• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis)."

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN

PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI

MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

CORY WULAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Cory Wulan NIM E351120051

(4)
(5)

RINGKASAN

CORY WULAN. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ENTANG ISKANDAR.

Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa primata utama yang diperdagangkan di dunia untuk berbagai pemanfaatan seperti di bidang biomedis, bidang antariksa dan lain sebagainya. Hingga akhir tahun 1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor panjang ternyata lebih banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam dan menunjukkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat membahayakan kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak dilakukan dengan suatu kajian ilmiah.

Sehubungan dengan pemanfaatannya tersebut, jumlah monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Namun peraturan terkait kuota tangkap yang dikeluarkan hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil dan belum terinci sesuai jenis kelamin dan kelas umur dan belum berdasarkan data parameter demografi populasinya.

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa parameter demografi monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif dan peluang hidup. Lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya sehingga seberapa besar pengaruh dari faktor lingkungan terhadap parameter demografi populasi dari monyet ekor panjang di habitat alaminya perlu dilakukan kajian secara menyeluruh.

Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak per betina reproduktif serta merumuskan model hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah teridentifikasi terhadap kedua parameter demografi tersebut.

(6)

ada tidaknya pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi digunakan uji regresi linear berganda pada selang kepercayaan 95%.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa peluang hidup kelas umur anak ke muda dipengaruhi oleh kerapatan pakan pada tingkat pancang dengan model hubungan yaitu Y(peluang hidup anak-muda) = 0.144 + 0.002 Kpcg. Rasio jumlah bayi

dan anak terhadap betina reproduktif dipengaruhi oleh kerapatan pakan tingkat pancang dan tiang dengan model hubungan Y(rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif) = 1.186 – 0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. Hasil analisis regresi juga

menunjukkan bahwa peluang hidup dari kelas umur muda ke dewasa tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

(7)

SUMMARY

CORY WULAN. The relationship of environmental factors and population demographic parameters of long tailed macaque (Macaca fascicularis). Supervised by YANTO SANTOSA and ENTANG ISKANDAR.

Long-tailed macaque from Southeast Asia is a main primate species traded in the world for multiple uses such as biomedical, aerospace and other fields. High demand for long tailed macaque in early nineties mostly fulfilled by wild caught, and caused a tendency of excessive exploitation. Therefore, the scientific study of population needs to be conducted to control population. The number of long-tailed macaque from wild caught must be based on the quota set by the Director General of Forest Protection and Nature Conservation of the Ministry of Forestry. But, the quota regulations only contain the number of wild caught and not based on demographic parameter yet. Previous studies show that demographic parameters used as a determinant of long-tailed macaques quota are the ratio of infant and juvenile to the reproductive female and life opportunity. Environment is an important factor for the long-tailed macaque’s population in their natural habitat. The influence of environmental factors on the demographic parameters should be examined thoroughly. The main reason of this research was to see environmental influences on demographic parameters of the population in their natural habitat and to formulate models of relationship between environmental factors to demographics parameters. This research was conducted in four types of natural habitat ecosystems that were planted forest ecosystem in Gunung Walat Education Forest, coastal and lowland forest ecosystem in the Pangandaran Nature Reserve/ Recreation Park, karst ecosystem in Paliyan Nature Reserve, and mountain forest ecosystem in Kaliurang Recreation Park. The object of this research was 11 groups of long tailed macaque in various habitat types using concentration count method. Observations were made for seven days, three times a day for each group; morning (6:00 to 08:00), noon (11:00 to 13:00) and afternoon (16:00 to 18:00). The data collected during the observation were the number of individual, individual by sex and individual by age class of each group. Environmental factors that were observed consists of temperature and humidity under the stands, altitude, the density of food sources, soil pH, slope, intensity of sunlight under stands, food sources distance from water source, and food sources distance from the nearest farm. The influence of environmental factors on demographic parameters was determined with multiple linear regression. The results show that the life opportunity of infant and juvenile to sub-adult classes was affected by food sources density of saplings. The model is Y = 0.144 + 0.002 Kpcg. The ratio of infants and juvenile to reproductive females was affected by food sources density of saplings and poles. The model is Y = 1.186-0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. The regression analysis also show that the life opportunity of sub-adult to adults classes is not influenced by environmental factors

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN

PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI

MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 hingga Mei 2014 ini ialah parameter demografi populasi monyet ekor panjang, dengan judul Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Entang Iskandar selaku anggota komisi pembimbing, yang telah bersedia membimbing, meluangkan waktu, mengarahkan, serta memberikan saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Dr Ir Nyoto Santoso selaku penguji dari luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. 3. Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati selaku pimpinan sidang ujian tesis yang

telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

4. Bapak Dr Ir Nandi Kosmaryandi selaku Direktur Hutan Pendidikan Gunung Walat, Balai Besar KSDA Jawa Barat, Bapak Yana selaku Kepala Resort CA/ TWA Pangandaran, Balai KSDA Yogyakarta, Bapak Widodo selaku Kepala Resort Paliyan, Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Bapak Teguh selaku Kepala Resort Pakem-Turi wilayah Kaliurang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

5. Pak Uus, Pak Lilik, Pak Ona, Pak Radiyo, Pak Barjono, Tubagus Maulana Muhammad Yusuf, S.Hut, M.Si, dan Achmad Fauzi yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan serta Koko Erliyanto, S.Hut atas bantuan pembuatan peta lokasi penelitian.

6. Ayahanda Armen Putra, Ibunda Rosmanidar A.Md, adik-adik penulis Titin Agusmella A.Md, Rola Nanda Widuri S.Si dan Mhd. Bintang Pamungkas serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. 7. Ikhwanul Hakima SE atas doa, semangat, dan dukungannya.

8. Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) tahun 2012 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini.

Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 7

3 METODE 11

Lokasi dan Waktu 11

Alat dan Objek Penelitian 11

Jenis data yang dikumpulkan 11

Metode Pengumpulan Data 11

Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Parameter Demografi 18

Faktor Lingkungan Habitat 25

Analisis hubungan antara lingkungan dengan parameter demografi 30

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 40

(15)

DAFTAR TABEL

1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan

lingkungan populasi monyet ekor panjang 13

2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi

pengamatan 18

3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif tiap kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi

pengamatan 21

4 Seks rasio monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan 24 5 Suhu harian dan kelembaban udara di seluruh lokasi pengamatan 25 6 Ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan dan kemiringan lahan di

seluruh lokasi pengamatan 27

7 Jarak pohon pakan dari sumber air dan kebun masyarakat terdekat di

seluruh lokasi pengamatan 29

8 Kerapatan pohon pakan di seluruh lokasi pengamatan 30

DAFTAR GAMBAR

1 Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang 12 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian 14 3 Monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan 21 4 Habitat monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan 28 5 Beberapa jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di lokasi

pengamatan 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 41

(16)

4

PENDAHULUAN

Latar belakang

Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa primata utama yang diperdagangkan di dunia (Eudey 1999) dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian biomedis (Gaillot et al. 2006) contohnya sebagai model penelitian penyakit tubercolosis (Rahmi et al. 2010), model penelitian obesitas dan osteoporosis (Saniwu et al. 2010, Wardy et al. 2010). Selain pemanfaatan di bidang biomedis monyet ekor panjang juga dimanfaatkan dalam bidang teknologi antariksa (Santosa 1996). Monyet ekor panjang tersebut diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Cina dan Amerika Serikat (Eudey 2008). Monyet ekor panjang dari kelompok jantan muda adalah jenis yang diminta untuk memenuhi permintaan ekspor tersebut (Kusmardiastuti 2010, Surya 2010). Hingga akhir tahun 1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor panjang ternyata lebih banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam dan menunjukkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat membahayakan kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak dilakukan dengan suatu kajian ilmiah (Eudey 2008). Homyack dan Haas (2009) menyatakan bahwa pemahaman tentang cara pemanenan dari alam akan memberikan pengaruh bagi struktur ekosistem, proses ekologis, keragaman jenis serta kelangsungan hidup suatu populasi yang diperlukan bagi pengelolaan kawasan hutan demi kelestarian populasi secara ekologis dan ekonomis.

