• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 13 Nomor 2 Desember 2010

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

Badan Tenaga Nuklir Nasional

J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 2 Hal. 1-54 Desember 2010 Jakarta ISSN 1410-9565

 

(2)

Volume 13 Nomor 2 Desember 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T.

Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

(3)

i

 

Volume 13 Nomor 2 Desember 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T.

Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

(4)

Volume 13 Nomor 2 Desember 2010

Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13 Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.

Pada volume ini Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah kembali memuat karya-karya tulis yang berkaitan dengan Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif, Pengolahan Limbah Resin, Karakterisasi Limbah Gelas, Kajian Penggunaan Mineral Alam Sebagai Penghambat Sebaran Radionuklida, Radioekologi Kelautan serta aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan misi Jurnal ini.

Harapan kami, semoga penerbitan jurnal ini dapat meningkatkatkan profesionalitas dan mampu memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah secara umum.

(5)

Volume 13 Nomor 2 Desember 2010

Daftar Isi

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad ; Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia Ditinjau dari Konsep Cradle to Grave ( 1-7 )

Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah Terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah ( 8-17 )

 

Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita ; Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (AOP) untuk Mengolah Limbah Resin Cair ( 18-25 )

Budi Setiawan ; Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit ( 26-31 ) Erwansyah Lubis ; Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan Dalam Produksi Energi Listrik ( 32-38 )

Nirwan Syarif ; Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi Sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik ( 39-44 )

Muh. Nurdin, Muh.Natsir, Maulidiyah, Jarnuzigunlazuardi; Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru ( 45-54 )

     

(6)

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah :

1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ……… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan ………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :

[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding

[4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.

12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.

(7)

STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI

INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE

Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad

Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif- BAPETEN, Jakarta

ABSTRAK

STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE. Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia terutama di bidang Industri, kesehatan, dan penelitian telah memberikan kontribusi terhadap timbulan limbah radioaktif di Indonesia. Pengelolaan limbah radioaktif diatur secara terpisah dari pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya, akan tetapi konsep pengelolaan limbah B3 dengan Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah sejak ditimbulkan sampai dengan dikubur dapat dipraktekkan dalam pengelolaan limbah radioaktif. Metode penyusunan makalah ini melalui studi literatur, dengan tahapan inventarisasi literatur, pemahaman literatur dan analisis terhadap literatur. Implementasi konsep Cradle to Grave dilakukan melalui pengawasan terhadap dokumen pengiriman limbah radioaktif yang dibuat rangkap 6, penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke-6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Dengan pendekatan Cradle to Grave maka perjalanan dan tanggungjawab terhadap limbah radioaktif dapat tertelusur sehingga kegiatan pengelolaan limbah radioaktif memberikan jaminan terhadap lingkungan hidup. Keberhasilan pelaksanaan konsep Cradle to Grave sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat mentaati semua ketentuan selama pengelolaan limbah radioaktif.

Kata kunci : limbah radioaktif, cradle to grave, dokumen ABSTRACT

STRATEGY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA; CRADLE TO GRAVE CONCEPT. The use of nuclear energy especially in industry, medicine, and research has given contribution to radioactive waste generation in Indonesia. Radioactive waste management should be regulated separately from hazardous waste management or other wastes. However, hazardous waste management concept stated by cradle to grave is monitoring to waste since generation until disposal. The concept can be applied for radioactive waste. Methode of this paper throught literature study, literature understanding and analysis. The cradle to grave concept can be appied by monitoring to radioactive waste transportation document. Amount of the document is six copies, generator save the 6th copy and give the 5th copy to regulatory body and the rest to transporter and waste organizer or origin country of radioactive source. Radioactive waste organizer or origin country of radioactive source send the 1st copy to generator, the 2nd to regulatory body and save the 3rd copy. The approach of cradle to grave concept provides information regarding the responsible parties and the transportation process of radioactive waste in order to ensure the environment quality. The success of cradle to grave concept implementation depends on stakeholders compliance to all regulations during radioactive waste management.

Keywords : Radioactive Waste, Cradle to Grave, Document

PENDAHULUAN

Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia di bidang industri, kesehatan dan penelitian semakin berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, teknologi, pengetahuan, budaya, dll dan telah terbukti secara nyata memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Di bidang kesehatan, tenaga nuklir berperan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat antara lain untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian. Pemanfaatan tenaga nukir pada sektor industri

(8)

secara langsung berperan dalam meningkatkan mutu dan laju produksi termasuk industri pertambangan yang merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 % berdampak dihasilkannya limbah padat, cair, gas yang harus dikelola dengan bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah tersebut mampu mengoptimalkan tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya permasalahan limbah maka sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan tindakan-tindakan yang berorientasi pada upaya meminimalkan terjadinya limbah yang dapat dilakukan melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses dan penerapan prinsip reuse, recycle serta recovery.

Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah limbah radioaktif. Limbah radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan secara sembarangan karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara internasional [1].

Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara internasional ditetapkan oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga oleh International Commission on Radiological

Protection (ICRP) [1]. Sedangkan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir

(BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN juga memperhatikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [2].

Pada dasarnya tingkat bahaya limbah radioaktif tidak berbeda dengan limbah berbahaya lainnya, yang membedakan adalah penyebab dan mekanisme terjadinya interaksi dengan target. Karakteristik bahaya dari limbah radioaktif adalah memancarkan radiasi yang dapat mengionisasi atau merusak target sehingga menjadi tidak stabil/disfungsi, sedangkan karakteristik bahaya dari limbah B3 antara lain: mudah meledak, mudak terbakar, beracun, reaktif, menyebabkan infeksi dan bersifat korosif [3].

Dalam pengelolaan limbah B3 dikenal konsep Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah B3 dari sejak dihasilkan hingga penanganan akhir. Makalah ini akan membahas implementasi dari sistem pengelolaan limbah dengan konsep Cradle to Grave untuk limbah radioaktif dengan treatment

dari setiap fase akan menyesuaikan dengan karakteristik limbah radioaktif. BAHAN DAN METODE

Penyusunan makalah ini dilakukan melalui studi literatur dengan tahapan inventarisasi safety standard mengenai pengelolaan limbah radioaktif yang dipublikasikan oleh IAEA, peraturan perundang-undangan nasional dan pustaka ilmiah lainnya untuk dipahami dan dianalisis guna merumuskan konsep ilmiah yang dituangkan dalam bentuk makalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Limbah Radioaktif

Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas pemanfaatan zat radioaktif, yang tidak dapat digunakan lagi. Limbah radioaktif berdasarkan bentuk fisiknya terdiri dari limbah radioaktif padat, cair dan gas. Limbah cair dibedakan menjadi aqueous dan organik, sedangkan limbah padat dibedakan menjadi tekompaksi - tidak terkompaksi dan terbakar – tidak terbakar.

