• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN Penentuan kandungan oksida

Dalam dokumen JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH (Halaman 46-51)

TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR MORTAR/ BAHAN KERAMIK

METODOLOGI PENELITIAN Penentuan kandungan oksida

Sampel serbuk terak dicampurkan dengan 30 mL air raja dan dipanaskan selama 30 menit. Air suling kemudian ditambahkan, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41. Residu adalah SiO2 dan ditimbang. Filtrat diencerkan sampai 250 mL (larutan A). Larutan A kemudian dibagi menjadi 3 bagian: 1) dipipetir 50 mL larutan A ditambah indikator metil merah, dipanaskan sampai mendidih; setelah mendidih ditambahkan NH4OH, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41; saring residu (R2O3) dan ditimbang. 2) pipetir 10 mL HNO3 2 N, beberapa tetes KMnO4

0,1N, KCNS 1,5M 25 mL, air suling hingga 100 mL; absorbansi Fe2O3 dibaca pada panjang gelombang 420 nm dan ditentukan konsentrasinya dari kurva kalibrasi 3) pipetir 50 mL larutan A ditambahkan 0,5 g ammonium oksalat. Larutan dipanaskan hingga mendidih dan ditambahkan NH4OH, dinginkan dan saring; residu adalah CaO dan filtrat (larutan B). Larutan B kemudian diencerkan hingga 250 mL. Pipetir 50 mL dan ditambahkan 10 mL larutan buffer 10, dititrasi dengan EDTA 0,01 N dengan indikator eriochrom black T. Konsentrasi MgO ditentukan dari EDTA yang dipakai.

Penentuan porositas dan absorbsi (JIS R 2205-1974).

Benda uji dikeringkan di oven pengering pada temperatur 100-110 C sampai mencapai berat konstan dan ditimbang dengan berat W1 (g). Benda uji direndam dalam air dan direbus di hot plate selama lebih dari 3 jam. Setelah dingin, benda uji ditimbang dalam ember terbuat dari kawat berdiameter kurang dari 1 mm. Berat yang ditimbang adalah W2 (g). Benda uji dikeluarkan dari air, dan dibersihkan permukaannya dengan kain yang mudah menyerap air. Benda uji ditimbang dengan berat W3 (g). Adsorbsi dan porositas ditentukan dengan perhitungan.

Angka Adsopsi = (W3-W1)/W1 x 100% (1)

Angka Porositas = (W3-W1)/(W3-W2) x 100% (2)

Penentuan Densitas.

Beaker glass kosong ditimbang (berat A, g) kemudian di-isi dengan air sampai batas (berat B, g). Beaker glass kemudian dikosongkan dan keringkan kembali. Dilanjutkan dengan dimasukan ke dalam beaker bahan uji yang telah dihaluskan sebanyak setengah isinya dan diamkan beberapa saat dan timbang (berat C, g). Air suling ditambahkan ke dalam beaker glass yang berisi setengah bagian bahan uji sampai penuh dan didiamkan satu jam pada temperatur 25 C dan timbang (berat D, g). Densitas dihitung dengan rumus.

Densitas = (C – A) /((B+C)-(A+D)) (3)

Penentuan pH rendaman.

pH air suling diukur terlebih dahulu. Sebanyak 2 g sampel dimasukan ke dalam beaker glass dan ditambahkan air suling sampai 100 mL. Setelah didiamkan beberapa saat, pH rendaman diukur. Sampel kemudian direndam selama beberapa hari, pH rendaman diukur kembali.

Semua pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Pengukuran kandungan oksida, %uap air, pH rendaman, adsorpsi, porositas dan densitas dilakukan terhadap beberapa sampel terak. Dari hasil pengukuran kandungan oksida kemudian dapat dihitung nilai kebasaan dari sampel terak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Besi diproduksi dengan cara menambahkan besi, bijih besi, besi bekas, bahan tambahan (batu kapur dan atau dolomite) ke dalam tanur bersama-sama dengan batubara, arang dan atau biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar ini kemudian terbakar membentuk CO, yang kemudian mereduksi bijih besi menjadi lelehan besi yang merupakan hasil utama proses ini. Selain itu dihasilkan juga lelehan oksida-oksida selain besi yang disebut terak. Karena bahan dasar proses ini adalah bahan alami dan bahan bakar yang digunakan beragam, maka baik besi maupun terak yang dihasilkan menjadi beragam. Terak dikeringkan dengan cara membiarkan lelehan mengering di lapangan terbuka atau dengan dibantu oleh siraman air atau ditiupkan udara tambahan dan uap air.