Demi pemenuhan kebutuhan ekspor yang tinggi dan keuntungan ekonomi, perdagangan spesies ini dilakukan tidak hanya melalui perdagangan legal bahkan juga secara ilegal yang tentunya bisa mengakibatkan penurunan jumlah spesies ini dari habitat alaminya dengan cepat (Eudey 2008). Indonesia merupakan satu dari empat negara di Asia Tenggara selain Filipina, Malaysia, dan Thailand yang menjadi pengekspor monyet ekor panjang terbesar (Eudey 1999) ke negara lain. Hal ini merupakan upaya yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka usaha peningkatan devisa negara dari sektor non-migas, antara lain dari sektor kehutanan (Santosa 1996).

Sehubungan dengan pemanfaatannya, jumlah monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan. Namun kenyataannya peraturan terkait kuota tangkap yang dikeluarkan oleh PHKA ini hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil dan belum terinci sesuai jenis kelamin dan kelas umur, sehingga bisa dikatakan bahwa pengambilan spesies ini dari habitat alaminya belum berdasarkan data parameter demografi populasi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kusmardiastuti (2010), dan Surya (2010) diketahui bahwa parameter demografi monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktifdan peluang hidup.

(17)

2

tersebut (Lebreton et al. 1993 dalam Marker et al. 2003). Kajian ilmiah terkait parameter demografi populasi yang tervalidasi pada dasarnya dapat menentukan strategi konservasi monyet ekor panjang tersebut (Santosa 2010). Perkembangan parameter demografi dari waktu ke waktu sangat diperlukan bagi analisis kelestarian suatu spesies di masa yang akan datang (Santosa et al. 2012).

Perkembangan populasi monyet ekor panjang khususnya untuk populasi yang berada di alam tentunya akan berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi habitat spesies ini. Hasil penelitian terkait perilaku dan aktivitas harian monyet ekor panjang yang telah dilakukan oleh Widiyanti (2001) menyatakan bahwa aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain bergerak. Makan menjadi salah satu aktivitas pokok satwa liar (Ueno 2001) karena energi yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk menjalankan aktivitas hariannya diperoleh dari makanan yang diolah di dalam tubuhnya (Sinclair 2006). Bagi primata dari kelompok Macaca jenis frugivores yang artinya hampir sekitar 60-90% jenis pakannya didominasi oleh buah-buahan (Clutton-Brock dan Harvey 1977 dalam Bercovitch dan Huffman 1999), maka energi yang digunakan untuk beraktivitas berasal dari jenis buah-buahan tersebut.

Jenis monyet ekor panjang hidup dalam koloni/ kelompok sehingga di dalam pemanfaatan potensi pakannya akan terlihat dari struktur sosial dalam kelompok tersebut (Berkovitch dan Huffman 1999). Berbagai hal terkait ekologi monyet ekor panjang selanjutnya dapat dianalisis dari aktivitas makan tersebut sebagai contoh yaitu bagaimana penggunaan relung monyet ekor panjang yang berkohabitasi dengan lutung (Hendratmoko 2009) serta bagaimana karakteristik wilayah jelajahnya (Hidayat 2012).

Penelitian terkait parameter demografi monyet ekor panjang telah banyak dilakukan. Namun sejauh mana faktor lingkungan mempengaruhi parameter demografi populasi dari monyet ekor panjang di habitat alaminya belum dikaji secara menyeluruh, padahal lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya. Hal inilah yang menjadi alasan utama penelitian ini perlu untuk dilakukan yaitu untuk melihat ada tidaknya pengaruh lingkungan terhadap parameter demografi populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya.

Perumusan Masalah

Belum tersedianya data populasi dan kajian ilmiah menyeluruh terhadap populasi monyet ekor panjang terutama bagi komoditi ekspor membuat penurunan populasinya menurun secara cepat meskipun statusnya bukanlah satwa yang dilindungi. Selain itu belum dilakukannya kajian yang menyeluruh tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi parameter demografi monyet ekor panjang di beberapa tipe habitat alaminya memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana variasi parameter demografi populasi monyet pada tiap-tiap tipe habitat tersebut?

b. Bagaimana variasi kondisi lingkungan pada tiap-tiap tipe habitat monyet yang diamati?

(18)

Tujuan Penelitian

Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang hidup dan rasio jumlah bayi per betina reproduktif serta merumuskan model hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah teridentifikasi terhadap kedua parameter demografi tersebut.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian adalah bahwa faktor lingkungan di habitat alaminya mempengaruhi parameter demografi populasi monyet ekor panjang.

Ruang lingkup penelitian

(19)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Persebaran monyet ekor panjang

Penyebaran populasi merupakan suatu gambaran proses pemencaran individu-individu dalam ruang dan waktu (Santosa 1995). Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan satu dari 19 jenis primata genus Macaca (Fooden 1982) dan merupakan genus primata yang paling banyak tersebar di seluruh dunia (Berkovitch dan Huffman 1999) yang terdistribusi di selatan, tenggara dan timur Asia serta di utara Afrika (Matsumura 2001). Daerah persebaran monyet ekor panjang yaitu Indocina, Thailand, Burma (Myanmar), Malaysia, Philipina, dan Indonesia (Hendratmoko 2009). Monyet ekor panjang di Indonesia menyebar di banyak wilayah di Indonesia yaitu meliputi Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumba dan Flores (Supriatna dan Wahyono 2000). Persebaran yang luas tersebut dikarenakan kemampuan monyet ekor panjang dalam beradaptasi terhadap lingkungannya bila dibandingkan dengan jenis primata selain manusia lainnya (Lindburg 1991 dalam Berkovitch dan Huffman 1999) dan didukung pula dengan kemampuannya untuk tetap bertahan hidup pada habitat yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000), monyet ekor panjang mampu hidup di pepohonan dan di atas tanah), mempunyai variasi pakan yang banyak, laju reproduksi yang tinggi dan tidak takut dengan kehadiran manusia.

Persebaran monyet ekor panjang di Pulau Jawa yang pernah dijumpai beberapa di antaranya yaitu Gunung Mas, Cagar Alam Telaga Warna, Cikakak, Kali Gondang, Maja Singi, Tawangmangu, Wanagama, Tulung Agung, Bektiharjo, Sumber Semen, Colo, Goa Kreo, Kutosari, Jati Barang, Cirebon, Cibubur, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Slamet. Galdikas (1984) menyatakan bahwa monyet ekor panjang biasanya dapat dijumpai di sepanjang sungai-sugai ataupun daerah rawa yang berbatasan dengan sungai ataupun hutan-hutan dengan tanah yang kering. Nugroho (2012) menyatakan bahwa keberadaan monyet ekor panjang juga tersebar di antara lahan pertanian, bahkan terkadang hidup berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal manusia karena dapat mencari makanan di sekitar tempat sampah (Lekagul dan McNeely 1977) sehingga sering menimbulkan konflik dengan manusia.