1. Limbah Radioaktif Cair

Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga bersifat aktif. Di bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang digunakan pada umumnya berumur paro pendek (100 < hari), misalnya 125I, 131I, 99mTc, 32P, dll sehingga cepat mencapai kondisi

stabil. Fasilitas penelitian di bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif cair melalui hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat pendek, maka penanganan limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan menampung sementara sebelum dilepas ke badan air.

Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi oleh fasilitas penelitian, yang dapat terdiri dari: minyak pompa vakum, pelumas, dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung pada umumnya 3H dan sebagian kecil 14C, 125I dan 35S.

Dalam pengelolaan limbah cair tersebut harus diperhitungkan pula aktivitas konsentrasi zat radioaktif yang digunakan, terutama jika zat radioaktif yang digunakan untuk tujuan penandaan

(9)

umumnya mempunyai konsentrasi aktivitas sangat tinggi sehingga harus dipisahkan dengan zat radioaktif yang mempunyai konsentrasi aktivitas rendah.

2. Limbah Radioaktif Padat

Kebanyakan limbah radioaktif padat yang dihasilkan dari fasilitas kesehatan dan laboratorium penelitian mempunyai sifat dapat terbakar, misalnya: tissue, kertas, kain, karton, sarung tangan, pakaian pelindung, masker, bangkai binatang dan material biologi lain. Sedangkan limbah radioaktif tidak dapat bakar antara lain: barang pecah belah, serpihan logam, peralatan dekontaminasi dan limbah dari fasilitas yang mengalami dekomisioning. Untuk limbah padat radioaktif sebagai akibat kontaminasi dan limbah sumber radioaktif selanjutnya dikirimkan ke PTLR-BATAN sebagai badan yang berwenang melakukan pengolahan limbah radioaktif. Sumber radioaktif yang diimpor dari negara lain dapat dikirimkan kembali ke negara tersebut sesuai dengan perjanjian.

3. Limbah Radioaktif Gas

Limbah radioaktif gas dapat dihasilkan pada aplikasi zat radioaktif terutama bidang kesehatan. Aplikasi khusus dibidang kesehatan menggunakan zat radioaktif berbentuk gas, misalnya 133Xe, 81mKr,

99mTc dan pemancar positron berumur paro pendek seperti 18F dan 11C untuk investigasi terhadap

ventilasi paru-paru. Limbah radioaktif berupa hasil respirasi pasien dikendalikan dengan menempatkan pada tempat khusus untuk membatasi dispersi radioaktif ke lingkungan. Jenis zat radioaktif yang digunakan relatif tidak berbahaya karena berumur paro pendek sehingga mudah mencapai kondisi stabil [4].

4. Sumber Radioaktif Bekas

Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan pengkondisian dan disposal yang sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan menjadi:

1) Sumber dengan umur paro ≤ 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi. 2) Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi.

3) Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan kebocoran.

4) Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi maupun rendah [5]. B. Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Radioaktif

Pengelololaan limbah radioaktif terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi tahapan pengumpulan, pengelompokkan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan limbah radioaktif. Pengelolaan limbah radioaktif dapat dilakukan dengan sistem sentralisasi atau desentralisasi, bergantung dengan kebijakan setiap negara.

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem sentralisasi dengan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTLR-BATAN) sebagai pihak pengelola sesuai dengan amanat UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam menjalankan tugasnya, PTLR-BATAN dapat bekerja sama atau mendelegasikan BUMN, Koperasi dan swasta yang ditunjuk oleh PTLR-BATAN.

Sistem sentralisasi bukan berarti membebaskan penghasil limbah radioaktif dari kewajiban mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya. Penghasil limbah radioaktif berkewajiban mengumpulkan, mengelompokkan atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang sebelum dikirimkan ke PTLR-BATAN.

Terhadap sumber radioaktif bekas terdapat dua alternatif pengelolaan limbah yang boleh dilakukan oleh pemilik sumber radioaktif bekas yaitu sumber radioaktif bekas diprioritaskan untuk dapat dikirimkan kembali ke negara asal dan alternatif kedua adalah dikirimkan ke PTLR-BATAN. Prioritas yang pertama adalah upaya pemenuhan salah satu prinsp-prinsip pengelolaan limbah radioaktif yaitu tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang.

Dengan sistem pengelolaan tersebut maka ada kegiatan pemindahan atau pengangkutan limbah radioaktif dari penghasil ke PTLR-BATAN atau ke negara asal sumber radioaktif bekas. Prosedur pengiriman limbah radioaktif ke PTLR-BATAN yang sudah berlangsung hingga sekarang sebagai berikut:

1. Penghasil limbah radioaktif mengajukan persetujuan pengiriman limbah radioaktif ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).

2. Setelah memperoleh persetujuan dari BAPETEN, penghasil limbah radioaktif mengirimkan surat permohonan pengelolaan limbah radioaktif ke PTLR-BATAN dengan melampirkan salinan persetujuan pengiriman dari BAPETEN tersebut. Di dalam permohonan dapat dirinci jenis pelayanan apa saja yang dikehendaki oleh penghasil limbah radioaktif (contohnya: dalam hal

(10)

pengangkutan penghasil limbah radioaktif dapat saja mengangkut sendiri limbahnya ke BATAN, atau menggunakan jasa ekspedisi, atau menggunakan kendaraan angkut limbah PTLR-BATAN). Penghasil limbah radioaktif akan mendapatkan jawaban dari PTLR-BATAN tentang biaya pengelolaan sesuai dengan PP No. 77 tahun 2005 tentang Tarif Pengelolaan Limbah Radioaktif. 3. Penghasil limbah radioaktif mengirimkan limbahnya ke PTLR-BATAN, dokumen yang harus

ditandatangani ke dua belah pihak adalah berita acara serah terima limbah radioaktif.

4. Penghasil limbah radioaktif menyerahkan salinan berita acara serah terima limbah radioaktif ke BAPETEN.

5. PTLR-BATAN melaporkan kegiatan pengelolaan limbahnya secara berkala (tiap semester) kepada BAPETEN sesuai dengan izin operasi yang diberikan oleh BAPETEN.

