• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian Prevalensi Spesies Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) dilaksanakan di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ekstraksi dan identifikasi NSK dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan IPB. Penelitian dilaksanakan dari Januari hingga April 2012.

Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel dilaksanakan di Dataran Tinggi Dieng pada 4 ketinggian yang berbeda yakni 1250-1500 m dpl (Desa Wanaraja), 1500-1750 m dpl (Desa Grogol), 1750-2000 m dpl (Desa Batur), dan lebih dari 2000 m dpl (Desa Bakal). Pada setiap kisaran ketinggian diambil 5 petak lahan pertanaman kentang contoh dengan umur tanaman 70-90 HST. Masing-masing petak lahan diambil 500 g sampel tanah secara sistematik dengan pola membentuk diagonal silang, sampel tanah dicampur merata dan diambil sub-sampel sebanyak 100 ml untuk diproses lebih lanjut di laboratorium.

Ekstraksi Sista NSK

Langkah awal ekstraksi sista NSK berdasarkan Nurjanah (2009) adalah mencampurkan 100 ml tanah sampel dan air hingga tersuspensi dengan baik. Suspensi disaring melalui saringan bertingkat berukuran 20 MESH dan 50 MESH. Hasil saringan 50 MESH dikering-anginkan dan disuspensikan kembali dengan ethanol sehingga sista terangkat ke permukaan ethanol. Sista yang terangkat ke permukaan ethanol segera disaring menggunakan kertas tisu dan dikering- anginkan. Sista NSK yang menempel di kertas saring diamati di bawah mikroskop untuk dihitung dan diidentifikasi.

Penghitungan Jumlah Sista dalam Tanah

Setelah dilakukan ekstraksi, maka masing-masing sampel dihitung jumlah sista NSKnya menggunakan mikroskop stereo perbesaran 40 kali dan dibantu alat hitung (counter). Data dicatat sebagai kerapatan sista nematoda per 100 ml tanah.

Identifikasi Spesies NSK Berdasar Karakter Morfologi

Identifikasi spesies NSK menggunakan karakter morfologi dilakukan dengan metode sidik pantat (perineal pattern) sista dan bentuk knob stilet juvenil 2 (J2). Langkah awal dalam pembuatan sidik pantat adalah mengamati sista NSK di bawah mikroskop. Sista NSK dari masing-masing lokasi/lahan contoh dicampur, dan diambil 10 sista secara acak untuk dilakukan pengamatan sidik pantat. Selanjutnya 1/3 bagian posterior dari sista NSK dipotong di bawah mikroskop, telur nematoda di dalam 1/3 bagian posterior tadi dibersihkan dengan menggunakan glyserin.

Potongan sista yang sudah dibersihkan kemudian dibuat preparat awetan dan diamati di bawah mikroskop. Preparat difoto menggunakan Olympus BX 51 photo slide microscope yang berada di Laboratorium Nematologi. Hasil foto digunakan untuk penghitungan ridge dan rasio granek. Selain itu, dilakukan pula pengamatan terhadap morfologi juvenil terutama bentuk knob stilet J2.

Penghitungan Prevalensi

Penghitungan prevalensi NSK diketahui dengan menghitung persentase dari jumlah lokasi pertanaman kentang yang terinfeksi NSK dibagi dengan jumlah lokasi pertanaman kentang teramati, dengan rumus:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Penyakit

Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah)

Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya penyerapan air dan hara sehingga sistem metabolisme terhambat. Terganggunya sistem metabolisme akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (kerdil), daunnya menguning cerah, serta layu pada siang hari yang terik (Gambar 7a) (Luc et al. 1995).

Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa belum semua tanaman yang terinfeksi NSK menunjukkan gejala. Pada lahan contoh di ketinggian 1500-1750 m dpl tidak terlihat adanya gejala NSK (lampiran 7), walaupun sudah ditemukan 2 sista/100 ml tanah. Sedikitnya populasi NSK mengakibatkan intensitas penyakit rendah, hal inilah yang menjadi penyebab tidak munculnya gejala penyakit pada lahan pertanaman tersebut.

