• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. dan pikiran sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. dan pikiran sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan petunjukNYA yang telah memberikan hamba akal dan pikiran sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.

Salam dan salawat, senantiasa kita curahkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dalam segala aspek kehidupan kita di permukaan bumi ini.

Tugas Akhir ini disusun merupakan salah satu persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan program studi pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar. Adapun judul tugas akhir ini adalah “Studi Perencanaan Hidroulis Bendung Gerak Tempe Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan “

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tentu masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan referensi yang kami peroleh, sehingga dengan keikhlasan dan kerendahan hati kami mengharapkan masukan-masukan yang bersifat konstruktif demi lebih sempurnanya tulisan ini.

Proposal ini dapat terwujud berkat adanya bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepadaProf. Dr. Ir. H. Lawalenna Samang, M.Sc., M. Eng. selaku pembimbing I dan Bapak Ir. H. Abd. Rakhim Nanda, MT. selaku

(4)

pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktunya, memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga terwujudnya tugas akhir ini.

Ucapan terima kasih pula kepada :

1. Bapak Dr. Irwan Akib, Mpd. sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Bapak Hamzah Al Imran, ST.,MT. sebagai Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Bapak Muh. Syafaat S. Kuba, ST. sebagai Ketua Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Bapak dan ibu dosen serta para staf pegawai pada Fakultas Teknik atas segala waktunya yang telah mendidik dan melayani penulis selama mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Muhammadiyah Makassar.

5. Ayahanda, Ibunda serta saudara-saudaraku tercinta yang telah ikhlas memberikan dukungan, kasih saying, do’a serta pengorbanan yang tak terhingga.

6. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Teknik, terkhusus Saudaraku Angkatan 2009 yang dengan keakraban dan persaudaraannya banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Semoga semua pihak tersebut di atasmendapat pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT dan skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis, rekan-rekan, masyarakat serta bangsa dan Negara. Amin.

Makassar, April 2015

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 3

D. Maksud Dan Tujuan ... 3

E. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bendung ... 6

1. Pengertian Bendung ... 6

2. Klasifikasi Bendung ... 7

3. Bagian-Bagian Bendung ... 9

4. Pemilihan Lokasi Bendung ... 9

5. Syarat-Syarat Konstruksi Bendung ... 11

(6)

1. Pengertian Hidrologi ... 11

2. Curah Hujan Wilayah ... 12

3. Curah Hujan Rencana ... 15

4. Uji Keselarasan Distribusi ... 21

C. Intensitas Curah Hujan ... 23

D. Debit Banjir Rencana ... 25

E. PMF (Probable Maximum Flood) ... 31

F. Perencanaan Bendung Gerak ... 32

1. Umum ... 32

2. komponen Utama Bendung ... 32

3. Perencanaan Hidroulis Bendung gerak ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 52

B. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 53

C. Prosedur Penelitian ... 53

D. Persiapan Penelitian ... 54

E. Teknik Pengumpulan Data ... 54

F. Analisa Data ... 55

(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Harga-Harga Koefisien Konstruksi. 35

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hidrograf satuan sintetik gama I. 25

2. Sketsa penempatan WF. 26

3. Sketsa penempatan RUA. 27

4. Lebar Efektif Bendung. 34

5. Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung. 37 6. Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir. 38

7. Kolam Olak Tipe USBR I. 41

8. Kolam Olak Tipe USBR II. 42

9. Kolam Olak Tipe USBR IV. 42

10. Kolam Olak Tipe Vlugter. 43

11. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam. 44

12. Macam-Macam Tipe Pintu Bendung Gerak. 47

13. Gambar Aliran Diatas Mercu Pintu. 47

14. Gambar Aliran Undersluice Untuk Menstabilkan

Muka Air Akibat Overflow. 48

15. Lokasi Penelitian. 52

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan utama akan air baik dalam segi pertanian maupun untuk air bersih merupakan masalah utama dalam lingkungan masyarakat saat ini. Tetapi dengan cuaca serta iklim yang berubah-ubah seiring dengan pemanasan global menyebabkan ketersediaan air menjadi hal yang sangat diutamakan, sehingga dibutuhkan beberapa bangunan hidrolik air baik berupa bendung, waduk, serta bangunan-bangunan pelengkap bendung.

Bendung adalah suatu bangunan yang di buat dari pasangan batu kali, bronjong, atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai, yang berfungsi untuk meninggikan muka air agar dapat di alirkan ke tempat-tempat yang memerlukan. Tentu saja bangunan ini dapat digunakan pula untuk keperluan lain selain irigasi, seperti untuk keperluan air minum, pembangkit listrik atau untuk penggelontoran suatu kota.

Bendung gerak tempe merupakan bendung yang terletak di tiga kabupaten, yaitu : Sidrap, Soppeng, dan Wajo. Selama musim kering dimana ketinggian muka air danau kurang dari +6 m akan terbagi menjadi 3 danau yaitu : Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya, yang terhubung melalui beberapa alur. Dari sebelah utara Danau Tempe mendapat masukan air dari sungai Bila ( CA 1,610 km² ), dari sebelah barat mendapat masukan air dari beberapa sungai termasuk sungai Batu-Batu, Bilokka, Panincong, Lawo, dll ( CA 927 km² ), dan dari sebelah selatan mengalir sungai Walanae (

(10)

3,170 km² ). Alur pengeluaran dari Danau Tempe hanyalah melalui sungai Cenranae. Dasar danau Tempe yang paling rendah mempunyai elevasi +3 m, pada musim hujan yaitu dari bulan Mei sampai Agustus biasanya tinggi muka air danau naik mencapai elevasi +7 m sampai +9 m, dan luasan permukaan airnya biasa mencapai 28,000 ha sampai 43,000 ha. Adapun fungsi dari Bendung Gerak yakni untuk mengatur ketinggian muka air danau. Pada musim kemarau, bendung gerak dioperasikan untuk mengatur muka air sungai Cenranae sehingga kebutuhan air dihilir terpenuhi, dan mempertahankan muka air Danau Tempe pada elevasi +5.0 m, sehingga kegiatan ekonomi masyarakat dibidang perikanan, pertanian, perhubungan/navigasi sungai bisa berjalan. Pada musim penghujan pintu bendung dibuka total.

Konstruksi Bendung gerak yang menjadi objek penelitian, sebelum dibangun tentu telah dianalisa perhitungan hidrologi dan analisa hidrolika untuk pengoperasian pintu pada bendung gerak, perencanaan hidrolis bendung dan stabilitas. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh desain konstruksi yang aman dari segi hidrolik secara menyeluruh sebagaimana hasil desain terdahulu. Sehingga judul yang kami tulis adalah “STUDI PERENCANAAN HIDRAULIS BENDUNG GERAK TEMPE KABUPATEN WAJO SULAWESI SELATAN “

(11)

B. Rumusan Masalah

Masalah yang kami angkat dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimana menganalisis perencanaan bendung gerak tempe.?

