• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semua negara anggota WTO melakukan perlindungan terhadap sektor pertaniannya melalui perlindungan tarif yang diatur dalam komitmen akses pasar yang pada dasarnya terdiri dari tiga hal pokok yaitu tarifikasi (tariffication), penurunan tarif, dan peluang akses pasar (access opportunity). Dengan tarifikasi, hambatan non-tarif seperti kuota, variable levies, harga minimum, state trading, dan voluntary restraint agreement akan ditiadakan dan diganti dengan sistem tarif sehingga evaluasi lebih mudah dilaksanakan karena bersifat lebih transparan. Di samping itu, setiap negara diminta membuat rencana yang lebih spesifik mengenai rencana penurunan tarif untuk setiap komoditas yang dirundingkan. Penurunan tarif untuk produk pertanian secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tarif yang umum diterapkan oleh kebanyakan negara (Ad valorem tariffs) dan tarif yang bersifat spesifik (Specific tariffs). Tarif adalah kebijakan perdagangan yang paling sederhana, yaitu pajak yang dikenakan pada barang yang diimpor. Tujuan utama dari penerapan tarif adalah melindungi produsen–produsen domestik dari harga rendah sebagai akibat dari kompetisi impor. Penerapan tarif terhadap barang-barang impor akan meningkatkan harga yang diterima oleh produsen domestik. Efek dari tarif impor di negara kecil (small country) yaitu pada kasus dimana suatu negara tidak dapat mempengaruhi harga ekspor di pasar internasional diilustrasikan pada Gambar 1.

Tarif menyebabkan harga barang yang diimpor di negara yang menerapkan tarif meningkat sebesar t yaitu dari Pw menjadi Pw+t. Kenaikan harga akan meningkatkan produksi barang yang diimpor dari QS0 ke QS1. Sementara itu kenaikan harga menyebabkan tingkat konsumsi akan turun dari Qd0 menjadi Qd1. Oleh karena itu tarif mengakibatkan jumlah barang yang diimpor akan menurun di negara yang memberlakukan tarif. Dengan demikian jumlah permintaan impor turun dari QS0-Qd0

menjadi QS1-Qd1.

Gambar 1. Dampak Tarif Impor Terhadap Permintaan dan Penawaran

Pengertian konsep tarif optimum dalam teori perdagangan internasional adalah tingkat tarif yang dapat memaksimumkan manfaat neto yang bersumber dari meningkatnya nilai tukar perdagangan di negara yang memberlakukan tarif, sehingga dapat mengimbangi dampak negatif yang diakibatkan oleh berkurangnya volume perdagangan karena pemberlakuan tarif. Kajian ini hanya akan menghitung tarif optimum sebagai tarif bea-masuk yang dikenakan dan diharapkan menjamin tingkat harga tertentu di pasar domestik (harga eceran dan harga jual petani), dan pada gilirannya dapat menghasilkan keuntungan petani sekitar 20-30 persen.

Tingkat tarif optimum perlu dihitung dan diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Perhitungan tingkat tarif optimum perlu mengacu kepada tingkat harga di pasar dunia, nilai tukar rupiah terhadap US$, tingkat harga di pasar domestik yang ingin dicapai, dan tingkat harga jual petani untuk menjamin keuntungan yang layak. Oleh karena itu kriteria tarif optimum adalah tingkat tarif yang menjamin berlakunya tingkat harga petani yang dapat memberikan keuntungan bersih (return to management) usahatani pada kisaran yang dianggap layak.

2.2. Lokasi dan Data

Kajian akan dilakukan untuk cakupan nasional. Lokasi kajian adalah DKI Jakarta untuk pengumpulan data-data sekunder yang terkait dengan kajian penelitian, diantaranya Kementerian Perdagangan, Kantor Wilayah Bea Cukai Jakarta, Kementerian Pertanian, Pusat Data dan Statistuk Pertanian, dll. Kajian ini juga akan melakukan FGD

P S Pw D Q QS0 QS1 Qd1 Qd0 Pw+t 5

di Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Barat terkait dengan substansi kajian. Selain itu juntuk validasi data struktur ongkos usahatani dan marjin pemasaran beberapa komoditas strategis terpilih, akan dikumpulkan data dan informasi dari pedagang dan petani di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

