• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum mengetahui metodologi pengajaran Kitab kuning, terlebih dahulu diperlukan pengertian metodologi itu sendiri, Menurut H.M.Arifin. M.Ed Kata metodologi berasal dari bahasa greek “metha” yang berarti melalui “hudos” yang berarti jalan atau cara, sedangkan “lugos” (yang kemudian logi) berarti ilmu pengetahuan . dengan demikian makna kata “metodologi” berarti ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui.10

Berdasarkan kutipan di atas bahwa kata metodologi berasal dari bahasa greek yang berarti ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui, dalam hubungannya dengan peroses belajar mengajar metode mengajar (teaching method) adalah suatu alat yang penerapan di arahkan untuk mencapai

9

Martin Van Belinessen, Kitab Kuning dan Tarekat (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 17. 10

Arifin, Hubungan Timbal Balik an Agama di lingkungan sekolah dan keluarga. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 141.

tujuan-tujuan yang di kehendaki sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam program pengajaran. Disamping itu pencampaian tujuan tersebut harus pula sistematis dan terformulasi sehingga ia dapat membentuk cara kerja ilmu pengetahuan yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang lahir dalam rangka pengembangan metode itu sendiri, sehubungan dalam hal ini, dalam buku methodik khusus pelajaran agama islam dikatakan pula sebagai berikut: secara bahasa "methodik"itu berasal dari kata "metode" (method), metode berarti suatu cara kerja yang sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan lain, ia merupakan jawaban atas pertanyaan "bagaimana" methodik (methodentic) artinya metodologi yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan formulasi metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian.11

Berdasarkan kutipan diatas jelas bahwa metodologi berarti salah satu kerja yang sistematis sehingga hasilnya dapat diformulasikan dengan mengunakan metode itu sendiri, oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa metode ini akan mengurangi kemungkinan berbuat salah, atas pilihan dari bermacam-macam tindakan, bahkan lebih jauh akan membuat si pelaksana tugas atau guru dapat mencapai tujuan dengan tepat dan cepat hasilnya dapat diyakini, dan kalau perlu dapat diperiksa kembali jalan pengajaran itu, dengan menyusun kembali jalan pengajaran itu dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang telah dilakukan, dan dengan itu bisa di perbaiki.

Hal yang demikian tidak mudah atau sukar dilakukan, jika tidak mengikuti metode yang tepat, guru dituntut menguasai metode pengajaran, agar bahan pelajaran yang diajarkan diterima dan dicerna oleh siswa.

11

Departemen Agama Republik Indonesia. Methodik Khusus Pengajaran Agama Islam. (Cet. I; Jakarta: 1981). h. 1.

Kitab kuning pada umunya berbahasa arab dan tidak mempunyai harkat maka dibutuhkan juga suatu metode untuk mengajarkan bagaimana kitab tersebut dapat dibaca oleh para siswa, dan sebelum menterjemahkan dan menguraikan materi pelajaran kitab kuning dan tentu dibahas matannya atau tata bahasanya.

Penguasan metode tersebut dalam mengajarkan kitab kuning harus mencangkup berbagai unsur penting seperti yang dikemukakan Drs. HD.Hidayat MA. Sebagai pengertian metode belajar yang dikutip sebagai berikut:

a. Memilih materi pelajaran yang hendak diajarkan.

b. Menyusun (mengurutkan) materi yang telah dipilih berdasarkan tingkat serta jenjang pendidikan.

c. Mengunakan teknik mengajar termasuk media pengajaran d. Evaluasi.12

Dari kutipan di atas diketahui bahwa unsur metode itu meliputi empat unsur, unsur-unsur ini merupakan yang harus ada dalam metode pengajaran, apakah ia dalam bentuk metode mengajar matan dan terjemahan yang banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren maupun metode aural atau oral aproach (takiyah, sam'iyah, safawiyah ) yang diterapkan di madrasah negeri seperti MTs.

Dalam metode aural, para ahli bahasa arab lebih banyak berorientasi kepada sistim bunyi, bentuk kata dan struktur kalimat. Para ahli bahasa dalam menerapkan metode ini bertumpu kepada hipotesis yang dapat di kutip sebagai berikut :

1. Bahasa itu adalah percakapan bukan tulisan . 2. Bahasa adalah kebiasaan yang teratur .

12

HD Hidayat, Metode Mengajar Bahasa Arab Di MTs, (Jakarata: Pembina Guru MTs, Bid Studi Bahasa Arab. 1993). h. 2

3. Yang perlu dipelajari pertama adalah bahasa bukan tentang bahasa (analisa bahasa yang biasa ditemui dibuku qawaid)

4. Bahasa adalah apa yang di ucapkan oleh (penutur) artinya (abna lughah) bukan yang seharusnya mereka katakan.

5. Bahasa didunia berbeda yang satu dengan yang lain.13

Lima hipotesis para ahli bahasa seperti yang diungkapkan diatas, sangat berpengaruh pada metode sam'iyah, safawiyah dalam pengajaran dan merupakan ciri-ciri penerapannya sebagai berikut :