Hal serupa terjadi pula pada lahan contoh di ketinggian lebih dari 2000 m dpl. Gejala penyakit tidak terlihat pada pertanaman meskipun sista yang

ditemukan sangat banyak yakni 153 sista/100 ml tanah. Penyakit timbul apabila ada kombinasi dari faktor virulensi patogen (NSK), rendahnya ketahanan tanaman, kondisi lingkungan yang kurang mendukung, serta dengan dibantu peran serta manusia (teknik budidaya dan kebiasaan). Pada kasus ini, gejala yang tidak muncul meskipun sista yang ditemukan sangat banyak dapat disebabkan karena kombinasi dari faktor tersebut di atas. Kondisi saat pengambilan sampel dilakukan adalah sering turun hujan dan penyinaran matahari di siang hari cukup intensif.

Berdasar penelitian Selamet (2012), semakin tinggi tingkat keparahan penyakit maka tinggi tanaman akan semakin menurun, klorosis daun meningkat, berat segar tanaman semakin menurun, dan hasil umbi tanaman semakin menurun. Gejala pada perakaran

Salah satu indikator bahwa suatu pertanaman telah terinfestasi NSK adalah dengan ditemukannya sista pada tanah/lahan pertanaman. Pada saat pengambilan sampel, diketahui bahwa sista umum dijumpai pada tanah dengan kedalaman 5-30 cm di bawah permukaan tanah.

Sista NSK memiliki bentuk yang sangat khas. Sista berbentuk bulat, berukuran rata-rata 0.4 mm, dan memiliki tonjolan pada anterior/kepala yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Sista terbentuk dari kutikula, berfungsi untuk melindungi telur dari bahan kimia, kekeringan, dan gangguan organisme lain.

Gambar 8 Sista nematoda sista kentang berbentuk bulat dan memiliki tonjolan pada anterior.

Perbedaaan antara sista Globodera rostochiensis dan G. pallida terdapat pada fase warna yang dimiliki masing-masing spesies. Sista G. rostochiensis (Golden cyst nematode) (Gambar 9a) akan mengalami perubahan warna dari

13 kuning menjadi coklat, sedangkan sista G. pallida (White cyst nematode) (Gambar 9b) akan mengalami perubahan warna dari putih menjadi coklat.

Gambar 9 Sista Globodera spp., (a) sista G. rostochiensis berwarna kuning, (b) sista G. pallida berwarna putih.

Prevalensi NSK Berdasarkan Ketinggian Tempat

Prevalensi diartikan sebagai rasio kejadian penyakit (NSK) yang terjadi pada suatu area pertanaman terhadap keseluruhan area pertanaman yang diamati. Dalam kasus ini, prevalensi berarti rasio jumlah objek amatan (lahan) yang terinfeksi NSK dibandingkan dengan keseluruhan jumlah lahan yang diamati. Perkembangan sista selain didukung oleh keberadaan eksudat akar inang juga dipengaruhi oleh temperatur. Lisnawita (2007) menyebutkan bahwa temperatur tanah yang optimum bagi perkembangan sista nematoda berkisar antara 15-21 oC. Jumlah sista yang dihasilkan akan menurun apabila temperatur tanah lebih dari 21 o

C atau kurang dari 15 oC. Pada kisaran temperatur inilah sista mudah dijumpai. Hasil pengukuran temperatur tanah di Dataran Tinggi Dieng (Gambar 10) menunjukkan bahwa temperatur tanah di Dataran Tinggi Dieng masih mendukung bagi perkembangan sista NSK. Sista NSK hampir selalu ditemukan pada daerah ini.

