• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Runge-Kutta untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal

BAB II DASAR TEORI

B. Metode Runge-Kutta untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal

BAB III METODE TEMBAKAN UNTUK MASALAH NILAI BATAS DUA TI-TIK LINEAR

A. Pengertian Metode Tembakan Linear B. Masalah Nilai Batas Linear

C. Tembakan Linear

D. Mengurangi Kesalahan Pembulatan

BAB IV METODE TEMBAKAN UNTUK MASALAH NILAI BATAS DUA TI-TIK NONLINEAR

A. Iterasi Newton

5 C. Diskusi Hasil BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

6 BAB II DASAR TEORI

Bab ini menjelaskan tentang teori-teori yang akan digunakan dalam metode tem-bakan untuk masalah nilai batas dua titik, antara lain persamaan diferensial dengan pengertian dan contoh untuk masalah nilai awal dan masalah nilai batas, metode Runge-Kutta untuk menyelesaikan masalah nilai awal, dan metode Newton untuk pen-carian akar persamaan.

A. Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial biasanya digunakan untuk memodelkan suatu masalah dalam bidang sains dan teknik yang melibatkan perubahan beberapa variabel terhadap yang lain. Seringkali tidak ada solusi analitik yang diketahui dan perkiraan numerik diper-lukan. Suatu nilai atau persamaan yang memenuhi diketahui adalah pengertian dari so-lusi. Sebagai ilustrasi, andaikan dinamika populasi dan sistem nonlinear yang merupa-kan modifikasi dari persamaan Lotka-Volterra:

π‘₯π‘₯β€² = 𝑓𝑓(𝑑𝑑, π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦) = π‘₯π‘₯ βˆ’ π‘₯π‘₯𝑦𝑦 βˆ’10 π‘₯π‘₯1 2 dan 𝑦𝑦′ = 𝑔𝑔(𝑑𝑑, π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦) = π‘₯π‘₯𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦 βˆ’20 𝑦𝑦1 2, dengan kondisi awal π‘₯π‘₯(0) = 2 dan 𝑦𝑦(0) = 1 untuk 0 ≀ 𝑑𝑑 ≀ 30. Walaupun solusi nu-merik adalah daftar angka, akan membantu untuk memplot jalur poligon yang bergabung dengan titik perkiraan (π‘₯π‘₯π‘˜π‘˜, π‘¦π‘¦π‘˜π‘˜) dan plot lintasan yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 yang diambil dari buku Mathews dan Fink (1999).

7

Gambar12.1 Plot Lintasan sistem nonlinear dari persamaan diferensial π‘₯π‘₯β€² = 𝑓𝑓(𝑑𝑑, π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦) dan 𝑦𝑦′= 𝑔𝑔(𝑑𝑑, π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦).

Pembahasan pada subbab ini berdasarkan referensi dari Mathews & Fink (1999) dan Chapra (2012).

Diketahui persamaan

𝑑𝑑𝑦𝑦

𝑑𝑑𝑑𝑑 = 1 βˆ’ π‘’π‘’βˆ’π‘‘π‘‘. (2.1) Persamaan ini disebut persamaan diferensial karena mengandung turunan 𝑑𝑑𝑦𝑦 𝑑𝑑𝑑𝑑⁄ dari fungsi yang tidak diketahui 𝑦𝑦 = 𝑦𝑦(𝑑𝑑). Hanya variabel bebas 𝑑𝑑 yang muncul di ruas kanan persamaan (2.1); maka solusinya adalah antiderivatif dari 1 βˆ’ π‘’π‘’βˆ’π‘‘π‘‘. Aturan inte-grasi dapat diterapkan untuk mencari 𝑦𝑦(𝑑𝑑):

𝑦𝑦(𝑑𝑑) = 𝑑𝑑 + π‘’π‘’βˆ’π‘‘π‘‘+ 𝐢𝐢, (2.2) dimana 𝐢𝐢 adalah konstanta dari integrasi. Seluruh fungsi pada (2.2) merupakan solusi dari persamaan (2.1) karena memenuhi 𝑦𝑦′(𝑑𝑑) = 1 βˆ’ π‘’π‘’βˆ’π‘‘π‘‘. Mereka membentuk suatu keluarga kurva pada Gambar 2.2 yang diambil dari buku Mathews dan Fink (1999).

