• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINGKAT TARIF BEBERAPA KOMODITAS PERTANIAN STRATEGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TINGKAT TARIF BEBERAPA KOMODITAS PERTANIAN STRATEGIS"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN

ANALISIS TINGKAT TARIF BEBERAPA KOMODITAS

PERTANIAN STRATEGIS

Tahlim Sudaryanto Sri Hery Susilowati

Reni Kustiari

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

SEKRETARIAT JENDERAL

KEMENTERIAN PERTANIAN

2018

(2)

KATA PENGANTAR

Pemerintah memainkan peran penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Hal ini dilakukan, antara lain, untuk mencapai swasembada pangan, penciptaan lapangan kerja, stabilisasi harga dan peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Peran penting ini direpresentasikan dalam bentuk berbagai kebijakan pemerintah, seperti kebijakan perdagangan dan kebijakan pertanian, termasuk kebijakan tarif. Penetapan tarif sebagai instrumen ekonomi dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidaklah mudah. Sebagaimana produk-produk pertanian lainnya, WTO selalu menekankan berlangsungnya mekanisme pasar yang bebas dari distorsi, baik dalam bentuk tarif maupun hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Sampai sejauh ini toleransi tarif ad valorem yang umumnya disetujui oleh WTO sangat rendah, yaitu maksimum 5 persen. Pada tingkat tarif seperti itu, proteksi yang dilakukan pemerintah untuk menghambat masuknya barang impor tidak banyak pengaruhnya. Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang mendesak saat ini adalah berapa tingkat tarif impor yang harus dikenakan untuk mengamankan harga komoditas pertanian di pasar domestik sehingga para petani dapat terlindungi dari persaingan produk impor

Puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa kegiatan Analisis Kebijakan ini telah dilaksanakan sesuai rencana, dan laporan akhir Analisis Kebijakan ini merupakan dokumen akhir hasil kegiatan ini. Kami menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung terlaksananya Analisis Kebijakan ini. Semoga laporan akhir ini bermanfaat bagi yang berkepentingan.

Bogor, Desember 2018 Kepala Pusat,

Dr. Ir. Abdul Basit, M.S. NIP. 196109291986031003

(3)

RINGKASAN

Laju pertumbuhan produksi, ekspor dan impor bawang putih Indonesia selama periode 2013-2017, masing-masing sebesar 3,67%; 22,63%; dan 3,59% per tahun. Sebaliknya, produksi dan impor ubi kayu menunjukkan penurunan, masing-masing sebesar 5,97% dan 55,37% per tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan impor ubi kayu dari luar negeri. Pada periode yang sama impor ubi kayu meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 13,79% per tahun. Selama periode 2013-2017, produksi, ekspor dan impor gula meningkat, masing-masing sebesar 2,66%; 32,56%; dan 11,19%. Sementara itu, produksi dan impor daging sapi meningkat, masing-masing sebesar 2,65% dan 33,36%.

Biaya produksi bawang putih per hektar mencapai Rp 82.1 juta per hektare. Sebagian besar dialokasikan untuk sarana produksi yang terdiri dari bibit (34.68%), pupuk (12.11%) dan pestisida (16.22%). Dengan tingkat total biaya tersebut maka biaya per kg bawang putih atau titik impas harga bawang putih sebesar Rp 9888 per kg umbi basah berdaun. Oleh karena itu tingkat harga yang layak diterima petani adalah titik impas harga ditambahkan dengan keuntungan sebesar 30%, karena usaha tani bawang putih relatif berisiko tinggi, yaitu sebesar Rp 12.854/kg.

Analisis usaha tani Ubi Kayu menunjukkan bahwa total biaya usaha tani untuk per hektar lahan Ubi Kayu mencapai sekitar Rp 14,58 juta, dialokasikan untuk bibit (34,29%), pupuk (10,85%) dan pestisida (2,40%). Dengan tingkat total biaya tersebut maka biaya per kg sebesar Rp 801 per kg dan harga layak sebesar Rp 1002/kg, yaitu dengan tingkat keuntungan sebesar 25%/kg.

Total biaya usaha tani per hektare lahan tebu adalah sekitar Rp 32,7 juta dengan pengeluaran terbesar untuk sewa lahan sebesar 32,37%, tenaga kerja 26,21% dan untuk sarana produksi 24,9%. Dengan tingkat total biaya tersebut maka biaya per kg adalah Rp 6420 per kg dan harga yang layak, dengan asumsi tingkat keuntungan 25% adalah Rp 8025/kg. Dengan harga referensi gula tingkat produsen yang ditetapkan oleh Kemdag tahun 2017 sebesar Rp9100/Kg, maka petani dapat menikmati keuntungan sekitar 41%.

Biaya per ekor sapi potong mencapai sekitar Rp 31,4 juta dengan pengeluaran terbesar untuk pembelian bibit sebesar 83,74% dari seluruh biaya yang dikeluarkan. Dengan tingkat total biaya tersebut maka biaya per kg atau titik impas harga sebesar Rp 42.145 per kg sapi hidup. Tingkat harga yang layak diterima petani, agar petani dapat menikmati tingkat keuntungan 25%, sebesar Rp 52.682/kg sapi hidup. Dengan harga referensi daging sapi tingkat konsumen yang ditetapkan oleh Kemdag tahun 2017 sebesar Rp80.000/Kg, maka diperkirakan petani masih akan dapat menikmati keuntungan.

Selama periode 2013- 2017, harga CIF, harga produsen, harga grosir dan harga eceran bawang putih menunjukkan pola pergerakan yang sama namun dengan tingkat fluktuasi yang berbeda. Laju pertumbuhan harga CIF, harga produsen, harga grosir dan harga eceran, masing-masing sebesar 14,95%; 15,65%; 17,29%; dan 13,31%. Harga domestik dan harga CIF bawang putih sedikit berfluktuasi dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 25,23%; 27.82%; 32.94%; dan 26.26%.

Selama periode 2013- 2017, laju pertumbuhan harga produsen, harga grosir dan harga eceran ubi kayu, masing-masing sebesar 5,94%; 4,79%; dan 4,30%, sebaliknya harga CIF menurun dengan laju sebesar 12,34% per tahun. Harga CIF ubi kayu sedikit berfluktuasi dengan koefisien keragaman sebesar 21,94%, sebaliknya harga produsen, harga grosir dan harga eceran tampak lebih stabil dengan koefisien keragaman

(4)

masing sebesar 9,47%; 7,84%; dan 7,61%. Pada periode yang sama harga CIF gula menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi, yaitu 12,69% per tahun, sedangkan harga produsen, harga grosir dan harga eceran gula, masing-masing meningkat sebesar 4,38%; 5,87%; dan 6,23%. Koefisien keragaman harga dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik. Koefisien keragaman harga CIF, harga produsen, harga grosir dan harga eceran gula sebesar 17,02%; 12,08%; 7,04%; dan 7,72%

Laju pertumbuhan harga produsen, harga grosir dan harga eceran daging sapi pada periode 2013-2017, masing-masing sebesar 9,59%; 6,93%; dan 6,21%, sebaliknya harga CIF menurun dengan laju sebesar 2,87% per tahun. Harga CIF, harga produsen, harga grosir dan harga eceran daging sapi sedikit berfluktuasi dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 16,13%; 15,18%; 11,20%; dan 9,96%.

Kebijakan impor bawang putih adalah penerapan tarif impor sebesar 5% (applied tarif) dan wajib tanam 5% dari total Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) kepada importir. Pemerintah hanya menerapkan tarif impor sebesar 5% untuk ubi kayu yang masuk ke Indonesia, walaupun bound tariff ubi kayu mencapai 40%.

Pemerintah juga menerbitkan Permendag No. 63 Tahun 2016 tentang harga acuan pembelian gula kristal di tingkat petani, masing-masing sebesar Rp 9.100/kg untuk harga dasar dan Rp 11.000/kg untuk harga lelang. Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat konsumen adalah Rp 13.000/kg. Permendag No. 27 Tahun 2017 yang menetapkan harga acuan gula petani (HPP) Rp 9.100/kg dan HET gula ditingkat konsumen Rp 12.500/kg. Kebijakan impor untuk melindungi petani tebu di Indonesia selama ini adalah pengenaan tarif MFN spesifik sebesar Rp 550 per kg, sementara tarif maksimal yang diperkenankan oleh WTO (bound tariff) adalah 95% dari harga dunia. Tarif impor daging sapi untuk melindungi peternak hanya sebesar 5% (applied tarif), walaupun bound tariff atau tariff maksimum untuk impor daging sapi dapat mencapai 50%.

Untuk melindungi petani bawang putih maka tarif impor bawang putih yang perlu dinaikan menjadi sekitar 18.7% atau ditingkatkan sebesar 13% karena tingkat tarif bawang putih pada saat ini hanya 5%. Demikian pula tarif ubi kayu perlu dinaikkan menjadi 7% karena tarif impor yang berlaku saat ini hanya 5%. Seperti bawang putih dan ubi kayu, tingkat tarif impor gula. Berdasarkan harga acuan sebesar Rp 9100/kg, maka tingkat tarif yang perlu diterapkan untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada petani adalah sekitar 14% atau ditingkatkan sebesar 7% karena tingkat tarif yang berlaku saat ini adalah Rp 550/kg, yaitu sekitar 7,34%/kg. Berdasarkan harga acuan dari analisis usaha ternak dengan tingkat keuntungan sebesar 25%, maka tingkat tarif yang perlu diterapkan adalah sebesar 26.3% atau ditingkatkan sebesar 21,3% karena tarif impor yang berlaku saat ini hanya 5%.

