• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini menguraikan kondisi daerah perencanaan dan data yang mendukung dalam perencanaan.

Bab IV ANALISA DAN HASIL PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang analisa hidrologi, desain hidrolis bendung, desain bangunan penangkap sedimen dan analisis stabilitas bendung.

Bab V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian ini, serta saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan faktor pendukung dan faktor penghambat yang dialami selama penelitian berlangsung, sehingga diharapkan penelitian ini berguna untuk seluruh mahasiswa Fakultas Teknik Universitas muhammadiyah Makassar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bendung

1. Pengertian Bendung

Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi meninggikan muka air sungai agar bisa di sadap. Bendung merupakan salah satu dari bagian bangunan utama. Bangunan utama adalah bangunan air (hydraulic structure) yang terdiri dari bagian-bagian yakni, bendung (weir structure), bangunan pengelak (deversion structure), bangunan pengambilan (intake structure), dan bangunan kantong lumpur (sediment trapstructure).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 03-2401-1991 tentang pedoman perencanaan hidrologi dan hidraulik untuk bangunan di sungai adalah bangunan ini dapat didesain dan dibangun sebagai bangunan tetap, bendung gerak, atau kombinasinya, dan harus dapat berfungsi mengendalikan aliran dan angkutan muatan di sungai sedemikian sehingga dengan menaikkan muka airnya, air dapat dimanfaatkan secara efisien sesuai dengan kebutuhannya.

Sedangkan menurut Standar Perencanaan Irigasi KP 02 Bangunan Utama, bendung adalah bangunan pelimpah melintang sungai yang memberikan tinggi muka air minimum kepada bangunan pengambilan untuk keperluan irigasi. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

bendung adalah suatu bangunan air yang melintang sungai yang dibuat untuk meninggikan muka air minimum untuk berbagai keperluan.

Fungsi utama dari bendung adalah untuk meninggikan elevasi muka air dari sungai yang dibendung sehingga air bisa disadap dan dialirkan ke saluran lewat bangunan pengambilan (intake structure), dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efisien dan optimal, (Mawardi Dan Memet,2010).

2. Klasifikasi Bendung

Klasifikasi bendung berdasarkan sifatnya, fungsinya dan berdasarkan tipe strukturnya, (Mawardi Dan Memet, 2010).

Ditinjau dari segi sifatnya bendung dapat pula dibedakan :

a. Bendung permanen seperti bendung pasangan batu, beton dan kombinasi beton dan pasangan batu.

b. Bendung semi permanen seperti bendung bronjong, cerucuk kayu dan sebagainya.

c. Bendung darurat, yang dibuat oleh masyarakat pedesaan seperti bendung tumpukan batu dan sebagainya.

Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi : a. Bendung pembagi banjir

Bendung ini dibangun di percabangan sungai untuk mengatur muka air sungai, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah sesuai dengan kapasitasnya.

b. Bendung penyadap

Bendung ini digunakan sebagai penyadap aliran sungai untuk berbagai keperluan seperti untuk irigasi, air baku dan sebagainya.

c. Bendung penahan pasang

Bendung ini dibangun di bagian sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut antara lain untuk mencegah masuknya air asin.

Berdasarkan tipe strukturnya bendung dapat dibedakan atas : a. Bendung tetap

Bendung tetap yaitu bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga muka air banjir tidak dapat di atur elevasinya. Pada umumnya dibangun pada ruas sungai di hulu dan di tengah.

b. Bendung gerak.

Bendung ini dapat dipergunakan untuk mengatur tinggi dan debit air sungai dengan pembukaan pintu-pintu yang terdapat pada bendung tersebut. c. Bendung kombinasi

Bendung ini berfungsi ganda, yaitu sebagai bendung tetap maupun sebagai bendung gerak.

d. Bendung kembang kempis (karet).

Bendung ini memiliki fungsi yang sama dengan bendung karet yang mana berfungsi untuk mengatur tinggi muka air, pada musim kemarau, bendung karet dapat dikembangkan sehingga air yang masih berlebih di awal musim kemarau dapat ditampung, sedangkan pada musim hujan, bendung karet dikempiskan untuk menghindari muka air banjir.