8

Ketika suatu persamaan diferensial hanya memuat satu variabel bebas, persa-maan ini disebut Persapersa-maan Diferensial Biasa (PDB). Hal lain adalah Persapersa-maan Diferensial Parsial (PDP) yang mempunyai dua atau lebih variabel bebas. Persamaan diferensial juga diklasifikasikan terhadap orde atau urutan. Contohnya, persamaan (2.1) merupakan persamaan orde satu karena orde (tingkat) turunan tertingginya ada-lah turunan pertama. Untuk memudahkan dalam memahami bentuk persamaan diferen-sial biasa maupun pardiferen-sial, diberikan beberapa contoh persamaannya, yaitu:

a. 𝑑𝑑𝑑𝑑 π‘‘π‘‘π‘‘π‘‘βˆ’ 3𝑑𝑑𝑑𝑑= 𝑦𝑦2 , PDB Orde satu; b. π‘₯π‘₯2π‘¦π‘¦β€²β€²βˆ’ 2π‘₯π‘₯𝑦𝑦′+ (π‘₯π‘₯2βˆ’ 3)𝑦𝑦 = 0 , PDB Orde dua; c. πœ•πœ•πœ•πœ• πœ•πœ•π‘‘π‘‘βˆ’πœ•πœ•πœ•πœ•πœ•πœ•π‘‘π‘‘= 2π‘₯π‘₯ βˆ’ 𝑦𝑦 , PDP Orde satu; d. πœ•πœ•2𝑣𝑣 πœ•πœ•π‘‘π‘‘2 βˆ’ 2πœ•πœ•πœ•πœ•π‘‘π‘‘2𝑣𝑣2 = 3 , PDP Orde dua.

Integrasi adalah teknik yang digunakan untuk menemukan rumus eksplisit sep-erti fungsi pada (2.2) dan Gambar (2.2) menekankan bahwa ada satu derajat bebas yang terlibat dalam solusi, yaitu konstanta integrasi 𝐢𝐢. Dengan memvariasikan nilai 𝐢𝐢, kita β€œmemindahkan kurva solusi” ke atas atau bawah, dan kurva tertentu dapat ditemukan yang akan melewati titik mana pun yang diinginkan. Ketika suatu permasa-lahan dimodelkan ke pemodelan matematika, hasilnya merupakan persamaan yang melibatkan laju perubahan fungsi yang tidak diketahui dan variabel bebas dan / atau terikat.

Misalkan diketahui suatu persamaan yang menggambarkan posisi π‘₯π‘₯ dari sistem pegas-massa dengan redaman merupakan persamaan orde kedua:

π‘šπ‘šπ‘‘π‘‘π‘‘π‘‘π‘‘π‘‘2π‘₯π‘₯2 + 𝑐𝑐𝑑𝑑π‘₯π‘₯𝑑𝑑𝑑𝑑 + π‘˜π‘˜π‘₯π‘₯ = 0 (2.3) dimana π‘šπ‘š massa, 𝑐𝑐 koefisien redaman, dan π‘˜π‘˜ konstanta pegas. Demikian pula, persa-maan orde ke-𝑛𝑛 akan mencakup turunan ke 𝑛𝑛. Suatu persamaan diferensial orde tinggi dapat direduksi menjadi sistem persamaan orde pertama. Hal ini dicapai dengan

9

mendefinisikan turunan pertama dari variabel terikat sebagai variabel baru. Untuk per-samaan (2.3), diselesaikan dengan membuat variabel 𝑣𝑣 baru sebagai turunan pertama dari perpindahan

𝑣𝑣 =𝑑𝑑π‘₯π‘₯𝑑𝑑𝑑𝑑, (2.4)

dimana 𝑣𝑣 adalah kecepatan. Persamaan ini sendiri dapat diturunkan menjadi 𝑑𝑑𝑣𝑣

𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑑𝑑2π‘₯π‘₯

𝑑𝑑𝑑𝑑2 . (2.5)

Persamaan (2.4) dan (2.5) dapat disubstitusikan ke persamaan (2.3) untuk mengu-bahnya menjadi persamaan orde pertama:

π‘šπ‘šπ‘‘π‘‘π‘£π‘£π‘‘π‘‘π‘‘π‘‘ + 𝑐𝑐𝑣𝑣 + π‘˜π‘˜π‘₯π‘₯ = 0 . (2.6) Sebagai langkah akhir, kita dapat menuliskan persamaan (2.4) dan (2.6) sebagai per-samaan: 𝑑𝑑π‘₯π‘₯ 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑣𝑣 , (2.7) 𝑑𝑑𝑣𝑣 𝑑𝑑𝑑𝑑 = βˆ’ 𝑐𝑐 π‘šπ‘š 𝑣𝑣 βˆ’ π‘˜π‘˜ π‘šπ‘š π‘₯π‘₯. (2.8)

Jadi, persamaan (2.7) dan (2.8) adalah sepasang persamaan orde satu yang ekivalen dengan persamaan aslinya orde dua (2.3). Hal ini akan berlaku juga jika diterapkan ke persamaan diferensial orde ke-𝑛𝑛.

Ketika berhadapan dengan persamaan diferensial orde-𝑛𝑛 , 𝑛𝑛 kondisi diperlukan untuk memperoleh solusi unik. Jika semua kondisi ditentukan pada nilai yang sama dari variabel bebas (misal, pada 𝑑𝑑 = 0), maka masalah itu disebut masalah nilai awal. Ini berbeda dengan masalah nilai batas dimana spesifikasi kondisi terjadi pada nilai yang berbeda dari variabel bebas.

