• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. Metode CAMELS

Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kuantitatif dan atau kualitatif terhadap faktor-faktor CAMELS, berarti selain melakukan penilaian secara kuantitatif, Bank Indonesia juga menetapkan penialaian secara kualitatif. Dalam penilaian kuntitatif tersebut, Bank Indonesia menetapkan rasio-rasio yang berkaitan dengan faktor-faktor CAMELS tersebut yang telah ditetapkan sebagai berikut :

a. Permodalan (Capital)

Kecukupan modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam mengembangkan usaha dan menampung risiko kerugian yang mungkin dihadapi. Dalam faktor permodalan, yang dinilai adalah permodalan yang dimiliki oleh bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Bank Indonesia menetapkan Capital Adequacy Ratio (CAR), yaitu kewajiban penyediaan modal minimum yang harus selalu dipertahankan oleh setiap bank sebagai suatu proporsi tertentu dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Perbandingan rasio CAR adalah rasio modal terhadap ATMR (Kasmir, 2008) yang dapat dirumuskan dengan :

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko adalah nilai total masing-masing aktiva bank setelah dikalikan dengan masing-masing bobot risiko aktiva tersebut. Aktiva yang paling tidak berisiko diberi bobot 0% dan aktiva yang paling berisiko diberi bobot 100%. Dengan demikian ATMR menunjukkan nilai aktiva berisiko yang memerlukan antisipasi modal dalam jumlah yang cukup (Susilo, 2000:28). Menurut standar internasional, yaitu Banking for International Settlement (BIS) yang berpusat di Jenewa minimum bobot Capital Adequacy Ratio adalah sebesar 8% dan dari waktu ke waktu akan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan perbankan yang terjadi. Semantara itu, Bank Indonesia telah menetapkan kewajiban penyediaan modal inti minimum bank umum sebesar Rp 80 Milyar pada akhir tahun 2007 dan meningkat menjadi Rp 100 Milyar pada akhir tahun 2010.

b. Kualitas aktiva (Assets)

Aset bertujuan untuk memastikan kualitas aset yang dimiliki bank dan nilai riil dari aset tersebut. Kemerosotan kualitas dan nilai aset merupakan sumber erosi terbesar bagi bank. Menurut Rivai (2008:713),

Aktiva produktif adalah penanaman dana pada pihak-pihak terkait dan pihak tidak terkait, dengan rincian :

1) penempatan pada bank lain,

2) surat-surat berharga kepada pihak ketiga dan Bank Indonesia, 3) efek yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo), 4) kredit kepada pihak ketiga,

5) penyertaaan kepada pihak ketiga, 6) tagihan lain kepada pihak ketiga,

Penilaian kualitas aktiva produktif didasarkan pada tingkat kolektibilitasnya dilakukan dengan menghitung rasio NPL dan Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan (APYD) terhadap Aktiva Produktif (AP). Rasio NPL menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank, sehingga semakin tinggi rasio ini maka semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Rasio NPL dapat dirumuskan sebagai berikut :

Menurut Rivai (2008:714), “Aktiva produktif yang diklasifikasikan adalah semua aktiva yan dimiliki oleh bank karena suatu sebab terjadi gangguan sehingga usaha debitur mengalami kesulitan dalam cash flow yang dapat mengakibatkan kesulitan membayar bunga dan bahkan angsuran utang pokoknya”. Rasio APYD terhadap AP dapat dirumuskan sebagai berikut :

Sesuai lampiran dari Surat Edaran bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004,

Aktiva produktif yang diklasifikasikan adalah aktiva produktif baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan

penghasilan atau menimbulkan kerugian, yang besarnya ditetapkan sebagai berikut :

1) 25% dari aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus (DPK),

2) 50% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar, 3) 75% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan, dan 4) 100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet. c. Manajemen (Management)