C. Batasan Masalah

Sebagaimana judul tulisan ini “STUDI PERENCANAAN HIDRAULIS BENDUNG GERAK TEMPE KABUPATEN WAJO SULAWESI SELATAN “ maka penulisan ini meliputi lingkup pembahasan pada perencanaan Bendung Gerak Tempe. Adapun batasan masalah dalam penulisan ini yang terkait dalam perencanaan suatu bendung meliputi :

a. Analisis hidrologi untuk perencanaan hidraulis bendung gerak. b. Bagaimana menganalisis perencanaan bendung gerak.

D. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penulisan ini adalah :

Untuk meninjau hasil perencanaan Bendung gerak tempe yang berada di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.

Sedangkan tujuan penulisan ini adalah :

a. Untuk melakukan analisa Hidrologi pada perencanaan hidraulis bendung gerak.

b. Untuk melakukan studi tentang perencanaan bendung gerak berdasarkan perinsip perencanaan desain terdahulu.

(12)

E. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan merupakan gambaran umum dari keseluruhan penulisan secara sistematis diuraikan sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN

Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang, alasan pemilihan judul, rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, batasan masalah serta sistematika penulisan.

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini Membahas tentang pengertian bendung, analisa hidrologi yang meliputi analisa distribusi curah hujan wilayah, analisa frekuensi curah hujan rencana, analisa debit banjir rencana, kemudian dilanjutkan dengan analisa perencanaan bendung yang meliputi tata letak bendung dan perlengkapannya, kelengkapan bendung, analisa hidrolis bendung, perencanaan hidro mekanik yang meliputi pintu bendung, peredam energi dan analisis stabilitas bendung.

Bab III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan kondisi daerah perencanaan dan data yang mendukung dalam perencanaan.

Bab IV ANALISA DAN HASIL PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang analisa hidrologi, desain hidrolis bendung, desain bangunan penangkap sedimen dan analisis stabilitas bendung.

(13)

Bab V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian ini, serta saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan faktor pendukung dan faktor penghambat yang dialami selama penelitian berlangsung, sehingga diharapkan penelitian ini berguna untuk seluruh mahasiswa Fakultas Teknik Universitas muhammadiyah Makassar.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bendung

1. Pengertian Bendung

Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi meninggikan muka air sungai agar bisa di sadap. Bendung merupakan salah satu dari bagian bangunan utama. Bangunan utama adalah bangunan air (hydraulic structure) yang terdiri dari bagian-bagian yakni, bendung (weir structure), bangunan pengelak (deversion structure), bangunan pengambilan (intake structure), dan bangunan kantong lumpur (sediment trapstructure).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 03-2401-1991 tentang pedoman perencanaan hidrologi dan hidraulik untuk bangunan di sungai adalah bangunan ini dapat didesain dan dibangun sebagai bangunan tetap, bendung gerak, atau kombinasinya, dan harus dapat berfungsi mengendalikan aliran dan angkutan muatan di sungai sedemikian sehingga dengan menaikkan muka airnya, air dapat dimanfaatkan secara efisien sesuai dengan kebutuhannya.

Sedangkan menurut Standar Perencanaan Irigasi KP 02 Bangunan Utama, bendung adalah bangunan pelimpah melintang sungai yang memberikan tinggi muka air minimum kepada bangunan pengambilan untuk keperluan irigasi. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

(15)

bendung adalah suatu bangunan air yang melintang sungai yang dibuat untuk meninggikan muka air minimum untuk berbagai keperluan.

Fungsi utama dari bendung adalah untuk meninggikan elevasi muka air dari sungai yang dibendung sehingga air bisa disadap dan dialirkan ke saluran lewat bangunan pengambilan (intake structure), dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efisien dan optimal, (Mawardi Dan Memet,2010).

2. Klasifikasi Bendung

Klasifikasi bendung berdasarkan sifatnya, fungsinya dan berdasarkan tipe strukturnya, (Mawardi Dan Memet, 2010).

Ditinjau dari segi sifatnya bendung dapat pula dibedakan :

a. Bendung permanen seperti bendung pasangan batu, beton dan kombinasi beton dan pasangan batu.

b. Bendung semi permanen seperti bendung bronjong, cerucuk kayu dan sebagainya.

c. Bendung darurat, yang dibuat oleh masyarakat pedesaan seperti bendung tumpukan batu dan sebagainya.

Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi : a. Bendung pembagi banjir

Bendung ini dibangun di percabangan sungai untuk mengatur muka air sungai, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah sesuai dengan kapasitasnya.

(16)

b. Bendung penyadap

Bendung ini digunakan sebagai penyadap aliran sungai untuk berbagai keperluan seperti untuk irigasi, air baku dan sebagainya.

c. Bendung penahan pasang

Bendung ini dibangun di bagian sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut antara lain untuk mencegah masuknya air asin.

Berdasarkan tipe strukturnya bendung dapat dibedakan atas : a. Bendung tetap

Bendung tetap yaitu bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga muka air banjir tidak dapat di atur elevasinya. Pada umumnya dibangun pada ruas sungai di hulu dan di tengah.

b. Bendung gerak.

Bendung ini dapat dipergunakan untuk mengatur tinggi dan debit air sungai dengan pembukaan pintu-pintu yang terdapat pada bendung tersebut. c. Bendung kombinasi

Bendung ini berfungsi ganda, yaitu sebagai bendung tetap maupun sebagai bendung gerak.

d. Bendung kembang kempis (karet).

Bendung ini memiliki fungsi yang sama dengan bendung karet yang mana berfungsi untuk mengatur tinggi muka air, pada musim kemarau, bendung karet dapat dikembangkan sehingga air yang masih berlebih di awal musim kemarau dapat ditampung, sedangkan pada musim hujan, bendung karet dikempiskan untuk menghindari muka air banjir.

(17)

3. Bagian – Bagian Bendung

Adapun Bagian-bagian dari Bendung menurut Mawardi Dan Memet, 2010 : a. Tubuh bendung antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung

dengan bangunan peredam energinya.

b. Bangunan intake antara lain terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu, dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu dan perlengkapan lainnya.

c. Bangunan pembilas dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar penempatan pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan batu dan perlengkapan lainnya.

d. Bangunan pelengkap lain yang harus ada pada bendung antara lain yaitu tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air dan sebagainya.

4. Pemilihan Lokasi Bendung

Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 penentuan lokasi bendung dipilih atas pertimbangan beberapa sudut pandang yaitu:

a. Keadaan Topografi

1. Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga harus dilihat elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.

2. Bila elevasi sawah tertinggi yang akan diairi telah diketahui maka elevasi mercu bendung dapat ditetapkan.

(18)

3. Dari kedua hal diatas, lokasi bendung dilihat dari topografi dapat diseleksi.

b. Keadaan Hidrologi.