10

Sebagian besar dari masalah yang sudah disebutkan sebelumnya membutuhkan solusi dari masalah nilai awal, yaitu solusi untuk persamaan diferensial yang memenuhi kon-disi awal yang diberikan (Burden and Faires, 2011). Pernyataan ini dapat dituliskan ulang kedalam sebuah definisi yang diambil dari buku Mathews dan Fink (1999). Definisi 2.1

Solusi dari masalah nilai awal

𝑦𝑦′= 𝑓𝑓(π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦) dengan 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯0) = 𝑦𝑦0, (2.9) pada interval [π‘₯π‘₯0, 𝑏𝑏] adalah fungsi 𝑦𝑦 = 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) sedemikian sehingga

𝑦𝑦(π‘₯π‘₯0) = 𝑦𝑦0 dan 𝑦𝑦′(π‘₯π‘₯) = 𝑓𝑓�π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯)οΏ½ untuk semua π‘₯π‘₯π‘₯π‘₯[π‘₯π‘₯0, 𝑏𝑏]. (2.10) Perhatikan bahwa kurva solusi 𝑦𝑦 = 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) harus melewati titik awal (π‘₯π‘₯0, 𝑦𝑦0). ∎ Untuk pemahaman yang lebih mudah, diberikan contoh nyata dari masalah nilai awal. Contoh 2.1

𝑦𝑦′= 𝑦𝑦 tan(π‘₯π‘₯ + 3) dengan 𝑦𝑦(βˆ’3) = 1. (2.11) Kita akan menentukan 𝑦𝑦 pada interval yang mengandung titik awal π‘₯π‘₯0. Solusi analitik dari masalah nilai awal ini adalah 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) = sec(π‘₯π‘₯ + 3), yang dapat kita verifikasi dengan mudah. Karena sec π‘₯π‘₯ menjadi tak berhingga pada π‘₯π‘₯ = Β± πœ‹πœ‹ 2⁄ , solusi kita hanya benar untuk βˆ’πœ‹πœ‹ 2⁄ < π‘₯π‘₯ + 3 < πœ‹πœ‹ 2⁄ . Contoh 2.1 memiliki solusi analitik sederhana yang nilai numeriknya mudah dihitung. Biasanya, untuk masalah nilai awal (2.9), so-lusi analitiknya tidak tersedia dan metode numerik harus digunakan.

Contoh 2.2

Diberikan masalah nilai awal

𝑦𝑦′ = 1 + 𝑦𝑦2 dengan 𝑦𝑦(0) = 0. (2.12) Kurva solusi dimulai dari π‘₯π‘₯ = 0 dengan kemiringan (slope) satu; yaitu, 𝑦𝑦′(0) = 1. Ka-rena kemiringannya positif, 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) akan meningkat dekat π‘₯π‘₯ = 0. Oleh karena itu, pern-yataan 1 + π‘₯π‘₯2 juga akan meningkat. Karenanya, 𝑦𝑦′ meningkat. Karena 𝑦𝑦 dan 𝑦𝑦′ sama-sama meningkat dan terkait dengan persama-samaan 𝑦𝑦′= 1 + 𝑦𝑦2, kita dapat berharap bahwa

11

pada beberapa nilai π‘₯π‘₯ hingga tidak akan ada solusinya; yaitu, 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) = +∞. Faktanya, ini terjadi pada π‘₯π‘₯ = πœ‹πœ‹ 2⁄ karena solusi analitik dari (2.12) adalah 𝑦𝑦(π‘₯π‘₯) = tan π‘₯π‘₯.

Sebelum membahas lebih lanjut, kita memerlukan beberapa definisi dan hasil dari teori persamaan diferensial biasa sebelum mempertimbangkan metode untuk men-dekati solusi suatu masalah nilai awal. Referensi untuk bagian ini diambil dari buku karangan Burden dan Faires (2011).

Definisi 2.2

Suatu fungsi 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) dikatakan memenuhi kondisi Lipschitz dalam variabel 𝑦𝑦 pada him-punan 𝐷𝐷 βŠ‚ ℝ2 jika ada konstanta 𝐿𝐿 > 0 dengan

|𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦1) βˆ’ 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦2)| ≀ 𝐿𝐿|𝑦𝑦1βˆ’ 𝑦𝑦2|,

kapanpun (𝑑𝑑, 𝑦𝑦1) dan (𝑑𝑑, 𝑦𝑦2) didalam 𝐷𝐷. Konstanta 𝐿𝐿 disebut konstanta Lipschitz untuk

𝑓𝑓. ∎

Contoh 2.3

Tunjukkan bahwa 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) = 𝑑𝑑|𝑦𝑦| memenuhi kondisi Lipschitz pada interval 𝐷𝐷 = {(𝑑𝑑, 𝑦𝑦)|1 ≀ 𝑑𝑑 ≀ 2 dan βˆ’ 3 ≀ 𝑦𝑦 ≀ 4}.

