• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada berbagai tipe habitat monyet ekor panjang (Lampiran 1) yaitu: Hutan Wisata Kaliurang (ekosistem hutan pegunungan), SM Paliyan (ekosistem karst), CA/ TWA Pangandaran (ekosistem pantai dan hutan dataran rendah), Hutan Pendidikan Gunung Walat (ekosistem hutan tanaman). Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2014.

Alat dan Objek Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta tematik lokasi penelitian pada berbagai tipe habitat, kompas, teropong binokuler, GPS

receiver, pita meter, hand counter, tali rafia, kamera digital, stopwatch, termohygrometer, tally sheet pengamatan serta alat tulis. Objek penelitian yaitu 11 kelompok monyet ekor panjang yaitu terdiri dari dua kelompok pada Hutan Wisata Kaliurang, dua kelompok pada SM Paliyan, empat kelompok pada CA/TWA Pangandaran, serta tiga kelompok pada Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Jenis data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi struktur umur, jumlah kelompok dan individu dalam kelompok monyet ekor panjang serta kerapatan vegetasi sumber pakan monyet ekor panjang pada berbagai tipe habitat. Data sekunder meliputi rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif, peluang hidup serta faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kedua parameter monyet ekor panjang tersebut di alam serta kondisi vegetasi pada lokasi penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Pengambilan data melalui pengamatan di lapangan secara langsung dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi potensi sumber pakan monyet ekor panjang, jumlah populasi, jumlah anggota, struktur umur dan nisbah kelamin tiap kelompok pada berbagai tipe habitat. Metode pengumpulan data monyet ekor panjang, potensi tumbuhan pakan dan kondisi fisik habitatnya adalah sebagai berikut:

Parameter demografi

Pengambilan data parameter demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan menggunakan metode titik terkonsentrasi (concentration count method). Rinaldi (1992) menyatakan bahwa metode ini digunakan untuk mengetahui struktur kelompok berupa ukuran dan komposisi suatu kelompok satwa dimana pengamatan atau pencatatan dilakukan secara langsung pada saat

kelompok satwa sedang melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan yaitu berdasarkan pada infomasi awal yang diperoleh dari petugas lapangan tentang lokasi keberadaan monyet ekor panjang yang paling sering dijumpai. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00), dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan lima kali ulangan yang dilakukan selama tujuh hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta berdasarkan kelas umur. Pengamatan terhadap struktur umur (Gambar 1) dikelompokkan menjadi empat yaitu (Soma et al. 2009):

a. Jantan dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang kurang lebat, berkumis, bantalan duduk kiri dan kanan menyatu, adanya skrotum. Jantan dewasa memiliki morfologi badan besar, taring panjang, dan tingkah laku cenderung superior,

b. Betina dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang yang lebat, berjenggot, bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva vagina. Betina dewasa memiliki ambing dan puting susu yang terlihat menggantung.

c. Kelompok muda (4-9 tahun), dimana pengamatan antara jantan dan betina digabung menjadi satu karena secara morfologi belum terlihat adanya tanda-tanda yang spesifik untuk membedakan jenis kelaminnya. Batas bawah umur muda adalah berubahnya warna rambut hitam di kepala menjadi keabu-abuan.

d. Anakan (0-4 tahun) yaitu monyet yang baru lahir, memiliki warna hitam pada rambut kepala, dan masih digendong oleh induk monyet.

Jantan dewasa Betina dewasa

Muda

Anak Bayi

Gambar 1 Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang menurut Soma et al.