Habitat Monyet Ekor Panjang

(20)

memperoleh habitat yang sesuai menjadi hal yang penting bagi satwa liar untuk bertahan hidup dan berkembang biak (Lindenmeyer dan Fischer 2006). Matsumura (2001) menjelaskan bahwa kelompok genus Macaca memiliki habitat yang tersebar merata di hampir seluruh tipe habitat seluruh dunia, yaitu mulai dari hutan hujan tropis hingga daerah kering (semi-arid), mangrove, hingga hutan temperate. Hal ini merupakan bukti bahwa kemampuan adaptasi satwa ini sangat tinggi terhadap berbagai tipe habitat (Supriatna dan Wahyono 2000).

Jenis pakan

Pakan monyet ekor panjang dapat terdiri dari buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, kadal, katak, moluska (Lekagul dan McNeely 1977). Beberapa hasil penelitian terkait jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang antara lain: Santoso (1996), Kusmardiastuti (2010), Surya (2010), Hidayat (2012) menyatakan bahwa monyet ekor panjang yang diamati banyak memakan daun dan buah.

Perilaku Makan

Monyet ekor panjang termasuk ke dalam kelompok satwa yang beraktivitas pada siang hari (diurnal) yang lebih banyak dilakukan di atas permukaan tanah/ terestrial dibandingkan di atas pohon (Napier dan Napier 1967). Priyono (1998) menyatakan bahwa monyet ekor panjang tidur di atas pohon secara berpindah-pindah untuk menghindarkan diri dari predator. Aktivitas harian monyet ekor panjang diatur dalam hierarki sosial dalam kelompoknya. Pada saat mencari makan pagi hari, jantan muda berjalan di depan dan di samping luar kelompoknya, jantan dominan berjalan di tengah-tengah kelompok bersama dengan betina dan anaknya yang masih kecil. Pada saat makan individu yang paling dominan akan makan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan anggota kelompok yang lain berdasarkan pola hierarki (Napier dan Napier 1967). Pada saat beristirahat, jantan dominan monyet ekor panjang dikelilingi oleh betina-betina dengan anak-anaknya yang masih kecil yang berada pada tempat yang lebih baik dan dekat dengan lokasi makanannya. Pada saat menghadapi bahaya atau bilamana ada monyet lain yang memasuki wilayah teritorinya, jantan dominan dan jantan lainnya akan menghadapinya secara bersama-sama sedangkan betina dan anaknya akan menghindar dari bahaya (Soeratmo 1979 dalam Priyono 1998).

Parameter Demografi Populasi Angka kelahiran (Natalitas)

(21)

6

monyet ekor panjang dengan komposisi struktur umur yang lengkap yaitu bayi, anak, muda dan dewasa. Sejauh ini pendekatan yang bisa dilakukan dalam pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut (Priyono 1998): (1) anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan jumlah kelahiran kumulatif selama 1.5 tahun, (2) laju kematian pada setiap kelas umur adalah konstan, dan (3) individu monyet ekor panjang yang dapat melahirkan termasuk ke dalam kelas umur muda dan dewasa.

Angka kematian (Mortalitas)

Mortalitas atau tingkat kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu (Santosa 1996). Angka laju kematian populasi monyet ekor panjang dapat diduga pula dari peluang hidup poplasi dari setiap kelas umurnya (Supartono 2001). Mortalitas satwa liar dapat disebabkan karena keadaan alam, kecelakaan, perkelahian ataupun karena aktivitas manusia. Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran, kelaparan, dan lain sebagainya. Kematian yang disebabkan karena kecelakaan misalnya seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu, ataupun kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian. Untuk kematian yang diakibatkan karena adanya perkelahian biasanya terjadi karena antara jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan. Sedangkan untuk kematian yang disebabkan karena aktivitas manusia seperti perusakan habitat, pemburuan, terkena perangkap, dan lain sebagainya.

Reproduksi

Santosa (1996) menyatakan bahwa laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang telah matang seksual. Monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3.5-5 tahun (van Lavieren 1983 dalam Priyono 1998). Siklus menstruasi berkisar 28 hari dengan lama birahi sekitar 11 hari (Napier dan Napier 1967). Selang waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24-28 bulan, masa bunting berkisar antara 160-186 hari dengan rata-rata 167 hari. Jumlah anak yang dilahirkan adalah sebanyak satu ekor (Supriatna dan Wahyono 2000) dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230-470 gram. Induk betina dapat melahirkan tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan secara alami yaitu sampai anak berumur 1.5 tahun (Napier dan Napier 1967). Monyet ekor panjang memiliki sistem perkawinan multi male-multi female, yakni memiliki beberapa ekor betina dan jantan dewasa dalam kelompoknya.

Seks Rasio

Seks rasio/ nisbah kelamin adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 2002) yang terdiri dari:

a. Global/ kasar yaitu perbandingan antara jumlah seluruh jantan terhadap jumlah seluruh betina dalam populasi.

(22)

Struktur populasi

(23)

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Hutan Pendidikan Gunung Walat

Sejarah, letak dan luas

Hutan Pendidikan Gunung walat (HPGW) terletak 2.4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor. Secara geografis HPGW berada pada 106048’27” BT sampai 106050’29” BT dan 6054’23” LS sampai 6055’35” LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi dan termasuk ke dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Luas kawasan HPGW adalah 359 ha, terdiri dari 3 blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 ha, blok Barat (Cimenyan) seluas 125 ha, dan blok tengah (Tangkalak) seluas 114 ha.

Komplek Hutan Gunung Walat ditunjuk menjadi kawasan HPGW berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/1973. Pengelolaan kawasan HPGW seluas 3359 ha dilaksanankan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendididkan dan dikelola oleh Unit Kebun Percobaan IPB degan jangka waktu 20 tahun. Tahun 1992 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan Gunung Walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/ Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Tahun 2005 status hukum kawasan HPGW lebih kuat dengan terbitnya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005 yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai hutan pendidikan.

Kondisi fisik kawasan

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 460-715 mdpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan di bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Jenis tanah HPGW yaitu kompleks dari podsolik, latosol, litosol dari batuan endapan dan bekuan daerah bukit, sedang di bagian barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di sekitar kawasan tersebut terbentuk beberapa gua alam karst.

Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri.

Kondisi biologis kawasan

(24)

satwaliar dari jenis mamalia, reptilia, dan burung. Kelompok mamalia yang bisa dijumpai yaitu babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp.), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp.), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Untuk kelompok jenis burung dapat dijumpai sekitar 20 enis burung, antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsii), emprit, kutilang, dan lain-lain. Untuk jenis reptilia antara lain biawak, ular, dan bunglon.

CA/ TWA Pangandaran Sejarah, letak dan luas

Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata Alam (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua teluk selebar ±200 meter. Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, sedangkan secara geografis kawasan CAP/ TWAP terletak pada koordinat 108039’05”-108040’48” BT dan 7042’03”-7043’48” LS. Sebelum ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 ha (luas yang sebenarnya 530 ha) dan taman laut luasnya 470 ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah ditemukan bunga Raflesia Padma, status Suaka Margasatwa diubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37.70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978.

Topografi dan iklim

Topografi kawasan ini mulai dari landai sampai berbukit kecil dengan ketinggian tempat rata-rata 100 meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, CA dan TWA Pangandaran termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata per tahun 3.196 mm dengan kelembaban udara antara 80-90%.