(5)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i RINGKASAN ……….. ii DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Dasar Pertimbangan ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 3 1.4. Luaran Penelitian ... 3 II. METODOLOGI ... 4 2.1. Kerangka Teoritis ... 4

2.2. Lokasi dan Responden ... 5

2.3. Data dan Metode Analisis ... 6

2.3.1. Jenis dan Sumber Data ... 6

2.3.2. Metode Analisis ... 6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

3.1. Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor ... 9

3.2. Analisis Struktur Ongkos Usahatani dan Perkembangan Harga…… 19

3.2.1. Analisis Tingkat Harga Layak Berdasarkan Struktur Ongkos Usahatani ... 19

3.2.2. Analisis Perkembangan Harga ... 27

3.3. Kebijakan Perdagangan ... 40

3.4. Analisis Tingkat Tarif yang Perlu Diterapkan ... 51

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 56

4.1. Kesimpulan ... 56

4.2. Rekomendasi Kebijakan ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(6)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Daftar Komoditas yang Dianalisis dan Tingkat Tarif ... 7 2 Perkembangan Produksi, Impor dan Ekspor Bawang Putih, tahun

2013-2017 ... 16 3 Perkembangan Produksi, Impor dan Ekspor Ubi kayu, Tahun

2013-2017 ... 16 4 Perkembangan produksi, ekspor dan impor gula, tahun 2013-2017 ... 18 5 Perkembangan produksi, ekspor dan impor daging sapi, tahun

2013-2017 ... 19 6 Perhitungan harga layak padi berdasarkan struktur ongkos usahatani,

tahun 2017 ... 20 7 Perhitungan harga layak jagung berdasarkan struktur ongkos

usahatani, tahun 2017 ... 22 8 Perhitungan harga layak kedelai berdasarkan struktur ongkos

usahatani, tahun 2017... 23 9 Perhitungan harga layak bawang merah berdasarkan

struktur ongkos usahatani, tahun 2017 ... 24 10 Struktur ongkos usaha tani bawang putih per ha di Kabupaten

Nganjuk, Provinsi Jawa timur, tahun 2017. ... 24 11 Struktur ongkos usaha tani ubi kayu per ha di Kabupaten Malang,

Provinsi Jawa Timur, tahun 2016 ... 25 12 Struktur ongkos usaha tani tebu, tahun 2017 ... 26 13 Struktur ongkos usaha tani penggemukan sapi potong, tahun 2017 ... 26 14 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan

harga eceran beras, tahun 2013-2017 ... 29 15 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan

harga eceran jagung, tahun 2013-2017 ... 31 16 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan

harga eceran kedelai, tahun 2013-2017 ... 33 17 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan

harga eceran bawang merah, tahun 2013-2017 ... 35 18 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan harga

eceran bawang putih, tahun 2013-2017 ... 36 19 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran ubi kayu,

tahun 2013-2017 ... 37

(7)

No. Halaman 20 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran gula, tahun 2013-2017 ... 38 21 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran daging

sapi, tahun 2013-2017 ... 40 22 Tarif impor menurut perhitungan vs tarif impor berlaku, tahun 2017 ... 53 23 Tarif impor menurut perhitungan vs tarif impor berlaku, tahun 2017 .... 55

(8)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Dampak Tarif Impor Terhadap Permintaan dan Penawaran ... 5 2 Perkembangan produksi, ekspor dan impor beras, tahun 2013-2017 ... 10 3 Perkembangan produksi, ekspor dan impor jagung, tahun 2013-2017 ... 12 4 Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai, tahun 2013-2017... 14 5 Perkembangan produksi, ekspor dan impor Bawang Merah, tahun

2013-2017... 15 6 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan harga

eceran beras, tahun 2013-2017 ... 29 7 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan harga

eceran beras, tahun 2013-2017 ... 31 8 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan harga

eceran kedelai, tahun 2013-2017 ... 33 9 Perkembangan harga impor, harga produsen, harga grosir dan harga

eceran bawang putih, tahun 2013-2017 ... 35 10 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran ubi kayu,

tahun 2013-2017 ... 37 11 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran gula,

tahun 2013-2017 ... 38 12 Perkembangan harga impor, harga grosir dan harga eceran daging

sapi, tahun 2013 - 2017 ... 39

(9)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemerintah memainkan peran penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Hal ini dilakukan, antara lain, untuk mencapai swasembada pangan, penciptaan lapangan kerja, stabilisasi harga dan peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Peran penting ini direpresentasikan dalam bentuk berbagai kebijakan pemerintah, seperti kebijakan perdagangan dan kebijakan pertanian, berupa kebijakan tarif, dukungan harga, pembayaran langsung, dan subsidi input untuk mempengaruhi biaya dan ketersediaan input produksi (kredit, pupuk, benih, dan irigasi).

Pemerintah di negara berkembang berupaya agar dapat selalu memberikan perlindungan tarif untuk komoditas strategis, untuk pembangunan an pedesaan, keamanan kehidupan masyarakat dan ketahanan pangan. Perlindungan tarif dapat digunakan oleh semua negara anggota WTO, namun tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan kata lain, semua tarif yang dinegosiasikan dalam kerangka WTO harus diberlakukan secara non-diskriminasi.

Salvatore (1995) membagi tarif atas tiga jenis, yaitu: (1) tarif spesifik (specific tarif)); (2) tarif ad-valorem (ad valorem tariff); dan (3) tarif campuran (compound tariff). Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan sebagai beban tetap dari setiap unit barang yang diimpor. Dalam penerapan kebijakan ini dapat ditempuh secara diskriminatif, misalnya dengan menetapkan bea masuk tertentu pada saat berlangsung panen raya padi di Indonesia, sedangkan di luar masa panen raya tersebut diberlakukan ketentuan bebas tarif. Besarnya tarif spesifik ini perlu dihitung secara tersendiri, dengan mempertimbangkan jumlah penawaran suatu komoditas di pasar dunia pada saat berlangsungnya panen raya padi di Indonesia. Dalam konteks yang berbeda, diskriminasi tarif juga dilakukan oleh Amerika Serikat dalam impor daging sapi dari negara-negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (Paarlberg dan Lee 1998).

Tarif ad valorem adalah tarif yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang diimpor. Penerapan tarif jenis ini ditentukan oleh dua faktor. yaitu tingkat harga di pasar dunia dan nilai tukar rupiah. Bila nilai tukar rupiah cenderung melemah, khususnya saat panen raya, maka kebijakan tarifikasi dalam

(10)

bentuk tarif ad valorem tidak perlu dilakukan. Sebaliknya, jika nilai tukar rupiah cenderung menguat, kebijakan tarif ad valorem perlu segera diterapkan, untuk menghindari turunnya harga di bawah harga patokan yang telah ditetapkan.

Bila kedua jenis tarif yang telah dijelaskan terdahulu akan diterapkan secara bersamaan dalam bentuk tarif campuran, maka diperlukan suatu kondisi tertentu untuk penerapannya. Kondisi tersebut antara lain berupa menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya harga komoditas di pasar, sehingga dengan penerapan tarif ad valorem memerlukan persentase yang sangat tinggi.

Ada tiga alasan utama yang sering dikemukakan mengenai perlunya proteksi terhadap sektor-sektor perekonomian di dalam negeri. Pertama, untuk melindungi tenaga kerja domestik dari tekanan persaingan produk impor yang menggunakan tenaga kerja murah. Kedua, untuk menyamakan harga produk impor dengan harga produk domestik, sehingga memungkinkan para produsen domestik untuk bersaing dengan produsen dari negara-negara lain (Johnson, 1987). Namun alasan ini telah mengurangi atau bahkan menghilangkan selisih harga internasional yang menjadi landasan berlangsungnya perdagangan antar negara, sehingga akan melenyapkan hubungan ekonomi antar negara dengan segala keuntungannya. Menurut Corden (1974), suatu distorsi yang murni bersifat domestik harus diatasi dengan suatu kebijakan yang murni bersifat domestik pula. Ketiga, pemberlakuan proteksi non tarif adalah untuk mengurangi pengangguran domestik dan mengatasi defisit neraca pembayaran suatu negara. Alasan ini dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa jika sebagian pasokan produk itu digantikan dengan produksi domestik, maka defisit neraca pembayaran dapat diatasi dan akan tercipta sejumlah lapangan kerja baru. Namun alasan tersebut mengandung kelemahan, yakni melalaikan kemungkinan terjadinya tindakan pembalasan dari negara lain. Tindakan pembalasan tersebut, pada akhirnya dapat meningkatkan angka pengangguran serta menciptakan defisit neraca pembayaran yang lebih besar.

Penetapan tarif sebagai instrumen ekonomi dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidaklah mudah. Sebagaimana produk-produk pertanian lainnya, WTO selalu menekankan berlangsungnya mekanisme pasar yang bebas dari distorsi, baik dalam bentuk tarif maupun hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Sampai sejauh ini toleransi tarif ad valorem yang umumnya disetujui oleh WTO sangat rendah, yaitu maksimum 5 persen. Pada tingkat tarif seperti itu, proteksi yang dilakukan pemerintah

(11)

untuk menghambat masuknya barang impor tidak banyak pengaruhnya. Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang mendesak saat ini adalah berapa tingkat tarif impor yang harus dikenakan untuk mengamankan harga komoditas pertanian di pasar domestik sehingga para petani dapat terlindungi dari persaingan produk impor. 1.2. Dasar Pertimbangan

Aturan WTO memperkenankan negara anggotanya menerapkan applied tariff maximum sama dengan bound tariff yang sudah didaftarkan pada Schedule XXI – WTO, namun dengan pertimbangan beberapa hal, antara lain, daya beli masyarakat Indonesia, maka pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor yang jauh dibawah bound tariff dengan kisaran antara 0% - 5%. Bila dibandingkan dengan applied tariff beberapa tahun sebelumnya yang berkisar antara 5% - 10%, maka terlihat bahwa mulai tahun 1998 applied tariff yang diterapkan di Indonesia khususnya untuk produk pertanian sangatlah kecil. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian efektivitas penerapan dan perlindungan tarif yang optimal untuk komoditas pertanian. 1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui tingkat applied tarif yang optimal untuk beberapa komoditas pertanian Indonesia. Secara spesifik kajian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat harga yang layak untuk komoditas pertanian strategis; 2. Melakukan review applied tariff yang berlaku saat ini;