2.3. Data dan Metoe Analisis 2.3.1. Jenis dan Sumber Data

Dampak tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan data sekunder, antara lain harga produsen, harga perdagangan besar, harga konsumen, harga dunia, nilai tukar, biaya transportasi, produksi, dan permintaan impor. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi maupun dokumentasi berbagai instansi di dalam negeri dan di luar negeri. Instansi-instansi tersebut antara lain adalah FAO, Badan Pusat Statistik, BULOG dan Kementerian Pertanian. Data struktur usaha tani diperoleh dari studi terdahulu dan parameter elastisitas diperoleh dari hasil estimasi persamaan regresi aspek terkait. Untuk validasi data struktur ongkos usahatani dan marjin pemasaran, akan dikumpulkan data dan informasi dari Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Komoditas yang akan dianalisis dalam kajian ini disajikan pada Tabel 1.

2.3.2. Metode Analisis

Penentuan Tingkat Harga yang Layak Untuk Komoditas Strategis

Untuk menentukan tingkat harga yang layak bagi komoditas strategis, digunakan analisis struktur ongkos usahatani. Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input yang mencakup lahan, tenaga kerja, sarana produksi dan peralatan yang dibeli (Mosher 1987). Dengan demikian kegiatan produksi adalah mengombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Biaya adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu produk dalam suatu proses produksi. Biaya usaha tani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam satu usaha tani. Biaya usaha tani biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: (a) biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan harus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh sedikit, misalnya pajak. Biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan

sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, misalnya biaya untuk sarana produksi, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan produksi.

Tabel 1. Daftar Komoditas yang Dianalisis dan Tingkat Tarif

No Komoditas Kode HS Applied Tarif Bound Tarif

1. Beras 1006.30.99 Rp.450,-/kg 40% 2. Jagung 1005.90.90 5% 40% 3. Kedelai 1201.90.00 0% 35% 4. Ubi Kayu 0714.10.11 5% 40% 5. Gula 1701.13.00 Rp. 550,-/Kg 95% 6. Bawang Putih 0710.10.01 5% 50% 7. Bawang Merah 0710.10.00 5% 50% 8. Daging Sapi 0207.11.00 20% 50%

Pendapatan dari usaha tani adalah total penerimaan yang berasal dari nilai penjualan hasil ditambah dari hasil-hasil yang lain dikurangi dengan total nilai pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran untuk input (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan), pengeluaran untuk upah tenaga kerja dari luar keluarga, pengeluaran pajak dan lain-lain (Hernanto 1993). Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Total biaya produksi dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut: TC = FC + VC di mana:
 TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp)


Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, sehingga penerimaan ini dapat ditulis sebagai berikut:

TR = Y. PY di mana:


TR = total penerimaan (Rp)


Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani (Rp) PY = Harga Y ( Rp )


Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya, sehingga dapat ditulis dengan rumus :

Pd = TR – TC

di mana:


Pd = Pendapatan usaha tani (Rp) TR = Total Penerimaan ( Rp )

TC = Total Biaya (Rp ) Review Applied Tariff Saat Ini

Untuk melakukan review terhadap applied tariff komoditas pertanian strategis dilakukan berdasarkan perkembangan tarif yang diberlakukan periode tahun 2013-2017 yang dimuat dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).

Analisis Tingkat Tarif

Penerapan tarif impor akan meningkatkan harga perdagangan besar di pasar domestik. Melalui proses transmisi harga, peningkatan harga perdagangan besar akan ditransmisikan ke harga di tingkat petani . Dengan kerangka analisis seperti ini dapat ditentukan harga di tingkat petani yang akan memberikan keuntungan kepada petani pada tingkat tertentu.

Penghitungan Harga Dunia dan Harga Paritas Impor

Harga komoditas di pasar dunia yang tercermin dari harga impor (CIF) di pelabuhan Indonesia dalam satuan mata uang rupiah dihitung dengan rumus:

PWR = PWD * ER ……….(1) dimana:

PWR = Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg)
 PWD = Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) dalam dolar ($US/kg) ER = Nilai tukar (Rp/$US)

Harga paritas impor di tingkat grosir (PIG) diperoleh melalui perkalian PWR dengan bilangan yang sudah memperhitungkan biaya bongkar dan administrasi di pelabuhan Indonesia (BL) :