Secara skematik prosedur pengiriman limbah radioaktif tersebut disajikan dalam Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Skenario Pengiriman Limbah Radioaktif

Prosedur pengiriman limbah radioaktif sebagaimana dijelaskan di atas berpeluang memberikan resiko terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungan apabila tidak ada pengawasan selama pelaksanaan pengiriman. Dengan pengawasan harus dipastikan jenis dan mode transportasinya tidak menggunakan jasa transportasi umum atau jasa transportasi yang tidak secara khusus digunakan untuk mengangkut limbah radioaktif sehingga memunginkan limbah radioaktif tidak sampai tujuan atau sampai tujuan tetapi dengan kondisi limbah radioaktif tidak seperti kondisi pada saat berada di penghasil limbah radioaktif. Dengan hanya mengandalkan pada sistem audit limbah radioaktif melalui pelaporan berkala yang dibuat oleh PTLR-BATAN maka setiap kesalahan atau pelanggaran selama pelaksanaan pengiriman limbah radioaktif tidak dapat diketahui dengan segera.

C. Implementasi Konsep Cradle to Grave dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif

Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu pengawasan limbah dari sejak

ditimbulkan sampai dengan di tempat pengolahan/penyimpanan/negara asal sumber radioaktif dan pada setiap fase terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan.

Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan limbah dari penghasil limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan sehingga keberadaan dan tanggungjawab terhadap limbah dapat diketahui. Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka memerlukan pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator keberadaan limbah.

Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan pendekatan cradle to grave untuk menunjukkan perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (industri, rumah sakit, laboratorium penelitian) sampai lokasi tujuan pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen. Dalam setiap tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai dengan tindakan keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan.

D. Perjalanan Limbah Radioaktif

Dokumen perjalanan pengiriman limbah radioaktif dibuat rangkap 6, dengan mekanisme sebagai berikut: penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke 6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke- 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengelola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Diagram alir dari proses perjalanan limbah radioaktif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

5

PTLR-BATAN

1/4

2

Penghasil

Limbah

Radioaktif

BAPETEN

3

(11)

Gambar 2 .Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan Pendekatan Cradle to Grave

Dengan demikian, Badan Pengawas dan penghasil limbah dapat melacak perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (cradle) ke lokasi tujuan (grave), yaitu pihak pengolah limbah radioaktif/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif untuk kegiatan reexport sumber radioaktif bekas. Pada setiap fase perjalanan limbah, setiap pihak mempunyai kewajiban dan peran penting dalam mendukung sistem pengelolaan limbah radioaktif yang dijelaskan berikut:

6. Penghasil Limbah Radioaktif

Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya dengan tujuan meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko. Pengelolaan yang dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah berdasarkan aktivitas, waktu paro, jenis radiasi, bentuk fisik-dan kimia, sifat racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya apabila memiliki fasilitas pengolahan

Limbah padat dipisahkan menjadi dapat terbakar - tidak dapat terbakar, terkompaksi – tidak terkompaksi, aktivitas rendah dan tinggi, umur paro panjang dan pendek, serta jenis radiasi. Limbah tersebut ditempatkan pada lokasi khusus yang diberi tanda bahaya radiasi sehingga hanya petugas tertentu yang dapat masuk ke ruangan.

Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil samping kegiatan dekontaminasi yang memiliki aktivitas tinggi atau umur paro panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah aktivitas rendah atau umur paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi dan cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan ke tempat penampungan sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi yang ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat di lepaskan ke badan air apabila memenuhi persyaratan pelepasan.

Limbah berbentuk gas sangat jarang terjadi. Seperti yang telah disampaikan di muka untuk mengendalikan limbah radioaktif

berbentuk gas, maka sumber penghasil limbah ditempatkan pada tempat khusus sehingga gas tidak mudah keluar ke lingkungan. Gas dapat di lepaskan ke lingkungan setelah memenuhi persyaratan pelepasan.

Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan benar secara tertulis (dalam manifes dokumen) kepada pengangkut tentang identitas limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban memberikan tanda, label, atau plakat pada kendaraan angkutan.

2. Pengangkut

Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem ini dan bertanggungjawab atas keselamatan pengangkutan limbah sejak menerima dari penghasil sampai kepada penerima. Apabila terjadi kerusakan/kecelakaan selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan kepada Badan Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah radioaktif hanya boleh

copy-1

Penghasil

(copy-6)

Pengangkut (copy-4) Pengolah /Penyimpan /negara asal sumber (reexport) (copy-3)

Badan

Pengawas

copy-5

(12)

dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin pemanfaatan dari BAPETEN dalam bentuk persetujuan pengangkutan.

3. Pengolah/Penyimpan/negara asal sumber radioaktif (reexport)

Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan secara terpadu di PTLR-BATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya, Badan Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan BUMN, swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah atau penyimpan limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak pengolah/penyimpan /negara asal sumber radioaktif berkewajiban memeriksa kesesuaian limbah yang diserahkan oleh pengangkut dengan kualifikasi limbah sebagaimana tercantum dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif wajib memberitahukan ke Badan Pengawas dan penghasil limbah guna investigasi lebih lanjut. Namun apabila limbah radioaktif yang diterima oleh pengolah sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah radioaktif dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber radioaktif dapat melakukan penanganan sumber radioaktif bekas yang diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif negara tersebut.

Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah dimaksudkan untuk mereduksi volume limbah dan mengurangi paparan radiasi dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan manusia dan lingkungan sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya limbah tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah ditetapkan.

Jenis pengolahan limbah radioaktif berbentuk padat yang telah dipraktekkan, antara lain: kompaksi, insenerasi dan imobilisasi tetapi tidak berlaku untuk sumber radioaktif bekas.

a. Kompaksi:

Limbah padat yang akan dikompaksi harus memenuhi persyaratan:

1. Tidak mengandung limbah yang bersifat destruktif terhadap bungkusan limbah 2. Tidak mengandung limbah bersifat infektan

3. Tidak mengakibatkan tekanan pada kointainer yang menyebabkan pelepas gas atau kontaminan

4. Tidak mengandung cairan untuk menghindari kebocoran pada bungkusan limbah 5. Tidak mengandung bubuk aktif yang dapat mengkontaminasi

6. Tidak mengandung bahan kimia reaktif b.Insenerasi:

Limbah radioaktif padat yang diolah dengan insenerator harus memperhatikan hal-hal berikut: a) Tidak menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan pelepasan tak terkendali

b) Tidak mengandung bahan beracun yang mudah menguap c) Kadar air diatur untuk menghasilkan pembakaran sempurna d) Dilakukan pengolahan lanjutan terhadap residu

e) Bahan yang bersifat lembab dikendalikan f) Dilengkapi dengan pengendali debu c. Imobilisasi:

Imobilisasi terhadap limbah padat bertujuan mencegah pergerakan/sebaran limbah padat ke lingkungan. Limbah padat yang diimobilisasi adalah konsentrat evaporasi, abu insenerator, limbah padat hasil pengkompaksian. Imobilisasi menggunakan bahan pengikat seperti semen, zeolit, bentonit, dll.