3. Melakukan analisis tingkat tarif yang perlu diterapkan;

4. Merumuskan rekomendasi kebijakan tarif sebagai instrumen proteksi komoditas pertanian.

1.4. Luaran Penelitian

Luaran penelitian ini adalah data dan informasi tingkat applied tarif yang optimal untuk beberapa komoditas pertanian Indonesia. Secara spesifik data dan informasi tersebut mencakup:

1. Hasil analisis tingkat harga yang layak untuk komoditas pertanian strategis; 2. Hasil review applied tariff saat ini;

3. Hasil analisis tingkat tarif yang perlu diterapkan;

4. Rumusan rekomendasi kebijakan tarif sebagai instrumen proteksi komoditas pertanian.

(12)

II. METODOLOGI 2.1. Kerangka Teoritis

Semua negara anggota WTO melakukan perlindungan terhadap sektor pertaniannya melalui perlindungan tarif yang diatur dalam komitmen akses pasar yang pada dasarnya terdiri dari tiga hal pokok yaitu tarifikasi (tariffication), penurunan tarif, dan peluang akses pasar (access opportunity). Dengan tarifikasi, hambatan non-tarif seperti kuota, variable levies, harga minimum, state trading, dan voluntary restraint agreement akan ditiadakan dan diganti dengan sistem tarif sehingga evaluasi lebih mudah dilaksanakan karena bersifat lebih transparan. Di samping itu, setiap negara diminta membuat rencana yang lebih spesifik mengenai rencana penurunan tarif untuk setiap komoditas yang dirundingkan. Penurunan tarif untuk produk pertanian secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tarif yang umum diterapkan oleh kebanyakan negara (Ad valorem tariffs) dan tarif yang bersifat spesifik (Specific tariffs). Tarif adalah kebijakan perdagangan yang paling sederhana, yaitu pajak yang dikenakan pada barang yang diimpor. Tujuan utama dari penerapan tarif adalah melindungi produsen–produsen domestik dari harga rendah sebagai akibat dari kompetisi impor. Penerapan tarif terhadap barang-barang impor akan meningkatkan harga yang diterima oleh produsen domestik. Efek dari tarif impor di negara kecil (small country) yaitu pada kasus dimana suatu negara tidak dapat mempengaruhi harga ekspor di pasar internasional diilustrasikan pada Gambar 1.

Tarif menyebabkan harga barang yang diimpor di negara yang menerapkan tarif meningkat sebesar t yaitu dari Pw menjadi Pw+t. Kenaikan harga akan

meningkatkan produksi barang yang diimpor dari QS0 ke QS1. Sementara itu kenaikan

harga menyebabkan tingkat konsumsi akan turun dari Qd0 menjadi Qd1. Oleh karena itu

tarif mengakibatkan jumlah barang yang diimpor akan menurun di negara yang memberlakukan tarif. Dengan demikian jumlah permintaan impor turun dari QS0-Qd0

menjadi QS1-Qd1.

(13)

Gambar 1. Dampak Tarif Impor Terhadap Permintaan dan Penawaran

Pengertian konsep tarif optimum dalam teori perdagangan internasional adalah tingkat tarif yang dapat memaksimumkan manfaat neto yang bersumber dari meningkatnya nilai tukar perdagangan di negara yang memberlakukan tarif, sehingga dapat mengimbangi dampak negatif yang diakibatkan oleh berkurangnya volume perdagangan karena pemberlakuan tarif. Kajian ini hanya akan menghitung tarif optimum sebagai tarif bea-masuk yang dikenakan dan diharapkan menjamin tingkat harga tertentu di pasar domestik (harga eceran dan harga jual petani), dan pada gilirannya dapat menghasilkan keuntungan petani sekitar 20-30 persen.

Tingkat tarif optimum perlu dihitung dan diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Perhitungan tingkat tarif optimum perlu mengacu kepada tingkat harga di pasar dunia, nilai tukar rupiah terhadap US$, tingkat harga di pasar domestik yang ingin dicapai, dan tingkat harga jual petani untuk menjamin keuntungan yang layak. Oleh karena itu kriteria tarif optimum adalah tingkat tarif yang menjamin berlakunya tingkat harga petani yang dapat memberikan keuntungan bersih (return to management) usahatani pada kisaran yang dianggap layak.

2.2. Lokasi dan Data

Kajian akan dilakukan untuk cakupan nasional. Lokasi kajian adalah DKI Jakarta untuk pengumpulan data-data sekunder yang terkait dengan kajian penelitian, diantaranya Kementerian Perdagangan, Kantor Wilayah Bea Cukai Jakarta, Kementerian Pertanian, Pusat Data dan Statistuk Pertanian, dll. Kajian ini juga akan melakukan FGD

P S Pw D Q QS0 QS1 Qd1 Qd0 Pw+t 5

(14)

di Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Barat terkait dengan substansi kajian. Selain itu juntuk validasi data struktur ongkos usahatani dan marjin pemasaran beberapa komoditas strategis terpilih, akan dikumpulkan data dan informasi dari pedagang dan petani di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

2.3. Data dan Metoe Analisis 2.3.1. Jenis dan Sumber Data

Dampak tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan data sekunder, antara lain harga produsen, harga perdagangan besar, harga konsumen, harga dunia, nilai tukar, biaya transportasi, produksi, dan permintaan impor. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi maupun dokumentasi berbagai instansi di dalam negeri dan di luar negeri. Instansi-instansi tersebut antara lain adalah FAO, Badan Pusat Statistik, BULOG dan Kementerian Pertanian. Data struktur usaha tani diperoleh dari studi terdahulu dan parameter elastisitas diperoleh dari hasil estimasi persamaan regresi aspek terkait. Untuk validasi data struktur ongkos usahatani dan marjin pemasaran, akan dikumpulkan data dan informasi dari Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Komoditas yang akan dianalisis dalam kajian ini disajikan pada Tabel 1.

2.3.2. Metode Analisis

Penentuan Tingkat Harga yang Layak Untuk Komoditas Strategis

Untuk menentukan tingkat harga yang layak bagi komoditas strategis, digunakan analisis struktur ongkos usahatani. Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input yang mencakup lahan, tenaga kerja, sarana produksi dan peralatan yang dibeli (Mosher 1987). Dengan demikian kegiatan produksi adalah mengombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Biaya adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu produk dalam suatu proses produksi. Biaya usaha tani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam satu usaha tani. Biaya usaha tani biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: (a) biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan harus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh sedikit, misalnya pajak. Biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan

(15)

sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, misalnya biaya untuk sarana produksi, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan produksi.

Tabel 1. Daftar Komoditas yang Dianalisis dan Tingkat Tarif

No Komoditas Kode HS Applied Tarif Bound Tarif

1. Beras 1006.30.99 Rp.450,-/kg 40% 2. Jagung 1005.90.90 5% 40% 3. Kedelai 1201.90.00 0% 35% 4. Ubi Kayu 0714.10.11 5% 40% 5. Gula 1701.13.00 Rp. 550,-/Kg 95% 6. Bawang Putih 0710.10.01 5% 50% 7. Bawang Merah 0710.10.00 5% 50% 8. Daging Sapi 0207.11.00 20% 50%

Pendapatan dari usaha tani adalah total penerimaan yang berasal dari nilai penjualan hasil ditambah dari hasil-hasil yang lain dikurangi dengan total nilai pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran untuk input (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan), pengeluaran untuk upah tenaga kerja dari luar keluarga, pengeluaran pajak dan lain-lain (Hernanto 1993). Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Total biaya produksi dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut: TC = FC + VC di mana:
 TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp)


Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, sehingga penerimaan ini dapat ditulis sebagai berikut:

TR = Y. PY di mana:


TR = total penerimaan (Rp)


Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani (Rp) PY = Harga Y ( Rp )


Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya, sehingga dapat ditulis dengan rumus :

Pd = TR – TC

(16)

di mana:


Pd = Pendapatan usaha tani (Rp) TR = Total Penerimaan ( Rp )

TC = Total Biaya (Rp ) Review Applied Tariff Saat Ini

Untuk melakukan review terhadap applied tariff komoditas pertanian strategis dilakukan berdasarkan perkembangan tarif yang diberlakukan periode tahun 2013-2017 yang dimuat dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).

Analisis Tingkat Tarif

Penerapan tarif impor akan meningkatkan harga perdagangan besar di pasar domestik. Melalui proses transmisi harga, peningkatan harga perdagangan besar akan ditransmisikan ke harga di tingkat petani . Dengan kerangka analisis seperti ini dapat ditentukan harga di tingkat petani yang akan memberikan keuntungan kepada petani pada tingkat tertentu.

Penghitungan Harga Dunia dan Harga Paritas Impor

Harga komoditas di pasar dunia yang tercermin dari harga impor (CIF) di pelabuhan Indonesia dalam satuan mata uang rupiah dihitung dengan rumus:

PWR = PWD * ER ……….(1) dimana:

PWR = Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg)
 PWD = Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) dalam dolar ($US/kg) ER = Nilai tukar (Rp/$US)

Harga paritas impor di tingkat grosir (PIG) diperoleh melalui perkalian PWR dengan bilangan yang sudah memperhitungkan biaya bongkar dan administrasi di pelabuhan Indonesia (BL) :

PIG = BL* PG ... (2) Penghitungan Tarif Ad-valorem

Tarif ad-valorem awal (TR1), yaitu persentase perbedaan antara harga grosir (PG) dan harga paritas impor di tingkat grosir (PIG), dihitung dengan rumus berikut: TR1 = ((PG/PIG)-1)*100%... (3)

(17)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor

Beras

Dengan menggunakan metoda KSA (Kerangka Sampling Area), pada bulan Oktober 2018 BPS telah merilis revisi data produksi padi dan dan beras secara resmi untuk data tahun 2018, namun belum dirilis data-data back casting produksi tahun-tahun sebelumnya. Revisi produksi baru dilakukan untuk komoditas padi (beras) tahun-tahun 2018, sementara untuk komoditas lainnya juga belum dilakukan revisi. Oleh karena itu untuk menganalisis perkembangan produksi beberapa komoditas strategis periode 2013-2017 (periode analisis) masih akan menggunakan data produksi sebelum perubahan metoda KSA. Dengan menyandingkan perkembangan data tersebut, paling tidak dapat diperoleh informasi posisi keseimbangan produkssi, ekspor dan impor selama periode analisis dan arah kecenderungan yang terjadi. Angka-angka tersebut akan direvisi pada saat nanti BPS telah merilis hasil back casting angka revisi produksi tahun-tahun sebelum 2018.