14

Kondisi biofisik habitat

Parameter biofisik habitat alami monyet ekor panjang yang diamati dan teknik pengumpulan datanya seperti pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan lingkungan populasi MEP

Data Parameter Teknik pengumpulan data

Data biofisik

habitat a. Suhu dan kelembaban udara suhu dan kelembaban udara diukur dengan termohygrometer yang dilakukan pada pagi hari jam 07.00 WIB, siang hari jam 11.00 WIB dan sore hari jam 17.00 WIB pada setiap titik lokasi pengamatantidur)

b. Ketinggian tempat ketinggian tempat dari permukaan laut (mdpl) diukur dengan menggunakan GPS

c. Vegetasi pada setiap jalur pengamatan dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan metode garis berpetak, di mana pohon pakan merupakan titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Analisis vegetasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana kondisi vegetasi di lokasi pengamatan serta kerapatan tumbuhan yang menjadi sumber pakan monyet ekor panjang

d. Kerapatan tumbuhan

pakan identifikasi jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang dari hasil analisis vegetasi pada petak contoh untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon, selanjutnya dihitung jumlah jenisnya

e. jarak pohon pakan dari

sumber air jarak tegak lurus terhadap sumber air terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS

f. jarak pohon pakan ke kebun terdekat milik masyarakat sekitar

jarak tegak lurus terhadap kebun terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS.

g. Intensitas cahaya

matahari mengukur intensitas cahaya matahari di bawah tegakan yang dihitung pada saat siang hari yaitu pada posisi matahari tertinggi

Data Parameter Teknik pengumpulan data

h. pH tanah pH tanah diukur pada tiga titik per lokasi pengamatan, selanjutnya nilai pH tanah adalah hasil rataan dari penghitungan tiga titik tersebut.

i. Kemiringan lahan kemiringan lahan diukur dengan menggunakan suunto per lokasi pengamatan populasi monyet ekor panjang

Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak pengamatan berukuran 20 x 20 m yang diletakkan mengelilingi pohon pakan yang telah ditandai sebagai titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Metode ini dilakukan dengan asumsi bahwa monyet ekor panjang akan berada dekat di sekitar titik-titik pohon pakan yang telah ditandai. Setiap titik lokasi pohon pakan dibuat lima petak pengamatan (Gambar 2). Pohon pakan menjadi titik awal pembuatan plot pengamatan pertama selanjutnya empat plot pengamatan berikutnya tersebar pada empat penjuru titik pohon pakan yaitu arah utara, selatan, barat, dan timur. Plot pengamatan dapat bertambah sesuai dengan arah jalur lintasan monyet ekor panjang, yaitu pada kondisi vegetasi yang berbeda dengan plot pengamatan sebelumnya atau sesuai dengan luas wilayah jelajah harian monyet ekor panjang dengan intensitas sampling sebesar 2%. Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan. Semua tingkatan tumbuhan dicatat nama lokal, jumlah, serta bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang. Adapun bentuk jalur pengamatan adalah seperti pada Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian

D C C d D C Pohon Petak pengamatan berukuran 20 x 20m D C BB A D C BB A B A D C B A A BB

16

Keterangan :

A : Petak pengukuran semai berukuran 2 x 2 m B : Petak pengukuran pancang berukuran 4 x 4 m C : Petak pengukuran tiang berukuran 10 x 10 m D : Petak pengukuran semai berukuran 20 x 20 m

Analisis Data Parameter Demografi

Data pengamatan terhadap populasi monyet ekor panjang (jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin serta berdasar kelas umur) digunakan untuk mencari rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dan peluang hidup untuk setiap kelas umur. Dua parameter ini dianalisis sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998), yaitu:

Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif (r)

Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif merupakan perbadingan antara jumlah individu kelompok umur bayi dan anak terhadap jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Persamaan yang digunakan untuk menghitung rasio tersebut adalah sebagai berikut:

r = Keterangan:

r = rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif Xi = jumlah bayi dan anak pada kelompok ke-i

Bi = jumlah betina produktif pada kelompok ke-i Peluang hidup

Persamaan untuk menghitung peluang hidup (px) untuk setiap kelas umur yaitu sebagai berikut:

px =

= 1 – Mortalitas Keterangan:

Lx+1 = jumlah individu yang hidup pada KUx+1 Lx = jumlah individu yang hidup pada KUx

Kerapatan tumbuhan pakan

Potensi tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada tiap lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 2005):

K = ( )

Untuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang mengacu pada hasil penelitian Hendratmoko (2009), Kusmardiatuti (2010), serta Hidayat (2012).

Analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi monyet ekor panjang

Regresi digunakan untuk menganalisis hubungan di antara beberapa variabel bebas dengan variabel terikat (Gotelli dan Ellison 2004). Uji regresi linear dengan metode stepwise menggunakan SPSS 16.0 digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi. Selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95%. Variabel bebas yaitu dari faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban udara, ketinggian tempat, kerapatan semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, jarak pohon pakan dari sumber air, jarak pohon pakan dari kebun masyarakat, pH tanah, intensitas cahaya matahari serta kemiringan lahan. Sedangkan parameter demografi yang merupakan variabel terikat adalah peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif. Persamaan yang digunakan yaitu:

Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ... + b12x12 + Ɛ

Keterangan:

Y = parameter demografi b0 = nilai intersep

bi = nilai koefisien regresi ke-i x1 = suhu udara (0C)

x2 = kelembaban udara (%) x3 = ketinggian tempat (m dpl) x4 = kerapatan pakan tingkat semai x5 = kerapatan pakan tingkat pancang x6 = kerapatan pakan tingkat tiang x7 = kerapatan pakan tingkat pohon x8 = jarak dari sumber air

x9 = jarak dari kebun masyarakat x10 = kemiringan lahan (0)

x11 = intensitas cahaya (lux) x12 = pH tanah

18

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

a. Uji asumsi regresi klasik. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah data ke-9 peubah tersebut layak untuk diproses lebih lanjut untuk bisa diregresikan. Kelayakan tersebut dilihat dari:

 uji normalitas data yaitu dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov

 uji multikolinearitas dengan menggunakan nilai tolerance dan VIF

 uji heterokedastisitas dengan menggunakan metode scatter plot  uji autokolinearitas dengan menggunakan metode durbin-watson. b. Analisis regresi stepwise. Variabel-variabel hasil analisis faktor yang layak

diuji selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode stepwise. Regresi stepwise merupakan salah satu solusi menyelesaikan masalah regresi yang variabel bebasnya saling berkorelasi (multikolineritas). Dalam analisis ini, tidak semua variabel bebas (X) yang diduga memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas (Y) dimasukkan dalam model regresi. Salah satu variabel bebas kadang berkorelasi atau berhubungan dengan variabel bebas lainnya. Oleh karena itu prosedur regresi stepwise dibuat agar menghasilkan model regresi terbaik. Selain itu, karena kemungkinan terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam model. Hal ini disebabkan variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya (Iriawan dan Astuti 2006). Uji regresi secara keseluruhan (uji F) digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh secara bersama-sama dari parameter biofisik habitat monyet ekor panjang yang diamati terhadap parameter demografinya. Hipotesis yang dibangun untuk uji F ini adalah:

H0 : b1 = b2 = ... = b8 = 0 (semua variabel bebas X tidak ada yang mempengaruhi variabel tidak bebas Y)

H1 : b1 ≠ b2 ≠ ... ≠ b8 ≠ 0 (paling sedikit ada satu variabel bebas X yang mempengaruhi Y)

Uji lanjutan diperlukan jika berdasarkan uji F, H0 ditolak dan memiliki makna sedikitnya terdapat satu parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Uji lanjutan ini yaitu berupa uji parsial atau uji t. Uji t ini dilakukan untuk mengidentifikasi parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Hipotesis yang dibangun untuk uji t ini adalah:

H0 : bi = 0 (peubah bebas ke-i tidak mempengaruhi peubah terikat) H1 : bi ≠ 0 (peubah bebas ke-i mempengaruhi peubah terikat)

Kriteria dan kaidah pengambilan keputusan pada selang kepercayaan 95% untuk uji t yaitu tolak H0 jika thitung > t0.05; db dan terima H0 jika thitung ≤ t0.05; db.