Terdapat beberapa jenis pengolahan limbah cair, pemilihan jenis pengolahan bergantung pada pertimbangan keselamatan, teknis dan keuangan. Selain itu juga bergantung pH dan kandungan partikel padat, garam, dan asam. Pengolahan limbah cair antara lain: presipitasi, evaporasi, ion

exchange, insenerasi (limbah cair organik), pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah cair

sekunder yang harus dikendalikan.

Pengolahan limbah radioaktif berbentuk gas dilakukan dengan cara pengkondisian sampai memenuhi persyaratan pelepasasan setempat sehingga gas tersebut dapat langsung dilepaskan ke atmosfer. Namun untuk gas yang mengandung partikulat radioaktif perlu dikendalikan dengan alat penyaring udara sebelum dilepaskan ke atmosfer.

Penanganan yang dapat dilakukan terhadap sumber radioaktif bekas bergantung umur paro dari sumber radioaktif tersebut. Sumber radioaktif yang memiliki umur paro pendek cukup dengan

(13)

menyimpan sampai aktivitasnya mencapai nilai yang sangat rendah sehingga dapat dianggap sebagai limbah non radioaktif. Untuk sumber radioaktif dengan umur paro panjang terdapat dua pilihan penanganan, yaitu dilakukan imobilisasi dalam drum logam atau tabung beton atau langsung disimpan pada tempat khusus untuk tujuan penyimpanan sementara atau penyimpanan akhir.

Penyimpanan limbah radioaktif dibedakan menjadi penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap akhir dan penyimpanan lestari adalah penempatan akhir limbah radioaktif tingkat tinggi. Jenis limbah yang akan ditempatkan pada penempatan akhir/dibuang hanya limbah berbentuk padat. Penempatan akhir/pembuangan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan umur paro pendek yang memenuhi tingkat klierens dapat diperlakukan sebagaimana pembuangan limbah non radioaktif, sedangkan limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang pembuangan dilakukan dalam bentuk disposal yang dibedakan menjadi disposal dekat permukaan untuk waktu paro ≤ 30 tahun dan disposal dalam formasi geologi untuk limbah radioaktif dengan waktu paro > 30 tahun.

Untuk sumber radioaktif yang diimpor dari luar negeri, sumber radioaktif bekasnya disarankan untuk dikirimkan kembali ke negara penghasil. Kebijakan ini untuk mengurangi peredaran jumlah limbah sumber radioaktif di Indonesia yang dapat menjadi beban bagi generasi yang akan datang dan jika ditinjau dari aspek finansial biaya untuk mengolah limbah tersebut lebih mahal dibandingkan mengirimkan kembali ke negara asal.

KESIMPULAN

1. Implementasi konsep cradle to grave dalam pengelolaan limbah radioaktif dilakukan dengan menggunakan dokumen pengiriman limbah radioaktif dari penghasil ke pengolah/penyimpan/atau negara asal sumber radioaktif.

2. Dokumen pengiriman dibuat rangkap 6 dengan pola distribusi dokumen tersebut dirancang sedemikan rupa sehingga terbentuk komunikasi yang simultan antara badan pengawas, penghasil limbah radioaktif, pengangkut, dan pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif, distribusi dokumen tersebut sebagai berikut: badan pengawas menyimpan copy 2 dan 5, penghasil menyimpan copy 1 dan 6, pengangkut menyimpan copy 4, pengolah/penyimpan/negara asal sumber menyimpan copy 3.

DAFTAR PUSTAKA

[1] WARDHANA, WA , Radioekologi, Andi Offset, Yogyakarta, (1996).

[2] LUBIS, E, Keselamatan Lingkungan Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jurnal Teknologi Pengelolaan

Limbah' Volume 6 No. 2 (ISSN:1410-9565), BATAN, Jakarta, (2003).

[3] HARUKI, A, Pengelolaan Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan diselenggarkan oleh Departmen Biologi FIMPA IPB dan Bagian PKSDM Dijten DEKDINAS, (2006),

[4] IAEA, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, Safety Guide No. WS-G-2.7, Vienna, (2005).

[5] IAEA, Management of Radioactive Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, TECDOC 1183, Vienna

, (2000).

(14)

PENGARUH PERLAKUAN PANAS

DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN

STRUKTUR GELAS LIMBAH

Aisyah, Herlan Martono

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

PENGARUH PERLAKUAN PANAS DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR GELAS LIMBAH. Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) simulasi dari ekstraksi siklus I proses olah ulang dilakukan dengan gelas borosilikat. Komposisi limbah ditentukan dengan ORIGEN 2 berdasarkan atas PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000 MWD/MTIHM, pengkayaan uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Kandungan LCAT dalam gelas limbah 20 dan 30% berat. Pembentukan gelas limbah dilakukan pada suhu 1150 0C selama 2,5 jam, kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap perubahan struktur gelas limbah, maka gelas limbah dipanaskan pada variasi suhu antara 750∼1000 0C dengan waktu pemanasan 18 jam. Untuk mempelajari pengaruh waktu pemanasan terhadap perubahan struktur gelas limbah, maka gelas limbah dipanaskan dengan variasi waktu pemanasan antara 8 – 50 jam pada suhu 850 0C. Perubahan struktur gelas limbah ditandai dengan terbentuknya kristal dalam gelas limbah yang dapat diamati dengan mikroskop optik. Sedangkan analisis kristal secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan difraktometer sinar-X. Dari hasil percobaan diperoleh daerah kristalisasi dalam diagram TTT (Time-Temperature-Transformation) dari kristal Si yang terjadi. Untuk kandungan limbah 20 dan 30 % berat, kristal yang terjadi sampai waktu pemanasan 50 jam pada suhu 850 0C adalah 8,5 dan 9 % berat, sedangkan kristal yang terjadi mencapai maksimum pada suhu 950 0C pada waktu pemanasan selama 18 jam adalah 4 dan 5 % berat.