Terak yang dipakai dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuh jenis, seperti yang disajikan pada tabel 1. Ketujuh jenis terak tersebut merupakan jenis yang paling banyak dihasilkan oleh tanur peleburan bijih besi. Semua jenis terak tersebut kemudian dikarakterisasi kandungan kimianya. Secara makrostruktur, terak dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat gelas (glassy) dan yang berpori, seperti sponge (porous). Sifat ini terkait dengan keberadaan oksida-oksida logam yang terkandung dalam terak [18] dan metoda pendinginan yang diterapkan [19]. Jika lelehan terak dituangkan pada lapangan terbuka dan secara perlahan didinginkan pada kondisi ambang, suatu struktur kristalin terbentuk dan terak yang terbentuk menjadi keras dan memadat. Terak yang selanjutnya dapat dikeraskan dengan penambahan air atau uap air sehingga laju pendinginan dan solidifikasi dipercepat dan meningkatkan pembentukan gelembung/pori dalam terak sehingga terak menjadi lebih ringan dan membentuk busa. Pada keadaan lain dimana pendinginan yang dilakukan berlangsung sangat cepat, terak yang dihasilkan menjadi lebih menjadi bersifat gelas dan kristal mineral yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Proses ini dihasilkan dari pembentukan potongan-potongan kecil berukuran pasir atau frit, yang biasanya merupakan material yang sangat rapuh. Selain itu, sifat fisika terak sangat bergantung kepada komposisi oksida yang terkandung dalam terak. Hasil pengukuran menunjukan kandungan silika berkisar antara 37.93 – 45.97%, kalsia 24,80 – 38,95%, magnesia 1,64 – 2,91%, alumina 4,59 – 5,51%, dan oksida sisa 9,69 – 26,67. Hasil menunjukan bahwa kandungan silika dan kalsia bervariasi dan terdapat dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini normal, karena dalam prosesnya, kedua komponen ini berasal dari bahan dasar yang dipakai. Keduanya secara alami memang mendominasi bahan dasar yang diumpankan ke dalam tanur. CaO berasal dari kandungan utama batu kapur atau dolomit dan SiO2 berasal dari bijih besi. Batu kapur adalah kalsium karbonat, CaCO3 yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses untuk menghilangkan pengotor dalam bijih besi. Kalsium karbonat diuraikan oleh panas tanur menghasilkan CaO dan karbon dioksida. Sebagai pengotor utama dari bijih adalah silika, silikon dioksida. SiO2 tetap berwujud padat pada temperatur tanur. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, saluran dalam tanur menjadi terhalang. Adalah tugas CaO untuk mencairkan SiO2 dengan membentuk kalsium silikat.

Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan oksida, pH rendaman sampel terak

I II III IV V VI VII

Warna hitam coklat hitam

gelap hijau muda hijau lumut hijau gelap abu-abu

Makrostruktur Glassy Porous Porous Porous Glassy Glassy Glass

SiO2 45.97 43.24 39.28 37.02 43.35 43.97 37.93 CaO 27.09 38.95 32.82 33.68 24.8 26.82 26.88 MgO 2.38 2.46 2.91 1.64 2.67 1.97 2.44 Al2O3 4.95 5.32 5.32 5.51 4.84 4.59 5.41 Fe total 0.25 0.33 1.51 0.27 0.34 1.16 0.68 Oksida Sisa 19.36 9.69 18.17 21.87 24 21.5 26.67 Nilai Kebasaan 0.58 0.85 0.8 0.83 0.57 0.59 0.68 pH rendaman 0 hari 9.04 9.89 10.02 9.22 8.99 9.48 9.49 1 hari 8.14 8.32 8.81 8.21 8.06 8.49 8.17

Terak dari tanur bijih besi secara kimia dan mineralogi merupakan kumpulan aggregat dari silikat dan aluminosilikat dari kalsium dan magnesium dan senyawa lainnya termasuk sulfida, sisa besi, mangan dan bahan runut lainnya [20]. Secara mineralogi, terak bijih besi mengandung mellite, yang merupakan larutan padat dari gehlenite, 2CaO.Al2O3.SiO2 dan akermanite, 2CaO.MgO.2SiO2 dengan sejumlah kecil kalsium sulfit (oldhamite) < 1%. Dalam beberapa sampel juga terdapat merwinite (3CaO.MgO.2SiO2) atau dikalsium silikat 2CaO.SiO2 [21]. Tabel 1 memperlihatkan kandungan oksida sisa, yang tidak dilakukan pengukuran, dalam jumlah yang cukup besar. Secara kimia kandungan ini dapat berasal dari beberapa spesi kimia berupa arang dan beberapa hidroksida dari Ca, Mg, Zn dan Pb. Besi total yang diukur merupakan gabungan dari berat magnetite, Fe3O4, hematite, Fe2O3, wuestite, FeO dan α-Fe, Fe0 [22].