1. Faktor-faktor hidrologinya, karena menentukan lebar dan panjang bendung serta tinggi bendung tergantung pada debit rencana.

2. Faktor yang diperhitungkan, yaitu masalah banjir rencana, perhitungan debit rencana, curah hujan efektif, distribusi curah hujan, unit hidrograf, dan banjir di site atau bendung.

1. Kondisi Topografi.

a. Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi.

b. Trase saluran induk terletak di tempat yang baik. 2. Kondisi Hidrologi dan Morfologi.

a. Pola aliran sungai meliputi kecepatan dan arahnya pada waktu debit banjir.

b. Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir. c. Tinggi muka air pada debit banjir rencana.

d. Potensi dan distribusi angkutan sedimen. 3. Kondisi Tanah Pondasi

Bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah pondasinya cukup baik sehingga bangunan akan stabil. Faktor lain yang harus dipertimbangkan pula yaitu potensi kegempaan dan potensi gerusan karena arus dan sebagainya.

(19)

4. Biaya pelaksanaan

Biaya pelaksanaan bangunan bendung juga menjadi salah satu faktor penentuan pemilihan lokasi pembangunan bendung. Dari beberapa alternatif lokasi ditinjau pula dari segi biaya yang paling murah dan pelaksanaan yang tidak terlalu sulit.

5. Syarat – Syarat Konstruksi Bendung.

Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 Syarat bendung harus memenuhi beberapa faktor yaitu :

a. Bendung harus stabil dan mampu menahan tekanan air pada waktu banjir.

b. Pembuatan bendung harus memperhitungkan kekuatan daya dukung tanah di bawahnya.

c. Bendung harus dapat menahan bocoran (seepage) yang disebabkan oleh aliran air sungai dan aliran air yang meresap ke dalam tanah.

d. Tinggi ambang bendung harus dapat memenuhi tinggi muka air minimum yang diperlukan untuk seluruh daerah irigasi.

e. Bentuk peluap harus diperhitungkan, sehingga air dapat membawa pasir, kerikil dan batu-batu dari sebelah hulu dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh bendung, (Mawardi Dan Memet, 2010).

B. Analisis Hidrologi 1. Pengertian Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebaranya, sifat-sifatnya dan

(20)

hubungan dengan lingkungannya terutama dengan makhluk hidup. Ini meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfer, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan penghidupan di planet bumi ini.

Syarat-syarat yang diperlukannya adalah data-data hasil pengamatan dalam semua aspek presipitasi, limpasan (runoff), debit sungai, infiltrasi, perkolasi, evaporasi dan lain-lain. Dengan data-data tersebut dan ditunjang oleh pengalaman-pengalaman dalam banyak ilmu yang berkaitan dengan hidrologi, maka seorang ahli hidrologi akan dapat memberikan penyelesaian dalam persoalan yang menyangkut keperluan dan penggunaan air dalam hubungannya dengan perencanaan teknis bangunan-bangunan air.

2. Curah Hujan Wilayah

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam millimeter. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Metode perhitungan curah hujan areal dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut: (Loebis, 1987).

(21)

1. Metode Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasiun hujan minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.

Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru, (Triatmodjo, 2008).

Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan berikut, (Sosrodarsono dan Takeda, 1993)

= 1 1 + 2 2 + 3 3 + ⋯ +1 + 2 + ⋯ +

= 1 1 + 2 2 + ⋯ +

= 1 1 + 2 2 + ……….. (2.1)

Dimana :

R = Curah hujan daerah

(22)

adalah jumlah titik Pengamatan

A1,A2,…..An = Bagian daerah yang mewakili tiap titip Pengamatan W1,W2,…Wn = A An A A A A1, 2,..., 2. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis isohyet tertentu, (Triatmodjo, 2008).

Adapun rumus yang digunakan pada metode Isohyet manurut (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).

R = (A1R1+A2R2+AnRn) / (A1+A2+An) ... (2.2) Dimana :

R = Curah Hujan Rata-rata Daerah (mm)

R1, R2,..Rn = Curah Hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik-titik pengamatan (mm)

A1, A2,….An = Luas Daerah antara ishoyet (Km²)

Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata, metode isohyet membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibanding dua metode lainnya.

(23)

3. Metode Rata-Rata Aljabar

Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan adalah yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode Rata-Rata Aljabar memberikan hasil yang baik apabila :

a. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS. b. Distribusi hujan relatif merata pada saluran DAS. (Triatmodjo, 2008).

Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan disekitar daerah yang bersangkutan (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).

= ( 1 + 2 + ⋯ + ) ……….. (2.3) Dimana :

R = Curah hujan daerah (mm)

N = Jumlah titik-titik (pos-pos) pegamatan R1,R2,..,Rn = Curah hujan ditiap pegamatan

3. Curah Hujan Rencana

Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana.

(24)

Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi Normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III , dan distribusi Gumbel. Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan distribusi yang ada dilakukan terlebih dahulu pengukungan dispersi untuk mendapatkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana.

1. Pengukuran Dispersi

Suatu kenyataan bahwa tidak semua variat dari suatu variable hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya, kemungkinan ada nilai variat yang lebih besar atau lebih kecil dari pada nilai rata-ratanya. Besarnya derajat dari sebaran variat disekitar nilai rata-ratanya disebut dengan variasi ( variation ) atau disperse ( dispersion ) dari pada suatu data sembarang variable hidrologi. Cara mengukur besarnya variasi atau dispersi disebut pengukuran dispersi, pengukuran dispersi meliputi standar deviasi, koefisien kemencengan, koefisian variasi, dan pengukuran kurtosis.

(Soewarno, 1995).

a. = ∑ = ( − ) 0.5̇ ... (2.4) n-1

dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

(25)

b.

=

...

(2.5)

dimana :

Cv : Koefisien variasi S : Standar deviasi

Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

c.

=

∑ ( )

( )( ) ³ ... (2.6) dimana :

Cs : Koefisien kemencengan S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

d.

=

² ∑( .{)( ( ))( ) } ... (2.7) dimana :

Ck : Koefisien kurtosis S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : Rata – rata hitungan (mm)

(26)

2. Metode Gumbel

Rumus rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut metode gumbel adalah sebagai berikut :

=

+ . ...

(2.8) dimana :

Xi : Hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm) Xrt : Nilai tengah sampel (mm)

s : Standar deviasi sampel k : Factor frekuensi

(Soemarto, 1999).

3. Metode Log Person III

Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkitakan mengikuti distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logarotmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat menyimpulkan pemakaian distribusi Log-Normal, (Suripin, 2004).

Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis teori, distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya, (Suripin, 2004).

Ada tiga parameter penting dalam Log-Person III, yaitu harga rata-rata, simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Yang menarik, jika koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log-Normal.