Gambar 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi suatu lokasi yang berarti bahwa semakin rendah temperatur, maka jumlah sista yang ditemukan semakin banyak. Pada ketinggian 1500-1750 m dpl ditemukan sista dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan pada 1750-2000 m dpl dan lebih dari 2000 m dpl. Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah tahun 2009 menunjukkan bahwa pada periode tersebut Desa Grogol dengan kisaran ketinggian 1500-1750 m dpl

(b) (a)

dinyatakan bebas dari infeksi NSK. Tahun 2012, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dimana sista NSK telah ditemukan pada lahan pertanaman di kisaran ketinggian tersebut. Populasi NSK yang ditemukan pada lahan pertanaman ini masih rendah akibat introduksi NSK pada lahan ini kemungkinan terjadi dalam kurun waktu belum lama. Hal sebaliknya terjadi pada kisaran ketinggian 1750-2000 m dpl dan lebih dari 2000 m dpl. Pada kedua kisaran ketinggian ini jumlah sista NSK yang ditemukan sangat banyak karena NSK sudah relatif lama terdapat pada kisaran ketinggian ini.

Gambar 10 Rataan jumlah sista NSK dan temperatur tanah pada lahan kentang dengan ketinggian yang berbeda di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012.

Fluktuasi angka prevalensi NSK dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah terbawanya nematoda dari lahan terinfeksi ke lahan sehat. Pemencaran nematoda dapat terbawa melalui peralatan pertanian, aliran air, umbi kentang, maupun melalui tanah itu sendiri (Evans & Stone 1977).

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1250 - 1500 1500 - 1750 1750 - 2000 >2000 Rat aan j u m lah sis ta /100 m l tanah Ketinggian (m dpl)

Rataan jumlah sista /100 ml tanah Temperatur tanah (oC)

T em p er at u r tanah ( o C) 0 2 115 153 16.1 16.8 18.9 19.3 - 20 - 19 - 18 - 17 - 16 - 15 - 14 (oC)

15

Tabel 2 Prevalensi NSK pada beberapa ketinggian yang berbeda di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012

No Ketinggian (m dpl) Prevalensi NSK

1 1250-1500 0%

2 1500-1750 60 %

3 1750-2000 100%

4 >2000 100%

Hasil ekstraksi tanah sampel pada ketinggian 1250-1500 m dpl menunjukkan bahwa sista tidak ditemukan pada kelima lahan sampel. Hal ini mengartikan bahwa kelima lokasi sampel dinyatakan bebas NSK.

Pada tabel 2, angka prevalensi pada ketinggian 1500-1750 m dpl adalah 60%. Dari kelima lahan teramati ditemukan 3 lahan telah terinfestasi sista NSK meskipun dalam jumlah yang sedikit. Meskipun hanya sedikit jumlah sista yang ditemukan namun kehadiran NSK ini patut diwaspadai, berawal dari satu sista maka dapat berkembang/bermultiplikasi menjadi sebelas sista pada musim tanam berikutnya (Supramana, Komunikasi pribadi). Adanya eksudat akar inang dan didukung dengan kondisi lingkungan yang sesuai akan menyebabkan penetasan telur yang terjadi lebih dari 80%. Apabila eksudat akar inang tidak tersedia, maka telur-telur tersebut masih memiliki kemungkinan menetas sebesar 30% (Fenwick 1949).

Prevalensi Spesies NSK Berdasarkan Ketinggian Tempat

Prevalensi spesies di dalam komunitas diklasifikasikan berdasarkan ketinggian tempat. Semakin tinggi suatu tempat maka semakin rendah temperaturnya. Proporsi juvenil yang menetas dari telur sangat bervariasi. Ketidakadaan inang akan menyebabkan juvenil menetas secara spontan beberapa kali dalam setahun ketika temperatur dan kelembaban tanah sesuai bagi penetasan telur. Di Eropa, apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka telur akan menetas hanya 30-33% pertahun (Grainger 1597).

Prevalensi spesies dalam populasi sangat ditentukan oleh kemampuan bertahan hidup dari masing-masing spesies. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lisnawita (2007) menyebutkan bahwa temperatur optimum untuk menghasilkan

sista baru dengan faktor reproduksi yang paling tinggi, daya tahan hidup tinggi, keperidian, dan multiplikasi NSK adalah 15-21 oC. Dua spesies NSK mempunyai kemampuan bertahan yang berbeda-beda. Mulder (1988) menyatakan bahwa G. rostochiensis mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup dan menetaskan telur pada temperatur yang lebih hangat yakni mendekati 20 oC dan akan menurun drastis pada temperatur di bawah 10 oC dan di atas 27 oC, sedangkan G. pallida mempunyai kemampuan bertahan hidup dan menetaskan telur lebih banyak pada temperatur yang lebih rendah yakni mendekati 18 oC dan akan menurun pada temperatur di bawah 8 oC dan di atas 27 oC.