3. Bagian – Bagian Bendung

Adapun Bagian-bagian dari Bendung menurut Mawardi Dan Memet, 2010 : a. Tubuh bendung antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung

dengan bangunan peredam energinya.

b. Bangunan intake antara lain terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu, dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu dan perlengkapan lainnya.

c. Bangunan pembilas dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar penempatan pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan batu dan perlengkapan lainnya.

d. Bangunan pelengkap lain yang harus ada pada bendung antara lain yaitu tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air dan sebagainya.

4. Pemilihan Lokasi Bendung

Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 penentuan lokasi bendung dipilih atas pertimbangan beberapa sudut pandang yaitu:

a. Keadaan Topografi

1. Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga harus dilihat elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.

2. Bila elevasi sawah tertinggi yang akan diairi telah diketahui maka elevasi mercu bendung dapat ditetapkan.

3. Dari kedua hal diatas, lokasi bendung dilihat dari topografi dapat diseleksi.

b. Keadaan Hidrologi.

1. Faktor-faktor hidrologinya, karena menentukan lebar dan panjang bendung serta tinggi bendung tergantung pada debit rencana.

2. Faktor yang diperhitungkan, yaitu masalah banjir rencana, perhitungan debit rencana, curah hujan efektif, distribusi curah hujan, unit hidrograf, dan banjir di site atau bendung.

1. Kondisi Topografi.

a. Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi.

b. Trase saluran induk terletak di tempat yang baik. 2. Kondisi Hidrologi dan Morfologi.

a. Pola aliran sungai meliputi kecepatan dan arahnya pada waktu debit banjir.

b. Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir. c. Tinggi muka air pada debit banjir rencana.

d. Potensi dan distribusi angkutan sedimen. 3. Kondisi Tanah Pondasi

Bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah pondasinya cukup baik sehingga bangunan akan stabil. Faktor lain yang harus dipertimbangkan pula yaitu potensi kegempaan dan potensi gerusan karena arus dan sebagainya.

4. Biaya pelaksanaan

Biaya pelaksanaan bangunan bendung juga menjadi salah satu faktor penentuan pemilihan lokasi pembangunan bendung. Dari beberapa alternatif lokasi ditinjau pula dari segi biaya yang paling murah dan pelaksanaan yang tidak terlalu sulit.

5. Syarat – Syarat Konstruksi Bendung.

Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 Syarat bendung harus memenuhi beberapa faktor yaitu :

a. Bendung harus stabil dan mampu menahan tekanan air pada waktu banjir.

b. Pembuatan bendung harus memperhitungkan kekuatan daya dukung tanah di bawahnya.

c. Bendung harus dapat menahan bocoran (seepage) yang disebabkan oleh aliran air sungai dan aliran air yang meresap ke dalam tanah.

d. Tinggi ambang bendung harus dapat memenuhi tinggi muka air minimum yang diperlukan untuk seluruh daerah irigasi.

e. Bentuk peluap harus diperhitungkan, sehingga air dapat membawa pasir, kerikil dan batu-batu dari sebelah hulu dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh bendung, (Mawardi Dan Memet, 2010).

B. Analisis Hidrologi 1. Pengertian Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebaranya, sifat-sifatnya dan

hubungan dengan lingkungannya terutama dengan makhluk hidup. Ini meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfer, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan penghidupan di planet bumi ini.

Syarat-syarat yang diperlukannya adalah data-data hasil pengamatan dalam semua aspek presipitasi, limpasan (runoff), debit sungai, infiltrasi, perkolasi, evaporasi dan lain-lain. Dengan data-data tersebut dan ditunjang oleh pengalaman-pengalaman dalam banyak ilmu yang berkaitan dengan hidrologi, maka seorang ahli hidrologi akan dapat memberikan penyelesaian dalam persoalan yang menyangkut keperluan dan penggunaan air dalam hubungannya dengan perencanaan teknis bangunan-bangunan air.

2. Curah Hujan Wilayah

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam millimeter. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Metode perhitungan curah hujan areal dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut: (Loebis, 1987).

1. Metode Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasiun hujan minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.

Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru, (Triatmodjo, 2008).

Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan berikut, (Sosrodarsono dan Takeda, 1993)

= 1 1 + 2 2 + 3 3 + ⋯ +1 + 2 + ⋯ +

= 1 1 + 2 2 + ⋯ +

= 1 1 + 2 2 + ……….. (2.1)

Dimana :

R = Curah hujan daerah

adalah jumlah titik Pengamatan

A1,A2,…..An = Bagian daerah yang mewakili tiap titip Pengamatan W1,W2,…Wn = A An A A A A1, 2,..., 2. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis isohyet tertentu, (Triatmodjo, 2008).

Adapun rumus yang digunakan pada metode Isohyet manurut (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).

R = (A1R1+A2R2+AnRn) / (A1+A2+An) ... (2.2) Dimana :

R = Curah Hujan Rata-rata Daerah (mm)

R1, R2,..Rn = Curah Hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik-titik pengamatan (mm)

A1, A2,….An = Luas Daerah antara ishoyet (Km²)

Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata, metode isohyet membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibanding dua metode lainnya.

3. Metode Rata-Rata Aljabar

Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan adalah yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode Rata-Rata Aljabar memberikan hasil yang baik apabila :

a. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS. b. Distribusi hujan relatif merata pada saluran DAS. (Triatmodjo, 2008).

Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan disekitar daerah yang bersangkutan (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).

= ( 1 + 2 + ⋯ + ) ……….. (2.3) Dimana :

R = Curah hujan daerah (mm)

N = Jumlah titik-titik (pos-pos) pegamatan R1,R2,..,Rn = Curah hujan ditiap pegamatan

3. Curah Hujan Rencana

Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana.

Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi Normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III , dan distribusi Gumbel. Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan distribusi yang ada dilakukan terlebih dahulu pengukungan dispersi untuk mendapatkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana.

1. Pengukuran Dispersi

Suatu kenyataan bahwa tidak semua variat dari suatu variable hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya, kemungkinan ada nilai variat yang lebih besar atau lebih kecil dari pada nilai rata-ratanya. Besarnya derajat dari sebaran variat disekitar nilai rata-ratanya disebut dengan variasi ( variation ) atau disperse ( dispersion ) dari pada suatu data sembarang variable hidrologi. Cara mengukur besarnya variasi atau dispersi disebut pengukuran dispersi, pengukuran dispersi meliputi standar deviasi, koefisien kemencengan, koefisian variasi, dan pengukuran kurtosis.

(Soewarno, 1995).

a. = ∑ = ( − ) 0.5̇ ... (2.4) n-1

dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

b.

= ...

(2.5)

dimana :

Cv : Koefisien variasi S : Standar deviasi

Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

c.

=

( )(( ) ³) ... (2.6) dimana :

Cs : Koefisien kemencengan S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

d.

=

² ∑( .{)( ( ))( ) } ... (2.7) dimana :

Ck : Koefisien kurtosis S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

2. Metode Gumbel

Rumus rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut metode gumbel adalah sebagai berikut :

= + . ...

(2.8) dimana :

Xi : Hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm) Xrt : Nilai tengah sampel (mm)

s : Standar deviasi sampel k : Factor frekuensi

(Soemarto, 1999).

3. Metode Log Person III

Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkitakan mengikuti distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logarotmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat menyimpulkan pemakaian distribusi Log-Normal, (Suripin, 2004).

Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis teori, distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya, (Suripin, 2004).

Ada tiga parameter penting dalam Log-Person III, yaitu harga rata-rata, simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Yang menarik, jika koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log-Normal.

Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person III menurut Suripin, 2004 :

a. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis dari X menjadi Log X b. Hitung harga rata – rata :

Log

=

∑ . ... (2.9) dimana :

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata-rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

c. Hitung harga simpangan baku :

S = ∑ . ( − )² 0.5̇ ... (2.10) n-1

dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

d. Hitung koefisien kemencengan ( ) :

=

(( )( ) ³ ) ... (2.11) dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

e. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T :

= + . ... (2.12) dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

k : variable standar ( standarized variable ), tergantung 4. Metode Log-Normal

Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini menurut Soewarno, 1995 adalah sebagai berikut :

= + . ... (2.13) dimana :

Xi: Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang X Tahun (mm).

S : Standar deviasi data hujan maksimum tahunan. Xrt : Curah hujan rata – rata (mm).

K : Nilai karakteristik dari distribusi Log-Normal, yang nilainya tergantung dari koefisien variasi.