(27)

Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person III menurut Suripin, 2004 :

a. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis dari X menjadi Log X b. Hitung harga rata – rata :

Log

=

∑ . ... (2.9) dimana :

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata-rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

c. Hitung harga simpangan baku :

S = ∑ . ( − )² 0.5̇ ... (2.10) n-1

dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

d. Hitung koefisien kemencengan ( ) :

=

(( )( ) ³ ) ... (2.11) dimana :

(28)

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

n : Jumlah kelas

e. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T :

= + . ... (2.12) dimana :

S : Standar deviasi

Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm) Xrt : rata – rata hitungan (mm)

k : variable standar ( standarized variable ), tergantung 4. Metode Log-Normal

Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini menurut Soewarno, 1995 adalah sebagai berikut :

= + . ... (2.13) dimana :

Xi: Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang X Tahun (mm).

S : Standar deviasi data hujan maksimum tahunan. Xrt : Curah hujan rata – rata (mm).

K : Nilai karakteristik dari distribusi Log-Normal, yang nilainya tergantung dari koefisien variasi.

(29)

4. Uji Keselarasan Distribusi

Uji keselarasan dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang nyata antara besarnya debit maksimum tahunan hasil pengamatan lapangan dengan hasil perhitungan. Uji keselarasan dapat dilaksanakan dengan uji chi-kuadrat dan smirnov-kolmogorov, (Soewarno, 1991).

a. Uji Chi – Kuadrat

Uji Chi – Kuadrat menggunakan rumus sebagai berikut :

X =

( )² ... (2.14)

dimana :

X : Harga chi-kuadrat terhitung.

Oi : Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-1. Ei : Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-1. N : Jumlah data.

(Suripin, 2004).

Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X hitung < dari X kritis. Nilai X kritis dapat dilihat di tabel 2-6. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari penyimpanannya dengan chi-kuadrat kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu yang sering diambil adalah 5 %. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(30)

K = 1 + 3.322 log

=

dimana :

DK : Derajat kebebasan. K : Jumlah kelas.

α

: Banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji chi-kuadrat adalah 2.

N : Jumlah data.

Ni : Nilai yang diharapkan. (Triatmodjo, 2008).

b. Uji Smirnov – Kolmogorov

Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut juga uji keselarasan (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut : Rumus yang dipakai :

Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data (persamaan distribusinya), menurut Suripin, 2004.

= ( ) = ( ) = ( ) = ( )

(31)

Periode ulang untuk perhitungan debit minimum tidak menyatakan suatu nilai sama atau lebih dari besaran tertentu, akan tetapi menyatakan suatu nilai sama atau kurang dari besaran tertentu. Oleh karena itu apabila :

P =[ X ≥ ( + k.2 ) ] – α ... (2.16)

P =[ X ≤ ( + k.3 ) ] = 1 – α ... (2.17)

Rumus – rumus yang dipakai untuk menghitung D (selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis) adalah sebagai berikut :

P(X)= m/(n+1) ... (2.18) P(X<)= 1-P(X) ... (2.19) P’(X) = m/(n-1) ... (2.20) P’(X<)= 1-P’(X) ... (2.21) D = maksimum |P’(X<)-P(X<)| ... (2.22) (Soewarno, 1995).

C. Intensitas Curah Hujan.

Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu didapatkan harga suatu intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisa intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau, (Loebis, 1987).

Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan beberapa macam metode, antara lain metode Dr.Mononobe, metode Talbot dan metode Tadashi Tanimoto.

(32)

1. Metode Dr. Mononobe.

Digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian, (Loebis, 1987).

2. Metode Talbot.

Digunakan apabila data curah hujan yang tersedia adalah data curah hujan jangka pendek, (Loebis, 1987).

3. Metode Tadashi Tanimoto.

Tadashi Tanimoto mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang dapat digunakan di Pulau Jawa, (Triatmodjo, 2008).

Dalam perhitungan metode yang digunakan adalah metode Dr.Mononobe karena data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan harian. Rumus yang digunakan untuk metode ini adalah :

=

.

/ ... (2.23) dimana :

r : Intensitas curah hujan (mm/jam).

: Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) t : Lamanya curah hujan (jam).

(33)

D. Debit Banjir Rencana.

1. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I

Hidrograf satuan sintetik Gama I dikembangkan oleh Sri Harto(1993, 2000) berdasar prilaku hidrologi 30 DAS di Pulau Jawa. Meskipun diturunkan dari data DAS di Pulau Jawa, ternyata hidrograf satuan sintetik gama I juga berfungsi baik untuk berbagai daerah yang lain di Indonesia, (Triatmodjo, 2008).

HSS Gama I terdiri dari tiga bagian pokok yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi turun/resesi (recession limb). Gambar 2.1 menunjukan HSS Gama I, dalam gambar tersebut tampak ada patahan dalam sisi resesi. Hal ini disebabkan sisi resesi mengikuti persamaan eksponensial yang tidak memungkinkan debit sama dengan nol. Meskipun pengaruhnya sangat kecil namun harus diperhitungkan bahwa volume hidrograf satuan harus tetap satu.

(34)

HSS Gama I terdiri dari empat variabel pokok, yaitu waktu naik (time of rise-TR), debit puncak ( ), waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang ditentukan oleh nilai koefisien tampungan (K), (Triatmodjo, 2008).

a. Waktu Mencapai Puncak

= 0,43 . 3 + 1,06665. + 1.2775 ... (2.24)

Dimana :

TR : Waktu naik (jam). L : Panjang sungai (km).

SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua panjang sungai tingkat I dengan jumlah semua panjang sungai semua tingkat

(Triatmodjo, 2008).

(35)

Gambar 2-1. Sketsa Penetapan WF

Gambar 2.3. Sketsa Penempatan RUA. (Triatmodjo, 2008).

= Lebar DTA pada 0,75 L. ... (2.25) = Lebar DTA pada 0,25 L. ... (2.26)

= ... (2.27) SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar

(WF) dengan luas relatif DTA sebelah hulu (RUA).

SIM = WF * RUA ... (2.28) (Triatmodjo, 2008).

b. Debit Puncak

= 0,1836 . , . , . , ... (2.29) Dimana :

: Debit puncak (m³/det). JN : Jumlah pertemuan sungai.

(36)

A : Luas DTA (km²). : Waktu naik (jam). (Triatmodjo, 2008).

c. Waktu Dasar.

= 27,4132 . , . , . , . , ... (2.30) Dimana :

: Waktu dasar (jam).

S : Landai sungai rata-rata = . ( )( ) . ( ) ... (2.31) SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen

sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

RUA : Perbandingan antara luas DTA yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun pengukuran dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DTA melewati titik tersebut dengan luas DTA total.

RUA = ... (2.32) (Triatmodjo, 2008).

d. Indeks.