Ukuran kelompok

Kelompok monyet ekor panjang (MEP) yang diamati di seluruh lokasi pengamatan berjumlah 11 kelompok (Gambar 3), yaitu tiga kelompok di Hutan Pendidikan Gunung Walat, empat kelompok di Cagar Alam/ Taman Wisata Alam Pangandaran (CA/ TWA Pangandaran), dua kelompok di Suaka Margasatwa (SM) Paliyan, serta dua kelompok di Hutan Wisata Kaliurang. Jumlah individu tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok Anak Muda Dewasa Jumlah Jantan Betina Jantan Betina

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)

1 Stasiun TVRI 22 5 9 7 8 51 2 Belakang camp 29 3 7 5 8 52 3 DAS 24 3 6 1 4 38 CA/ TWA Pangandaran

4 Pasir Putih Utara 11 11 2 3 14 41 5 Pasir Putih Selatan 7 4 2 3 8 24 6 Goa Rengganis 29 5 6 5 14 59 7 Kalenhaur 13 4 2 3 6 28 SM Paliyan

8 Petak 141 6 5 2 5 11 29 9 Petak 139 Selatan 53 7 13 9 4 106 Hutan Wisata Kaliurang

10 Nirmolo 17 3 5 7 10 42 11 Tlogo Muncar 17 9 3 6 18 53

Ukuran kelompok merupakan aspek pokok dari adaptasi dari satwa sosial terhadap lingkungannya (Grove 2012). Pada habitat alaminya, ukuran kelompok dibatasi oleh faktor ekologis habitat yang akan memberikan pengaruh pada demografi kelompok tersebut (Rodriguez-Llanes et al. 2009). Monyet ekor panjang hidup secara berkelompok. Sueur (2011) menyatakan bahwa hidup berkoloni/ berkelompok pada suatu kelompok satwa memberikan banyak keuntungan bila dibandingkan dengan hidup soliter. Beberapa keuntungan tersebut antara lain mengurangi resiko pemangsaan oleh predator (Jędrzejewski et al. 2006, Sueur et al. 2011) yaitu dengan menjauhi predator yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekologis habitatnya (Hollén et al. 2011), meningkatkan efisiensi pencarian pakan (Caro 2005 dalam Pollard dan Blumstein 2008), dan meningkatkan akses yang lebih baik bagi reproduksi yang potensial dalam kelompok tersebut (Sueur 2011).

Peningkatan jumlah individu dalam kelompok MEP yang diamati diduga karena ketersediaan pakan yang melimpah di habitat alaminya sehingga MEP

20

mampu berkembang biak dengan baik dan kecilnya angka mortalitas di alam. Selain itu karena status kawasannya, yaitu HPGW yaitu hutan pendidikan yang dikelola di bawah Fakultas Kehutanan IPB, dan CA/TWA Pangandaran yaitu kawasan konservasi sehingga tidak ditemukan adanya kasus perburuan dalam skala besar terhadap MEP. Sehingga keberadaan MEP tetap terjaga dan lestari di dalam habitat alaminya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaillot et al. (2006) yang menyatakan bahwa keberadaan suatu satwaliar di dalam kawasan konservasi cenderung akan terlindungi bila dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki status yang legal sebagai suatu kawasan perlindungan.

Berbeda dengan hasil pengamatan di HPGW dan CA/TWA Pangandaran, populasi MEP di SM Paliyan dari jumlah terakhir pencatatan populasi yaitu berdasarkan hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) hanya satu kelompok yang mengalami peningkatan, sedangkan satu kelompok terakhir yang diamati mengalami penurunan jumlah populasi hampir setengah dari jumlah populasi tahun 2010. Penurunan jumlah populasi ini juga dikarenakan adanya penangkapan jumlah monyet ekor panjang dalam jumlah besar yang dilakukan dari pihak BKSDA Yogyakarta terkait pelaporan gangguan dari kelompok monyet ekor panjang yang memakan hasil kebun dari masyarakat yang berkebun di dekat kawasan SM Paliyan.