Solusi:

Untuk setiap pasangan titik (𝑑𝑑, 𝑦𝑦1) dan (𝑑𝑑, 𝑦𝑦2) dalam 𝐷𝐷 diperoleh

|𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦1) βˆ’ 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦2)| = �𝑑𝑑|𝑦𝑦1| βˆ’ 𝑑𝑑|𝑦𝑦2|οΏ½ = |𝑑𝑑|οΏ½|𝑦𝑦1| βˆ’ |𝑦𝑦2|οΏ½ ≀ 2|𝑦𝑦1βˆ’ 𝑦𝑦2|. Dengan demikian 𝑓𝑓 memenuhi kondisi Lipschitz pada 𝐷𝐷 dalam variabel 𝑦𝑦 dengan kon-stanta Lipschitz 2. Nilai terkecil yang mungkin untuk konkon-stanta Lipschitz untuk masa-lah ini adamasa-lah 𝐿𝐿 = 2, karena, untuk contoh,

|𝑓𝑓(2,1) βˆ’ 𝑓𝑓(2,0)| = |2 βˆ’ 1| = 2|1 βˆ’ 0|. ∎ Teorema 2.1 dibawah merupakan teorema keunikan untuk persamaan diferensial biasa orde satu. Pembuktian dari teorema ini dapat dilihat pada buku karangan Birkhoff dan Rota (1989) berjudul Ordinary Differential Equations (Fourth edition).

12

Misalkan 𝐷𝐷 = {(𝑑𝑑, 𝑦𝑦)|π‘Žπ‘Ž ≀ 𝑑𝑑 ≀ 𝑏𝑏 dan βˆ’ ∞ < 𝑦𝑦 < ∞} dan bahwa 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) kontinu pada 𝐷𝐷. Jika 𝑓𝑓 memenuhi kondisi Lipschitz pada 𝐷𝐷 dalam variabel 𝑦𝑦, maka masalah nilai awal

𝑦𝑦′(𝑑𝑑) = 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦), π‘Žπ‘Ž ≀ 𝑑𝑑 ≀ 𝑏𝑏, 𝑦𝑦(π‘Žπ‘Ž) = 𝛼𝛼,

memiliki solusi unik 𝑦𝑦(𝑑𝑑) untuk π‘Žπ‘Ž ≀ 𝑑𝑑 ≀ 𝑏𝑏. ∎ Diberikan contoh penerapan Teorema 2.1 yang diambil dari buku Burden dan Faires (2011).

Contoh 2.4

Gunakan Teorema 2.1 untuk menunjukkan bahwa ada solusi unik untuk masalah nilai awal

𝑦𝑦′(𝑑𝑑) = 1 + 𝑑𝑑 sin(𝑑𝑑𝑦𝑦) , 0 ≀ 𝑑𝑑 ≀ 2, 𝑦𝑦(0) = 0. Solusi:

𝑑𝑑 konstan dan menerapkan Teorema Nilai Rata-Rata pada fungsi 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) = 1 + 𝑑𝑑 sin(𝑑𝑑𝑦𝑦),

kita menemukan bahwa ketika 𝑦𝑦1 < 𝑦𝑦2, angka πœ‰πœ‰ dalam (𝑦𝑦1, 𝑦𝑦2) ada dengan 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦2) βˆ’ 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦1) 𝑦𝑦2βˆ’ 𝑦𝑦1 = πœ•πœ• πœ•πœ•π‘¦π‘¦ 𝑓𝑓(𝑑𝑑, πœ‰πœ‰) = 𝑑𝑑2cos(πœ‰πœ‰π‘‘π‘‘). Jadi |𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦2) βˆ’ 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦1)| = |𝑦𝑦2βˆ’ 𝑦𝑦1||𝑑𝑑2cos(πœ‰πœ‰π‘‘π‘‘)| ≀ 4|𝑦𝑦2βˆ’ 𝑦𝑦1|,

dan 𝑓𝑓 memenuhi kondisi Lipschitz konstanta 𝐿𝐿 = 4. Selain itu, 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) kontinu ketika 0 ≀ 𝑑𝑑 ≀ 2 dan βˆ’βˆž < 𝑦𝑦 < ∞, jadi Teorema 2.1 menyiratkan bahwa ada solusi unik untuk masalah nilai awal ini.

Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal, seperti metode Euler, metode Taylor tingkat tinggi, metode Runge-Kutta, dan sebagainya. Namun, pada penulisan ini akan menerapkan metode Runge-Kutta orde empat untuk menyelesaikan masalah nilai awal.