Ф = 10,4903 – 3,859x10 . A² + 1,6986x10 [ ]4 ... (2.33) Dimana :

(37)

A : Luas DTA (km²).

SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

(Triatmodjo, 2008). e. Aliran Dasar

Qb = 0,4751 . , . , ... (2.34) Dimana :

Qb : Aliran dasar (m³/det).

D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat dibagi dengan luas DTA.

(Triatmodjo, 2008). f. Waktu Konsentrasi

= ( , ) . , ... (2.35) Dimana :

: Waktu konsentrasi (jam). L : Panjang saluran utama (km).

S : Kemiringan rata – rata saluran utama. (Triatmodjo, 2008).

g. Faktor Tampungan

(38)

Dimana :

k : Koefisien tampungan. A : Luas DTA (km²).

S : Landai sungai rata-rata.

SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua panjang sungai tingkat 1 dengan jumlah semua panjang sungai semua tingkat.

D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat dibagi dengan luas DTA.

(Triatmodjo, 2008).

h. Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam. = . ... (2.37) Dimana :

: Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam (m³/det).

: Debit puncak dalam (m³/det).

t : Waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak (jam). k : Koefisien tampungan.

(Triatmodjo, 2008).

i. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I

Analisa hidrograf banjir untuk kala ulang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(39)

= . + . + … …. + . ( )+ ... (2.38) Dimana :

: debit banjir rencana untuk periode ulang T tahun. : Ordinat unit HSS Gama I.

: Hujan efektif pada jam ke i. : Aliran dasar (base flow). (Triatmodjo, 2008).

E. PMF (Probable Maximum Flood)

Pada waktu terjadi curah hujan terbesar (curah hujan maksimal) akan terjadi debit banjir terbesar (debit banjir maksimum) di suatu daerah aliran sungai tertentu. Jadi dengan menghitung kemungkinan terjadinya curah hujan terbesar PMP (probable Maximum Precipitation) dapat dihitung besarnya kemungkinan debit banjir terbesar pula. Secara teoritis dalam perhitungan PMF didapat dari perhitungan curah hujan maksimum yang menggunakan metode PMP dikalikan perhitungan debit banjir dengan metode analisa hidrograf satuan sintetik (HSS), dalam perhitungan HSS digunakan metode HSS Gamma I, (Soemarto, 1995).

PMF = PMP x HSS ... (2.39) Dimana :

PMF = Probable Maximum Flood (banjir maksimum yang mungkin terjadi) (m³/det).

PMP = Probable Maximum Precipitation (curah hujan maksimum yang mungkin terjadi) (mm).

(40)

HSS = Hidrograf satuan sintetik (m³/det). (Soemarto, 1995).

Besarnya hujan maksimum boleh jadi atau PMP (probable Maximum Precipitation) dihitung dengan metode Statistik Hershfield. (Soemarto, 1995). F. Perencanaan Bendung Gerak.

1. Umum.

Konstruksi bending gerak memiliki fungsi untuk mengatur muka air sungai Cenranae sehingga kebutuhan air dihilir dapat terpenuhi, dan memperhatikan muka air danau Tempe pada elevasi +5.0 m, sehingga kegiatan ekonomi masyarakat dibidang perikanan, pertanian, perhubungan /navigasi sungai bias berjalan.

2. Komponen Utama Bendung.

Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 komponen-komponen utama dari bendung dapat diurai sebagai berikut :

a. Tubuh Bendung.

Antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung dengan bangunan peredam energinya. Terletak kurang lebih tegak lurus arah aliran sungai saat banjir dan sedang. Maksudnya agar arah aliran utama menuju bending dan yang keluar dari bendung terbagi merata, sehingga tidak menimbulkan pusaran-pusaran aliran di udik bangunan pembilas dan intake.

(41)

b. Bangunan Pengambilan (Intake).

Antara lain terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu, dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu dan perlengkapan lainnya. Bangunan ini terletak tegak lurus (90⁰) atau menyudut (45⁰-60⁰) terhadap sumbu bangunan bilas. Diupayakan berada di tikungan luar aliran sungai, sehingga dapat mengurangi sedimen yang akan masuk ke intake.

c. Bangunan Penguras/Pembilas.

Antara lain terdiri dari indersluice atau tanpa indersluice, pilar penempatan pintu, saringan sampah, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan batu dan perlengkapan lainnya. Terletak berdampingan dan satu kesatuan dengan intake, di sisi bentang sungai dan bagian luar tembok pangkal bending, dan bersama-sama dengan intake, dan tembok pangkal udik yang diletakkan sedemikian rupa dapat membentuk suatu tikungan luar aliran (coidal flow). Aliran ini akan melemparkan angkutan sedimen kearah luar intake/bangunan pembilas menuju tubuh bendung, sehingga akan mengurangi jumlah angkutan sedimen dasar masuk ke intake.

d. Bangunan Pelengkap.

Antara lain terdiri dari tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air dan sebagainya.

(42)

3. Perencanaan Hidrolis Bendung Gerak. a. Bentang Bendung.

Yaitu jarak antara pankal-pangkalnya (abutment), harus sama dengan atau tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Adapun persamaanya sebagai berikut :

Be = B – 2 ( n . Kp + Ka ) ... (2.40) Di mana :

N = Jumlah pilar.

Kp = Koefisien konstruksi pilar.

Ka = Koefisien konstruksi pangkal bending. = Tinggi energy (m).

B = Lebar mercu yang sebenarnya. Be = Lebar efektif mercu.

(43)

Tabel 2.1. Harga-Harga Koefisien Konstruksi.

Uraian Kp

Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut – sudut yang dibulatkan pada jari – jari yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar.

0,02

Untuk pilar berujung bulat 0,01

Untuk pilar berujung runcing 0

Ka Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90⁰

ke arah aliran 0,02

Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90⁰ ke

arah aliran dengan 0,5 > r > 0,15 0,10

Untuk pangkal tembok bulat di mana r > 0,5 dan tembok hulu

tidak lebih dari 45⁰ ke arah aliran 0

( Sumber, Kp 02 Standar Perencanaan Irigasi )

b. Lantai Depan.

Perhitungan panjang lantai depan dilakukan dengan cara seperti berikut:

1. Panjang rayapan (creep lenght) harus cukup panjang untuk memperkecil aliran bawah (see page).

2. Tentukan dengan cara perkiraan awal bentuk fundasi bendung dan panjang lantai udik.

(44)

3. Hitung panjang lantai udik yang dibutuhkan

4. Jika panjang lantai udik hasil perhitungan lebih panjang daripada yang dibutuhkan maka hasil perhitungan sudah memadai.