Berdasarkan perhitungan BPS (2018) produksi padi periode Januari–September 2018 sebesar 49,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Berdasarkan potensi produksi sampai Desember 2018, maka diperkirakan total produksi padi tahun 2018 sebesar 56,54 juta ton GKG. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras dengan menggunakan angka konversi GKG ke beras tahun 2018, maka produksi padi tersebut setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara, dengan menggunakan angka rata-rata konsumsi per kapita per provinsi tahun 2017 sebesar 111,58 kg/kapita/tahun, dan jumlah penduduk menggunakan proyeksi penduduk pertengahan tahun 2018, maka jumlah konsumsi nasional tahun 2018 diperkirakan sebesar 29,57 juta ton. Berdasarkan keseimbangan produksi dan konsumsi beras 2018 tersebut, BPS menetapkan angka surplus produksi beras tahun 2018 sebesar sebesar 2,85 juta ton. Sementara perkembangan data produksi sebelum tahun 2018 menunjukkan trend produksi padi yang semakin meningkat (3,8%/tahun selama periode waktu lima tahun terakhir (2013-2017).

Data produksi dan kosumsi beras tahun 2018 dengan menggunakan kerangka KSA oleh BPS tersebut, produksi beras nasional berada pada posisi surplus. Dengan melihat perkembangan produksi dengan trend meningkat sementara tingkat konsumsi

(18)

per kapita beras konstan atau bahkan cenderung menurun (Kementan 2015), maka patut diduga produksi beras periode sebelum tahun 2018 juga berada pada posisi surplus. Hal ini konsisten jika dilihat dari perkembangan impor beras tahun 2016 ke 2017 yang turun dratis dari 1,28 juta ton menjadi hanya 302 ribu ton (Gambar 2).

Impor beras Indonesia adalah untuk jenis beras Thai hom mali rice, juga beras aromatik (fragrant), dan beras medium untuk keperluan stok (cadangan pangan) Bulog. Impor beras oleh Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam, India, dan Malaysia.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 2. Perkembangan produksi, ekspor dan impor beras, tahun 2013-2017

Walaupun tidak terlalu besar, Indonesia juga melakukan ekspor beras dan menunjukkan tren yang meningkat, terutama ekspor tahun 2016 ke 2017 yang meningkat secara substansial. Negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor beras Indonesia adalah Singapore, Timor Leste, Afrika Selatan, bahkan pada beberapa tahun terakhir Indonesia juga mengekspor beras ke Thailand, Filipina, dan Jerman. Data tentang negara tujuan ekspor beras Indonesia bervariasi menurut jenis beras yang diekspor. Untuk jenis beras fragrant, misalnya, maka tujuan utama adalah ke Bangladesh, Somalia, dan Belgia. Namun negara tujuan Belgia, Papua Nugini, Italia, Jerman, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan pasar ekspor beras Indonesia jenis fragrant yang cukup stabil (Kementerian Perdagangan, 2017). Kepercayaan negara-negara mitra dagang untuk mengimpor beras Indonesia harus dipertahankan dan bahkan perlu diperluas ke negara lain yang potensial. Pengembangan beras organik yang telah ada di beberapa lokasi saat ini perlu didorong sampai memperoleh

(19)

sertifikat internasional agar permintaan beras organik dunia dapat dipasok dari Indonesia.

Jagung

Produksi jagung selama kurun waktu 2013-2017 menunjukkan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu 10,40%/tahun, bahkan pertumbuhan produksi satu tahun terakhir (2017 terhadap 2016) mencapai 18,55%. Secara agregat produksi jagung meningkat dari tahun 2013 sebesar 18,51 juta ton menjadi 27,95 juta ton atau meningkat 51% 2014 (Gambar 3). Konsumsi jagung untuk rumah tangga (data Susenas) sangat kecil, namun sesungguhnya penggunaan jagung lebih banyak untuk pakan ternak. Kebutuhan/konsumsi pakan ternak nasional terus meningkat selama periode 2012-2018, yaitu dari sekitar 13,8 juta ton pada tahun 2012, terus meningkat sehingga pada tahun 2018 kebutuhan/konsumsi pakan ternak diprediksi mencapai 19,3 juta ton (GPMT 2018). Sementara jika ditinjau dari perkembangan produksi jagung sampai dengan 2018 menunjukkan produksi jagung lebih tinggi dari kebutuhan pakan ternak, namun Indonesai masih mengimpor jagung dalam jumlah terbatas karena beberapa alasan terutama karena produksi jagung bersifat musiman sementara kebutuhan jagung untuk pakan sepanjang musim. Kemampuan pabrik pakan untuk mengadakan stok juga terbatas demikian pula petani tidak melakukan stok karena tidak memiliki fasilitas gudang dan sarana pengering agar jagung memiliki Kadar ar sesuai untuk disimpan (KA 15%).

Kementerian Pertanian bertekat untuk menekan impor jagung melalui berbagai program peningkatan produksi jagung, hasilnya terlihat tahun 2016 dimana volume impor jagung menurun tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 Kementan melakukan pembatasan impor jagung untuk pakan, sehingga impor 2017 menurun drastis, yang ditunjukkan melalui pertumbuhan ekspor jagung periode 2013 -2017 menurun sebesar – 46,9%/tahun. Dalam hal in, jenis jagung yang diekspor dan diimpor Indonesia antara lain jagung manis beku, jagung brondong (popcorn), jagung pipilan kering, bibit jagung dan lain-lain. Jagung pipilan kering dan bibit jagung merupakan jenis jagung yang paling banyak diekspor/impor, sementara ekspor impor jenis lainnya sangat kecil.

Upaya peningkatan produksi yang dilakukan pemerintah berdampak pada penurunan impor jagung. Upaya menekan impor dilakukan pemerintah bukan hanya dengan mendorong peningkatan produksi di berbagai daerah sentra produksi, tetapi

(20)

juga menjalin kerja sama dengan asosiasi Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT). GPMT diminta mendorong perusahaan yang menjadi anggotanya lebih mengutamakan penyerapan jagung lokal untuk kebutuhan industrinya. Impor jagung Indonesia cenderung menurun, kecuali jagung untuk benih dan volume impor popcorn. Adapun negara asal jagung yang diimpor Indonesia utamanya adalah dari Brazil, Amerika Serikat, dan Argentina. Untuk mengurangi ketergantungan pada jagung yang bersumber dari impor, pemerintah menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi jagung dalam negeri, antara lain melalui program UPSUS Pajale sejak tahun 2015. Kemudian, mulai tahun 2017 dengan pertimbangan untuk mendorong petani jagung meningkatkan produksi dalam negeri, pemerintah melarang impor jagung

Impor jagung tahun 2017 untuk pakan ternak tidak dilakukan lagi. Impor jagung pipilan tahun 2017 dengan kode HS 10059090 yang merupakan jagung selain untuk benih dan jagung brondong, adalah merupakan jagung untuk industri makanan lain seperti pemanis buatan dari jagung dan lain-lain (Pusdatin 2018). Namun menjelang akhir tahun 2018, impor jagung untuk pakan kembali secara terbatas terpaksa dilakukan (yaitu sebesar 50.000-100.000 ton) karena kenaikan harga jagung cukup tinggi yang mengindikasikan pasokan dalam negeri tidak mencukupi permintaan.

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 3. Perkembangan produksi, ekspor dan impor jagung, tahun 2013-2017

Ekspor jagung melonjak tajam pada tahun 2015 terhadap tahun Namun ekspor yang cukup tinggi tersebut hanya terjadi tahun 2015 dan tahun berikutnya ekspor

(21)

kembali turun, yang ditunjukkan melalui laju pertumbuhan periode 2013-2017 yang menurun -37,9%/tahun. Upaya mendorong ekspor dilakukan oleh Kementerian Pertanian khususnya ekspor jagung dari Gorontalo dan provinsi lainnya. Tujuan ekspor jagung Indonesia adalah ke Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan serta beberapa negara lainnya, namun dengan volume ekspor yang masih relatif kecil. Pada tahun 2017 dan 2018, Indonesia juga mengekspor jagung melalui Gorontalo sebesar 80 ribu ton dan ke Filipina. Sampai bulan Mei 2018 realisasi ekspor jagung Indonesia ke Filipina sudah mendekati 200 ribu ton. Selain itu, ekspor juga dilakukan oleh provinsi sentra produksi jagung nasional lainnya yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, dan Kalimantan.

Kedelai

Tidak seperti halnya padi dan jagung, produksi kedelai tidak menunjukkan perkembangan yang menggemberikan. Pada periode 2013-2017 pertumbuhan produksi cenderung kedelai menurun dengan laju 5,4%/tahun. Produksi kedelai tahun 2017 sebesar 542,45 ribu ton, sementara konsumsi kedelai nasional terus meningkat dan tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi domestik. Hal ini berdampak pada peningkatan impor kedelai yang cukup tinggi. Perkembangan impor kedelai pada 2013-2017 menunjukkan kenaikan (Gambar 4) dan impor tahun 2017 mencapai sekitar 2,65 juta ton, sementara untuk periode Januari-Juni 2018, impor kedelai telah mencapai 1,17 juta ton atau 43,7% dari total impor tahun sebelumnya.