13

Untuk pembahasan materi ini, berdasarkan referensi buku karangan Kincaid dan Chen-ney (1991). Diberikan suatu masalah nilai awal

𝑦𝑦′′ = 𝑓𝑓(π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦′) , dengan 𝑦𝑦(π‘Žπ‘Ž) = 𝛼𝛼 dan 𝑦𝑦′(π‘Žπ‘Ž) = 𝛽𝛽 (2.13) untuk π‘₯π‘₯ ∈ [π‘Žπ‘Ž, 𝑏𝑏], dapat dituliskan kedalam sistem persamaan orde pertama untuk 𝑦𝑦1 = 𝑦𝑦 dan 𝑦𝑦2 = 𝑦𝑦′:

�𝑦𝑦1β€² = 𝑦𝑦2 , 𝑦𝑦1(π‘Žπ‘Ž) = 𝛼𝛼

𝑦𝑦2β€² = 𝑓𝑓(π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦1, 𝑦𝑦2) , 𝑦𝑦2(π‘Žπ‘Ž) = 𝛽𝛽 (2.14) Sistem (2.14) dapat diselesaikan dengan salah satu metode langkah-demi-langkah.

Situasinya akan sangat berubah, jika masalah (2.13) diubah menjadi,

𝑦𝑦′′= 𝑓𝑓(π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦′) , dengan 𝑦𝑦(π‘Žπ‘Ž) = 𝛼𝛼 dan 𝑦𝑦(𝑏𝑏) = 𝛽𝛽. (2.15) Perbedaannya ada pada spesifikasi dari kondisi pada dua titik yang berbeda, π‘₯π‘₯ = π‘Žπ‘Ž dan π‘₯π‘₯ = 𝑏𝑏. Prosedur langkah-demi-langkah untuk masalah nilai awal tidak diadaptasi ke solusi dari (2.15) karena solusi numerik tidak dapat dimulai tanpa melengkapi nilai awal. Pada (2.15), kita punya contoh yang khas untuk masalah nilai batas dua titik. Masalah seperti itu biasa menghadirkan kesulitan yang lebih besar daripada masalah nilai awal.

Berikut diberikan contoh masalah nilai batas dua titik yang dapat diselesaikan tanpa pengerjaan secara numerik:

𝑦𝑦′′ = βˆ’π‘¦π‘¦ , dengan 𝑦𝑦(0) = 3 dan 𝑦𝑦 οΏ½πœ‹πœ‹2οΏ½ = 7. (2.16) Kita dapat menemukan terlebih dahulu solusi umum dari persamaan diferensial, yaitu

𝑦𝑦(𝑑𝑑) = 𝐴𝐴 sin π‘₯π‘₯ + 𝐡𝐡 cos π‘₯π‘₯.

Maka konstanta 𝐴𝐴 dan 𝐡𝐡 dapat ditentukan sehingga kondisi batas terpenuhi. Jadi οΏ½7 = 𝑦𝑦 οΏ½3 = 𝑦𝑦(0) = 𝐴𝐴 sin 0 + 𝐡𝐡 cos 0 = π΅π΅πœ‹πœ‹ 2οΏ½ = 𝐴𝐴 sin πœ‹πœ‹ 2 + 𝐡𝐡 cos πœ‹πœ‹ 2 = 𝐴𝐴 . Jadi solusi dari (2.16) adalah

14

Teknik yang baru saja digambarkan tidak efektif jika solusi umum persamaan diferensial pada (2.15) tidak diketahui. Pada penulisan di sini lebih membahas masalah nilai batas dua titik secara numerik.

Berikut diberikan Teorema keberadaan untuk solusi dari masalah nilai batas dua titik (2.15) dan untuk pembuktiannya dapat dilihat pada buku Keller (1968) berjudul Numerical Methods for Two-Point Boundary-Value Problems.

Teorema 2.2 Masalah nilai batas

𝑦𝑦′′ = 𝑓𝑓(π‘₯π‘₯, 𝑦𝑦) dengan 𝑦𝑦(0) = 0 dan 𝑦𝑦(1) = 0,

Memiliki solusi yang unik jika πœ•πœ•π‘“π‘“ πœ•πœ•π‘¦π‘¦β„ kontinu, nonnegatif, dan dibatasi pada interval

0 ≦ π‘₯π‘₯ ≦ 1, βˆ’βˆž < 𝑦𝑦 < ∞. ∎

Selanjutnya diberikan Contoh 2.5 yang diambil dari buku Kincaid dan Cheney (1991) untuk penerapan Teorema 2.2.

Contoh 2.5

Tunjukkan bahwa masalah nilai batas dua titik ini memiliki solusi unik: 𝑦𝑦′′= (5𝑦𝑦 + sin 3𝑦𝑦)𝑒𝑒𝑑𝑑 dengan 𝑦𝑦(0) = 𝑦𝑦(1) = 0. Solusi:

Gunakan Teorema 2.2, diperoleh πœ•πœ•π‘“π‘“

πœ•πœ•π‘¦π‘¦ =(5 + 3 cos 3𝑦𝑦)𝑒𝑒𝑑𝑑,

kontinu pada interval 0 ≦ π‘₯π‘₯ ≦ 1, βˆ’βˆž < 𝑦𝑦 < ∞. Lebih jauh lagi, ia dibatasi atas oleh 8𝑒𝑒 dan tidak negatif, karena 3 cos 3𝑦𝑦 ≧ βˆ’3. Hipotesis dari Teorema 2.2 terpenuhi. ∎

B. Metode Runge-Kutta untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal

Pada subbab ini, dijelaskan pengertian metode Runge-Kutta untuk menyelesaikan ma-salah nilai awal berdasarkan referensi karangan Burden & Faires (2011).