PIG = BL* PG ... (2) Penghitungan Tarif Ad-valorem

Tarif ad-valorem awal (TR1), yaitu persentase perbedaan antara harga grosir (PG) dan harga paritas impor di tingkat grosir (PIG), dihitung dengan rumus berikut: TR1 = ((PG/PIG)-1)*100%... (3)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor

Beras

Dengan menggunakan metoda KSA (Kerangka Sampling Area), pada bulan Oktober 2018 BPS telah merilis revisi data produksi padi dan dan beras secara resmi untuk data tahun 2018, namun belum dirilis data-data back casting produksi tahun-tahun sebelumnya. Revisi produksi baru dilakukan untuk komoditas padi (beras) tahun-tahun 2018, sementara untuk komoditas lainnya juga belum dilakukan revisi. Oleh karena itu untuk menganalisis perkembangan produksi beberapa komoditas strategis periode 2013-2017 (periode analisis) masih akan menggunakan data produksi sebelum perubahan metoda KSA. Dengan menyandingkan perkembangan data tersebut, paling tidak dapat diperoleh informasi posisi keseimbangan produkssi, ekspor dan impor selama periode analisis dan arah kecenderungan yang terjadi. Angka-angka tersebut akan direvisi pada saat nanti BPS telah merilis hasil back casting angka revisi produksi tahun-tahun sebelum 2018.

Berdasarkan perhitungan BPS (2018) produksi padi periode Januari–September 2018 sebesar 49,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Berdasarkan potensi produksi sampai Desember 2018, maka diperkirakan total produksi padi tahun 2018 sebesar 56,54 juta ton GKG. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras dengan menggunakan angka konversi GKG ke beras tahun 2018, maka produksi padi tersebut setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara, dengan menggunakan angka rata-rata konsumsi per kapita per provinsi tahun 2017 sebesar 111,58 kg/kapita/tahun, dan jumlah penduduk menggunakan proyeksi penduduk pertengahan tahun 2018, maka jumlah konsumsi nasional tahun 2018 diperkirakan sebesar 29,57 juta ton. Berdasarkan keseimbangan produksi dan konsumsi beras 2018 tersebut, BPS menetapkan angka surplus produksi beras tahun 2018 sebesar sebesar 2,85 juta ton. Sementara perkembangan data produksi sebelum tahun 2018 menunjukkan trend produksi padi yang semakin meningkat (3,8%/tahun selama periode waktu lima tahun terakhir (2013-2017).

Data produksi dan kosumsi beras tahun 2018 dengan menggunakan kerangka KSA oleh BPS tersebut, produksi beras nasional berada pada posisi surplus. Dengan melihat perkembangan produksi dengan trend meningkat sementara tingkat konsumsi

per kapita beras konstan atau bahkan cenderung menurun (Kementan 2015), maka patut diduga produksi beras periode sebelum tahun 2018 juga berada pada posisi surplus. Hal ini konsisten jika dilihat dari perkembangan impor beras tahun 2016 ke 2017 yang turun dratis dari 1,28 juta ton menjadi hanya 302 ribu ton (Gambar 2).

Impor beras Indonesia adalah untuk jenis beras Thai hom mali rice, juga beras aromatik (fragrant), dan beras medium untuk keperluan stok (cadangan pangan) Bulog. Impor beras oleh Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam, India, dan Malaysia.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 2. Perkembangan produksi, ekspor dan impor beras, tahun 2013-2017

Walaupun tidak terlalu besar, Indonesia juga melakukan ekspor beras dan menunjukkan tren yang meningkat, terutama ekspor tahun 2016 ke 2017 yang meningkat secara substansial. Negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor beras Indonesia adalah Singapore, Timor Leste, Afrika Selatan, bahkan pada beberapa tahun terakhir Indonesia juga mengekspor beras ke Thailand, Filipina, dan Jerman. Data tentang negara tujuan ekspor beras Indonesia bervariasi menurut jenis beras yang diekspor. Untuk jenis beras fragrant, misalnya, maka tujuan utama adalah ke Bangladesh, Somalia, dan Belgia. Namun negara tujuan Belgia, Papua Nugini, Italia, Jerman, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan pasar ekspor beras Indonesia jenis fragrant yang cukup stabil (Kementerian Perdagangan, 2017). Kepercayaan negara-negara mitra dagang untuk mengimpor beras Indonesia harus dipertahankan dan bahkan perlu diperluas ke negara lain yang potensial. Pengembangan beras organik yang telah ada di beberapa lokasi saat ini perlu didorong sampai memperoleh

sertifikat internasional agar permintaan beras organik dunia dapat dipasok dari Indonesia.