Kata kunci: Gelas limbah, limbah aktivitas tinggi, vitrifikasi, devitrifikasi ABSTRACT

THE EFFECT Of HEAT TREATMENT AND WASTE LOADING ON STRUCTURAL DEFORMATION OF WASTE GLASS. Solidification of simulated high level liquid waste (HLLW) from the first cycle of the reprocessing plant was represented by borosilicate glass. Waste composition was calculated by ORIGEN 2, with inputs: PWR-UD 50 MWD, burn up 50,000 MWD/MTIHM, uranium enriched 3 % and cooling for 4 years. The simulated waste composition in the waste glass are 20 and 30 weight %. Formation of waste glass was conducted by heating the waste glass at temperature of 1150 0C for 2.5 hours followed by cooling to room temperature. The observation of the temperature effect on the deformation of waste glass structure was carried out by heating the waste glass at various temperature between 7501000 0C for heating time of 18 hours. The effect of heating time on the deformation of waste glass structure was observed by heating of waste glass at 850 0C in various heating time between 8 to 50 hours. The deformation waste glass structure is indicated by presence of crystal within the body of the waste glass that can obseved by optical microscope. While the Qualitative and quantitative analysis of crystal were conducted by X-ray diffractometer. The experiments showed that the crystallization area of Si crystal was observed at the TTT (Time-Temperature-Transformation) diagram. It was concluded from the experiment that waste loading of 20 and 30 weight %, the crystal

has taken place under heating time up to 50 hours at temperature 850 0C was 8,5 and 9 weight %

respectively. The highest crystal formation has taken place at temperature 950 0C under heating time 18 hours was 4 and 5 weight % respectively.

Keywords: Waste glass, high level waste, vitrification, devitrification

PENDAHULUAN

Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) yang dilakukan dengan bahan gelas disebut dengan proses vitrifikasi. Gelas yang digunakan adalah gelas borosilikat yang lebih tahan korosi dan mengalami perubahan struktur dari amorf menjadi kristalin pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelas fosfat. Perubahan struktur amorf menjadi kristalin dikenal dengan devitrifikasi. Gelas

(15)

aluminosilikat sudah tidak dikembangkan lagi karena kandungan limbahnya rendah sekitar 10 % berat dan suhu pembentukan yang tinggi sekitar 1350 0C [1]. Pada pengolahan secara industri, suhu pembentukan yang tinggi mengakibatkan korosi melter lebih cepat, sehingga umur melter lebih pendek dan lebih banyak menghasilkan limbah radioaktif padat. Oleh karena itu dipilih gelas borosilikat yang suhu pembentukannya lebih rendah yaitu 1150 0C. Gelas merupakan bahan amorf yang dibentuk dari

pendinginan lelehan yang berubah menjadi gelas setelah melewati suhu transisinya (Tg) [1,2,3].

Komposisi LCAT sebagian besar hasil belah dan sedikit aktinida. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada solidifikasi LCAT dengan bahan gelas adalah kandungan limbah (waste loading), ketahanan kimia, kestabilan terhadap radiasi dan kestabilan terhadap panas. Pada proses vitrifikasi skala industri, LCAT dan bahan pembentuk gelas dilelehkan pada suhu sekitar 1150 0C dalam melter. Setelah terbentuk lelehan gelas limbah, maka lelehan dimasukkan ke dalam canister (wadah dari baja tahan karat yang berbentuk silinder) dan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara [4,5]. Sebagai contoh di JAEA (Japan Atomic Energy Agency) Jepang digunakan canister berdiameter luar 430 mm, tinggi 1040 mm dan tebal dinding 6 mm mempunyai volume 118 liter. Volume gelas limbah dalam canister 110 liter (93% volume canister) berisi 300 kg gelas limbah. Banyaknya limbah dalam gelas limbah adalah 75 kg yang aktivitasnya sekitar 4x105 Ci dan melepaskan panas 1,4 kW/jam. Sampai pereode 30 – 50 tahun, radionuklida hasil belah memancarkan radiasi gamma yang menimbulkan panas besar sehingga suhunya mencapai jauh di atas 500 0C. Adanya panas yang diterima gelas limbah pada suhu tinggi dan dalam waktu yang lama akan terjadi perubahan struktur gelas limbah yaitu dari amorf menjadi kristalin yang disebut devitrifikasi. Dalam gelas-limbah devitrifikasi terjadi antara suhu 500 – 950 0C [6,7]. Demikian juga adanya perbedaan kandungan limbah dan komposisi gelas limbah yang sangat kompleks maka memungkinkan terjadinya devitrifikasi. Jadi radiasi gamma yang dipancarkan oleh radionuklida dalam gelas limbah tidak mengakibatkan reaksi inti yang menimbulkan perubahan komposisi, tetapi menimbulkan panas yang tinggi yang mengakibatkan perubahan struktur. Perubahan struktur mengakibatkan perubahan karakteristik gelas limbah seperti kenaikan laju pelindihan radionuklida. Laju pelindihan gelas limbah yang mengalami devitrifikasi bisa mencapai 10 kali lebih besar dari laju pelindihan gelas-limbah yang tidak mengalami devitrifikasi [8,9]. Laju pelindihan merupakan salah satu karakteristik gelas limbah yang penting karena tujuan pengelolaan limbah radioaktif adalah mengisolasi radionuklida dalam limbah sedemikian rupa agar tidak mudah terlindih ke lingkungan sehingga aman bagi manusia dan lingkungan. Oeh karena itu adanya panas yang diterima gelas limbah harus dihindari dengan jalan menggunakan sistem pendingin pada penyimpanan sementara. Adanya kegagalan dalam sistem pendingin akan menyebabkan kenaikan suhu gelas limbah dan dalam waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya devitrifikasi.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sejauh mana perubahan struktur yang terjadi pada gelas limbah akibat perbedaan kandungan limbah, besarnya suhu dan waktu pemanasan yang dialami oleh gelas limbah. Dalam penelitian, panas yang diterima oleh gelas limbah dilakukan secara simulasi dengan memberikan perlakuan panas pada gelas limbah yang telah dibuat. Perlakuan panas dilakukan dengan cara memanaskan gelas limbah pada suhu dan waktu yang bervariasi. Perubahan struktur yang terjadi ditandai dengan terbentuknya kristal pada gelas limbah yang diamati dengan mikroskop optik, sedangkan analisis kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan difraktometer sinar-X (XRD). Jika teramati adanya kristal, maka mengindikasikan bahwa telah terjadi devitrifikasi yang mengakibatkan perubahan struktur pada dan gelas limbah.