Potensi biotik kawasan Flora

(25)

10

butun (Baringtonia asiatica). Untuk dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman exotica, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni) dan komis (Acacia auriculirformis).

Fauna

Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah: banteng (Bos sondaicus), kijang (Muntiacus muntjak), tando (Cynocephalus variegatus), kalong (Pteroptus vampyrus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trcyphithecus auratus), kangkareng (Anthracoceros convexus), rangkong (Buceros rhinoceros), dan ayam hutan (Gallus gallus).

Suaka Margasatwa Paliyan Sejarah, letak, dan luas

Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434.60 hektar berada di wilayah Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Provinsi D.I Yogyakarta (tepatnya masuk wilayah Resort Polisi Hutan (RPH) Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH). Suaka Margasatwa Paliyan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 171/Kpts-II/2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ini merupakan alih fungsi dari kawasan hutan produksi pada petak 136 sampai dengan petak 141 berada di wilayah BDH Paliyan dengan luas total 434.60 ha.

Topografi

Topografi kawasan SM Paliyan berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan di atas 40% serta pada ketinggian antara 100-300 m dpl. kawasan SM Paliyan yang terdapat beberapa tanaman tinggal dalam tingkatan permudaan pancang, tiang dan pohon dengan kondisi yang juga tidak lebih sehat dengan kondisi normal. Jenis pohon yang ada terdiri dari jati dan sono keling.

Fauna

(26)

termasuk kategori tidak terancam secara global. Adapun jenis-jenis burung yang mempunyai kepadatan populasi tertinggi yaitu : kutilang, pentet/ bentet kelabu, olive backed sunbird dan tekukur.

Hutan Wisata Kaliurang Letak dan luas

Hutan Wisata Kaliurang berada di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi yang terletak di antara 107015’03” dan 100029’30” BT, 7034’51” dan 7047’03” LS dengan ketinggian antara 775-2000 m dpl. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedangkan di bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa perladangan dan pekarangan serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

Kondisi fisik kawasan

Secara klimatologis, Kaliurang memiliki curah hujan rata-rata tahunan 3000-3500 mm/tahun. Berdasarkan analisis peta kemiringan lereng dapat diketahui bahwa kawasan wisata Kaliurang mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 8-150.

Potensi biotik kawasan Flora

Berdasarkan hasil inventarisasi, Kaliurang memiliki leih dari 1000 jenis tumbuhan, termasuk 75 anggrek langka. Flora di lereng selatan didominasi oleh hutan campuran yang relatif stabil dan berstatus hutan lindung. Jenis-jenis eksotik yang ada di kawasan ini antara lain: rasamala (Altingia excelsa), bambu cendani (Bambusa vulgaris), bunga sepatu (Hibiscus rosasinensis), nogosari (Palaqium rostratum) dan lain-lain. Beberapa jenis anggrek yang bisa ditemukan antara lain: anggrek ekor bajing/ tupai (Rinchostylist retusa), anggrek kalajengking (Arachinis flosseris), Vanda tricolor, dan lain-lain.

Fauna

(27)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada berbagai tipe habitat monyet ekor panjang (Lampiran 1) yaitu: Hutan Wisata Kaliurang (ekosistem hutan pegunungan), SM Paliyan (ekosistem karst), CA/ TWA Pangandaran (ekosistem pantai dan hutan dataran rendah), Hutan Pendidikan Gunung Walat (ekosistem hutan tanaman). Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2014.

Alat dan Objek Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta tematik lokasi penelitian pada berbagai tipe habitat, kompas, teropong binokuler, GPS

receiver, pita meter, hand counter, tali rafia, kamera digital, stopwatch, termohygrometer, tally sheet pengamatan serta alat tulis. Objek penelitian yaitu 11 kelompok monyet ekor panjang yaitu terdiri dari dua kelompok pada Hutan Wisata Kaliurang, dua kelompok pada SM Paliyan, empat kelompok pada CA/TWA Pangandaran, serta tiga kelompok pada Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Jenis data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi struktur umur, jumlah kelompok dan individu dalam kelompok monyet ekor panjang serta kerapatan vegetasi sumber pakan monyet ekor panjang pada berbagai tipe habitat. Data sekunder meliputi rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif, peluang hidup serta faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kedua parameter monyet ekor panjang tersebut di alam serta kondisi vegetasi pada lokasi penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Pengambilan data melalui pengamatan di lapangan secara langsung dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi potensi sumber pakan monyet ekor panjang, jumlah populasi, jumlah anggota, struktur umur dan nisbah kelamin tiap kelompok pada berbagai tipe habitat. Metode pengumpulan data monyet ekor panjang, potensi tumbuhan pakan dan kondisi fisik habitatnya adalah sebagai berikut:

Parameter demografi

(28)

kelompok satwa sedang melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan yaitu berdasarkan pada infomasi awal yang diperoleh dari petugas lapangan tentang lokasi keberadaan monyet ekor panjang yang paling sering dijumpai. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00), dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan lima kali ulangan yang dilakukan selama tujuh hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta berdasarkan kelas umur. Pengamatan terhadap struktur umur (Gambar 1) dikelompokkan menjadi empat yaitu (Soma et al. 2009):

a. Jantan dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang kurang lebat, berkumis, bantalan duduk kiri dan kanan menyatu, adanya skrotum. Jantan dewasa memiliki morfologi badan besar, taring panjang, dan tingkah laku cenderung superior,

b. Betina dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang yang lebat, berjenggot, bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva vagina. Betina dewasa memiliki ambing dan puting susu yang terlihat menggantung.

c. Kelompok muda (4-9 tahun), dimana pengamatan antara jantan dan betina digabung menjadi satu karena secara morfologi belum terlihat adanya tanda-tanda yang spesifik untuk membedakan jenis kelaminnya. Batas bawah umur muda adalah berubahnya warna rambut hitam di kepala menjadi keabu-abuan.

d. Anakan (0-4 tahun) yaitu monyet yang baru lahir, memiliki warna hitam pada rambut kepala, dan masih digendong oleh induk monyet.

Jantan dewasa Betina dewasa

Muda

Anak Bayi

Gambar 1 Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang menurut Soma et al.

(29)

14

Kondisi biofisik habitat

Parameter biofisik habitat alami monyet ekor panjang yang diamati dan teknik pengumpulan datanya seperti pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan lingkungan populasi MEP

Data Parameter Teknik pengumpulan data

Data biofisik

habitat a. Suhu dan kelembaban udara suhu dan kelembaban udara diukur dengan termohygrometer yang dilakukan pada pagi hari jam 07.00 WIB, siang hari jam 11.00 WIB dan sore hari jam 17.00 WIB pada setiap titik lokasi pengamatantidur)

b. Ketinggian tempat ketinggian tempat dari permukaan laut (mdpl) diukur dengan menggunakan GPS

c. Vegetasi pada setiap jalur pengamatan dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan metode garis berpetak, di mana pohon pakan merupakan titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Analisis vegetasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana kondisi vegetasi di lokasi pengamatan serta kerapatan tumbuhan yang menjadi sumber pakan monyet ekor panjang

d. Kerapatan tumbuhan

pakan identifikasi jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang dari hasil analisis vegetasi pada petak contoh untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon, selanjutnya dihitung jumlah jenisnya

e. jarak pohon pakan dari

sumber air jarak tegak lurus terhadap sumber air terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS

f. jarak pohon pakan ke kebun terdekat milik masyarakat sekitar

jarak tegak lurus terhadap kebun terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS.