Untuk daerah SM Paliyan, keberadaan monyet ekor panjang dianggap sebagai hama penganggu hasil kebun oleh petani di sekitar kawasan SM Paliyan, karena hingga saat ini monyet ekor panjang cenderung memilih pohon sarang dan pohon tidur dekat dengan kebun petani dan keberadaannya lebih banyak dijumpai di luar kawasan SM Paliyan, yang secara batas kawasan, kebun petani dan kawasan SM Paliyan memang sangat berdekatan. Satu kelompok berikutnya di SM Paliyan berjumlah 106 ekor, dan merupakan jumlah populasi monyet ekor panjang terbesar dari seluruh lokasi pengamatan. Jumlah ini diduga merupakan gabungan/ fusion antar beberapa grup monyet ekor panjang di sekitar kawasan SM Paliyan, sebagai akibat pengusiran oleh petani sehingga beberapa kelompok kecil monyet ekor panjang selanjutnya bergabung menjadi satu kelompok besar.

Menurut Henzi et al. (1997) fusion merupakan invers dari makna fission

dalam grup satwa liar yaitu adalah penggabungan beberapa kelompok kecil satwa menjadi satu kelompok besar dikarenakan adanya suatu kepentingan bersama yang menguntungkan apabila menjadi satu kelompok besar. Mekanisme penggabungan kelompok seperti ini banyak terjadi pada saat satwa melakukan aktivitas mencari makan/ foraging (King et al. 2008, Grove 2012). Beberapa kelompok satwa melakukan mekanisme seperti ini untuk meningkatkan asupan makanan (Price dan Stoinski 2007, Asensio et al. 2008, Bowler dan Bodmer 2009) serta mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok (Lehmann et al.

2006) yang tergantung pada kondisi lingkungan yang menjadi habitat dari satwa tersebut (Smith et al. 2008), meskipun di alam fenomena seperti ini jarang terjadi (Young dan Isbell 1994, Sueur et al. 2010). Konflik dalam kelompok MEP mungkin terjadi karena satwa ini hidup dengan sistem multi male-multi female

(Broom et al. 2004). Fenomena fusion ini mungkin terjadi dalam waktu singkat/

temporary (Kappeler dan van Schaik 2002) ataupun bisa dalam jangka waktu yang lama/ permanent tergantung kepada bagaimana lingkungan habitat dari satwa tersebut (Sueur et al. 2010).

Populasi monyet ekor panjang yang ada di kawasan Hutan Wisata Kaliurang hanya diwakili oleh dua kelompok yaitu kelompok Nirmolo dan Tlogo Muncar. Hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) yang mengamati empat kelompok monyet ekor panjang, tiga kelompok mati terkena erupsi Gunung Merapi 2010, sehingga tersisa satu kelompok yang bisa diamati. Bencana alam yang terjadi pada tahun 2010 merupakan faktor kematian utama terbesar yang membuat populasi monyet ekor panjang berkurang. Majolo (2008) menyatakan bahwa bencana alam merupakan faktor kematian terbesar bagi suatu populasi satwaliar. Bencana alam mampu memusnahkan suatu populasi. Secara alami ini merupakan mekanisme dalam proses seleksi alam dalam mengendalikan jumlah populasi di alam bila kondisinya sudah tidak seimbang.

Kondisi populasi monyet ekor panjang di kawasan Hutan Wisata Kaliurang sebelum terjadinya erupsi Gunung Merapi 2010 cukup berlimpah yang tersebar menjadi beberapa kelompok populasi. Monyet ekor panjang di Hutan Wisata Kaliurang telah beradaptasi dengan manusia karena menjadi lokasi wisata sehingga banyak warung makanan yang tersebar, dan tak jarang tiap pagi hari beberapa kelompok monyet ekor panjang akan turun dari sarangnya dan mendatangi warung-warung makanan tersebut. Konflik antara manusia dan satwaliar, dalam hal ini monyet ekor panjang sering terjadi dan tidak terhindarkan akibat perubahan peruntukan dan status kawasan tersebut. Berkurangnya habitat dan ketersediaan pakan tambahan akibat adanya kegiatan wisata, sebagai contoh pendirian tempat makan bagi para wisatawan menjadi penyebab utama bagi konflik anatara manusia dan spesies ini.