TATA KERJA Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif , Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2008

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oksida –oksida SiO2, B2O3, Na2O,

CaO,Al2O3, Fe2O3, NiO, Cr2O3, SrO, Cs2O, BaO, La2O3 dan CeO2 buatan Merck dengan kemurnian

yang tinggi.

Peralatan

Dalam penelitian ini digunakan beberapa peralatan seperti timbangan analitis, tungku pemanas (Muffle Furnace) merek Labtech dengan maksimum suhu 1300 0C, cawan platina untuk pembuatan gelas limbah, cetakan karbon untuk annealing gelas limbah, pemanas bunsen, lempengan Pt dengan lebar 1,5 cm dan panjang 13,40 cm untuk memberi perlakuan panas pada gelas limbah,

(16)

mikroskop optik untuk pengamatan struktur mikro gelas limbah, difratometer Sinar X (XRD) Xpert (Philips) untuk pengukuran pola difraksi sinar X dan software ORIGEN 2.

Metode

1. Penentuan Komposisi Limbah

Komposisi LCAT simulasi ditentukan dengan menggunakan software ORIGEN 2 berdasarkan atas sejarah elemen bahan bakarnya, yaitu jenis reaktor PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000 MWD/MTIHM, pengkayaan uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Dalam penentuan LCAT simulasi dan berdasarkan pertimbangan analisis kristal dengan difraktometer sinar-X, maka penggantian unsur-unsur dilaksanakan dengan unsur lain yang terdapat dalam 1 golongan pada tabel periodik unsur-unsur dan berdasarkan pengalaman dari negara-negara maju. Dalam hal ini, Tc diganti Mn dan aktinida (U, Np, Pu, Am, Cm) diganti Ce [10,11]. Komposisi LCAT yang digunakan dalam percobaan adalah Na2O: 24,87; Fe2O3 : 16,47; NiO: 3,47; Cr2O3: 7,90; SrO:1,13; Cs2O: 3,30; BaO:

1,83; La2O3: 2,20; dan CeO2: 38,83 % berat.

2. Penentuan Komposisi Gelas-Limbah

Bahan pembentuk gelas ditentukan dengan komposisi : SiO2: 58 ; B2O3: 21,80; Na2O: 9,67;

CaO 7,8; dan Al2O3: 2,7 % berat [5,7]. Ketahanan terhadap panas atau kestabilan fisik hasil vitrifikasi

adalah sifat yang penting untuk disain kondisi penyimpanan, oleh karena itu kandungan limbah harus ditentukan. Dalam percobaan ini kandungan limbah ditentukan 20% dan 30% berat sehingga diperoleh komposisi gelas limbah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat.

Oksida Kandungan Limbah (% berat)

20% 30% SiO2 B2O3 Na2O CaO Al2O3 Fe2O3 NiO Cr2O3 SrO Cs2O BaO La2O3 CeO2 46,40 17,44 10,00 8,96 2,18 3,28 0,69 1,59 0,23 0,65 0,37 0,44 7,77 40,60 15,26 10,00 9,69 1,91 4,94 1,04 2,37 0,34 0,99 0,55 0,66 11,65

3. Pembentukan Gelas Limbah

Berat bahan gelas limbah yang komposisinya seperti pada Tabel 1, ditentukan dengan menimbang senyawa-senyawa tersebut. Campuran bahan-bahan tersebut digerus hingga homogen dan dilebur pada suhu 1150 0C selama 1 jam, kemudian dilakukan pengadukan setiap 15 menit sekali berturut-turut sampai 3 kali. Pemanasan dipertahankan lagi selama 1 jam . Lelehan gelas limbah dituang ke dalam cetakan karbon berdiameter 5 cm sampai suhu kamar (annealing) sehingga terbentuk gelas limbah [2,3].

4. Pengamatan Kristal Dalam Gelas Limbah Dengan Mikroskop Optik

Gelas limbah yang telah terbentuk diletakkan pada lubang yang berdiameter 0,3 cm dari lempeng Pt yang lebarnya 1,5 cm dan panjang 13,40 cm dan memiliki 25 lubang. Jarak antar lubang kearah panjang adalah 2 cm. Contoh gelas limbah kemudian dibakar dengan api bunsen pada suhu dan waktu tertentu (650 1100 0C dan 130 jam), selanjutnya dilakukan pengamatan struktur mikronya dengan mikroskop optik. Dalam pengamatan tersebut akan tampak apakah terbentuk kristal ataupun tidak.[ 12,13,14]

(17)

5. Pembuatan Diagram Time Temperature Transformation (TTT)

Gelas limbah yang telah terbentuk, dipecah menjadi bagian-bagian kecil, kemudian digerus sampai menjadi serbuk dalam cawan porselin. Serbuk gelas limbah dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Pola difraksi sinar-X amorf menunjukkan struktur gelas. Bagian-bagian kecil gelas limbah yang lain dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu (650 ∼ 1100 0C dan 130 jam),

kemudian digerus sampai menjadi serbuk halus. Serbuk halus dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Dari pola difraksi dapat dilihat terjadi kristal atau tidak. Dari hasil diatas dapat dibuat diagram TTT [13,15].

6. Penentuan Prosen Berat Kristal Dalam Gelas Limbah

Gelas yang telah dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu digerus dalam cawan porselin sampai menjadi serbuk halus. Serbuk gelas dicampur dengan standar Si sehingga diperoleh campuran dengan fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75. Contoh gelas limbah, standar Si dan campuran dengan fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75 masing-masing ditentukan intensitas terkuatnya (untuk 2θ sekitar 28

0C) dengan difraktometer sinar-X. Setelah masing-masing intensitas dihitung, maka dibuat grafik I/I

standar (I/IST) versus fraksi berat Si, dan prosen berat kristal Si dalam gelas limbah dapat ditentukan

[13,15].