5. Jika diperoleh sebaiknya maka ulangi perhitungan. Rumus-rumus yang digunakan :

= − ... (2.41)

= ∆

∆ =

= −

Dimana :

= Panjang lantai depan (m) = Panjang rayapan total (m) = Panjang rayapan yang ada (m) C = Koefisien rayapan Blight ( C = 12) L = Panjang rayapan (m)

∆ = kehilangan tekanan

= Panjang rayapan vertikal (m) = Panjang rayapan horizontal (m)

c. Peredam Energi.

Aliran di atas mercu bendung dapat menunjukkan berbagai perilaku di sebelah hilir bendung, akibat kedalaman air yang ada. Adapun kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung akan ditunjukan

(45)

oleh gambar 2.5 yang terdiri dari, gambar 2.5A menunjukkan aliran tenggelam, yang menimbulkan gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang, gambar 2.5B menunjukkan keadaan loncatan tenggelam diakibatkan oleh keadaan air di hilir besar, gambar 2.5C menunjukkan keadaan loncat air, di mana kedalaman air di hilir sama dengan kedalaman konjungsi loncat air, gambar 2.5D terjadi apabila kedalaman air di hilir kurang dari kedalaman konjungsi, sehingga loncatan akan bergerak ke hilir. Semua tahap ini biasa terjadi di hilir bendung yang dibangun di sungai. Kasus D keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas bagian sungai yang tidak terlindungi dan menyebabkan penggerusan yang luas.

Gambar 2.5. Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung.

Cara menentukan debit untuk peredaman energi, semua debit dicek dengan muka air di hilir. Apabila terjadi degradasi dibuat perhitungan dengan muka air hilir terendah yang mungkin terjadi degradasi. Cara mengecek degradasi adalah sebagai berikut :

(46)

1. Bendung dibangun pada sudetan.

2. Sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi. 3. Terdapat waduk di hulu bangunan.

d. Kolam Olak.

Tipe kolam olak yang akan direncanakan disebelah hilir bangunan tergantung pada energi masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak.

Gambar 2.6. Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir.

Rumus : = [−1 + 1 + 8 ]

= 2 [−1 + 1 + 8 ] Di mana : Fr =

√ .

Di mana : = Kedalaman air di atas ambang ujung (m). = Kedalaman air di awal loncat air (m).

(47)

= Kecepatan awal loncatan (m/dt). = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt²).

Berdasarkan bilangan froude, dapat dibuat pengelompokkan-pengelompokkan dalam perencanaan kolam olak sebagai berikut :

1. Untuk Fru < 1,7 tidak diperlukan kolam olak pada saluran tanah, bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi dan saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan perlindungan khusus.

2. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi paling sulit dalam memilih kolam olak yang tepat.

3. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi yang palig sulit dalam memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik, dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak dengan froude ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok depan kolam.

4. Jika Fr  4,5 merupakan kolam yang paling ekonomis karena kolam ini pendek. Dengan loncatan air sama, tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin harus digunakan dengan pasangan batu.

Terlepas dari kondisi hidrolis, bilangan froude dan kedalaman air hilir, berdasarkan kondisi dasar sungai dan tipe sedimen, maka kolam olak bisa ditentukan sebagai berikut :

(48)

a. Bendung di sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar dengan dasar relatif tahan gerusan, biasanya cocok dengan kolam olak tipe bak tenggelam (sub merged bucket).

b. Bendung di sungai yang mengangkut batu-batu besar, tetapi sungai itu mengandung bahan alluvial, dengan dasar tahan gerusan, akan

menggunakan kolam loncat air tanpa blok-blok halang atau tipe bak tenggelam.

c. Bendung di sungai yang hanya mengangkut bahan-bahan sedimen halus dapat direncanakan dengan kolam loncat air yang diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang.

Adapun tipe-tipe dari kolam olak yakni sebagai berikut : 1. Kolam Olak Tipe USBR.

Beberapa kolam olak tipe ini telah dikembangkan oleh USBR. Pinggir dari tipe ini adalah vertikal dan pada umumnya mempunyai lantai yang panjang, blok-blok dan ambang hilir biasa maupun ambang hilir bergigi. Ruang olak dengan blok-blok dan ambang tidak baik untuk sungai yang mengangkut batu.

Macam-macam kolam olak tipe USBR sebagai berikut :

a. Kolam olak USBR I, kolam yang terbentuk oleh loncatan hidraulik yang terjadi pada lantai dasar. Tipe ini biasanya tidak praktis karena panjang dan dipakai untuk bilangan froude 1 (Fr = 2,5 – 4,5).

(49)

Gambar 2.7. Kolam Olak Tipe USBR I.

b. Kolam olak USBR II, dikembangkan untuk kolam olak yang banyak digunakan pada bendungan tinggi, bendungan urug tanah dan struktur-struktur saluran besar. Kolam olak dilengkapi dengan blok-blok di ujung hulu dan ambang bergigi di ujung hilir. Panjang kolam olak dapat diperoleh dari kurva yang dibuat oleh biro tersebut. Kolam olak USBR II dapat dipakai pada bilangan froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr≥4,5), dengan catatan percepatan V1 16 m/dt untuk menghindari kavitasi.

(50)

Gambar 2.8. Kolam Olak Tipe USBR II.

c. Kolam olak tipe USBR III, digunakan pada bangunan drainase kecil dengan panjang ruang olak : , ,

,

tetapi mempunyai faktor keamanan yang lebih tinggi. Kolam olak USBR III dapat dipakai untuk bilangan froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr≥4,5), tetapi bila kecepatan V1 ≥ 16 m/dt.

d. Kolam olak USBR IV, dirancang untuk mengatasi persoalan pada loncatan hidrolis yang berisolasi. Kolam olak ini hanya dapat digunakan untuk penampang persegi panjang. Kolam olak USBR IV dipakai untuk bilangan froude 2,5 sampai 4,5.

Gambar 2.9. Kolam Olak Tipe USBR IV.

2. Kolam Olak Tipe Vlugter.

Kolam ini tidak bisa digunakan pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang telah diuji di laboratorium. Penyelidikan ini menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya hampir sama dengan kolam Vlugter lebih kuat. Karena kolam Vlugter tidak bisa digunakan pada

(51)

bendung yang debitnya selalu mengalami fluktuasi. Kolam olak untuk bangunan terjun di saluran irigasi mempunyai batas-batas yang diberikan untuk z/ℎ 0,5:2,0 dan 1,5 dihubungkan dengan bilangan froude yaitu 1,0:2,8 dan 12,8 bilangan-bilangan froude diambil pada kedalaman z di bawah tinggi energi hulu, bukan pada lantai kolam untuk kolam loncat air.

Rumus : ℎ =

Jika 0,5 < < 2,0 maka t = 2,4 ℎ +0,4 Z Jika 2,0 < < 15,0 maka t = 3,0 ℎ +0,1 Z

Α = 0,28 ℎ

D = R = L (ukuran dalam meter)

Gambar 2.10. Kolam Olak Tipe Vlugter.