Metode Runge-Kutta memiliki galat pemotongan lokal tingkat tinggi dari metode Taylor tetapi menghilangkan kebutuhan untuk menghitung dan mengevaluasi

15

turunan dari 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦). Sebelum ditunjukkan ide-ide di balik penurunannya, kita perlu mempertimbangkan Teorema Taylor dalam dua variabel. Bukti dari hasil ini dapat ditemukan pada buku karangan Fulks (1978) berjudul Advanced Calculus, (Third edi-tion).

Teorema 2.3

Misalkan 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) dan semua turunan parsial dari orde kurang dari atau sama dengan 𝑛𝑛 + 1 adalah kontinu pada 𝐷𝐷 = {(𝑑𝑑, 𝑦𝑦)|π‘Žπ‘Ž ≀ 𝑑𝑑 ≀ 𝑏𝑏, 𝑐𝑐 ≀ 𝑦𝑦 ≀ 𝑑𝑑}, dan (𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0) ∈ 𝐷𝐷. Un-tuk setiap (𝑑𝑑, 𝑦𝑦) ∈ 𝐷𝐷, terdapat πœ‰πœ‰ antara 𝑑𝑑 dan 𝑑𝑑0 dan πœ‡πœ‡ antara 𝑦𝑦 dan 𝑦𝑦0 dengan

𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) = 𝑃𝑃𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) + 𝑅𝑅𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦), dimana 𝑃𝑃𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) = 𝑓𝑓(𝑑𝑑 0, 𝑦𝑦0) + οΏ½(𝑑𝑑 βˆ’ 𝑑𝑑0)πœ•πœ•π‘“π‘“ πœ•πœ•π‘‘π‘‘(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0) + (𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦0)πœ•πœ•π‘“π‘“ πœ•πœ•π‘¦π‘¦(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0)οΏ½ + οΏ½(𝑑𝑑 βˆ’ 𝑑𝑑0)2 2 πœ•πœ•2𝑓𝑓 πœ•πœ•π‘‘π‘‘2(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0) + (𝑑𝑑 βˆ’ 𝑑𝑑0)(𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦0) πœ•πœ•2𝑓𝑓 πœ•πœ•π‘‘π‘‘πœ•πœ•π‘¦π‘¦(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0) +(𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦0)2 2 πœ•πœ•2𝑓𝑓 πœ•πœ•π‘¦π‘¦2(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0)οΏ½ + β‹― + �𝑛𝑛!1 οΏ½ �𝑛𝑛𝑗𝑗� (𝑑𝑑 βˆ’ 𝑑𝑑0)π‘›π‘›βˆ’π‘—π‘— 𝑛𝑛 𝑗𝑗=0 (𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦0)𝑗𝑗 πœ•πœ•π‘›π‘›π‘“π‘“ πœ•πœ•π‘‘π‘‘π‘›π‘›βˆ’π‘—π‘—πœ•πœ•π‘¦π‘¦π‘—π‘—(𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0)οΏ½ dan 𝑅𝑅𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) =(𝑛𝑛 + 1)! οΏ½ οΏ½1 𝑛𝑛 + 1𝑗𝑗 οΏ½ (𝑑𝑑 βˆ’ 𝑑𝑑0)𝑛𝑛+1βˆ’π‘—π‘— 𝑛𝑛+1 𝑗𝑗=0 (𝑦𝑦 βˆ’ 𝑦𝑦0)𝑗𝑗 πœ•πœ•π‘›π‘›π‘“π‘“ πœ•πœ•π‘‘π‘‘π‘›π‘›+1βˆ’π‘—π‘—πœ•πœ•π‘¦π‘¦π‘—π‘—(πœ‰πœ‰, πœ‡πœ‡). Fungsi 𝑃𝑃𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) disebut polinomial Taylor orde 𝑛𝑛 dalam dua variabel untuk fungsi 𝑓𝑓 tentang (𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0), dan 𝑅𝑅𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) adalah syarat sisa yang terkait dengan 𝑃𝑃𝑛𝑛(𝑑𝑑, 𝑦𝑦).

∎ Berikut contoh penerapan Teorema 2.3 yang diambil dari buku Burden dan Faires (2011).