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengamatan Kristal yang Terjadi pada Gelas Limbah Secara Mikroskopik

Hasil pengamatan struktur mikro gelas limbah dengan mikroskop optik seperti ditunjukkan pada Gambar 1A dan B. Pada gambar tersebut tampak terbentuknya kristal pada gelas limbah, yang mengindikasikan bahwa terjadi perubahan stuktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20

%berat yang mengalami pemanasan pada suhu 950 0C selama 3 jam (Gambar 1A), sebaliknya pada

Gambar 1B tidak tampak terbentunya kristal pada gelas limbah, yang mengindikasikan bahwa tidak terjadi perubahan struktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30% yang mengalami

pemanasan pada suhu 650 0C selama 4 jam. Pengamatan adanya kristal dengan mikroskop optik ini

belum dapat mengidentifikasi jenis dan struktur kristal yang terjadi. Jenis dan struktur kristal dapat ditentukan dengan menggunakan difraktometer sinar X. Pada pengamatan dengan mikroskop ini yang tampak adalah kumpulan kristal yang disebut grain (butir) yang masih terdiri dari 1012 kristal elementer. Walaupun demikian metode ini dapat untuk menentukan daerah dimana terjadi perubahan struktur pada gelas limbah, sehingga terjadinya devitrifikasi dapat dihindarkan karena adanya devitrifikasi ini akan menaikkan laju pelindihan gelas limbah.

Gambar 1. Struktur mikro gelas limbah hasil pengamatan dengan mikroskop optik (perbesaran 260 kali)

A. Terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 %berat yang

mengalami pemanasan pada suhu 950 0C selama 3 jam

B. Tidak terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % yang

mengalami pemanasan pada suhu 650 0C selama 4 jam

B. Penentuan Amorf, Kristal dan Pembuatan Diagram TTT

Hasil analisis dengan difraktometer sinar-X terhadap gelas limbah menunjukkan struktur bahan adalah amorf dengan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pemanasan gelas limbah dengan variasi suhu dan waktu dapat mengakibatkan terbentuknya kristal ataupun tidak.

(18)

Sebagai contoh struktur kristal yang terbentuk pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat yang mengalami pemanasan pada suhu 850 0C selama 4 jam dengan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Dari pola difraksi tersebut dapat dilihat posisi 2θ dan d pada Tabel 2.

Gambar 2. Struktur gelas-limbah amorf

Gambar 3. Struktur kristal dalam gelas-limbah

Tabel 2. Posisi 2θ dan d dalam pola difraksi kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat pada pemanasan 850 0C selama 4 jam

Dari data tersebut menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si. Pada pemanasan contoh gelas limbah yang lain pada suhu dan waktu yang berbeda menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si. Jadi tidak ada jenis kristal lain yang terjadi dalam gelas limbah. Dari data berbagai suhu dan waktu pemanasan serta pengujian dengan difraktometer sinar-X dapat dibuat diagram TTT yang ditunjukkan pada pada Gambar 4A dan 4B. Dari Gambar 4A terlihat bahwa pada suhu 850 0C dan waktu pemanasan selama 3 jam, kristalisasi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat belum terjadi. Pada Gambar 4B tampak bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan pada suhu 850 0C selama 1 jam sudah terjadi kristalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih mudah terjadi kristalisasi daripada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsurnya lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Dapat diterangkan juga bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat, kadar Si nya lebih rendah, sehingga titik lelehnya lebih rendah. Akibatnya gelas dengan kandungan limbah 30 % berat viskositasnya lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi kristalisasi. Pada gelas limbah yang sesungguhnya (radioaktif) panas yang ditimbulkan

No. 2θ θ d = λ/2sinθ d dari data

1 28,40 14,20 3,14 3,14

2 47,30 23,65 1,92 1,92

(19)

oleh radiasi gamma lebih besar untuk gelas dengan kandungan limbah 30 % berat, sehingga jika ditinjau dari segi inipun terjadinya kristalisasi lebih mudah. Pada suhu di atas 1050 0C baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 %, maka kristalisasi tidak terjadi. Hal ini disebabkan bahwa karena suhu tersebut telah mendekati titik lelehnya sehingga gerakan atom-atomnya terlalu cepat dan atom-atomnya tidak dapat mengatur diri untuk membentuk kristal.

Gambar 4A. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat ( ■ : terbentuk kristal;  : tidak terbentuk kristal)

Gambar 4.B. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat. ( ● : terbentuk kristal; O : tidak terbentuk krikstal)

C. Pengaruh Waktu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal dalam Gelas Limbah

Perhitungan berat kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan metode garis tunggal [13,15]. Prosen berat kristal dalam gelas limbah sebagai fungsi kandungan limbah dan waktu pemanasan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

(20)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (Jam) % Be rat Kri s ta l WL 20% WL 30%

Gambar 5. Pengaruh waktu pemanasan terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat pada suhu 850 0C .

Pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih besar dari pada laju pertumbuhan kristal gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Pertumbuhan kristal dipengaruhi oleh suhu dan waktu pemanasan. Dari Gambar 5 tersebut tampak bahwa laju pertumbuhan kristal semakin besar dengan lamanya waktu pemanasan baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat. Transformasi fase terjadi karena proses nukleasi dan pertumbuhan kristal. Kinetika proses ini tergantung pada gaya dorong termodinamik, mobilitas atom dan heteroginitas dalam gelas-limbah. Kristalisasi melalui nukleasi dan pertumbuhan kristal ditunjukkan pada Gambar 6. Untuk proses nukleasi dan pertumbuhan kristal yang dilakukan pada suhu yang sama maka tampak bahwa perumbuhan kristal akan meningkat dengan semakin bertambahnya waktu pemanasan yaitu dengan bergeraknya atom-atom mengatur diri dan terus tumbuh menjadi kristal. Pertumbuhan kristal mencapai maksimum dalam waktu 50 jam, sehingga pada waktu pemanasan lebih dari 50 jam maka laju pertumbuhan kristal akan menurun.

Pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat dengan waktu pemanasan 5 jam sudah mulai terbentuk kristal dan untuk waktu pemanasan lebih lanjut maka jumlah kristal lebih besar dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsur dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas limbah ini kandungan Si lebih rendah dari gelas dengan kandungan limbah 20 % berat, sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi devitrifikasi.

(21)

Gambar 6. Tahap Nukleasi dan Pertumbuhan Kristal [8,9]

D. Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal pada Gelas Limbah.