Data Pusdatin Kementerian Pertanian menunjukkan konsumsi kedelai nasional pada 2016 mencapai 2,85 juta ton sementara produksi hanya 860 ribu ton, sehingga neraca kedelai nasional mengalami defisit 1,99 juta ton. Berdasarkan proyeksi, konsumsi kedelai, 2018 mencapai 3,05 juta ton sedangkan produksi hanya mencapai 864 ribu ton, sehingga terjadi defisit 2,19 juta ton. Defisit neraca kedelai akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.Namun demikian, Kementerian Pertanian mentargetkan akan dicapai swasembada kedelai pada 2021.

Impor kedelai oleh Indonesia dominan berasal dari Argentina dan Amerika Serikat, dua negara tersebut menjadi asal impor kedelai terbesar untuk Indonesia. Dari keduanya Indonesia mengimpor 2,7 juta ton kedelai pada 2017. Brasil menempati urutan ketiga negara asal impor. Dilihat dari pertumbuhan impor, selama 2013-2017 impor kedelai meningkat dengan laju 7,5%/tahun. Sebagai negara net importer kedelai, Indonesia juga melakukan ekspor kedelai namun dengan jumlah yang sangat kecil.

(22)

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 4. Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai, tahun 2013-2017 Bawang Merah

Perkembangan produksi selama 2013-2017 tumbuh sebesar 9.1%/tahun, yaitu dari 1,01 juta ton menjadi 1,47 juta ton. Produksi bawang merah terkonsentrasi di empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat. Dari empat provinsi tersebut, memiliki pangsa sebesar 83,25% produksi bawang nasional, sehingga dapat dikatakan provinsi lain tergantung pasokan bawang merah dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat.

Seperti halnya komoditas pangan lainnya, produksi bawang bersifat musiman sementara konsumsi sepanjang musim dan stok bawang merah tidak dapat dilakukan dalam jangka lama. Konsekuensinya pada saat off season, permintaan bawang merah lebih besar daripada produksi sehinga dilakukan impor. Faktanya impor bawang merah memang terjadi namun cenderung menurun secara tajam sejak tahun 2015 dan bahkan tahun 2017 tidak ada impor bawang sebaliknya ekspor meningkat drastis dari tahun 2016 ke 2017 (Gambar 5). Namun jumlah yang diekspor masih relatif sangat kecil dibandingkan dengan perkembangan produksinya.

Pengembangan produksi diarahkan ke Kalimantan yang dimulai tahun 2013 seluas delapan hektar dan menunjukkan hasil produktivitas tinggi, sehingga luas areal terus ditingkatkan. Program penanaman bawang merah seluas 100 hektar dilakukan di Kabupaten Tapin pada 2015. Kementerian Pertanian juga mendorong Kalimantan untuk berswasembada bawang merah setelah melihat potensi produksi bawang merah yang dikembangkan di Kabupaten Tapin cukup menjanjikan. Bahkan Kalimantan ditargetkan bisa mewujudkan swasembada bawang merah sehingga untuk kebutuhan bawang merah tidak perlu mendatangkan dari Jawa, dan Nusa Tenggara Barat.

(23)

Sumber: Produksi: Kementan 2017; Ekspor dan Impor;UN Comtrade (diolah)

Gambar 5. Perkembangan produksi, ekspor dan impor Bawang Merah, tahun 2013-2017 Bawang putih

Perkembangan produksi, impor dan ekspor bawang putih Indonesia periode tahun 2013-2017 dapat dilihat pada Tabel 2. Produksi bawang putih secara konsisten terus meningkat dari 15,7 ribu ton tahun 2013 menjadi 21,1 ribu ton pada 2016. Namun demikian, produksi bawang putih kemudian menurun menjadi hanya 16,9 ribu ton pada tahun 2017. Rata-rata pertumbuhan produksi tahun 2013-2017 sebesar 3,67% per tahun.

Di dalam periode waktu yang sama, volume impor juga tampak meningkat relatif cepat. Laju pertumbuhan selama periode 2013-2017 sebesar 3,59% per tahun, atau meningkatkan dari 439,9 ribu ton pada tahun 2013 naik menjadi 549,8 ribu ton pada tahun 2017. Pada periode 2014-2016 terjadi penurunan impor bawang putih karena produksi bawang putih meningkat dan kemungkinan karena dikeluarkannya Permentan No. 3/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) pada tanggal 1 Februari 2012 yang paralel dengan Permendag No. 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH), namun kemudian impor meningkat lagi pada tahun 2017 karena produksi bawang putih menurun. Sebagian besar impor bawang putih berasal dari China, yaitu 98% dari total impor Indonesia.

Ekspor bawang putih meningkat drastis selama periode 2013-2014, yaitu naik dari 89,9 ton menjadi 224,1 ton. Walaupun Indonesia banyak mengimpor bawang putih, yaitu sekitar 90% dari total kebutuhan domestik, tetapi Indonesia juga mengekspor sedikit bawang putih. Rata-rata peningkatan ekspor selama 5 tahun

(24)

terakhir mencapai 22,63% per tahun. Sebagian besar ekspor bawang putih ditujukan ke Timur Leste dan sebagian kecil ke Amerika Serikat dan Malaysia.

Tabel 2. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor Bawang Putih, tahun 2013-2017

Tahun Produksi ( ton)1 Ekspor (Ton)2 Impor (1000 ton)3

2013 15766 89,9 439,9 2014 16894 224,1 491,1 2015 20295 204,6 479,9 2016 21150 348,5 444,3 2017 16980 289,4 549,8 Tren (%/th) 3,67 22,63 3,59

Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Ubi kayu

Gambaran tentang perkembangan produksi, impor dan ekspor ubi kayu selama 5 tahun terakhir (2013-2017) diperlihatkan pada Tabel 3. Produksi ubi kayu basah secara konsisten terus menurun cepat dengan rata-rata 5,97% per tahun. Pada tahun 2017, produksi ubi kayu hanya mencapai 19,05 juta ton turun dari 23,94 juta ton pada tahun 2013.

Tabel 3. Perkembangan produksi, ekspor dan impor ubi kayu, tahun 2013-2017

Tahun Produksi 1 (1000 ton) Ekspor 2 (Ton) Impor 3 (1000 ton) 2013 23936,9 127025 1000,7 2014 23436,4 78963 1659,5 2015 21801,4 6015 2719,4 2016 20260,7 37784 2895,6 2017 19045,6 5996 1767,4 Tren (%/th) -5,97 -55.37 13,79 Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Volume impor terus meningkat cepat selama tahun 2013-2016 tetapi kemudian menurun pada tahun 2017 yang hanya mencapai 1,77 juta ton (nilai impor US$ 127,1 juta), sementara pada tahun 2016 volume impor masih sebesar 2,85 juta ton setara ubi kayu basah. Secara rata-rata, impor produk ubi kayu selama 5 tahun terakhir meningkat sangat cepat yaitu 13,79% per tahun. Produk ubi kayu yang diimpor Indonesia sebagian besar berupa manioc/cassava starch, sementara sisanya adalah gaplek, dll. Impor produk tapioka ini dikenakan tarif impor MFN sebesar 10%.

Ekspor ubi kayu menurun drastis selama periode tahun 2013-2017, walaupun ada kenaikan pada tahun 2016 tetapi kemudian menurun drastis selama tahun

(25)

2017. Rata-rata penurunan ekspor selama 5 tahun terakhir mencapai 55,8% per tahun. Penurunan ekspor ini diperkirakan disebabkan oleh meningkatnya industri pengolahan ubi kayu di dalam negeri, seperti industri pengolahan tepung mokaf dan beras cerdas namun kurang berkembang karena prospek pasar produk masih belum terjamin.

Gula

Produksi gula Indonesia berasal dari tebu yang ditanam di sekitar lokasi pabrik gula kristal putih (GKP). Jenis gula GKP ini diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga. Perkembangan produksi GKP selama tahun 2013-2017 ditunjukkan pada Tabel 4. Pasokan gula di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan impor. Perkembangan produksi gula dalam dalam 5 (lima) dari tahun 2013 hingga 2017 mengalami trend peningkatan sebesar 2,7% per tahun atau naik dari 2551 ribu ton pada tahun 2013 menjadi 2836 ribu ton pada tahun 2017. Kendala yang terkait dengan upaya pemerintah meningkatkan produksi gula adalah di tingkat pabrik gula, yaitu sebagian besar mesin pengolahan yang digunakan sudah tua, sehingga kurang efisien, karena itu, perlu ada revitalisasi mesin pabrik melalui penggantian total dengan mesin baru yang lebih efisien.

Sementara itu, volume impor gula meningkat relatif cepat dengan rata-rata sebesar 11,2% per tahun selama tahun 2013-2017 yaitu meningkat dari 3343,8 ribu ton menjadi 4568,4 ribu ton . Jenis gula yang diimpor terdiri dari gula mentah (raw sugar) dengan kode HS 1701, yang mencapai 95%, sementara sisanya adalah gula rafinasi. Pertumbuhan volume impor yang sangat cepat tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan permintaan yang sangat cepat sebagai dampak dari pertumbuhan industri makanan dan minuman yang sangat cepat, di samping pertumbuhan jumlah penduduk, yang tidak dapat diimbangi oleh produksi gula dalam negeri. Pada tahun 2017, volume impor gula mencapai sekitar 4,57 juta ton dengan nilai US$ 1,74 milyar, sedangkan total ekspor gula dari Indonesia tahun 2013 hingga 2017 meningkat sebesar 32,6% per tahun dari 770 ton menjadi 3432 ton dengan proporsi tertinggi yang diekspor adalah Cane atau Beet Sugar dan gula kristal putih (Plantation White Sugar) yang dapat dikonsumsi langsung tanpa proses lebih lanjut.

