 

22

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 20 Tahun 2001, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hal. 8

23

(44)

Mubyarto mengutip pendapat, Theodore M. Smith dalam tulisannya “ Corruption Tradition and Change” Indonesia (Cornell University No. 11 April 1971) mengatakan sebagai berikut :

“Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok  elite di tingkat propinsi dan kabupaten”.

Rumusan-rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat member warna pada korupsi dalam hukum positif. Karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang.

Dari rumusan pengertian korupsi sebagai tercermin di atas bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, factor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas si bawah kekuasaan jabatannya.

e.  Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi

Pengkajian makna korupsi secara sosiologis, jika memperhatikan uraian Syed Hussein Alatas, dalam bukunya “The Sosiology of Corruption” yang antara lain menyebutkan bahwa “terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada

(45)

kepentingan-kepentingan si pemberi”. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas politik.24 

Menurut undang-undang tindak pidana korupsi, korupsi adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a.  Melawan hukum

b.  Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan

c.  Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu :

a.  Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.

b.  Perbuatan itu bersifat melawan hukum

“Melawan hukum” di sini diartikan secara formil dan materil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik. c.  Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan

negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 25   24 Ibid, hal. 10 25

(46)

C. Hukum Pembuktian

1.  Tinjauan Umum mengenai Pembuktian

Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa atau sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan member (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu dengan kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Dikaji secara makna leksikon pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan terdakwa dalam siding pengadilan. Dikaji dari perpektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk  mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu,

(47)

ketentuan pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim di depan sidang pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding. Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan dan terdakwa atau beserta penasehat hukumnya.

Hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorisasikan ke dalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Dimensi dari hukum pembuktian yang bersifat umu/konvensional terdapat dalam KUHAP. Pada ketentuan ini, hukum pembuktian dalam sidang pengadilan dilakukan secara aktif  oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Sebaliknya, terdakwa atau penasehat hukumnya akan berusaha untuk menyatakan dan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh  jaksa penuntut umum.

Hukum pembuktian yang bersifat khusus, dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana Pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus terdapat dalam UU tindak  pidana khusus di luar tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP. Di dalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan

(48)

umum pidana formal dan hukum pidana materil secara sekaligus. Misalnya, Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menentukan bahwa :

“ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Dari redaksional di atas, terminology “dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku” sehingga ada ketentuan hukum pidana formal diintrodusir dalam KUHAP. Kemudian terminology “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” menunjukan ada kekhususan hukum acara. Apabila aspek ini dijabarkan, dalam Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ditentukan adanya pembalikan beban pembuktian tentang ketentuan alat bukti petunjuk. Dalam ketentuan tersebut alat bukti petunjuk diperluas,   jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan lain sebagainya.

(49)

2.  Teori Hukum Pembuktian

Secara teoritis asasnya dikenal 3 (tiga) teori tentang pembuktian, yaitu berupa :

a.  Teori Hukum Pembuktian menurut undang-undang Secara Positif 

Pada dasarnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak  bersalah.

Demikian sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa bersalah. Dengan demikian, pada esensinya menurut D. Simons, sistem atau teori hukum pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk  menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara

(50)

ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.26 

Lebih lanjut lagi, apabila dikaji secara hakiki ternyata teori hukum pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari

26

(51)

sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengeyampingkan jauh-jauh factor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.27 

Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif, baik secara teoritis dan praktik teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif relatif sudah tidak pernah diterapkan lagi.

b.  Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim

Pada teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya, lebih lanjut teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu : “Conviction Intime” dan “Conviction Raisonce”, kesalahan terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim di sini tampak  timbul nuansa subjektifnya.

27

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali , (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 789-799

(52)

Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subjektif, yaitu apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak  pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa, telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.

(53)

Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.28 

Teori hukum pembuktian “Conviction Raisoance” asasnya identik sistem “Conviction Intime”. Lebih lanjut lagi, pada teori hukum pembuktian “Conviction  Raisonance” keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk 

menentukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan.29 

c.  Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif  Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang negative menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim.

Secara teoritis dan normatif hukum pembuktian di Indonesia mempergunakan teori hukum pembuktian secara negative, tetapi dalam praktik  peradilan selintas dan tampak penerapan Pasal 183 KUHAP mulai terjadi

28

Ibid, hal. 797-798

29

(54)

pergeseran pembuktian pada teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan aspek  dominan, sedangkan segmen “keyakinan hakim” hanyalah bersifat “unsur pelengkap” karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambahi” pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI.

d.  Teori Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof )

Dikaji dari perpektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori beban pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun di beberapa negara seperti di Negara Malaysia, United Kingdom of Great Britain (Inggris), Hongkong maupun di Negara Republik Singapura, yaitu :

1)  Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak  demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.

Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti mengenai peran ekstrakurikuler SKI dalam mengembangkan moral anggotanya melalui berbagai

Keterangan: (1) Sudah jelas (2) Isikan 10 nama kegiatan/organisasi yang diunggulkan mulai dari yang dinilai terbaik (3) Isikan: hasil pencapaian, contoh:

Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu ditetapkan tarif atas jenis

Peluang dari PS D-III UPW yaitu perkembangan industri pariwisata di Jember, kerjasama dengan berbagai instansi dalam pemberian beasiswa, globalisasi informasi dalam menjangkau

[r]

Sasaran dalam pencegahan ditujukan pada sumber penularan lingkungan serta faktor penjamu.(Syahruddin,2007). Preventif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu

Untuk mengetahui perbedaan dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya oleh Badan Litbang Deptan (2000) berdasarkan sifat tanah yang relatif, maka pada Gambar

Since the media tends to focus on the most exotic or outrageous forms of cyber crime, most people are unaware that cyber criminals rely heavily on spam to mount successful