g. Intensitas cahaya

(30)

Data Parameter Teknik pengumpulan data

h. pH tanah pH tanah diukur pada tiga titik per lokasi pengamatan, selanjutnya nilai pH tanah adalah hasil rataan dari penghitungan tiga titik tersebut.

i. Kemiringan lahan kemiringan lahan diukur dengan menggunakan suunto per lokasi pengamatan populasi monyet ekor panjang

Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak pengamatan berukuran 20 x 20 m yang diletakkan mengelilingi pohon pakan yang telah ditandai sebagai titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Metode ini dilakukan dengan asumsi bahwa monyet ekor panjang akan berada dekat di sekitar titik-titik pohon pakan yang telah ditandai. Setiap titik lokasi pohon pakan dibuat lima petak pengamatan (Gambar 2). Pohon pakan menjadi titik awal pembuatan plot pengamatan pertama selanjutnya empat plot pengamatan berikutnya tersebar pada empat penjuru titik pohon pakan yaitu arah utara, selatan, barat, dan timur. Plot pengamatan dapat bertambah sesuai dengan arah jalur lintasan monyet ekor panjang, yaitu pada kondisi vegetasi yang berbeda dengan plot pengamatan sebelumnya atau sesuai dengan luas wilayah jelajah harian monyet ekor panjang dengan intensitas sampling sebesar 2%. Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan. Semua tingkatan tumbuhan dicatat nama lokal, jumlah, serta bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang. Adapun bentuk jalur pengamatan adalah seperti pada Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian

(31)

16

Keterangan :

A : Petak pengukuran semai berukuran 2 x 2 m B : Petak pengukuran pancang berukuran 4 x 4 m C : Petak pengukuran tiang berukuran 10 x 10 m D : Petak pengukuran semai berukuran 20 x 20 m

Analisis Data

Parameter Demografi

Data pengamatan terhadap populasi monyet ekor panjang (jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin serta berdasar kelas umur) digunakan untuk mencari rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dan peluang hidup untuk setiap kelas umur. Dua parameter ini dianalisis sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998), yaitu:

Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif (r)

Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif merupakan perbadingan antara jumlah individu kelompok umur bayi dan anak terhadap jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Persamaan yang digunakan untuk menghitung rasio tersebut adalah sebagai berikut:

r =

Keterangan:

r = rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif Xi = jumlah bayi dan anak pada kelompok ke-i Bi = jumlah betina produktif pada kelompok ke-i

Peluang hidup

Persamaan untuk menghitung peluang hidup (px) untuk setiap kelas umur yaitu sebagai berikut:

px =

= 1 – Mortalitas Keterangan:

(32)

Kerapatan tumbuhan pakan

Potensi tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada tiap lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 2005):

K = ( )

Untuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang mengacu pada hasil penelitian Hendratmoko (2009), Kusmardiatuti (2010), serta Hidayat (2012).

Analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi monyet ekor panjang

Regresi digunakan untuk menganalisis hubungan di antara beberapa variabel bebas dengan variabel terikat (Gotelli dan Ellison 2004). Uji regresi linear dengan metode stepwise menggunakan SPSS 16.0 digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi. Selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95%. Variabel bebas yaitu dari faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban udara, ketinggian tempat, kerapatan semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, jarak pohon pakan dari sumber air, jarak pohon pakan dari kebun masyarakat, pH tanah, intensitas cahaya matahari serta kemiringan lahan. Sedangkan parameter demografi yang merupakan variabel terikat adalah peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif. Persamaan yang digunakan yaitu:

Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ... + b12x12 + Ɛ

Keterangan:

Y = parameter demografi b0 = nilai intersep

bi = nilai koefisien regresi ke-i x1 = suhu udara (0C)

x2 = kelembaban udara (%) x3 = ketinggian tempat (m dpl) x4 = kerapatan pakan tingkat semai x5 = kerapatan pakan tingkat pancang x6 = kerapatan pakan tingkat tiang x7 = kerapatan pakan tingkat pohon x8 = jarak dari sumber air

x9 = jarak dari kebun masyarakat x10 = kemiringan lahan (0)

x11 = intensitas cahaya (lux) x12 = pH tanah

(33)

18

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

a. Uji asumsi regresi klasik. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah data ke-9 peubah tersebut layak untuk diproses lebih lanjut untuk bisa diregresikan. Kelayakan tersebut dilihat dari:

 uji normalitas data yaitu dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov

 uji multikolinearitas dengan menggunakan nilai tolerance dan VIF

 uji heterokedastisitas dengan menggunakan metode scatter plot  uji autokolinearitas dengan menggunakan metode durbin-watson.

b. Analisis regresi stepwise. Variabel-variabel hasil analisis faktor yang layak diuji selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode stepwise. Regresi stepwise merupakan salah satu solusi menyelesaikan masalah regresi yang variabel bebasnya saling berkorelasi (multikolineritas). Dalam analisis ini, tidak semua variabel bebas (X) yang diduga memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas (Y) dimasukkan dalam model regresi. Salah satu variabel bebas kadang berkorelasi atau berhubungan dengan variabel bebas lainnya. Oleh karena itu prosedur regresi stepwise dibuat agar menghasilkan model regresi terbaik. Selain itu, karena kemungkinan terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam model. Hal ini disebabkan variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya (Iriawan dan Astuti 2006). Uji regresi secara keseluruhan (uji F) digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh secara bersama-sama dari parameter biofisik habitat monyet ekor panjang yang diamati terhadap parameter demografinya. Hipotesis yang dibangun untuk uji F ini adalah: makna sedikitnya terdapat satu parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Uji lanjutan ini yaitu berupa uji parsial atau uji t. Uji t ini dilakukan untuk mengidentifikasi parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Hipotesis yang dibangun untuk uji t ini adalah:

H0 : bi = 0 (peubah bebas ke-i tidak mempengaruhi peubah terikat) H1 : bi ≠ 0 (peubah bebas ke-i mempengaruhi peubah terikat)

(34)

Ukuran kelompok

Kelompok monyet ekor panjang (MEP) yang diamati di seluruh lokasi pengamatan berjumlah 11 kelompok (Gambar 3), yaitu tiga kelompok di Hutan Pendidikan Gunung Walat, empat kelompok di Cagar Alam/ Taman Wisata Alam Pangandaran (CA/ TWA Pangandaran), dua kelompok di Suaka Margasatwa (SM) Paliyan, serta dua kelompok di Hutan Wisata Kaliurang. Jumlah individu tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok Anak Muda Dewasa Jumlah Jantan Betina Jantan Betina

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)

Ukuran kelompok merupakan aspek pokok dari adaptasi dari satwa sosial terhadap lingkungannya (Grove 2012). Pada habitat alaminya, ukuran kelompok dibatasi oleh faktor ekologis habitat yang akan memberikan pengaruh pada demografi kelompok tersebut (Rodriguez-Llanes et al. 2009). Monyet ekor panjang hidup secara berkelompok. Sueur (2011) menyatakan bahwa hidup berkoloni/ berkelompok pada suatu kelompok satwa memberikan banyak keuntungan bila dibandingkan dengan hidup soliter. Beberapa keuntungan tersebut antara lain mengurangi resiko pemangsaan oleh predator (Jędrzejewski et al. 2006, Sueur et al. 2011) yaitu dengan menjauhi predator yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekologis habitatnya (Hollén et al. 2011), meningkatkan efisiensi pencarian pakan (Caro 2005 dalam Pollard dan Blumstein 2008), dan meningkatkan akses yang lebih baik bagi reproduksi yang potensial dalam kelompok tersebut (Sueur 2011).