Konflik antar kelompok monyet ekor panjang juga sering terjadi, di antaranya karena kompetisi dalam hal pakan, ataupun karena masuk ke wilayah teritori kelompok monyet lainnya (De Wall 1998). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah monyet ekor panjang terbesar selama pengamatan terdapat di SM Paliyan, yaitu berjumlah 106 ekor. Dekatnya dengan kawasan perkebunan milik masyarakat di sekitar SM Paliyan, di mana masyarakat menanam singkong, kacang tanah, kelapa menjadi jenis pakan tambahan bagi monyet ekor panjang selain pakan yang tersedia di habitat alaminya. Chu (2006) menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan termasuk di dalamnya adaptasi dalam rentang atau rezim pakan yang luas, sehingga monyet ekor panjang akan lebih mudah untuk bertahan hidup dibandingkan dengan jenis satwa lain yang lebih spesifik jenis pakannya (Orams 2002). Kemampuan beradaptasi terhadap pakan juga terjadi pada masa bunting dimana jumlah monyet ekor panjang betina yang bunting akan meningkat pada saat puncak musim berbuah pohon pakan (Knott et al. 2009).

22

MEP di HPGW MEP di TWA Pangandaran

MEP di SM Paliyan MEP di Hutan Wisata Kaliurang Gambar 3 MEP di berbagai lokasi pengamatan

Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif

Peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif menjadi dua parameter demografi yang dianalisis dalam mengkaji hubungan antara parameter demografi dengan faktor lingkungan. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti Matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998). Hasil perhitungan peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dari tiap kelompok monyet ekor panjang yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil perhitungan terhadap nilai peluang hidup untuk kelas umur anak-muda, dan muda-dewasa menunjukkan nilai yang bervariasi. Variasi nilai ini memperlihatkan bahwa lingkungan habitat dari monyet ekor panjang yang diamati memiliki pengaruh terhadap parameter demografinya. Keanekaragaman hayati dari tiap habitat yang diamati juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata lingkungan habitat MEP, bila dikaitkan dengan potensi tumbuhan yang menjadi pakan alami MEP. Begitupun halnya dengan nilai rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif juga memberikan hasil yang bervariasi yang tergantung pada jumlah dari kelas umur anakan dan betina produktif dalam satu kelompok tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa kelompok MEP Pasir Putih Utara, dan Petak 141 memiliki nilai peluang hidup dari KU Anak ke Muda dengan nilai tertinggi yaitu mendekati 1. Ini berarti bahwa selama tahun pengamatan berjalan angka kematian pada kelompok MEP yang diamati tersebut adalah rendah. Bila dilihat dari kondisi lingkungan di kedua kelompok MEP tersebut, bisa dikatakan bahwa kondisi lingkungan masing-masing kelompok MEP tersebut tidak mengalami perubahan yang besar, meskipun keberadaan MEP Petak 141

menjadi konflik dengan petani namun tidak terdapat kasus perburuan sehingga mampu mendukung MEP untuk tetap berkembang.

Tabel 3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif kelompok MEP di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok Peluang hidup (px) Anak-Muda Peluang hidup (px) Muda-Dewasa Rasio bayi dan anak per betina reproduktif (r) 1. Stasiun TVRI HPGW 0.509 0.446 0.647 2. Belakang Camp HPGW 0.276 0.542 0.967 3. DAS HPGW 0.300 0.231 1.200 4. Pasir putih utara 0.945 0.545 0.344 5. Pasir putih selatan 0.686 0.764 0.350 6. Goa Rengganis 0.303 0.720 0.813 7. Kalenhaur 0.369 0.625 0.725 8. Petak 141 0.933 0.952 0.231 9. Petak 139 Selatan 0.302 0.688 1.559 10. Nirmolo 0.376 0.885 0.567 11. Tlogo Muncar 0.565 0.833 0.405

Leca et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat peluang hidup yang tinggi sangat mungkin terjadi bila kondisi lingkungan yang menjadi habitat satwa tersebut mendukung bagi perkembangan populasi satwa tersebut. Nilai peluang hidup KU Anak ke Muda terendah yaitu pada kelompok MEP Belakang camp

Dokumen terkait