Perbandingan oksida yang menyusun terak dapat diwakili oleh nilai kebasaan terak. Ini dilakukan untuk memberikan penilaian bagi aktivitas oksida sehingga kemudian dapat dikaitkan dengan aplikasi terak, misalnya sebagai bahan dasar semen atau sebagai bahan tambahan aggregat jalan [23]. Selain itu nilai kebasaan terak juga berhubungan dengan sifat makroskopis terak [10]. Hasil perhitungan menunjukan bahwa terak dari jenis II, III dan IV merupakan terak yang porous dengan nilai basa yang tinggi, sedangkan terak glassy memiliki nilai basa yang lebih rendah. Secara spesifik, pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa seperti CaO atau MgO. Sebaliknya akan lebih cenderung menjadi gelas dengan penambahan oksida amfoter seperti Al2O3 atau TiO2. Keberadaan oksida-oksida ini terkait dengan perubahan jarak antar atom unsur-unsrut yang menyusun struktur kristal mineral yang terkandung dalam terak.

Tabel 2. Hasil pengukuran nilai absorptivitas, porositas dan densitas sampel terak

I II III IV V VI VII

% Uap Air 0.10 0.18 0.15 0.17 0.12 0.17 0.12

Absorbsi Air 0.16 0.61 0.25 0.25 0.12 0.17 0.18

Porositas 0.39 1.28 0.62 0.56 0.24 0.38 0.42

Densitas 2.04 1.94 2.48 2.15 2.39 2.16 2.29

Variasi pada kandungan oksida menyebabkan adanya variasi pada sifat fisika terak seperti densitas, porositas dan absorbsi air (harus didukung dengan statistika korelasi antar parameter). Terak berfase gelas memiliki porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan terak yang tidak berfase gelas. Secara kimia, densitas, porositas dan absorbsi air terak ini juga dapat dijelaskan dengan jarak antar atom unsur-unsur yang menyusun struktur kristal. Densitas terak berhubungan dengan angka kebasaan secara langsung.

Gambar 1. Kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi air terhadap kenaikan nilai kebasaan terak.

Pada tabel 1 ditampilkan nilai pH dari rendaman terak. Hasil pengukuran menunjukan bahwa nilai pH rendaman terak berkisar antara 8-10. Rendaman pada hari pertama cenderung lebih basa dari pada rendaman pada hari kedua. Nilai pH ini berhubungan dengan lepasnya Ca2+, Mg2+ dan HO -setelah berada dalam air [24]. Dimana hidroksida dari Ca dan Mg berada dalam keadaan bebas dalam matriks terak. Keberadaan ion hidroksida menyebabkan rendaman terak bersifat basa. Pada hari kedua pH terak mulai dinetralkan oleh H+ karena sulfida dalam terak mulai terlepas dalam matriks terak [25].

Bila data dari tabel 1 dan tabel 2 disusun kembali, maka didapatkan grafik kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai porositas, %uap air dan absorbsi air meningkat dengan meningkatnya nilai kebasaan, sebaliknya nilai densitas mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan terdahulu dimana pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa (nilai kebasaan). Karena nilai %uap air merupakan proses absorbsi air, maka kecenderungan keduanya akan sama. Berdasarkan Tabel 2, maka karakter sampel nomor 6 paling baik digunakan sebagai campuran bahan mortar atau keramik.

KESIMPULAN

Makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO2. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, %uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Itoh, T., Rapid Discrimination of the Character of the Water-cooled Blast Furnace Slag Used for Portland Slag Cement. Journal of Material Science, 39(6), 2191-2193 (2004).

[2] Masaki, I. and M. Kazuki, Chlorine-containing Phases in CaO-SiO2-Al2O3 Slags and Their Dissolution Behavior into Aqueous Solution. Tetsu to Hagane, 91(4), 421-427 (2005).

[3] Barbieri, L., A.M. Ferrari, I. Lancellotti, C. Leonelli, J.M. Rincon, and M. Romero, Crystallization of (Na2O-MgO)-CaO-Al2O3-SiO2 Glassy Systems Formulated from Waste Products. Journal of the American Ceramic Society, 83(10), 2515-2520 (2004).

[4] Yaroshevskii, S.L., V.V. Stepanov, E.N. Skladanovskii, V.K. Katsman, S.V. Nesterenko, and V.N. Murav'ev, Improving Blast Furnace Slag Practice. Metallurgist, 27(10), 321-325 (1983).

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 V I VI VII III IV II

[5] Brus, E., M. Ohman, A. Nordin, and D. Bostrom, Bed Agglomeration Characteristics of Biomass Fuels Using Blast-Furnace Slags as Bed Material. Energy Fuels, 18(4), 1187-1193 (2004).

[6] Ghosh, S., M. Das, S. Chakrabarti, and S. Ghatak, Development of Ceramic Tiles from Common Clay and Blast Furnace Slag. Ceramics International, 28(4), 393-400 (2002).