(35)

20

mampu berkembang biak dengan baik dan kecilnya angka mortalitas di alam. Selain itu karena status kawasannya, yaitu HPGW yaitu hutan pendidikan yang dikelola di bawah Fakultas Kehutanan IPB, dan CA/TWA Pangandaran yaitu kawasan konservasi sehingga tidak ditemukan adanya kasus perburuan dalam skala besar terhadap MEP. Sehingga keberadaan MEP tetap terjaga dan lestari di dalam habitat alaminya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaillot et al. (2006) yang menyatakan bahwa keberadaan suatu satwaliar di dalam kawasan konservasi cenderung akan terlindungi bila dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki status yang legal sebagai suatu kawasan perlindungan.

Berbeda dengan hasil pengamatan di HPGW dan CA/TWA Pangandaran, populasi MEP di SM Paliyan dari jumlah terakhir pencatatan populasi yaitu berdasarkan hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) hanya satu kelompok yang mengalami peningkatan, sedangkan satu kelompok terakhir yang diamati mengalami penurunan jumlah populasi hampir setengah dari jumlah populasi tahun 2010. Penurunan jumlah populasi ini juga dikarenakan adanya penangkapan jumlah monyet ekor panjang dalam jumlah besar yang dilakukan dari pihak BKSDA Yogyakarta terkait pelaporan gangguan dari kelompok monyet ekor panjang yang memakan hasil kebun dari masyarakat yang berkebun di dekat kawasan SM Paliyan.

Untuk daerah SM Paliyan, keberadaan monyet ekor panjang dianggap sebagai hama penganggu hasil kebun oleh petani di sekitar kawasan SM Paliyan, karena hingga saat ini monyet ekor panjang cenderung memilih pohon sarang dan pohon tidur dekat dengan kebun petani dan keberadaannya lebih banyak dijumpai di luar kawasan SM Paliyan, yang secara batas kawasan, kebun petani dan kawasan SM Paliyan memang sangat berdekatan. Satu kelompok berikutnya di SM Paliyan berjumlah 106 ekor, dan merupakan jumlah populasi monyet ekor panjang terbesar dari seluruh lokasi pengamatan. Jumlah ini diduga merupakan gabungan/ fusion antar beberapa grup monyet ekor panjang di sekitar kawasan SM Paliyan, sebagai akibat pengusiran oleh petani sehingga beberapa kelompok kecil monyet ekor panjang selanjutnya bergabung menjadi satu kelompok besar.

Menurut Henzi et al. (1997) fusion merupakan invers dari makna fission

dalam grup satwa liar yaitu adalah penggabungan beberapa kelompok kecil satwa menjadi satu kelompok besar dikarenakan adanya suatu kepentingan bersama yang menguntungkan apabila menjadi satu kelompok besar. Mekanisme penggabungan kelompok seperti ini banyak terjadi pada saat satwa melakukan aktivitas mencari makan/ foraging (King et al. 2008, Grove 2012). Beberapa kelompok satwa melakukan mekanisme seperti ini untuk meningkatkan asupan makanan (Price dan Stoinski 2007, Asensio et al. 2008, Bowler dan Bodmer 2009) serta mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok (Lehmann et al.

2006) yang tergantung pada kondisi lingkungan yang menjadi habitat dari satwa tersebut (Smith et al. 2008), meskipun di alam fenomena seperti ini jarang terjadi (Young dan Isbell 1994, Sueur et al. 2010). Konflik dalam kelompok MEP mungkin terjadi karena satwa ini hidup dengan sistem multi male-multi female

(Broom et al. 2004). Fenomena fusion ini mungkin terjadi dalam waktu singkat/

(36)

Populasi monyet ekor panjang yang ada di kawasan Hutan Wisata Kaliurang hanya diwakili oleh dua kelompok yaitu kelompok Nirmolo dan Tlogo Muncar. Hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) yang mengamati empat kelompok monyet ekor panjang, tiga kelompok mati terkena erupsi Gunung Merapi 2010, sehingga tersisa satu kelompok yang bisa diamati. Bencana alam yang terjadi pada tahun 2010 merupakan faktor kematian utama terbesar yang membuat populasi monyet ekor panjang berkurang. Majolo (2008) menyatakan bahwa bencana alam merupakan faktor kematian terbesar bagi suatu populasi satwaliar. Bencana alam mampu memusnahkan suatu populasi. Secara alami ini merupakan mekanisme dalam proses seleksi alam dalam mengendalikan jumlah populasi di alam bila kondisinya sudah tidak seimbang.

Kondisi populasi monyet ekor panjang di kawasan Hutan Wisata Kaliurang sebelum terjadinya erupsi Gunung Merapi 2010 cukup berlimpah yang tersebar menjadi beberapa kelompok populasi. Monyet ekor panjang di Hutan Wisata Kaliurang telah beradaptasi dengan manusia karena menjadi lokasi wisata sehingga banyak warung makanan yang tersebar, dan tak jarang tiap pagi hari beberapa kelompok monyet ekor panjang akan turun dari sarangnya dan mendatangi warung-warung makanan tersebut. Konflik antara manusia dan satwaliar, dalam hal ini monyet ekor panjang sering terjadi dan tidak terhindarkan akibat perubahan peruntukan dan status kawasan tersebut. Berkurangnya habitat dan ketersediaan pakan tambahan akibat adanya kegiatan wisata, sebagai contoh pendirian tempat makan bagi para wisatawan menjadi penyebab utama bagi konflik anatara manusia dan spesies ini.

(37)

22

MEP di HPGW MEP di TWA Pangandaran

MEP di SM Paliyan MEP di Hutan Wisata Kaliurang Gambar 3 MEP di berbagai lokasi pengamatan

Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif

Peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif menjadi dua parameter demografi yang dianalisis dalam mengkaji hubungan antara parameter demografi dengan faktor lingkungan. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti Matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998). Hasil perhitungan peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dari tiap kelompok monyet ekor panjang yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil perhitungan terhadap nilai peluang hidup untuk kelas umur anak-muda, dan muda-dewasa menunjukkan nilai yang bervariasi. Variasi nilai ini memperlihatkan bahwa lingkungan habitat dari monyet ekor panjang yang diamati memiliki pengaruh terhadap parameter demografinya. Keanekaragaman hayati dari tiap habitat yang diamati juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata lingkungan habitat MEP, bila dikaitkan dengan potensi tumbuhan yang menjadi pakan alami MEP. Begitupun halnya dengan nilai rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif juga memberikan hasil yang bervariasi yang tergantung pada jumlah dari kelas umur anakan dan betina produktif dalam satu kelompok tersebut.

(38)

menjadi konflik dengan petani namun tidak terdapat kasus perburuan sehingga mampu mendukung MEP untuk tetap berkembang.

Tabel 3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif kelompok MEP di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok

Leca et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat peluang hidup yang tinggi sangat mungkin terjadi bila kondisi lingkungan yang menjadi habitat satwa tersebut mendukung bagi perkembangan populasi satwa tersebut. Nilai peluang hidup KU Anak ke Muda terendah yaitu pada kelompok MEP Belakang camp utama HPGW. Selama pengamatan, kelompok MEP HPGW merupakan kelompok MEP yang paling sulit untuk diamati bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan yang lain. Selain karena peka terhadap kehadiran manusia, MEP di HPGW lebih bersifat arboreal, sehingga pengamatan lebih banyak dilakukan pada saat MEP sedang beraktivitas di pepohonan.