Jagung

Produksi jagung selama kurun waktu 2013-2017 menunjukkan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu 10,40%/tahun, bahkan pertumbuhan produksi satu tahun terakhir (2017 terhadap 2016) mencapai 18,55%. Secara agregat produksi jagung meningkat dari tahun 2013 sebesar 18,51 juta ton menjadi 27,95 juta ton atau meningkat 51% 2014 (Gambar 3). Konsumsi jagung untuk rumah tangga (data Susenas) sangat kecil, namun sesungguhnya penggunaan jagung lebih banyak untuk pakan ternak. Kebutuhan/konsumsi pakan ternak nasional terus meningkat selama periode 2012-2018, yaitu dari sekitar 13,8 juta ton pada tahun 2012, terus meningkat sehingga pada tahun 2018 kebutuhan/konsumsi pakan ternak diprediksi mencapai 19,3 juta ton (GPMT 2018). Sementara jika ditinjau dari perkembangan produksi jagung sampai dengan 2018 menunjukkan produksi jagung lebih tinggi dari kebutuhan pakan ternak, namun Indonesai masih mengimpor jagung dalam jumlah terbatas karena beberapa alasan terutama karena produksi jagung bersifat musiman sementara kebutuhan jagung untuk pakan sepanjang musim. Kemampuan pabrik pakan untuk mengadakan stok juga terbatas demikian pula petani tidak melakukan stok karena tidak memiliki fasilitas gudang dan sarana pengering agar jagung memiliki Kadar ar sesuai untuk disimpan (KA 15%).

Kementerian Pertanian bertekat untuk menekan impor jagung melalui berbagai program peningkatan produksi jagung, hasilnya terlihat tahun 2016 dimana volume impor jagung menurun tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 Kementan melakukan pembatasan impor jagung untuk pakan, sehingga impor 2017 menurun drastis, yang ditunjukkan melalui pertumbuhan ekspor jagung periode 2013 -2017 menurun sebesar – 46,9%/tahun. Dalam hal in, jenis jagung yang diekspor dan diimpor Indonesia antara lain jagung manis beku, jagung brondong (popcorn), jagung pipilan kering, bibit jagung dan lain-lain. Jagung pipilan kering dan bibit jagung merupakan jenis jagung yang paling banyak diekspor/impor, sementara ekspor impor jenis lainnya sangat kecil.

Upaya peningkatan produksi yang dilakukan pemerintah berdampak pada penurunan impor jagung. Upaya menekan impor dilakukan pemerintah bukan hanya dengan mendorong peningkatan produksi di berbagai daerah sentra produksi, tetapi

juga menjalin kerja sama dengan asosiasi Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT). GPMT diminta mendorong perusahaan yang menjadi anggotanya lebih mengutamakan penyerapan jagung lokal untuk kebutuhan industrinya. Impor jagung Indonesia cenderung menurun, kecuali jagung untuk benih dan volume impor popcorn. Adapun negara asal jagung yang diimpor Indonesia utamanya adalah dari Brazil, Amerika Serikat, dan Argentina. Untuk mengurangi ketergantungan pada jagung yang bersumber dari impor, pemerintah menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi jagung dalam negeri, antara lain melalui program UPSUS Pajale sejak tahun 2015. Kemudian, mulai tahun 2017 dengan pertimbangan untuk mendorong petani jagung meningkatkan produksi dalam negeri, pemerintah melarang impor jagung

Impor jagung tahun 2017 untuk pakan ternak tidak dilakukan lagi. Impor jagung pipilan tahun 2017 dengan kode HS 10059090 yang merupakan jagung selain untuk benih dan jagung brondong, adalah merupakan jagung untuk industri makanan lain seperti pemanis buatan dari jagung dan lain-lain (Pusdatin 2018). Namun menjelang akhir tahun 2018, impor jagung untuk pakan kembali secara terbatas terpaksa dilakukan (yaitu sebesar 50.000-100.000 ton) karena kenaikan harga jagung cukup tinggi yang mengindikasikan pasokan dalam negeri tidak mencukupi permintaan.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 3. Perkembangan produksi, ekspor dan impor jagung, tahun 2013-2017