3. Kolam Olak Bak Tenggelam.

Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan froude rendah. Kriteria yang digunakan untuk perencanaan diambil dari bahan-bahan oleh peterka dan

(52)

hasil-hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini diolah untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah.

Rumus : ℎ =

Dimana : ℎ = Kedalaman air kritis (m). q = Debit perlebar satuan (m³/dt). g = Percepatan gravitasi (9,8m/dt²).

Gambar 2.11. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam.

e. Pintu Bendung.

Ada beberapa tipe pintu menurut Standar Perencanaan Irigasi KP-02: 1. Pintu sorong, dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak lebih dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk menanggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena dibagian atas terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu

(53)

pintu stoney dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka yang terpisah, dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.

2. Pintu rangkap (dua pintu), adalah pintu sorong/rol yang terdiri dari dua pintu, yang tidak saling berhubungan, yang tidak dapat diangkat atau diturunkan. Oleh sebab itu, pintu-pintu ini dapat mempunyai debit melimpah (overflowing discharge) dan debit dasar (bottom discharger). Keuntungan dari pemakaian pintu ini adalah dapat dioperasikan dengan alat angkat yang lebih ringan. Contoh khas dari tipe ini adalah tipe pintu segmen ganda (hook type gate). Pintu ini dipakai dengan tinggi sampai 20m dan lebar sampai 50 m. 3. Pintu segmen atau radial, memiliki keuntungan bahwa tidak ada gaya gesekan yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, alat-alat angkatnya bisa dibuat kecil dan ringan. Sudah biasa untuk memberi pintu radial kemungkinan mengalirkan air melalui puncak pintu, dengan jalan menurunkan pintu atau memasang katup/tingkap gerak pada puncak pintu. Debit diatas ini bermanfaat untuk menggelontor benda-benda hanyut di atas bendung.

4. Dalam memilih dan merencanakan pintu untuk bendung gerak harus memperhatikan tiga hal penting yaitu:

a). Jastifikasi teknis, sosial dan ekonomi dalam menentukan kombinasi tinggi tubuh bendung dan tinggi pintu air. Tinggi pembendungan air sungai dibagi menjadi dua yaitu bagian tiggi pembendungan atas yang ditahan oleh pintu air. Kombinasi keduanya dibutuhkan oleh

(54)

pertimbangan teknis, sosial, ekonomi. Tubuh bendung yang tinggi menyebabkan volume tubuh bendung yang besar, pondasi yang kuat, kolam olak yang mahal, elevasi muka air banjir dan tanggul penutup lebih tinggi, kemungkinan timbulnya permasalahan resetlement penduduk akibat elevasi muka air banjir yang tinggi, relatif biaya pembangunan tubuh bendung dan kolam olak lebih mahal. Sebagai kombinasinya pintu air yang rendah menyebabkan volume tubuh bendung yang kecil, pondasi lebih ringan, kolam olak relatif murah, elevasi muka air banjir dan tanggul penutup lebih rendah, tidak ada permasalahan resetlement penduduk akibat elevasi muka air banjir, relatif biaya pembangunan tubuh bendung dan kolam olak lebih murah. Sebaliknya kombinasinya pintu air yang tinggi mengakibatkan pintu berat, diperlukan alat penggerak pintu berkapasitas tinggi, biaya operasional pintu lebih mahal.

b). Kemudahan dan keamanan operasional pintu.

Pintu yang ringan tetapi memiliki kekuatan cukup sangat diperlukan agar pintu tidak mudah melendut dan bergetar bila terkena tekanan dan arus air, sehingga memudahkan pengoperasian dan pintu tidak cepat rusak.

c). Biaya operasional dan pemeliharaan (O-P) yang rendah.

Pintu yang berat memerlukan pasokan daya listrik besar untuk mengubah tenaga listrik menjadi tenaga mekanik yang kuat pada saat mengangkat pintu, dan mengingat mahalnya harga listrik maka

(55)

akan berdampak pada peningkatan biaya operasional. Disamping itu pintu yang terlalu besar memerlukan biaya pelumasan dan pengecetan pintu yang relatif lebih besar.

Gambar 2.12. Macam-Macam Tipe Pintu Bendung Gerak. f. Prencanaan Pintu/Mercu Pada Bendung Gerak.

Gambar 2.13. Gambar Aliran Diatas Mercu Pintu. Adapun rumus yang digunakan yakni :

(56)

Dimana : Q = Debit yang melewati di atas pintu (m³/s). B = Lebar 1 Pintu.

C = Koefisien debit. Pw = Tinggi pintu (m).

H = Tinggi muka air hulu di atas crest (m). G = Percepatan gravitasi (m/s²).

Gambar 2.14. Gambar Aliran Undersluice Untuk Menstabilkan Muka Air Akibat Overflow.

Adapun rumus yang digunakan yakni : Q = C W B (2gH). .

Dimana : Q = Debit yang melewati bukaan pintu (m³/s). B = Lebar 1 Pintu.

W = Tinggi bukaan pintu (m). C = Koefisien debit.

H = Tinggi muka air hulu (m). G = Percepatan gravitasi (m/s²).

(57)

g. Stabilitas Bendung.

1. Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah.

Perhitungan daya dukung ini dipakai rumus daya dukung Terzaghi. Rumus : q = c. + . . + . . . ... (2.42) Di mana : q = Daya dukung keseimbangan (t/m²).

B = Lebar pondasi (m). D = Kedalaman pondasi (m). c = Kohesi.

y = Berat isi tanah (t/m³).

, , = Faktor daya dukung yang tergantung dari besarnya sudut geser dalam (Ф).

(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02). 2. Stabilitas Terhadap Guling.

Rumus : = ∑ ≥ 1,5 ... (2.43) Di mana : = Faktor keamanan.

∑ = Besarnya momen tahan (KNm). ∑ = Besarnya momen guling (KNm). (Sumber, Teknik Bendung, Ir. Soedibyo).

3. Stabilitas Terhadap Geser.

= +

Rumus : = ∑ ≥ 1,2 ... (2.44) Di mana : = Faktor keamanan.

(58)

∑ = Besarnya gaya vertikal (KN). ∑ = Besarnya gaya horisontal (KN).

(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02). 4. Stabilitas Terhadap Eksentrisitas.

Rumus : e < 1/6 . B ... (2.45) = 12 −( − )

Di mana : B = Lebar dasar bendung yang ditinjau (m).

(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02). 5. Stabilitas Terhadap Piping (Erosi Bawah Tanah).

Rumus : CL = ∑ + ∑ ... (2.46) Di mana : CL = Angka rembesan lane (lihat Tabel 2.3)

∑ = Jumlah panjang vertikal (m). ∑ = Jumlah panjang horisontal (m). H = Beda tinggi muka air (m).