(39)

24

Hasil perhitungan terhadap nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif untuk seluruh lokasi pengamatan populasi MEP menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif tertinggi yaitu pada kelompok MEP Petak 139 Selatan. Tingginya nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif untuk kelompok MEP ini sebanding dengan jumlah kelompoknya. MEP di Petak 139 Selatan SM Paliyan merupakan kelompok MEP dengan ukuran populasi terbesar. MEP di tempat ini memiliki jumlah tertinggi untuk anakan MEP dengan perbandingan jumlah betina reproduktif yang juga tinggi. Peningkatan ukuran populasi ini secara proporsional akan membuat MEP betina dewasa memberikan waktu yang lebih banyak untuk merawat bayi dan anak hingga masa sapihnya (Grueter et al. 2013).

Peningkatan jumlah populasi suatu satwa liar ditentukan dari ukuran kelompoknya, berapa jumlah bayi yang lahir, dan berapa jumlah individu yang mati dalam kelompok tersebut selama satu tahun, sehingga angka kelahiran menjadi salah satu komponen dalam populasi yang dinamis yang dapat diukur, salah satu yang lebih sering diamati yaitu angka rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif (Sinclair et al 2006). Natalitas/tingkat kelahiran memberikan gambaran tentang kondisi suatu populasi satwa liar yaitu berupa peningkatan dalam jumlah individu dan ukuran kelompoknya (Caron-Lormier et al. 2006). Ciani et al. (2004) menyatakan bahwa natalitas yang tinggi mendukung perkembangan dari suatu populasi satwa liar sehingga populasi tersebut tetap terjaga keberadaannya/ lestari.

Berbagai faktor lingkungan dan kondisi habitat MEP juga mendukung tingginya nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif ini. Hal ini juga disampaikan oleh Llanes et al. (2009) bahwa natalitas/ tingkat kelahiran/ rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif memberikan gambaran tentang kondisi suatu populasi satwa liar, meskipun sangat sulit untuk diamati secara akurat (Leridon 2007). Selanjutnya untuk nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif terendah yaitu kelompok MEP Petak 141 SM Paliyan. Hal ini juga bisa dilihat dari tren penurunan jumlah populasi bila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahun 2010. Meskipun nilai peluang kehidupan MEP ini tinggi namun jumlah anakan MEP dan betina yang reproduktif jumlahnya cenderung menurun.

(40)

Seks Rasio

Seks rasio atau nisbah kelamin dari seluruh kelompok MEP yang diamati dihitung dengan cara membandingkan jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina secara keseluruhan. Namun karena untuk kelas umur anak belum bisa dibedakan antara kelamin jantan dan betina, maka yang diperhitungkan adalah jumlah individu jantan dan betina dari kelas umur muda hingga dewasa. Hasil perhitungan seks rasio untuk setiap kelompok MEP yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil perhitungan terhadap seks rasio/ nisbah kelamin untuk seluruh kelompok MEP di semua lokasi pengamatan memberikan nilai yang bervariasi. Secara keseluruhan untuk MEP yang diamati, terlihat bahwa jumlah jantan dan betina dalam satu kelompok hampir sama banyaknya. Pada dasarnya MEP merupakan satwa yang menggunakan sistem multi male-multi female (Blomquist dan Turnquist 2011), namun dari hasil pengamatan diketahui bahwa jumlah betina yang mungkin dimiliki oleh alpha male tidak berjumlah banyak, meskipun alpha male mampu kawin berkali-kali dengan betina MEP yang sedang dalam masa estrus.

Hasil perhitungan seks rasio ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan pada penelitian terdahulu, yaitu di HPGW oleh Hidayat (2012). Hendratmoko (2009) di CA/TWA Pangandaran, serta Kusmardiastuti (2010). Perbedaannya hanya pada seks rasio MEP DAS HPGW, dimana hasil penelitian Hidayat (2012) memperoleh nilai seks rasio 1:4 , sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, seks rasio untuk MEP DAS yaitu 1:3. Kuat dugaan jumlah MEP DAS pada saat pengamatan jumlahnya berkurang bila dibandingkan dengan tahun terakhir pengamatan. Hal ini juga bisa dilihat dari peluang perjumpaan yang rendah bila diandingkan dengan lokasi MEP di HPGW yang lain.

Tabel 4 Seks Rasio MEP di seluruh lokasi pengamatan No. Kelompok MEP Seks rasio*

*untuk kelas umur muda dan dewasa

(41)

26

Hidayat (2012) memperoleh nilai seks rasio 1:4 , sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, seks rasio untuk MEP DAS yaitu 1:3. Kuat dugaan jumlah MEP DAS pada saat pengamatan jumlahnya berkurang bila dibandingkan dengan tahun terakhir pengamatan. Hal ini juga bisa dilihat dari peluang perjumpaan yang rendah bila diandingkan dengan lokasi MEP di HPGW yang lain.

Faktor lingkungan habitat MEP Suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya

Hasil pengamatan terhadap suhu rata-rata harian dan kelembaban udara pada tiap lokasi habitat MEP yaitu seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 5 Suhu harian dan kelembaban udara di seluruh lokasi pengamatan No. Kelompok MEP Suhu rata-rata

harian Suhu harian rata-rata diperoleh dari data pengamatan suhu harian selama tiga kali per hari (pagi, siang, dan sore). Suhu harian rata-rata yang diamati yaitu suhu di bawah tegakan. Suhu udara bervariasi sesuai dengan kondisi habitat masing-masing lokasi pengamatan, yang dinilai merupakan suhu udara harian yang sesuai bagi MEP untuk beraktivitas dan beristirahat (Korstjens et al. 2010). Berdasarkan hasil penelitian, kelompok MEP yang ada di Stasiun TVRI HPGW, DAS HPGW, Nirmolo dan Tlogo Muncar adalah kelompok MEP yang memiliki suhu harian rata-rata terendah. Sedangkan kelompok MEP di Petak 141 dan Petak 139 selatan SM Paliyan memiliki suhu harian rata-rata tertinggi. Suhu di permukaan bumi akan bertambah rendah dengan bertambahnya lintang seperti halnya penurunan suhu menurut ketinggian (Nasir et al. 1993). Hal ini terlihat dari hasil pengamatan suhu rata-rata harian, dimana lokasi dengan ketinggian lokasi 700-900 m dpl memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang berdekatan dengan laut.

(42)

bahwa bila suhu udara semakin tinggi/ meningkat maka nilai RH akan semakin rendah dan begitu pula sebaliknya, nilai RH akan semakin tinggi bila suhu udara semakin rendah. Pendapat ini sesuai dengan hasil pengamatan di seluruh lokasi habitat MEP yang diamati. Pada kelompok MEP dengan suhu harian rata-rata maka nilai RH-nya akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi suhu harian rata-ratanya maka nilai RH lokasi habitat MEP tersebut akan semakin rendah.