4. Uji Keselarasan Distribusi

Uji keselarasan dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang nyata antara besarnya debit maksimum tahunan hasil pengamatan lapangan dengan hasil perhitungan. Uji keselarasan dapat dilaksanakan dengan uji chi-kuadrat dan smirnov-kolmogorov, (Soewarno, 1991).

a. Uji Chi – Kuadrat

Uji Chi – Kuadrat menggunakan rumus sebagai berikut :

X =

( ... (2.14)

dimana :

X : Harga chi-kuadrat terhitung.

Oi : Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-1. Ei : Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-1. N : Jumlah data.

(Suripin, 2004).

Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X hitung < dari X kritis. Nilai X kritis dapat dilihat di tabel 2-6. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari penyimpanannya dengan chi-kuadrat kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu yang sering diambil adalah 5 %. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut :

K = 1 + 3.322 log

=

dimana :

DK : Derajat kebebasan. K : Jumlah kelas.

α

: Banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji chi-kuadrat adalah 2.

N : Jumlah data.

Ni : Nilai yang diharapkan. (Triatmodjo, 2008).

b. Uji Smirnov – Kolmogorov

Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut juga uji keselarasan (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut : Rumus yang dipakai :

Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data (persamaan distribusinya), menurut Suripin, 2004.

= ( ) = ( ) = ( ) = ( )

Periode ulang untuk perhitungan debit minimum tidak menyatakan suatu nilai sama atau lebih dari besaran tertentu, akan tetapi menyatakan suatu nilai sama atau kurang dari besaran tertentu. Oleh karena itu apabila :

P =[ X ≥ ( + k.2 ) ] – α ... (2.16)

P =[ X ≤ ( + k.3 ) ] = 1 – α ... (2.17)

Rumus – rumus yang dipakai untuk menghitung D (selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis) adalah sebagai berikut :

P(X)= m/(n+1) ... (2.18) P(X<)= 1-P(X) ... (2.19) P’(X) = m/(n-1) ... (2.20) P’(X<)= 1-P’(X) ... (2.21) D = maksimum |P’(X<)-P(X<)| ... (2.22) (Soewarno, 1995).

C. Intensitas Curah Hujan.

Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu didapatkan harga suatu intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisa intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau, (Loebis, 1987).

Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan beberapa macam metode, antara lain metode Dr.Mononobe, metode Talbot dan metode Tadashi Tanimoto.

1. Metode Dr. Mononobe.

Digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian, (Loebis, 1987).

2. Metode Talbot.

Digunakan apabila data curah hujan yang tersedia adalah data curah hujan jangka pendek, (Loebis, 1987).

3. Metode Tadashi Tanimoto.

Tadashi Tanimoto mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang dapat digunakan di Pulau Jawa, (Triatmodjo, 2008).

Dalam perhitungan metode yang digunakan adalah metode Dr.Mononobe karena data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan harian. Rumus yang digunakan untuk metode ini adalah :

= ∗ .

/ ... (2.23) dimana :

r : Intensitas curah hujan (mm/jam).

: Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) t : Lamanya curah hujan (jam).

D. Debit Banjir Rencana.

1. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I

Hidrograf satuan sintetik Gama I dikembangkan oleh Sri Harto(1993, 2000) berdasar prilaku hidrologi 30 DAS di Pulau Jawa. Meskipun diturunkan dari data DAS di Pulau Jawa, ternyata hidrograf satuan sintetik gama I juga berfungsi baik untuk berbagai daerah yang lain di Indonesia, (Triatmodjo, 2008).

HSS Gama I terdiri dari tiga bagian pokok yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi turun/resesi (recession limb). Gambar 2.1 menunjukan HSS Gama I, dalam gambar tersebut tampak ada patahan dalam sisi resesi. Hal ini disebabkan sisi resesi mengikuti persamaan eksponensial yang tidak memungkinkan debit sama dengan nol. Meskipun pengaruhnya sangat kecil namun harus diperhitungkan bahwa volume hidrograf satuan harus tetap satu.

HSS Gama I terdiri dari empat variabel pokok, yaitu waktu naik (time of rise-TR), debit puncak ( ), waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang ditentukan oleh nilai koefisien tampungan (K), (Triatmodjo, 2008).

a. Waktu Mencapai Puncak

= 0,43 . 3 + 1,06665. + 1.2775 ... (2.24)

Dimana :

TR : Waktu naik (jam). L : Panjang sungai (km).

SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua panjang sungai tingkat I dengan jumlah semua panjang sungai semua tingkat

(Triatmodjo, 2008).

Gambar 2-1. Sketsa Penetapan WF

Gambar 2.3. Sketsa Penempatan RUA. (Triatmodjo, 2008).

= Lebar DTA pada 0,75 L. ... (2.25) = Lebar DTA pada 0,25 L. ... (2.26)

= ... (2.27) SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar

(WF) dengan luas relatif DTA sebelah hulu (RUA).

SIM = WF * RUA ... (2.28) (Triatmodjo, 2008).

b. Debit Puncak

= 0,1836 . , . , . , ... (2.29) Dimana :

: Debit puncak (m³/det). JN : Jumlah pertemuan sungai.

A : Luas DTA (km²). : Waktu naik (jam). (Triatmodjo, 2008).

c. Waktu Dasar.

= 27,4132 . , . , . , . , ... (2.30) Dimana :

: Waktu dasar (jam).

S : Landai sungai rata-rata = . ( )( ) . ( ) ... (2.31) SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen

sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

RUA : Perbandingan antara luas DTA yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun pengukuran dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DTA melewati titik tersebut dengan luas DTA total.

RUA = ... (2.32) (Triatmodjo, 2008).

d. Indeks.

Ф = 10,4903 – 3,859x10 . A² + 1,6986x10 [ ]4 ... (2.33) Dimana :

A : Luas DTA (km²).

SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

(Triatmodjo, 2008). e. Aliran Dasar

Qb = 0,4751 . , . , ... (2.34) Dimana :

Qb : Aliran dasar (m³/det).

D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat dibagi dengan luas DTA.

(Triatmodjo, 2008). f. Waktu Konsentrasi

= ( , ) . , ... (2.35) Dimana :

: Waktu konsentrasi (jam). L : Panjang saluran utama (km).

S : Kemiringan rata – rata saluran utama. (Triatmodjo, 2008).

g. Faktor Tampungan

Dimana :

k : Koefisien tampungan. A : Luas DTA (km²).

S : Landai sungai rata-rata.

SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua panjang sungai tingkat 1 dengan jumlah semua panjang sungai semua tingkat.

D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat dibagi dengan luas DTA.

(Triatmodjo, 2008).

h. Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam. = . ... (2.37) Dimana :

: Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam (m³/det).

: Debit puncak dalam (m³/det).

t : Waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak (jam). k : Koefisien tampungan.

(Triatmodjo, 2008).

i. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I

Analisa hidrograf banjir untuk kala ulang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

= . + . + … …. + . ( )+ ... (2.38) Dimana :

: debit banjir rencana untuk periode ulang T tahun. : Ordinat unit HSS Gama I.

: Hujan efektif pada jam ke i. : Aliran dasar (base flow). (Triatmodjo, 2008).

E. PMF (Probable Maximum Flood)

Pada waktu terjadi curah hujan terbesar (curah hujan maksimal) akan terjadi debit banjir terbesar (debit banjir maksimum) di suatu daerah aliran sungai tertentu. Jadi dengan menghitung kemungkinan terjadinya curah hujan terbesar PMP (probable Maximum Precipitation) dapat dihitung besarnya kemungkinan debit banjir terbesar pula. Secara teoritis dalam perhitungan PMF didapat dari perhitungan curah hujan maksimum yang menggunakan metode PMP dikalikan perhitungan debit banjir dengan metode analisa hidrograf satuan sintetik (HSS), dalam perhitungan HSS digunakan metode HSS Gamma I, (Soemarto, 1995).

PMF = PMP x HSS ... (2.39) Dimana :

PMF = Probable Maximum Flood (banjir maksimum yang mungkin terjadi) (m³/det).

PMP = Probable Maximum Precipitation (curah hujan maksimum yang mungkin terjadi) (mm).

HSS = Hidrograf satuan sintetik (m³/det). (Soemarto, 1995).

Besarnya hujan maksimum boleh jadi atau PMP (probable Maximum Precipitation) dihitung dengan metode Statistik Hershfield. (Soemarto, 1995). F. Perencanaan Bendung Gerak.

1. Umum.

Konstruksi bending gerak memiliki fungsi untuk mengatur muka air

Dokumen terkait