Ekspor jagung melonjak tajam pada tahun 2015 terhadap tahun Namun ekspor yang cukup tinggi tersebut hanya terjadi tahun 2015 dan tahun berikutnya ekspor

kembali turun, yang ditunjukkan melalui laju pertumbuhan periode 2013-2017 yang menurun -37,9%/tahun. Upaya mendorong ekspor dilakukan oleh Kementerian Pertanian khususnya ekspor jagung dari Gorontalo dan provinsi lainnya. Tujuan ekspor jagung Indonesia adalah ke Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan serta beberapa negara lainnya, namun dengan volume ekspor yang masih relatif kecil. Pada tahun 2017 dan 2018, Indonesia juga mengekspor jagung melalui Gorontalo sebesar 80 ribu ton dan ke Filipina. Sampai bulan Mei 2018 realisasi ekspor jagung Indonesia ke Filipina sudah mendekati 200 ribu ton. Selain itu, ekspor juga dilakukan oleh provinsi sentra produksi jagung nasional lainnya yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, dan Kalimantan.

Kedelai

Tidak seperti halnya padi dan jagung, produksi kedelai tidak menunjukkan perkembangan yang menggemberikan. Pada periode 2013-2017 pertumbuhan produksi cenderung kedelai menurun dengan laju 5,4%/tahun. Produksi kedelai tahun 2017 sebesar 542,45 ribu ton, sementara konsumsi kedelai nasional terus meningkat dan tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi domestik. Hal ini berdampak pada peningkatan impor kedelai yang cukup tinggi. Perkembangan impor kedelai pada 2013-2017 menunjukkan kenaikan (Gambar 4) dan impor tahun 2017 mencapai sekitar 2,65 juta ton, sementara untuk periode Januari-Juni 2018, impor kedelai telah mencapai 1,17 juta ton atau 43,7% dari total impor tahun sebelumnya.

Data Pusdatin Kementerian Pertanian menunjukkan konsumsi kedelai nasional pada 2016 mencapai 2,85 juta ton sementara produksi hanya 860 ribu ton, sehingga neraca kedelai nasional mengalami defisit 1,99 juta ton. Berdasarkan proyeksi, konsumsi kedelai, 2018 mencapai 3,05 juta ton sedangkan produksi hanya mencapai 864 ribu ton, sehingga terjadi defisit 2,19 juta ton. Defisit neraca kedelai akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.Namun demikian, Kementerian Pertanian mentargetkan akan dicapai swasembada kedelai pada 2021.

Impor kedelai oleh Indonesia dominan berasal dari Argentina dan Amerika Serikat, dua negara tersebut menjadi asal impor kedelai terbesar untuk Indonesia. Dari keduanya Indonesia mengimpor 2,7 juta ton kedelai pada 2017. Brasil menempati urutan ketiga negara asal impor. Dilihat dari pertumbuhan impor, selama 2013-2017 impor kedelai meningkat dengan laju 7,5%/tahun. Sebagai negara net importer kedelai, Indonesia juga melakukan ekspor kedelai namun dengan jumlah yang sangat kecil.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 4. Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai, tahun 2013-2017 Bawang Merah

Perkembangan produksi selama 2013-2017 tumbuh sebesar 9.1%/tahun, yaitu dari 1,01 juta ton menjadi 1,47 juta ton. Produksi bawang merah terkonsentrasi di empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat. Dari empat provinsi tersebut, memiliki pangsa sebesar 83,25% produksi bawang nasional, sehingga dapat dikatakan provinsi lain tergantung pasokan bawang merah dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat.

Seperti halnya komoditas pangan lainnya, produksi bawang bersifat musiman sementara konsumsi sepanjang musim dan stok bawang merah tidak dapat dilakukan dalam jangka lama. Konsekuensinya pada saat off season, permintaan bawang merah lebih besar daripada produksi sehinga dilakukan impor. Faktanya impor bawang merah memang terjadi namun cenderung menurun secara tajam sejak tahun 2015 dan bahkan tahun 2017 tidak ada impor bawang sebaliknya ekspor meningkat drastis dari tahun 2016 ke 2017 (Gambar 5). Namun jumlah yang diekspor masih relatif sangat kecil dibandingkan dengan perkembangan produksinya.