Kebijakan impor untuk melindungi petani tebu di Indonesia selama ini adalah pengenaan tarif MFN spesifik sebesar Rp 550 per kg, sementara tarif maksimal yang diperkenankan oleh WTO (bound tariff) adalah 95%. Gula mentah yang diimpor ini kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Menurut ketentuan Pemerintah, gula rafinasi

(26)

tidak boleh masuk ke pasar gula kristal putih untuk konsumsi rumah tangga. Namun kenyataannya terjadi rembesan gula rafinasi dengan harga lebih murah dibanding gula kristal putih produksi lokal. Indonesia mengimpor sebagian besar gula dari Thailand (57,5%) dan Brasil (20,9%).

Tabel 4. Perkembangan produksi, ekspor dan impor gula, tahun 2013-2017 Tahun Produksi ( 1000 ton) Ekspor (Ton) Impor (1000 ton)

2013 2551.0 770.0 3343.8 2014 2579.2 1220.5 2955.4 2015 2623.9 2280.9 3369.9 2016 2715.9 2614.7 4756.7 2017 2836.8 3432.0 4568.4 Tren (%/th) 2.66 32.56 11.19

Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Selama kurun waktu tahun 2013-2017, total volume ekspor gula dari Indonesia meningkat cepat dengan rata-rata 32,6% per tahun. Pada tahun 2013 ekspor gula Indonesia hanya 770 ton, namun pada tahun 2017 ekspor gula meningkat drastis menjadi 3432 ton. Walaupun Indonesia mengimpor sebagian besar konsumsi gula namun Indonesia juga mengekspor gula terutama ke Thailand (50,1%) dan Jerman (11,4%).

Daging Sapi

Daging sapi yang diproduksi berasal dari sapi pedaging yang lahir dan dibesarkan/digemukkan oleh peternak, dan sapi pedaging yang diimpor dari negara lain (Australia) dan digemukkan di Indonesia oleh perusahaan feedlot selama beberapa bulan (90-100 hari), namun sebagian besar berasal dari petani. Jenis sapi yang dipelihara oleh petani terdiri dari sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Sumba Ongole (SO), Brahman, dan sapi hasil persilangan betina lokal (PO) dengan sapi unggul dari luar negeri seperti Charolais, Limousin, dan Simmental melalui inseminasi buatan (IB).

Produksi daging sapi dalam negeri juga ada yang berasal dari sapi perah Freisian Holstein (FH), baik sapi betina yang sudah afkir (tidak lagi memproduksi susu) maupun sapi jantan, tetapi sangat kecil jumlahnya. Perkembangan produksi daging sapi selama periode tahun 2013-2017 ditunjukkan pada Tabel 5. Nampak bahwa produksi daging sapi (bukan karkas) cenderung meningkat lambat selama tahun 2013-2016 lalu meningkat cepat pada tahun 2017. Secara rata-rata, produksi daging sapi selama 5

(27)

tahun terakhir (2013-2017) meningkat sebesar 2,7% per tahun. Peranan impor sapi bakalan cukup besar di dalam mendukung perkembangan produksi daging sapi di Indonesia. Produksi mencapai 425.406 ton daging sapi.

Tabel 5. Perkembangan produksi, ekspor dan impor daging sapi, tahun 2013-2017 Tahun Produksi ( ton)1 Ekspor (Ton)2 Impor (ton)3

2013 375.4 1.8 45.2 2014 382.5 0.0 24.4 2015 382.6 0.0 48.0 2016 385.8 0.1 113.7 2017 425.4 1.1 116.6 Tren (%/th) 2.65 -21.67 33.36

Sumber: 1Kementan 2017; 2,3 UN Comtrade (diolah)

Indonesia mengimpor dua kelompok produk daging sapi, yaitu: (1) daging sapi tidak bertulang (boneless of bovine animals) yang terdiri dari dua Kode HS, yaitu 0201 (fresh or chilled) dan 0202 (frozen), namun sebagian besar produk daging sapi yang diimpor adalah kelompok HS 0201 yaitu 87%, sementara HS 0202 hanya 13%. Perkembangan volume impor mengindikasikan bahwa volume impor menurun pada tahun 2014, lalu meningkat cepat selama tahun 2015-2016 dan meningkat lambat pada tahun 2017. Secara rata-rata, selama 5 tahun terakhir volume impor meningkat sangat cepat yaitu 33,4% per tahun. Pada tahun 2017, volume impor mencapai 116,6 ribu ton setara daging sapi tanpa tulang dengan total nilai US$ 377,1 juta. Produk daging sapi ini dikenakan tarif impor MFN sebesar 5%.

3.2. Analisis Struktur Ongkos Usahatani dan Perkembangan Harga

3.2.1. Analisis Tingkat Harga Layak Berdasarkan Struktur Ongkos Usahatani Dengan menggunakan data Struktur Ongkos Usahatani tahun 2017 yang bersumber dari BPS, dapat dianalisis struktur ongkos beberapa komoditas pertanian strategis yang disajikan sebagai berikut.

Padi

Struktur biaya usahatani untuk komoditas padi disajikan pada Tabel 6. Jika didisagregasi menurut komponen, biaya usahatani padi terbesar adalah untuk biaya tenaga kerja, yaitu sebesar 53,1 persen. Biaya terbesar kedua adalah untuk sewa lahan, yaitu 21,3 persen, sementara untuk biaya sarana produksi (bibit/benih, pupuk dan pestisida) hanya sebesar 17,1 persen. Biaya pupuk, yang selama ini harganya

(28)

disubsidi Pemerintah, hanya memiliki pangsa sebesar 9,4 persen. Pangsa biaya tenaga kerja yang paling besar tersebut, berimplikasi pada perlunya kebijakan pemerintah terkait dengan peningkatan efisiensi biaya tenaga kerja. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi alat mekanisasi pertanian. Dari berbagai hasil kajian, penggunaan teknologi alsintan (traktor) dapat meningkatkan efisiensi biaya tenaga kerja. Namun demikian, kebijakan mekanisasi pertanian perlu memperhatikan kondisi wilayah, khususnya terkait dengan ketersediaan buruh di wilayah tersebut, agar tidak menimbulkan permasalahan sosial bagi buruh yang tergeser oleh alsintan. Kebijakan memasifkan penggunaan alsintan bagi wilayah-wilayah yang masih padat tenaga kerja, perlu disertai dengan penyediaan kesempatan kerja lain, (baik pertanian maupun non-pertanian) guna menampung tenaga kerja yang tergeser. Kebijakan memasifkan penggunaan alsintan (modernisasi pertanian) hendaknya juga memperhatikan kondisi rataan luas pemilikan lahan petani dan struktur atau kontur wilayah agar alsintan dapat beroperasi secara maksimal.

Tabel 6. Perhitungan harga layak padi berdasarkan struktur ongkos usahatani, tahun 2017

No Uraian Biaya Rp/Ha Persen

1 Sarana Produksi 1.879.692 17,07 a. Bibit/Benih 451.785 3,70 b. Pupuk 994.674 9,43 c. Pestisida 433.233 4,20 2 Tenaga Kerja 5.846.385 53,10 3 Sewa Lahan 2.339.133 21,25 4 Lain-lain 944.790 8,58 5 Total biaya produksi 11.010.000 100,00

6 Produksi /Ha (Kg) 5.155

7 Biaya per Kg (Rp) 2.136

10 Keuntungan 25% (Rp) 534 11 Harga layak (Rp/Kg) 2.670

Harga acuan Kemdag

(Rp/Kg) 3.700

Sumber: BPS, 2017 (Struktur Ongkos Usahatani, 2017), diolah

Pangsa biaya sewa lahan menempati urutan kedua. Dengan demikian, jika petani memiliki lahan sendiri, maka pendapatan petani yang diterima akan lebih besar dibadingkan jika lahan yang digarap berupa lahan bagi hasil atau menyewa. Kebijakan reforma agraria yang bertujuan untuk meningkatkan akses petani terhadap pemilikan lahan dengan demikian juga perlu menjadi prioritas guna meningkatkan pendapatan

(29)

petani. Dengan luas pemilikan lahan yang rata-rata saat ini kurang dari 0,5 hektar, maka meski dengan pengenalan teknologi usahatani, tidak akan dapat diperoleh pendapatan petani secara optimal guna memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Total biaya usahatani padi (rataan padi sawah dan padi ladang) sebesar Rp. 11 juta per hektar. Dengan produktivitas padi rata-rata sebesar 5,16 ton/hektar,maka biaya produksi per GKP sebesar Rp.2136 dan dengan tingkat keuntungan petani sebesar 25%, maka harga layak bagi petani sebesar Rp.2670/Kg. Jika dibandingkan dengan harga acuan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, maka harga acuan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan harga layak di tingkat petani menurut struktur ongkos usahatani. Hal ini secara implisit menunjukkan penetapan harga referensi di tingkat produsen oleh Kementerian Perdagangan masih memberikan ruang bagi kemungkinan adanya tambahan atau peningkatan biaya produksi pada struktur ongkso usahatani padi.

Jagung

Pada usahatani jagung, sama halnya pada usahatani padi, pangsa biaya terbesar adalah pada tenaga kerja sebesar 38,6 persen, selanjutnya 14,0 persen untuk biaya sewa lahan. Total biaya produksi usahatani jagung sebesar Rp.12,8 juta/Ha, jika produktivitas jagung per hektar sebesar 5,2 ton (Kementan 2017), maka biaya usahatani untuk menghasilkan 1 Kg jagung ditambah keuntungan layak 25 persen adalah sebesar Rp.3082 (Tabel 7).