16 Contoh 2.6

Gunakan Maple untuk menentukan 𝑃𝑃2(𝑑𝑑, 𝑦𝑦), polinomial Taylor orde dua di sekitar titik (2,3) untuk fungsi 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) = exp οΏ½βˆ’(𝑑𝑑 βˆ’ 2)2 4 βˆ’ (𝑦𝑦 βˆ’ 3)2 4 οΏ½ cos(2𝑑𝑑 + 𝑦𝑦 βˆ’ 7) Solusi:

Untuk menentukan 𝑃𝑃2(𝑑𝑑, 𝑦𝑦) kita perlu nilai dari 𝑓𝑓 dan turunan parsial pertama dan kedua dari 𝑓𝑓 pada (2,3). Diperoleh

𝑓𝑓(2,3) = π‘’π‘’οΏ½βˆ’02⁄ βˆ’04 2⁄ οΏ½4 cos(4 + 3 βˆ’ 7) = 1.

Untuk menghindari perhitungan dengan turunan parsial yang banyak, pengerjaan menggunakan Maple. Gunakan fungsi command yang tersedia pada Maple. Pilihan pertama dari command TaylorApproximation adalah fungsinya, yang kedua menen-tukan titik (𝑑𝑑0, 𝑦𝑦0) dimana polinomial berpusat, dan yang ketiga menentukan tingkat polinomial. Jadi, dikeluarkan perintah (command)

π‘‡π‘‡π‘Žπ‘Žπ‘¦π‘¦π‘‡π‘‡π‘‡π‘‡π‘‡π‘‡π΄π΄π‘π‘π‘π‘π‘‡π‘‡π‘‡π‘‡π‘₯π‘₯π‘‡π‘‡π‘šπ‘šπ‘Žπ‘Žπ‘‘π‘‘π‘‡π‘‡π‘‡π‘‡π‘›π‘› οΏ½π‘’π‘’βˆ’(π‘‘π‘‘βˆ’2)4 βˆ’2 (π‘‘π‘‘βˆ’3)2

4 cos(2𝑑𝑑 + 𝑦𝑦 βˆ’ 7) , [𝑑𝑑, 𝑦𝑦] = [2,3], 2οΏ½ Keluaran dari perintah Maple tersebut adalah polinomial

1 βˆ’94(𝑑𝑑 βˆ’ 2)2βˆ’ 2(𝑑𝑑 βˆ’ 2)(𝑦𝑦 βˆ’ 3) βˆ’34(𝑦𝑦 βˆ’ 3)2.

Gambar 2.3 yang diambil dari buku Burden dan Faires (2011) adalah plot dari po-linomial diatas.

17

Gambar32.3 Gambar ilustrasi dari polinomial pada Contoh (2.6)

Parameter terakhir dalam perintah tersebut menunjukkan bahwa kita menginginkan polinomial multivarian Taylor kedua, yaitu, polinomial kuadratik. Jika parameter ini adalah 2, diperoleh polinomial kuadratik, dan jika 0 atau 1, kita mendapatkan polinomial berorde 1. Ketika parameter ini dihilangkan, standarnya ada-lah 6 dan memberikan polinomial Taylor keenam. ∎ Pada penulisan ini, menggunakan metode Runge-Kutta dengan orde empat untuk me-nyelesaikan masalah nilai awal. Referensi untuk dasar teori ini diambil dari buku Bur-den dan Faires (2011).

Metode Runge-Kutta Orde Empat

Metode Runge-Kutta orde empat merupakan metode yang popular dalam penyelesaian persamaan diferensial. Metode ini dapat memperoleh akurasi deret Taylor tanpa me-merlukan diferensiasi orde yang lebih tinggi.

𝑀𝑀0 = 𝛼𝛼,

π‘˜π‘˜1 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑𝑖𝑖, 𝑀𝑀𝑖𝑖),

π‘˜π‘˜2 = β„Žπ‘“π‘“ �𝑑𝑑𝑖𝑖+β„Ž2, 𝑀𝑀𝑖𝑖+12π‘˜π‘˜1οΏ½, π‘˜π‘˜3 = β„Žπ‘“π‘“ �𝑑𝑑𝑖𝑖+β„Ž2, 𝑀𝑀𝑖𝑖+12π‘˜π‘˜2οΏ½,

18 π‘˜π‘˜4 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑𝑖𝑖+1, 𝑀𝑀𝑖𝑖+ π‘˜π‘˜3),

𝑀𝑀𝑖𝑖+1 = 𝑀𝑀𝑖𝑖+16(π‘˜π‘˜1+ 2π‘˜π‘˜2 + 2π‘˜π‘˜3+ π‘˜π‘˜4),

Untuk setiap 𝑇𝑇 = 0,1, … , 𝑁𝑁 βˆ’ 1. Metode ini mempunyai galat pemotongan lokal 𝑂𝑂(β„Ž4), asalkan solusi 𝑦𝑦(𝑑𝑑) memiliki lima turunan kontinu. Kita perkenalkan notasi π‘˜π‘˜1, π‘˜π‘˜2, π‘˜π‘˜3, π‘˜π‘˜4 ke dalam metode untuk menghilangkan kebutuhan untuk kurungan ber-turut-turut dalam variabel kedua dari 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦). Algoritma 2.1 mengimplementasikan metode Runge-Kutta orde empat.