Pengembangan produksi diarahkan ke Kalimantan yang dimulai tahun 2013 seluas delapan hektar dan menunjukkan hasil produktivitas tinggi, sehingga luas areal terus ditingkatkan. Program penanaman bawang merah seluas 100 hektar dilakukan di Kabupaten Tapin pada 2015. Kementerian Pertanian juga mendorong Kalimantan untuk berswasembada bawang merah setelah melihat potensi produksi bawang merah yang dikembangkan di Kabupaten Tapin cukup menjanjikan. Bahkan Kalimantan ditargetkan bisa mewujudkan swasembada bawang merah sehingga untuk kebutuhan bawang merah tidak perlu mendatangkan dari Jawa, dan Nusa Tenggara Barat.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 5. Perkembangan produksi, ekspor dan impor Bawang Merah, tahun 2013-2017 Bawang putih

Perkembangan produksi, impor dan ekspor bawang putih Indonesia periode tahun 2013-2017 dapat dilihat pada Tabel 2. Produksi bawang putih secara konsisten terus meningkat dari 15,7 ribu ton tahun 2013 menjadi 21,1 ribu ton pada 2016. Namun demikian, produksi bawang putih kemudian menurun menjadi hanya 16,9 ribu ton pada tahun 2017. Rata-rata pertumbuhan produksi tahun 2013-2017 sebesar 3,67% per tahun.

Di dalam periode waktu yang sama, volume impor juga tampak meningkat relatif cepat. Laju pertumbuhan selama periode 2013-2017 sebesar 3,59% per tahun, atau meningkatkan dari 439,9 ribu ton pada tahun 2013 naik menjadi 549,8 ribu ton pada tahun 2017. Pada periode 2014-2016 terjadi penurunan impor bawang putih karena produksi bawang putih meningkat dan kemungkinan karena dikeluarkannya Permentan No. 3/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) pada tanggal 1 Februari 2012 yang paralel dengan Permendag No. 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH), namun kemudian impor meningkat lagi pada tahun 2017 karena produksi bawang putih menurun. Sebagian besar impor bawang putih berasal dari China, yaitu 98% dari total impor Indonesia.

Ekspor bawang putih meningkat drastis selama periode 2013-2014, yaitu naik dari 89,9 ton menjadi 224,1 ton. Walaupun Indonesia banyak mengimpor bawang putih, yaitu sekitar 90% dari total kebutuhan domestik, tetapi Indonesia juga mengekspor sedikit bawang putih. Rata-rata peningkatan ekspor selama 5 tahun

terakhir mencapai 22,63% per tahun. Sebagian besar ekspor bawang putih ditujukan ke Timur Leste dan sebagian kecil ke Amerika Serikat dan Malaysia.

Tabel 2. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor Bawang Putih, tahun 2013-2017

Tahun Produksi ( ton)1 Ekspor (Ton)2 Impor (1000 ton)3

2013 15766 89,9 439,9 2014 16894 224,1 491,1 2015 20295 204,6 479,9 2016 21150 348,5 444,3 2017 16980 289,4 549,8 Tren (%/th) 3,67 22,63 3,59

Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Ubi kayu

Gambaran tentang perkembangan produksi, impor dan ekspor ubi kayu selama 5 tahun terakhir (2013-2017) diperlihatkan pada Tabel 3. Produksi ubi kayu basah secara konsisten terus menurun cepat dengan rata-rata 5,97% per tahun. Pada tahun 2017, produksi ubi kayu hanya mencapai 19,05 juta ton turun dari 23,94 juta ton pada tahun 2013.

Tabel 3. Perkembangan produksi, ekspor dan impor ubi kayu, tahun 2013-2017

Tahun Produksi 1 (1000 ton) Ekspor 2 (Ton) Impor 3 (1000 ton) 2013 23936,9 127025 1000,7 2014 23436,4 78963 1659,5 2015 21801,4 6015 2719,4 2016 20260,7 37784 2895,6 2017 19045,6 5996 1767,4 Tren (%/th) -5,97 -55.37 13,79 Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Volume impor terus meningkat cepat selama tahun 2013-2016 tetapi kemudian menurun pada tahun 2017 yang hanya mencapai 1,77 juta ton (nilai impor US$ 127,1 juta), sementara pada tahun 2016 volume impor masih sebesar 2,85 juta ton setara ubi kayu basah. Secara rata-rata, impor produk ubi kayu selama 5 tahun terakhir meningkat sangat cepat yaitu 13,79% per tahun. Produk ubi kayu yang diimpor

Dokumen terkait