Harga referensi Kemendag untuk jagung ditetapkan berdasarkan tingkat kadar air (KA), yaitu : (a) Tingkat KA 15% seharga Rp.3150/Kg; (b) KA 20% seharga Rp.3050/Kg; (c) KA 25% seharga Rp.2850/Kg; (d) KA 30% seharga Rp.2750/Kg; dan (e) KA 30% seharga Rp. 2500/Kg. Sementara jagung kering panen yang dihasilkan petani pada umumnya sangat jarang yang ber KA 15%. Jagung dengan KA 15% adalah jagung yang sudah mengalami proses pengeringan secara baik, sementara jagung di tingkat petani pada umumnya kering panen langsung dipipil atau lebih dulu dikeringkan sekedarnya, dengan kadar air 20% ke atas. Dengan demikian jika mengacu pada harga referensi jagung di tingkat petani yang ditetapkan oleh Kemendag, maka harga acuan berkisar Rp.2500/Kg – 3150/Kg, dengan kata lain harga referensi Kemendag di tingkat petani relatif lebih rendah dibandingkan harga layak menurut struktur ongkos usahatani jagung, jika jagung yang dihasilkan petani ber KA di atas 15%.

(30)

Jika dibandingkan dengan struktur biaya produksi pada usahatani padi, total biaya produksi jagung relatif lebih tinggi, terutama pada komponen biaya benih dan pupuk. Benih jagung yang digunakan oleh petani pada umumnya jagung hibrida produksi MNC (varietas BC, pioneer dll) yang harganya relatif mahal. Namun untuk sewa lahan, pada usahatani jagung lebih rendah, karena umumnya jagung di tanam di lahan tegalan, atau lahan sawah pada MKII, yang secara fungsional memiliki land rent lebih rendah dibandingkan lahan sawah untuk usahatani padi.

Tabel 7. Perhitungan harga layak jagung berdasarkan struktur ongkos usahatani, tahun 2017

No Uraian Biaya Rp/Ha Persen

1 Sarana Produksi 2.622.420 20,45 a. Bibit/Benih 899.640 7,02 b. Pupuk 1.370.880 10,69 c. Pestisida 351.900 2,74 2 Tenaga Kerja 4.952.100 38,62 3 Sewa Lahan 1.793.160 13,98 4 Lain-lain 832.320 6,49 5 Total biaya produksi 10.200.000 100 6 Produksi /Ha (Kg) 5.200

7 Biaya per Kg (Rp) 1.962 10 Keuntungan 25% (Rp) 490 11 Harga layak (Rp/Kg) 2.452 Harga acuan Kemdag (Rp/Kg) 2.500 - 3.150 Sumber: BPS, 2017 (Struktur Ongkos Usahatani, 2017), diolah

Kedelai

Pada usahatani kedelai, pangsa biaya terbesar masih tetap pada biaya tenaga kerja dan sewa lahan. Biaya produksi relatif lebih rendah dibandingkan pada usahatani jagung dan padi, karena penggunaan pupuk kimia pada tanaman kedelai pada umumnya tidak sebesar pada usahatani padi. Perakaran tanaman kedelai menghasilkan rhizobium pada bintil akar yang dapat menambat unsur N dari udara (Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian 2016).

Dengan total biaya Rp10,4 juta/hektar dan tingkat produktivitas kedelai rata-rata 1,52 ton/Ha (Kementan 2017), ongkos produksi per kg kedelai sebesar Rp.6870, dan ditambah dengan keuntungan layak 25% maka harga layak menurut struktur ongkos sebesar Rp.8588/Kg. Harga referensi Kemendag untuk harga tingkat produsen sebesar Rp8500/Kg, sedikit lebih rendah dari biaya produksi per kg kedelai berdasarkan struktur ongkos usahatani kedelai (Tabel 8)

(31)

Tabel 8. Perhitungan harga layak kedelai berdasarkan struktur ongkos usahatani, tahun 2017

No Uraian Biaya Rp/Ha Persen

1 Sarana Produksi 1.403.008 13,43 a. Bibit/Benih 590.312 5,65 b. Pupuk 449.288 4,30 c. Pestisida 363.408 3,48 2 Tenaga Kerja 4.269.592 40,88 3 Sewa Lahan 2.603.520 24,93 4 Lain-lain 763.880 7,31 5 Total biaya produksi 9.040.000 100 6 Produksi /Ha (Kg) 1.520

7 Biaya per Kg (Rp) 5.947 10 Keuntungan 25% (Rp) 1.487 11 Harga layak (Rp/Kg) 7.434 12 Harga acuan Kemdag Rp/Kg) 8.500 Sumber: BPS, 2017 (Struktur Ongkos Usahatani, 2017), diolah

Bawang Merah

Berbeda dengan struktur ongkos usahatani padi, jagung dan kedelai, dimana pangsa terbesar biaya pada tenaga kerja dan sewa lahan, pada usahatani bawang merah pangsa biaya produksi terbesar adalah pada benih (25,7%) baru kemudian biaya tenaga kerja (19,2%). Total biaya produksi per hektar pun jauh lebih besar dibandingkan dengan usahatani pajale, yaitu mencapai Rp.80,4 juta. Dengan tingkat produktivitas 9,67 ton/ha, maka ongkos usahatani bawang merah per kg sebesar Rp.8318, dan jika ditambah dengan keuntungan layak sebesar 25%, biaya produksi per kg bawang merah Rp.10.398 (Tabel 9).

Biaya produksi per kg tersebut merupakan harga layak minimum berdasarkan struktur ongkos usahatani. Dengan harga referensi bawang merah tingkat produsen yang ditetapkan oleh Kemendag tahun 2017 sebesar Rp.15.000/Kg, maka harga referensi Kemendag lebih tinggi dari pada harga layak berdasarkan struktur ongkos usahatani, yang secara implisit menunjukkan jika pun ada kenaikan atau penambahan biaya produksi pada bawang merah pada nilai tertentu, masih sesuai dengan harga referensi Kemendag.

(32)

Tabel 9. Perhitungan harga layak bawang merah berdasarkan struktur ongkos usahatani, tahun 2017

No Uraian Biaya Rp/Ha Persen

1 Sarana Produksi 44.578.085 35,66 a. Bibit/Benih 32.075.236 25,66 b. Pupuk 6.326.388 5,06 c. Pestisida 6.176.461 4,94 2 Tenaga Kerja 24.053.187 19,24 3 Sewa Lahan 7.066.857 5,65 4 Lain-lain 4.739.093 3,79 5 Total biaya produksi 80.437.222 100,00 6 Produksi /Ha (Kg) 9.670

7 Biaya per Kg (Rp) 8.318 10 Keuntungan 25% (Rp) 2.080 11 Harga layak (Rp/Kg) 10.398 12 Harga acuan Kemendag (Rp/Kg) 15.000 Sumber: BPS, 2017 (Struktur Ongkos Usahatani, tahun 2017), diolah

Bawang Putih

Seperti halnya pada usaha tani bawang merah, usaha tani bawang putih juga membutuhkan modal sangat besar, yaitu sekitar Rp 82,1 juta per hektare per musim (Tabel 10), yang sebagian besar dialokasikan untuk sarana produksi yang terdiri dari bibit (34,7%), pupuk (12,1%) dan pestisida (16,2%). Dengan total biaya tersebut maka biaya per kg bawang putih atau titik impas harga bawang putih sebesar Rp. 9.888 per kg umbi basah berdaun. Oleh karena itu tingkat harga yang layak diterima petani adalah titik impas harga ditambahkan dengan keuntungan sebesar 30%, karena usaha tani bawang putih relatif berisiko tinggi, yaitu sebesar Rp. 12.854/kg.

Tabel 10. Struktur ongkos usaha tani bawang putih per ha di Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa timur, tahun 2017.

No Uraian Nilai (Rp/Ha) Persen

1 Sarana Produksi a. Bibit/Benih 28,482,513 34.68 b. Pupuk 9,943,103 12.11 c. Pestisida 13,323,520 16.22 2 Tenaga Kerja 14,177,714 17.26 3 sewa lahan 11,000,000 13.40 4 Lain-lain (Mulsa dll) 5,192,443 6.32

5 Total biaya produksi (Rp) 82,119,293 100.00

6 Produksi /ha(Kg) 8305

7 Biaya per Kg (Rp) 9888

10 Keuntungan 30% (Rp) 2966

11 Harga layak (Rp/Kg) 12854

Harga acuan Kemdag (Rp/Kg) - Sumber: Ulfa, R. 2018; , diolah

(33)

Ubi Kayu

Analisis usaha tani Ubi Kayu yang diperlihatkan pada Tabel 11 mengindikasikan bahwa total biaya usaha tani per ha lahan Ubi Kayu mencapai sekitar Rp. 14,6 juta, yang sebagian besar dialokasikan untuk sarana produksi yang terdiri dari bibit (34,3%), pupuk (10,9%) dan pestisida (2,4%). Dengan tingkat total biaya tersebut maka biaya per kg atau titik impas harga ubi kayu sebesar Rp. 801 per kg. Oleh karena itu tingkat harga yang layak diterima petani adalah titik impas harga ditambahkan dengan keuntungan sebesar 25%, yaitu sebesar Rp. 1.002/kg.

Tabel 11. Struktur ongkos usaha tani ubi kayu per ha di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, tahun 2016.

No. Uraian lai (Rp/Ha) Persen

1 Sarana Produksi a. Bibit/Benih 5.000.000 34.29 b. Pupuk 1.582.500 10,85 c. Pestisida 350.000 2,40 2 Tenaga Kerja 4.500.000 30,86 3 sewa lahan 3.000.000 20,57 4 Lain-lain 150.000 1,03

5 Total biaya produksi (Rp) 14.582.500 100,00 6 Produksi /ha(Kg) 1.8200 7 Biaya per Kg (Rp) 801 10 Keuntungan 25% (Rp) 200

11 Harga layak (Rp/Kg) 1.002 Harga acuan Kemendag (Rp/Kg) Sumber: Balitkabi, 2016

Tebu/Gula

Tabel 12 memperlihatkan biaya per hektare usaha tani tebu. Dari Tabel tersebut dapat diketahui bahwa total biaya usaha tani per hektare lahan tebu adalah sekitar Rp. 32,7 juta dengan pengeluaran terbesar untuk sewa lahan yang mencapai 32,4% dari seluruh biaya yang dikeluarkan, diikuti pengeluaran untuk tenaga kerja 26,2% dan untuk sarana produksi 24,9%. Dengan total biaya tersebut maka biaya per kg atau titik impas harga tebu sebesar Rp. 6.420 per kg. Oleh karena itu, tingkat harga yang layak diterima petani sebesar Rp. 8.025/kg. Dengan harga referensi gula tingkat produsen yang ditetapkan oleh Kemendag tahun 2017 sebesar Rp.9.100/Kg, maka petani dapat menikmati keuntungan sekitar 41%.