1. Kegiatan proses belajar mengajar yang pertama kali di lakukan , bertujuan agar pengajar menguasai bahan pelajaran secara lisan terlebih dahulu, sebelum diperlihatkan kepada mereka bagaimana tulisannya. Dalam hal ini hendaknya guru betul-betul melatih mereka bagaimana mengucapkan huruf dan kalimat dengan intonasi yang baik. Jadi, metode ini mengajarkan empat keterampilan bahasa secara berimbang dengan urutan sebagai berikut: istima (menyimak), kalam (berbicara), qiraat (membaca), kitabah (menulis)

2. Langkah pertama dalam mengajar bahasa asing dengan metode ini ialah mengajarkan dialog-dialog yang mengandung ungkapan sebagai berikut :

- Yang digunakan penutur asli sehari-hari.

- Meliputi pola kalimat atau susunan kalimat tertentu yang sengaja akan dilatihkan selanjutnya, bagi pemula tentu saja struktur kalimat dasar yang tinggi frekuensinya.

Sedangkan kosakata yang harus diberikan masih terbatas sekali pada tingkat pemula ini, sebab paling penting disini adalah pelajar menguasai struktur atau

13

pola kalimat.

3. Susunan atau pola kalimat dengan cara meniru dan menghafal secara intensif, dengan tujuan agar pelajar menguasai benar susunan atau pola kalimat itu, sehingga mampu mengucap secara optimis, setiap kali diperlukan.

4. Materi dan proses belajar mengajar berjalan dari yang mudah kepada yang sulit.

5. Metode kitab kuning ini memberikan pemahaman kepada siswa tentang maksud dari satu materi yang dipelajari boleh jadi dalam penyampaian materi guru kitab kuning menggunakan kamus atau buku panduan lainnya untuk tambahan bagi siswa, dalam menjelaskan makna suatu kata atau kalimat, guru menggunakan berbagai media pengajaran yang sesuai (sebagaimana metode langsung seperti gambar, model sampel, dramatisasi) jadi guru kitab kuning diberi kebebasan dalam pemakai metode untuk pengajaran kitab kuning ini karna yang dibutuhkan dalam pengajaran kitab kuning tersebut adalah memberi pemahaman dan pengertian yang cukup kepada para siswa. Proses terjemahan kitab kuning dilakukan dengan cara menterjemahkan menurut nahwu dan syaraf (Qawaid) karena makna dan maksud dari suatu kalimat tergantung pada bentuk kalimatnya, oleh karena ini pelajaran nahwu dan syaraf sangat penting dipelajari sebagai dasar dari kitab kuning.

6. Qawaid (Tata bahasa dalam bahasa Arab) adalah salah satu unsur untuk dapat membaca kitab kuning bagaimana memberi suatu harkat sebuah kalimat qawaid yang dibutuhkan, karena betul dan salahnya suatu bacaan dalam membaca kitab kuning tergantung kepada qawaidnya.14 Qawaid memiliki tiga

unsur yaitu : - Nahwu. - Syaraf. - Balagah.

Tiga unsur dalam Qawaid ini merupakan kunci dari membaca kitab kuning dan juga disebut sebagai kitab gundul sebab tidak memiliki harkat.

Pengajaran kitab kuning yang merupakan pelajaran pokok pada madrasah dan pesantren yang diajarkan mayoritas oleh para kiyai yang sudah mempunyai kemampuan menguasai kitab kuning. Dalam memberikan pengajaran kitab kuning kepada para siswa guru yang mengajar kitab kuning memiliki gaya seni mengajar yang berbeda-beda baik di madrasah maupun dipesantren.

Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di dunia pesantren, memang terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajara dalam ritual keagamaan Hindu, dimana terdapat penghormatan yang besar oleh murid kepada gurunya. Sehubungan dengan hal ini Cak Nur menggambarkan, guru duduk diatas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya. Dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh

para murid terhadap guru seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang

disampaikan gurunya.15 Sehingga peran guru sangat fenomenal dan signifikan dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab guru adalah sebuah elemen dasar sebuah pesantren.16

Pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok ,yaitu kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajara kitab-kitab klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri

15

Nurcholis Madjid, Metodologi Penilitian, h. 22. 16

khusus yang di miliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.

Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantren sendiri, peranan dan kepribadian kiyai (anjengan ,tuan guru, dan lain sebagainya tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik-karismatik persis, sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutklak kepada kiyai karena salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri. Kepatuhannya harus diperluas, sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan a fartiori, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Kepatuhan ini, bagi pengamat luar, tampak lebih penting dari pada usaha menguasai ilmu tetapi bagi kiyai merupakan bagian integral ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asy’ari, founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad Abduh, namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir tersebut. Keberatannya bukan terhadap rasionalisme Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya terhadap ulama tradisional.17

Meskipun materi yang dipelajarinya terdiri dari teks tertulis, namun penyampaiannya secara lisan oleh para kiyai adalah penting. Kitab dibacakan keras-keras oleh kiyai didepan sekelompok santri, sementara para santri yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan sang kiyai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun ma’nawi (makna). Santri

boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit kitab

itu. Jarang sekali adanya usaha. Kiyai jarang menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari relevansi kekiniannya, baik secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang menjalankan system madrasah, ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan ijazah namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan metode tradisional, dimana beberapa santri kitab tertentu di bawah bimbingan sang kiyai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, Mereka mendapat ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu mereka bisa pindah kepesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kiyai yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Disamping mengajarkan kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relative sederhana.18

Pelaksanaan pengajaran kitab kuning berbeda dengan pelaksanaan pelajaran lainnya ini dapat digambarkan pada teori yang dipakai oleh kiyai seperti, seorang kiyai berada dihadapan para siswa atau santrinya dan membacakan sebuah kitab maka, para siswa atau santrinya mendengarkan dengan seksama agar bacaan kitab itu dapat mereka pahami dengan benar, setelah kiyai membacakan sebuah kitab maka kiyai biasa menanyakan kepada siswanya tentang kalimat Arab yang dibacakan, untuk pertama kali pengajaran ditujukan kepada kalimat Arabnya karena untuk memahami maknanya dari sebuah kitab harus terlebih dahulu memahami kalimatnya. Sedangkan pelajaran selain kitab kuning seorang pendidik cuma memberikan uraian

18

materi kepada siswanya.

Di dalam, menyajikan materi kitab kuning ada pembahasan yang harus diajarkan yaitu, kalimat Arabnya, artinya, tujuan dan maksudnya. Penguasan terhadap kalimat (matan) sangat diutamakan karena maksud dan tujuan dari pengarang berdasarkan kepada bentuk kalimatnya (tata bahasanya).

Di pesantren umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua sistem, yaitu sistem sorogan dan bandungan. Pada pengajaran dalam system soragan, santri satu per satu secara bergiliran menghadap kiyai dengan membawa kitab tertentu. Kiyai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri mengulangi bacaan kiyainya. Biasanya sistem sorogan dilakukan oleh santri yang masih junior dan terbatas pada kitab-kitab yang kecil saja. Adapun sistem bandungan adalah pengajaran kitab kuning secara klasikal. Semua santri menghadap Kiyai bersamaan. Kiyai membacakan isi kitab itu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan Kiyai di pinggir halaman kitabnya. Cara belajar seperti ini paling banyak dilakukan di pesantren. Dengan sistem bandungan kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat selesai diajarkan dalam waktu yang relatif singkat, seperti sebulan Ramadhan yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang.19

Penggaliaan hasanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu unsur terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu

19

Abdul Aziz dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam (Cet. 8; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 336.

keislaman, terutama yang bersifat kajian- kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karateristik yang merupakan ciri khas dalam proses belajar

mengajar di pesantren.20

Untuk mendalami kitab-kitab klasik tersebut, menurut Nurcholish Madjid biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau lebih dikenal dengan sorogan dan bondongan.21 Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih- lebih lagi kitabnya. Sedangkan, Sorongan adalah pengajian yang merupakan permintaan seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab tertentu. Pengajian dengan sistem sorongan ini biasanya diberikan kepada santri-santri yang cukup maju khususnya yang berminat menjadi kyai.22

Santri-santri tersebut selama di pesantren diajarkan kitab-kitab klasik, yang lebih di kenal dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari proses belajar mengajar di pesantren sangat penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas beragama) pada diri santri (thalib).23

Berdasarkan uraian diats dapat penulis tarik kesimpulan bahwa metodologi pengajaran bahasa arab ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui secara sistematis dan terformulasi, dan menjadi alat bagi guru dalam menyampaikan tujuan pengajaran kitab kuning, dan memudahkan bagi siswa atau santri mencerna kitab kuning tersebut dan menerapkannya. Maka melalui

20

Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan, (Cet. 2; Bandung: PT Remaja Rosda Karya), h. 116-117.

21

Nurcholis Madjid, Metodologi Penilitian (Cet, I; Jakarta: Bumi Aksara), h. 28. 22

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Cet, I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 68. 23

Ali Yafie, MenggagasFiqhi Sosial, dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga khuwah, (Cet. 1; Bandung: Mizan, 1994), h. 51.

metode pengajaran kitab kuning yang dipakai oleh guru dalam menyampaikan materi dapat memberikan hasil yang memuaskan seteleh selesai proses belajar mengajar di Desa Bonde Kec. Campalagian.