Algoritma 2.1

Untuk memperkirakan solusi dari masalah nilai awal

𝑦𝑦′= 𝑓𝑓(𝑑𝑑, 𝑦𝑦), π‘Žπ‘Ž ≀ 𝑑𝑑 ≀ 𝑏𝑏, 𝑦𝑦(π‘Žπ‘Ž) = 𝛼𝛼,

saat interval [π‘Žπ‘Ž, 𝑏𝑏] didiskritkan menjadi sebanyak (𝑁𝑁 + 1) titik jarak yang berjarak se-ragam:

MASUKAN titik akhir π‘Žπ‘Ž, 𝑏𝑏; bilangan bulat 𝑁𝑁; kondisi awal 𝛼𝛼. KELUARAN perkiraan 𝑀𝑀 ke 𝑦𝑦 saat (𝑁𝑁 + 1) nilai dari 𝑑𝑑. Langkah 1 Tetapkan β„Ž = (𝑏𝑏 βˆ’ π‘Žπ‘Ž) 𝑁𝑁⁄ ;

𝑑𝑑 = π‘Žπ‘Ž; 𝑀𝑀 = 𝛼𝛼; KELUARAN (𝑑𝑑, 𝑀𝑀).

Langkah 2 Untuk 𝑇𝑇 = 1,2, … , 𝑁𝑁 lakukan Langkah 3-5. Langkah 3 Tetapkan 𝐾𝐾1 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑, 𝑀𝑀);

𝐾𝐾2 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑 + β„Ž 2⁄ , 𝑀𝑀 + 𝐾𝐾1⁄ ); 2 𝐾𝐾3 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑 + β„Ž 2⁄ , 𝑀𝑀 + 𝐾𝐾2⁄ ); 2 𝐾𝐾4 = β„Žπ‘“π‘“(𝑑𝑑 + β„Ž, 𝑀𝑀 + 𝐾𝐾3).

Langkah 4 Tetapkan 𝑀𝑀 = 𝑀𝑀 + (𝐾𝐾1+ 2𝐾𝐾2+ 2𝐾𝐾3+ 𝐾𝐾4) 6⁄ ; (Hitung 𝑀𝑀𝑖𝑖.) 𝑑𝑑 = π‘Žπ‘Ž + π‘‡π‘‡β„Ž. (Hitung 𝑑𝑑𝑖𝑖.)

Langkah 5 KELUARAN (𝑑𝑑, 𝑀𝑀).

19

Berikutnya, akan ditunjukkan contoh soal dari Burden dan Faires (2011), yang diselesaikan berdasarkan Algoritma 2.1.

Contoh 2.7

Gunakan metode Runge-Kutta orde empat dengan β„Ž = 0.2, 𝑁𝑁 = 10, dan 𝑑𝑑𝑖𝑖= 0.2𝑇𝑇 un-tuk memperoleh perkiraan solusi dari masalah nilai awal

𝑦𝑦′= 𝑦𝑦 βˆ’ 𝑑𝑑2+ 1, 0 ≀ 𝑑𝑑 ≀ 2, 𝑦𝑦(0) = 0.5. Solusi:

Perkiraan ke 𝑦𝑦(0.2) diperoleh dengan 𝑀𝑀0 = 0.5 π‘˜π‘˜1 = 0.2𝑓𝑓(0,0.5) = 0.2(1.5) = 0.3 π‘˜π‘˜2 = 0.2𝑓𝑓(0.1, 0.65) = 0.328 π‘˜π‘˜3 = 0.2𝑓𝑓(0.1, 0.664) = 0.3308 π‘˜π‘˜4 = 0.2𝑓𝑓(0.2, 0.8308) = 0.35816 𝑀𝑀1 = 0.5 +16(0.3 + 2(0.328) + 2(0.3308) + 0.35816) = 0.8292933. Hasil lainnya beserta galatnya disajikan pada Tabel 2.1 ∎

Tabel12.1. Daftar galat penyelesaian Runge-Kutta orde empat

𝑑𝑑𝑖𝑖 Eksak 𝑦𝑦𝑖𝑖= 𝑦𝑦(𝑑𝑑𝑖𝑖) Runge-Kutta orde empat 𝑀𝑀𝑖𝑖 Galat |π‘¦π‘¦π‘–π‘–βˆ’ 𝑀𝑀𝑖𝑖| 0.0 0.5000000 0.5000000 0.0000000 0.2 0.8292986 0.8292933 0.0000053 0.4 1.2140877 1.2140762 0.0000114 0.6 1.6489406 1.6489220 0.0000186 0.8 2.1272295 2.1272027 0.0000269 1.0 2.6408591 2.6408227 0.0000364 1.2 3.1799415 3.1798942 0.0000474

20

1.4 3.7324000 3.7323401 0.0000599 1.6 4.2834838 4.2834095 0.0000743 1.8 4.8151763 4.1850857 0.0000906 2.0 5.3054720 5.3053630 0.0001089

Dokumen terkait