(59)

Tabel 2.2, Harga-Harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL).

Uraian Angka Rembesan Lane

Pasir sangat halus atau lanau 8,5

Pasir halus 7,0

Pasir sedang 6,0

Pasir kasar 5,0

Krikil halis 4,0

Krikil sedang 3,5

Krikil kasar termasuk berangkal 3,0

Bongkah dengan sedikit berangkal dan

kerikil 2,5

Lempung lunak 3,0

lempung sedang 2,0

Lempung keras 1,8

Lempung sangat keras 1,6

(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-06). 6. Stabilitas Terhadap Gempa.

Rumus : K = α *∑ ... (2.47) Di mana : α = Koefisien gempa.

(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Gambaran umum lokasi penelitian.

Lokasi bendung Gerak Tempe secara administrasi terletak di Kecamatan Tempe sekitar 7 km dari kota Sengkang Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis danau Tempe berada pada koordinat 4⁰ 9’ 10.80” S dan 120⁰ 1’ 55.77” E dengan luas area sekitar 14.406 ha. Transportasi menuju lokasi bendung Gerak Tempe dari kota Makassar menuju Kota Sengkang dapat menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua selama 5 jam dengan jarak tempuh ± 242 km dengan kondisi jalan beraspal.

(61)

Gambar 3.2, Bendung Gerak Tempe.

B. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bendung Gerak Tempe Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan, dengan masa waktu penelitian selama tiga bulan.

C. Prosedur penelitian

Objek dari penelitian ini adalah Bendung Gerak Tempe Kabupaten Wajo. Cara pengambilan data dapat dilakukan dengan cara memperoleh data dari Instansi terkait, atau pengambilan data secara langsung dilapangan. Adapun langkah - langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengambil data di Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Sulawesi Selatan dan Instansi yang terkait.

2. Data kemudian diolah dengan menggunakan alat satu set komputer. 3. Data perencanaan yang sudah ada di jadikan sebagai bahan

(62)

4. Bahan dalam penelitian ini itu tidak ada karena menggunakan data yang sudah ada.

D. Persiapan penelitian

Persiapan dalam penelitian ini tidak ada, karena persiapan untuk melakukan penelitian yakni pengumpulan data yang mengambil secara langusung di instansi-instansi terkait mengenai data-data yang di butuhkan dalam penelitian.

E. Teknik pengumpulan data 1. Data Primer.

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pengamatan dilapangan. Dari pengamatan ini dapat diketahui keadaan bendung saat ini, lokasi bendung yang akan dibangun.

2. Data Sekunder.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung atau dari catatan-catatan terdahulu. Data ini diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Balai Besar Pompengan Wilayah Sungai jeneberang serta Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air propinsi Sulawesi Selatan dan lain-lain.

Adapun data sekunder yang digunakan antara lain :

a. Peta lokasi pekerjaan, untuk mengetahui lokasi pekerjaan dimana bendung tersebut dibangun.

b. Peta topografi, untuk menentukan elevasi bangunan sehingga dapat berfungsi sesuai yang direncanakan.

(63)

c. Peta situasi, untuk menentukan bentang dan potongan bendung. d. Data hidrologi, untuk mengetahui karakteristik aliran sungai, debit air

banjir sehingga dapat menentukan dimensi konstruksi.

e. Data tanah, untuk mengetahui sifat-sifat tanah dan menghitung daya dukung tanah serta kestabilan bangunan.

3. Analisa data

Data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan kebutuhannya. Masing-masing data berbeda dalam pengelolaan dan analisanya. Dengan pengelolaan dan analisa yang sesuai maka akan diperoleh variable-variable yang akan digunakan dalam perencanaan konstruksi.

(64)

TIDAK

YA

Flow Chart MULAI

Studi Literatur

Survey Lapangan dan Pengumpulan Data SELESAI Analisa Stabilitas Bendung Desain Struktur Penggambaran Kesimpulan 1. Peta Topografi 2. Data Geologi 3. Data Curah Hujan 4. Data Debit

5. Mekanika Tanah Analisa Hidrologi

Perencanaan Bendung Gerak

(65)

DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN

Notasi Definisi dan Keterangan

R Curah hujan daerah

S Standar deviasi

Cv Koefisien variasi

Cs Koefisien kemencengan

Ck Koefisien kurtosis

Xi Hujan rencana dengan periode ulang T tahun

Xrt Hitungan harga rata-rata

X² Harga chi-kuadrat

DK Derajat kebebasan

r Intensitas curah hujan

PMF Probable Maximum Flood

Be Lebar efektif mercu

Ldp Panjang Lantai depan

Q Debit

Q Daya dukung keseimbangan

Sf Faktor keamanan terhadap guling dan geser

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Departemen Pekerjaan Umum, Standar Pekerjaan Irigasi, Kriteria Perencanaa 02, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2010.

Loebis Joesron. Ir. M.Eng, Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Cetakan Ke-1, Jakarta, 1987.

Soemarto. CD. Ir.B.E.I. Dipl H, Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya 1999.

Soewarno, Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data, Nova, Bandung, 1995.

Sosrodarsono Suyono. Ir, Takeda Kensaku, Hidrologi Untuk Pengairan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Suripil, Buku Ajar Hidrolika, Jurusan Teknik Sipil FT Undip, Semarang, 2004.

Triatmodjo Bambang. Prof. Dr. Ir., Hidrologi Terapan, Beta Offset Yogyakarta, Yogyakarta, 2008.

(67)

Gambar

Gambar 2.1. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I. (Triatmodjo, 2008).
Gambar 2.2. Sketsa Penempatan WF. (Triatmodjo, 2008).
Gambar 2-1. Sketsa Penetapan WF
Gambar 2.4. Lebar Efektif Bendung. (KP 02).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya, bahwa tidak ada kelebihan bagi seorang tuan atas seorang budak, tidak ada

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian eksperimen. Penelitian ini untuk menemukan, mengembangkan, dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan yang

(3) Proses perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat memenuhi ketentuan dalam Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 13 Tahun 2009 tentang

Hubungan ini penting karena sperma yang tidak mendapatkan kromosom X yang mengandung gen untuk produk-produk seluler yang penting untuk perkembangan sperma (kromosom X yang

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN PENAMBAHAN INOKULUM Lactobacillus plantarum DAN Lactobacillus fermentum TERHADAP KUALITAS SILASE RUMPUT.. KALANJANA (Brachiaria mutica

Untuk menentukan dan mengendalikan space area diperlukan data stock lapangan yang didapat dari konversi unit of measurement, dimensi ruang gudang dan barang,

Kurangnya pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan keterampilan yang memadai bagi kader menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap tugas kader, lemahnya informasi

Tersingkapnya batuan berumur tua serta adanya aktivitas vulkanisma, merupakan suatu bukti geologi yang kuat bahwa di daerah tersebut dikontrol oleh struktur sesar