Hasil pengamatan terhadap pengukuran intensitas cahaya matahari yang berada di bawah tegakan juga menunjukkan hasil yang sebanding dengan hasil pengukuran suhu harian rata-rata dan kelembaban udara. Nilai intensitas cahaya tertinggi yaitu pada lokasi Petak 141 dan Petak 139 selatan SM Paliyan. Habitat MEP di SM Paliyan (Petak 141 dan Petak 139 Selatan) memang didominasi oleh tanaman perkebunan milik petani sekitar kawasan karena kawasan SM berbatasan langsung dengan lahan pertanian. Tumbuhan yang mendominasi habitat MEP di Paliyan yaitu jati (Tectona grandis) yang juga menjadi pakan alami MEP di kawasan ini.

Kawasan SM Paliyan baru ditunjuk pada tahun 2000 sebagai kawasan konservasi. Sebelum penunjukan kawasan, kawasan ini dahulunya merupakan kawasan hutan produksi jati, namun pada saat era reformasi tahun 1998, kawasan hutan produksi ini mengalami penjarahan besar-besaran terhadap kayu jati tersebut, sehingga lahan hutan produksi tersebut menjadi lahan kritis, dan baru mulai direhabilitasi melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2003 dan 2004 sehingga pada saat pengamatan tahun 2014 lahan SM Paliyan masih belum memiliki vegetasi yang rapat dan rindang. Selain juga karena habitatnya yang berada dekat dengan laut dan tipe habitat pegunungan kapur/ karst sehingga cahaya maahari diterima langsung ke lantai hutan tanpa terhalang rindangnya pepohonan.

Ketinggian lokasi, kemiringan lahan, dan pH tanah

Hasil untuk ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan serta kemiringan lahan di setiap lokasi pengamatan yang menjadi habitat MEP (Gambar 4) adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Peubah ketinggian lokasi merupakan pengukuran ketinggian lokasi dari permukaan air laut. Berdasarkan hasil pengamatan untuk ketinggian lokasi, diketahui bahwa habitat MEP tersebar dari hutan pantai hingga ke hutan pegunungan.

(43)

28

Tabel 6 Ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan dan kemiringan lahan di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok MEP Ketingian lokasi Peubah ketinggian lokasi merupakan pengukuran ketinggian lokasi dari permukaan air laut. Berdasarkan hasil pengamatan untuk ketinggian lokasi, diketahui bahwa habitat MEP tersebar dari hutan pantai hingga ke hutan pegunungan. Gaillot (2006) menyatakan bahwa MEP merupakan satwa yang tersebar dan mampu hidup pada berbagai tipe habitat. Habitat MEP yang menjadi lokasi pengamatan terbagi menjadi empat tipe yaitu hutan tanaman (HPGW), hutan pantai dan dataran rendah (CA/ TWA Pangandaran), hutan karst (SM Paliyan), serta hutan pegunungan (Hutan Wisata Kaliurang). Penyebaran habitat MEP ini juga menunjukkan bahwa MEP merupakan satwa yang juga memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi pada kondisi habitatnya serta mampu berkembang biak pada habitatnya tersebut.

Topografi dari berbagai tipe habitat MEP yang diamati mulai dari datar hingga berbukit. Topografi datar dijumpai pada lokasi habitat MEP di sebagian lokasi pengamatan HPGW, dan di CA/ TWA Pangandaran dengan kemiringan lahan mulai dari 50-150. Sedangkan topografi berbukit dijumpai pada beberapa

lokasi di HPGW, Kalenhaur di CA/TWA Pangandaran, lokasi SM Paliyan dan Hutan Wisata Kaliurang dengan kemiringan lahan mulai dari 200-400.

(44)

Habitat MEP di HPGW Habitat MEP di TWA Pangandaran

Habitat MEP di SM Paliyan Habitat MEP di Hutan Wisata Kaliurang Gambar 4 Habitat MEP di berbagai lokasi pengamatan

Jarak pohon pakan ke sumber air terdekat dan kebun masyarakat

Pengamatan terhadap faktor lingkungan habitat MEP juga dilihat dari jarak pohon pakan terhadap sumber air dan kebun masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa satwa memiliki kebutuhan akan air sehingga cenderung untuk mencari sarang yang dekat dengan sumber air. Untuk pengukuran jarak terhadap kebun masyarakat juga dilakukan yaitu untuk menduga apakah faktor manusia juga mempengaruhi keberadaan MEP di suatu tempat. Hasil pengamatan terhadap jarak pohon pakan ke sumber air terdekat serta jarak pohon pakan ke kebun masyarakat terdekat dapat dilihat pada Tabel 7.

(45)

30

Tabel 7 Jarak pohon pakan dari sumber air dan kebun masyarakat terdekat di seluruh lokasi pengamatan

No. Kelompok Jarak pohon pakan

ke sumber air (m) kebun masyarakat (m) Jarak pohon pakan ke 1. Stasiun TVRI HPGW 150 361 pakan yang dikonsumsinya. Sedangkan untuk jarak pohon pakan dengan kebun masyarakat terdekat berada pada kisaran jarak 250-470 meter dari pohon pakan. Habitat MEP di SM Paliyan merupakan lokasi pengamatan dengan jarak kebun paling dekat dengan pohon pakan. Hal ini dikarenakan batas kawasan SM dengan lahan pertanian milik masyarakat sangat berdekatan, sehingga konflik antara petani dengan MEP sangat sering terjadi, dan bagi petani di Paliyan, MEP merupakan satwa hama yang menjadi musuh dan harus selalu diawasi agar tidak masuk dan merusak tanaman perkebunan milik petani tersebut. Jarak kebun terjauh yaitu pada lokasi MEP Kalenhaur. Ini dikarenakan lokasi habitat MEP yang berada di dalam kawasan Cagar Alam, sehingga keberadaan MEP selalu ada di dalam kawasan konservasi yang tentu saja tidak boleh dilakukan pengolahan lahannya oleh masyarakat dalam bentuk apapun untuk menjaga kelestarian kawasannya.

Kerapatan tumbuhan pakan

Kerapatan pakan pada seluruh lokasi pengamatan MEP dihitung dari hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi ditemukannya MEP yang menjadi pakan alami MEP tersebut. Kerapatan pakan ini meliputi seluruh tingkatan pertumbuhan vegetasi yaitu semai, pancang, tiang dan pohon. Pada tingkat semai tidak hanya dari permudaan vegetasi pepohonan tetapi juga dari tumbuhan bawah yang juga dikonsumsi oleh MEP (Gambar 5). Hasil dari kerapatan pakan pada seluruh lokasi pengamatan dapat dilihat dari Tabel 8.

Gambar

Gambar 1   Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang menurut Soma et al.
Tabel 1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan
Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian
Tabel 2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Antara lain, saya sering mengatakan, birokrasi yang masih bermasalah di banyak tempat, korupsi sendiri, masih terjadi juga konflik komunal, kekerasan-kekerasan horizontal, anarki

Hasil jagung P 27 pada perlakuan pupuk kandang (T1) dan sludge (T2) secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5) disebabkan karena kandungan

Dalam pengertian yang luas sebagai perasaan na- sional lagu-lagu perjuangan disebut sebagai lagu wajib yang diajarkan mulai pada tingkat pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi

Sama halnya dengan kehadiran buku yang berjudul Bahasa Indonesia Bermuatan Nasionalisme Untuk Kelas V SD ini, tidak lepas dari penilaian, dan menjadi tanggungjawab moril

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,

DENGAN UNSUR ASOSIASI PERUSAHAAN DAN ASOSIASI PROFESI MEMBENTUK LEMBAGA UNTUK PENGEMBANGAN JASA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.. Menguak Tabir