[7] Lopez, F.A., E. Sainz, A. Lopez-Delgado, L. Pascual, and J.M.F. Navarro, The Use of Blast Furnace Slag and Derived Materials in the Vitrification of Electric Arc Furnace Dust. Metallurgical and Materials Transactions B, 27B(3), 379-384 (1996).

[8] Kasami, H., T. Ikeda, S. Numata, and H. Harada, Pumpability of Blast-Furnace Slag Aggregate Concrete. Advancing Concrete Knowledge, 79, 1143-1164 (1983).

[9] Takano, Y., M. Sanazawa, S. Takeda, Y. Akashi, K. Katagiri, and A. Matsui, State of the Art in the Technology of Using Blast Furnace Slag Gravel for Concrete Members, in Nippon Steel Technical Report No. 86, T.D.B. I, Editor. Taiheiyo Cement Corporation, 40-47 (2002).

[10] Lee, Y.S., D.J. Min, S.M. Jung, and S.H. Yi, Influence of Basicity and FeO Content on Viscosity of Blast Furnace Type Slags Containing FeO. ISIJ International, 44(8), 1283-1290 (2004).

[11] Proctor, D.M., K.A. Fehling, E.C. Shay, J.L. Wittenborn, J.J. Green, C. Avent, R.D. Bigham, B. Lee, T.O. Shepker, and M.A. Zak, Physical and Chemical Characteristic of Blast Furnace, Basic Oxygen Furnace and Electric Arc Furnace Steel Industry Slags. Environmental Science and Technology, 34(8), 1576-1582 (2000).

[12] Li, Y.-S., The use of waste basic oxygen furnace slag and hydrogen peroxide to degrade 4-chlorophenol. Waste Management, 19(7-8), 495-502 (1999).

[13] Bowden, L.I., A.P. Jarvis, P.L. Younger, and K.L. Johnson, Phosphorus Removal from Waste Waters using Basic Oxygen Steel Slag. Environmental Science and Technology, 43(7), 2476-2481 (2009).

[14] Krizan, D. and M. Komljenovic, Mortar based alkali-activated blast furnace slag, in Measuring, Monitoring and Modeling Concrete Properties, M.S. Konsta-Gdoutos, Editor, Springer Netherlands: Northwestern, 361-366 (2006).

[15] Yazici, H., H. Yugiter, A.S. Karabalut, and B. Baradan, Utilization of fly ash and ground granulated blasf furnace slag as an alternative silica source in reactive powder concrete. Fuel, 87(12), 2401-2407 (2008).

[16] Amatatsu, M., V. Stuts, and H.W. Gudenau, Evaporation and Adsorption rate of Potassium through Blast Furnace Slag. Transactions of the Iron and Steel Institute of Japan, 1995. 25(9), 949-952 (1995).

[17] Vogel, A.I. and G.H. Jeffery, Vogel's Textbook of quantitative chemical analysis. 5 ed., Harlow, Essex: Longman Scientific and Technical, Wiley (1989)..

[18] Rutman, D.S., I.L. Shchetnikova, E.I. Kelareva, L.S. Zholobova, and V.A. Perepelitsyn, Effect of metallurgical slag on ceramic processed from pure oxide, spinels and forsterite. Refractories and Industrial Ceramics, 14(11-12), 701-705 (1973).

[19] Romanenko, A.G., Production of slag fumace from disintegrated blast furnace slag. Metallurgist, 16(5), 320-322 (1972).

[20] Roy, A., Sulfur specification in granulated blast furnace slag: An X-ray absorption spectroscopic investigation. Cement and Concrete Research, 39(8), 659-663 (2009).

[21] Puertas, F. and A. Fernandez-Jimenez, Mineralogical and microstructural characterisation of alkali activated fly ash/slag pastes. Cement and Concrete Research, 25(3), 287-292 (2002).

[22] Mansfeldt, T. and R. Dohrmann, Chemical and Mineralogical Characterization of Blast Furnace Sludge from an Abandoned Landfill. Environmental Science and Technology, 38(22), 5977-5984 (2004).

[23] Georgescu, M., D. Voinitchi, M. Gheorghe, and A. Iovan, Correlation between Composition and Properties for Alkali Activated Blastfurnace Slag Binders. Ovidius University Annals of Constructions, 1(3-4), 553-558 (2002).

[24] Grüneberg, B. and J. Kern, Phosphorus retention capacity of iron-ore and blast furnace slag in subsurface flow constructed wetlands. Water Science and Technology, 44(11), 69-75 (2001). [25] Schwab, A.P., J. Hickey, J. Hunter, and M.K. Banks, Characteristic of blast furnace slag leachate

produced under reduced and oxidized conditions. Journal of Environmental Science and Health, Part A, 41(3), 381-395 (2006).

Dalam dokumen JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH (Halaman 46-51)

Dokumen terkait