Gambar 11 Prevalensi spesies NSK pada lahan kentang dengan ketinggian yang berbeda di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012.

Gambar 11 menunjukkan bahwa G. pallida telah mendominasi di semua ketinggian, baik pada 1500-1750 m dpl, 1750-2000 m dpl, maupun lebih dari 2000 m dpl. Pada ketinggian 1500-1750 m dpl G. pallida telah mendominasi sebesar 75%. Pada ketinggian 1750-2000 m dpl dan lebih dari 2000 m dpl, dominasi G. pallida telah mencapai angka 70% dari total populasi yang ada.

0 75 70 70 0 25 30 30 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1250-1500 1500-1750 1750-2000 >2000 P re valens i (% ) Ketinggian (m dpl) G. rostochiensis G. pallida 75 70 70 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

17

Tabel 3 Rataan jumlah sista NSK dan temperatur tanah pada lahan kentang dengan ketinggian yang berbeda di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012

Ketinggian (m dpl)

Temperatur Tanah (oC)

Rataan jumlah sista/100 ml tanah

1250-1500 19.3 0

1500-1750 18.9 2

1750-2000 16.8 115

>2 000 16.1 153

Lisnawita (2007) menyebutkan bahwa semakin rendah temperatur (kisaran 15-21 oC) pada lahan pertanaman maka akan semakin sesuai lahan pertanaman tersebut bagi perkembangan NSK. Hasil pengukuran suhu tanah pada tabel 3 menunjukkan bahwa pada kisaran suhu tanah tersebut masih mendukung untuk perkembangan kedua spesies NSK. Meningkatnya dominasi G. pallida terhadap G. rostochiensis pada semua ketinggian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya akibat tingginya pemencaran G. pallida baik melalui peralatan pertanian maupun melalui umbi, faktor persaingan intra spesies, maupun ketahanan spesies terhadap cekaman lingkungan. Evans (1993) menyebutkan bahwa berdasar survei di UK kepadatan G. rostochiensis dapat berkurang 33% per musim/tahun pada saat lahan diberakan, sedangkan G. pallida hanya menurun sebesar 15% pada saat lahan diberakan.

Dominasi G. pallida harus diwaspadai karena G. pallida lebih sulit dikendalikan daripada G. rostochiensis. Hingga saat ini sudah ada tanaman kentang dengan varietas tahan terhadap G. rostochiensis namun belum ada satupun varietas tahan terhadap G. pallida, selain itu G. pallida memiliki siklus hidup lebih pendek daripada G. rostochiensis sehingga peningkatan kepadatan populasi G. pallida lebih cepat daripada G. rostochiensis (Supramana, Komunikasi pribadi).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Prevalensi NSK tertinggi terdapat pada daerah dengan ketinggian 1750- 2000 m dpl dan lebih dari 2000 m dpl, keduanya memiliki tingkat prevalensi sebesar 100%. Pada ketinggian 1500-1750 m dpl, ditemukan sista NSK dengan tingkat prevalensi 60%, sedangkan 1250-1500 m dpl masih bebas dari NSK.

Globodera pallida merupakan spesies NSK yang dominan dengan prevalensi 75% pada ketinggian 1500-1750 m dpl, 70 % pada ketinggian 1750- 2000 m dpl, dan 70% pada ketinggian lebih dari 2000 m dpl. Hasil ini menunjukkan pergeseran dominasi spesies berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Saran

Perlu adanya pemantauan terhadap keberadaan dan populasi nematoda sista kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng secara menyeluruh, periodik, dan berkelanjutan sehingga dapat dirancang upaya pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Dokumen terkait