(34)

Tabel 12. Struktur ongkos usaha tani tebu, tahun 2017

No. Uraian Biaya (Rp/Ha) Persen

1 Sarana Produksi a. Bibit/Benih 4.131.788 12,62 b. Pupuk 3.941.896 12,04 c. Pestisida 111.316 0,34 2 Tenaga Kerja 8.581.154 26,21 3 Sewa Lahan 10.597.938 32,37 4 Lain-lain 5.375.908 16,42 5 Total biaya produksi (Rp) 32.740.000 100,00 6 Produksi /Ha (Kg) 5.100 7 Biaya per Kg (Rp) 6.420 10 Keuntungan 25% (Rp) 1.605

11 Harga layak (Rp/Kg) 8.025 Harga acuan Kemendag (Rp/Kg) 9.100 Sumber: BPS, Struktur Ongkos Usaha Tani, 2014

Daging Sapi

Tabel 13 memperlihatkan biaya per ekor usaha tani sapi potong. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa total biaya usaha tani per ekor sapi sekitar Rp. 31,4 juta dengan pengeluaran terbesar untuk pembelian bibit yang mencapai 83,7% dari seluruh biaya yang dikeluarkan. Dengan total biaya tersebut maka biaya per kg atau titik impas harga sebesar Rp. 42.145 per kg sapi hidup. Oleh karena itu, tingkat harga yang layak diterima petani, agar petani dapat menikmati tingkat keuntungan 25%, maka harga di tingkat petani harus sebesar Rp. 52.682/kg sapi hidup. Dengan harga referensi daging sapi tingkat konsumen yang ditetapkan oleh Kemendag tahun 2017 sebesar Rp.80.000/Kg, maka diperkirakan petani masih akan dapat menikmati keuntungan.

Tabel 13. Struktur ongkos usaha tani penggemukan sapi potong, tahun 2017

No Uraian Biaya (Rp/Ha) Persen

1 Sarana Produksi

a. Bibit/Benih 26.316.204 83,74 b. Pakan 2.340.502 7,45 c. Obat dan vitamin 23.419 0,07 2 Tenaga Kerja 2.179.754 6,94

3 Kandang 314.806 1,00

4 Lain-lain 253.150 0,81

5 Total biaya produksi (Rp) 31.427.835 100.00 6 Produksi /ekor(Kg) 745,7 7 Biaya per Kg (Rp) 42.145 8 Keuntungan 25% (Rp) 10.536

9 Harga layak (Rp/Kg) 52,682 10 Harga acuan Kemendag (Rp/Kg) - Sumber: BPS, Struktur Ongkos Usaha Tani, tahun 2017

(35)

3.2.2. Analisis Perkembangan Harga

Kebijakan harga pangan dapat dikatakan sebagai kebijakan yang bersifat dualisme. Di satu sisi kebijakan harga pangan haruslah mengarah pada harga yang terjangkau dan tidak memberatkan bagi konsumen sehingga diinginkan tingkat harga yang rendah, namun di sisi lain kebijakan harga pangan juga harus dapat melindungi produsen sehingga produsen dapat memperoleh keuntungan layak yang dapat memotivasi berproduksi secara berkelanjutan. Oleh karena itu untuk mengakomodasi kepentingan konsumen dan produsen, pemerintah menetapkan harga referensi (acuan) baik di tingkat produsen maupun konsumen. Penetapan harga referensi tersebut dilakukan melalui Peraturan Menteri Perdagangan, yang terbaru adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Permendag tersebut diperbaharui setiap tahun.

Dalam Permendag tersebut, yang dimaksud dengan Harga Acuan Pembelian di Petani adalah harga pembelian di tingkat petani yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan, dan/atau biaya lain. Harga acuan pembelian di petani ditujukan untuk memberikan kepastian harga di tingkat petani dan menghindari jatuhnya harga di tingkat produsen. Sedangkan Harga Acuan Penjualan di Konsumen adalah harga penjualan di tingkat konsumen yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar, juga mencakup antara lain biaya produksi,biaya distribusi, keuntungan, dan/atau biaya lain. Harga Acuan Penjualan di Konsumen bersifat pro-konsumen, merupakan harga referensi yang memungkinkan produsen menjual dengan harga yang layak sehingga tidak membebani konsumen.

Dalam hal harga di tingkat petani berada di bawah Harga Acuan Pembelian di Petani dan harga di tingkat konsumen berada di atas Harga Acuan Penjualan di Konsumen, Menteri dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara dan atau Bulog untuk melakukan pembelian sesuai dengan Harga Acuan Pembelian di Petani dan melakukan penjualan sesuai dengan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Pada era liberalisasi perdagangan dewasa ini, kebijakan harga domestik seperti diuraikan di atas terkait dengan perdagangan dan pergerakan harga di pasar internasional. Dalam hal ini, liberalisasi perdagangan dapat memberikan kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk memperoleh insentif yang lebih baik jika harga

(36)

paritas impor relatif lebih tinggi. Namun jika hal sebaliknya yang terjadi, produsen akan memperoleh disinsentif harga karena serbuan produk impor (Varela 2008). Semakin besar selisih antara harga paritas impor dengan harga domestik, akan mendorong peningkatan serbuan impor.

Demikian pula efek dari pengurangan tariff impor sebagai salah satu ketentuan dalam liberalisasi perdagangan terhadap sektor pertanian secara umum akan berdampak positif karena meningkatkan kesejahteraan sosial secara agregat, namun pada sisi lain insentif bagi produsen seperti harga produsen akan menurun dan berdampak pada pengurangan produksi.

Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan harga referensi di tingkat produsen dan konsumen tersebut berkaitan dengan pergerakan harga domestik (harga produsen, harga di tingkat perdagangan besar atau harga grosir, serta harga eceran di tingkat konsumen), dan seberapa jauh selisih antara harga paritas impor dengan harga domestik di beberapa tingkat seperti disebutkan di atas, berikut diuraikan perkembangan harga untuk beberapa komoditas pertanian strategis.

Beras

Jika disandingkan harga impor (CIF), harga produsen, harga grosir dan harga eceran sepanjang tahun 2013-2017, harga impor merupakan harga yang paling rendah, bahkan dibandingkan dengan harga di tingkat produsen sekalipun. Sebagai ilustrasi, harga impor beras medium tahun 2017 sebesar Rp.7008/Kg, tingkat tarif impor beras sebesar Rp.450/Kg, jika ditambahkan pada harga CIF, maka harga impor termasuk tarif hanya sebesar Rp7458/Kg, sementara harga beras di tingkat produsen pada tahun yang sama rata-rata Rp.8960/Kg (Gambar 6). Jika pasar beras benar-benar liberal dalam arti tidak ada pengaturan atau kebijakan impor beras, maka kondisi ini merupakan disinsentif bagi petani karena akan terjadi serbuan impor. Pengaturan impor, kebijakan harga serta pengelolaan stok oleh Bulog merupakan instrumen untuk perlindungan produsen sekaligus konsumen. Perlindungan produsen melalui kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) sementara perlindungan konsumen dilakukan melalui Operasi Pasar yang dilakukan oleh Bulog. Namun perlindungan terhadap harga produsen tetap harus dilaksanakan secara bijaksana, agar tidak terlalu berdampak terhadap inefisiensi dan rendahnya daya saing beras Indonesia di pasar dunia.

Gambar

Gambar 1. Dampak Tarif Impor Terhadap Permintaan dan Penawaran
Tabel 1.  Daftar Komoditas yang Dianalisis dan Tingkat Tarif
Gambar 2. Perkembangan produksi, ekspor dan impor beras, tahun 2013-2017
Gambar 3. Perkembangan produksi, ekspor dan impor jagung, tahun 2013-2017
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada perancangan alat prototype ultrasonic anemometers menggunakan dua buah sensor jarak (SRF-04) yang akan memancarkan sinyal gelombang ultrasonik secara bergantian

2 Pelaksanaan secara periodik Audit Internal Mutu (AIM) di Jurusan sesuai standar ISO. Pelaksanaan secara periodik Audit Internal Mutu (AIM) di Jurusan sesuai

terletak di kawasan strategis di wilayah Asia Tenggara, yang menyebabkan penumpang pesawat udara di Indonesia terus menerus meningkat hingga mencapai 22% per

True density and average particle size of barriumhexaferrite powder before and after milling under wet and dry milling condition with varying milling time of 10, 20, 40 and 12, 24,

Boyolali yang diharapkan mampu menciptakan out put siswa yang berkualitas dan berguna bagi masyarakat.Untuk mewujudkan sekolah favorit,sekolah ini memanfaatkan media

Keberagaman latar belakang dosen, mahasiswa yang direkrut dan kesiapan penerimaan perubahan dari anggota lama harus diiringi dengan penguatan budaya organisasi, sehingga

Parameter utama dalam penelitian ini adalah histopatologi insang dan hepatopankreas udang windu ( Penaeus monodon Fab.) diinfeksi Vibrio harveyi yang menunjukkan

Definisi operasional variabel yang dimaksud di sini adalah untuk memberikan penjelasan yang lebih terperinci dalam pengertian setiap variabel yang diperlukan