Secara kuantitatif faktor ini sebenarnya tidak dapat dijabarkan, namun secara teknis pengukuran keberhasilan manajemen dapat dilihat dari pencapaian operasional (realisasi) dibandingkan terhadap target atau sasaran yang ditetapkan di awal tahun buku. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh manajemen harus dapat dipertanggungjawabkan baik terhadap ketentuan yang berlaku maupun terhadap kelangsungan hidup bank itu sendiri. Penilaian terhadap keberhasilan manajemen dapat dilihat dari aplikasi manajemen umum dan manajemen risiko yang diterapkan oleh para manajer suatu bank. Dimana bank yang memiliki komposisi dan jumlah serta kualifikasi anggota komisaris yang sesuai dsengan ukuran, kompleksitas (karakteristik), kemampuan keuangan, dan sasaran strategi bank. Bank memiliki komposisi dan jumlah serta kualifikasi anggota direksi yang sesuai dengan ukuran, kompleksitas (karakteristik), kemampuan keuangan, dan sasaran bank.

d. Rentabilitas (Earning)

Bank yang sehat adalah bank yang diukur secara rentabilitas yang terus meningkat di atas standar yang telah ditetapkan (Kasmir, 2008:41). Faktor rentabilitas digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan

profitabilitas yang dicapai bank. Dalam penelitian ini, perhitungan rentabilitas dilakukan dengan menghitung tiga rasio yaitu Return On Assets (ROA), Return On Equity (ROE), dan beban ooperasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Semakin tinggi ROA, semakin baik produktivitas modal sendiri dalam meraih laba dan semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Kenaikan dalam ROE berarti terjadi keanikan laba bersih dari bank yang bersangkutan dan kenaikan nilai ROE akan menyebabkan kenaikan harga saham. Perhitungan atas ROA dan ROE dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bank Indonesia biasanya tidak memberlakukan ketentuan yang ketat terhadap rasio ini. Sepanjang suatu bank tidak mengalami kerugian atau tidak ada tanda-tanda atau kecendrungan untuk mengalami kerugian di masa yang akan datang.

Rasio BOPO adalah perbandingsn antara biaya operasional dan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Artinya, semakin rendah BOPO berarti semakin efisiensi kinerja bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka

keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar. Perhitungan atas rasio BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut :

e. Likuiditas (Liquidity)

Suatu bank dapat dikatakan likuid apabila bank dapat memenuhi semua kewajibannya, khususnya kewajiban jangka pendek yang berkaitan dengan simpanan masyarakat (simpanan, tabungan, giro) dan bank mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Untuk mengukur tingkat likuiditas bank digunakan rasio keuangan Loan to Deposit Ratio (LDR).

Perhitungan atas rasio LDR dapat dirumuskan sebagai berikut :

LDR paling sering digunakan oleh analisis keuangan dalam menilai suatu kinerja bank terutama dari seluruh jumlah kredit yang diberikan oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank. Alasan memilih variabel ini adalah dengan pertimbangan bahwa semakin besar jumlah kredit yang diberikan oleh bank maka akan semakin rendah tingkat likuiditas bank yang bersangkutan, namun dilain pihak semakin besar jumalh kredit yang diberikan diharapkan bank akan mendapatkan return yang tinggi pula. Hal tersebut akan mempengaruhi penilaian investor dalam mengambil

keputusan investasinya secara bersamaan akan mempengaruhi permintaan dan penawaran saham di pasar modal yang pada akhirnya memepengaruhi haraga saham yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan tingkat return saham bank. Tidak ada angka pasti untuk menentukan besarnya rasio yang menggambarkan tingkat likuiditas bank. Tetapi dari besarnya rasio yang diperoleh dapat diketahui seberapa besar pinjaman yang dibiayai oleh dana masyarakat oleh bank yang bersangkutan (Santoso, 1995:104).

f. Sensitivias (Sensitivity)

Aspek ini mulai diberlakukan oleh Bank Indonesia sejak bulan Mei 2004. Seperti kita ketahui dalam melepaskan kreditnya, perbankan harus memerhatikan dua unsur, yaitu: tingkat perolehan laba yang harus dicapai dan risiko yang akan dihadapi. Pertimbangan risiko yang harus diperhitungkan berkaitan erat dengan sensitivitas perbankan. Sensitivitas terhadap risiko ini penting agar tujuan memperoleh laba dapat tercapai dan pada akhirnya kesehatan bank juga terjamin. Risiko yang dihadapi terdiri dari risiko lingkungan, risiko manajemen, risiko penyerahan, dan risiko keuangan.

Dokumen terkait