Dari hasil percobaan dan perhitungan diperoleh prosen berat kristal dalam gelas limbah sebagai fungsi suhu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak bahwa pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat memiliki pola yang mirip satu dengan yang lainnya yaitu semakin tinggi suhu pemanasan maka jumlah kristal yang terjadi akan semakin meningkat sampai pada batas suhu pertumbuhan kristal maksimum yaitu suhu 950 0C. Hal ini terjadi karena pada suhu dibawah laju pertumbuhan kristal maksimum, kristalisasi dipengaruhi oleh tenaga aktivasi difusi [9]. Pada suhu 750 0C yaitu suhu di bawah laju pertumbuhan kristal maksimum, baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat, maka gelas limbah mempunyai viskositas yang sangat tinggi, sehingga pada suhu tersebut tenaga aktivasi difusi yang diperlukan sangat tinggi sehingga sulit terjadi kristalisasi dalam gelas limbah. Makin tinggi suhu, viskositas gelas limbah makin turun sehingga tenaga aktivasi difusi yang diperlukan makin rendah dan kristalisasi dalam gelas limbah makin mudah terjadi. Pada suhu tinggi, viskositas menurun sehingga gerakan atom-atomnya makin cepat dan akibatnya atom-atom sukar untuk mengatur diri membentuk kristal [9]. Hal ini terjadi pada suhu diatas 950 0C untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat

dimana kristalisasi tidak terjadi, karena pada kondisi ini gerakan atom-atom sangat cepat sehingga tidak dapat mengatur diri membentuk kristal.

Dari Gambar 7 juga tampak bahwa pemanasan pada suhu 950 0C dengan waktu pemanasan 18 jam untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat jumlah kristal yang terjadi adalah 4 %, sedangkan untuk kandungan limbah 30 % berat, jumlah kristal yang terjadi adalah 5 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsur dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas limbah ini kandungan Si lebih rendah dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat, sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi devitrifikasi.

(22)

0 1 2 3 4 5 6 750 850 950 1050 Suhu (0C) % Be ra t Kr is ta l WL 20 % WL 30 %

Gambar 7. Pengaruh suhu terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat yang dipanaskan selama 18 jam.

KESIMPULAN

Struktur gelas limbah adalah amorf, dapat terjadi perubahan struktur menjadi kristalin pada suhu dan waktu pemanasan tertentu. Kristal yang terjadi adalah Si, sedangkan unsur-unsur lain dalam gelas limbah tidak membentuk kristal.

Diagram TTT untuk gelas limbah yang diperoleh dari percobaan dapat untuk menentukan daerah terjadinya perubahan struktur gelas limbah yaitu dengan indikasi terjadinya kristalisasi. Pada suhu di atas 1050 0C tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi kristalisasi pada gelas limbah. Pada suhu 750 0C sampai pemanasan 25 jam tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi

kristalisasi pada gelas limbah. Kristalisasi mudah terjadi pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat.

Pemanasan sampai dengan 50 jam, prosen berat kristal yang terjadi pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat yang dipanaskan pada suhu 850 0C adalah 8,5 dan 9 % berat.

Kristal dalam gelas limbah yang terjadi maksimum pada suhu 950 0C, adalah 4 % berat untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat dan 5.% berat untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan selama 18 jam.

PUSTAKA

[1] Kobelev, A.P.: Vitrification of a surrogate for high-level wastes from the Savannah River facility (USA) in a commercial cold-crucible facility, Journal Atomic Energy, 102: 369-374, (2006).

[2] Sangeeta Deokattey, et.al.,: Borosilicate glass and synroc R&D for radioactive waste immobilization, Journal of the Minerals, Metals and Materials Society, 55: 48-51, (2003).

[3] Roth, G., and Weisenburger, S.: Vitrification of high-level liquid waste: glass chemistry, process chemistry and process technology, Nuclear Engineering and Design, 202: 197-207, (2000). [4] IAEA: Spent Fuel and High Level Waste:Chemical Durability and Performance under Simulated

Repository Conditions, TECDOC-1563, IAEA, Vienna (2006).

[5] Yalmal, V.S., et.al.: Preparation and characterization of vitrified glass matrix for high level waste from MOX fuel processing, Journal of Non-Crystalline Solids, 353: 4647-4653, (2005).

[6] Luo Shanggeng, Jiang Yaozhong and Liu Delu: Devitrification behaviour of GC-12/9B HLW-glass, Waste Management, 10: 23-27, (2000).

[7] IAEA: Characterization of Radioactive Waste Form and Packages, Technical Report Series No. 383, IAEA,Vienna, (1997).

[8] Spilman L.L, Hench and D.E. Clark: Devitrification and subsequent effects on the leach behavior of a simulated borosilicate nuclear waste glass, Nuclear and Chemical Waste Management 6: 107-119, (1996)..

[9] Alton, J., Plaisted, T. J. and Herma, P.: Kinetics of growth of spinel crystals in a borosilicate glass, J. Chemical engineering science, 57: 2503-2509, (2002).

(23)

[10] Oak Ridge National Laboratory, RSICC: Computer Code Collection Origen 2.1, ORNL, USA (1996).

[11] Kanwar Raj and Kaushik, C.P.: Glass Matrices for Vitrification of Radioactive Waste: an Update on R & D Efforts, Materials Science and Engineering, 2: 1-6, (2006).

[12] Crankovic , G.M.: Materials Characterization, ASM International, USA, (1986).

[13] Czichos, Horst, et al.: Handbook of Materials Measurement Methods, Springer, Berlin (2006). [14] Yang Leng: Materials Characterization: Introduction to Microscopic and Spectroscopic Methods,

John Wiley & Sons, New York (2006).

(24)

APLIKASI METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES

(AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH RESIN CAIR

Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita

Pusat Penelitian Kimia-LIPI

Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH

RESIN CAIR. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair bahan resin adalah senyawa-senyawa organik yang biasanya dapat merupakan racun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan resin, penelitian merekomendasikan instalasi air limbah (IPAL) dengan menggunakan instrumentasi metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Untuk dapat meningkatkan efektifitas dan standar baku mutu buang limbah cair dari bahan resin, maka diusulkan adanya perubahan cara pengolahan air limbah dengan metode AOP yaitu dengan mengkombinasikan ozon dan ultraviolet.

Kata kunci: Instrumentasi, Ozon, ultraviolet, AOP, polutan, resin, baku mutu

ABSRACT

APPLICATION OF ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) METHOD FOR LIQUID RESIN WASTE TREATMENT. Ingeneral main polutan that contain in liquid waste resin materials is organic compounds that usually as a poisoned that can contaminate water environment and air when it thrown away directly to environment in the large number. To overcome polutan that implied in liquid waste resin materials, research recommends waste treatment facility (WTF) by using instrumentation of Advanced Oxidation Processes (AOP) method. To improve efectivity and quality standard of liquid waste from resin materials, for that reason proposed the changing of waste water treatment with AOP method combine ozone and ultraviolet treatment.

Keyword: Instrumentation, Ozone, ultraviolet, AOP, polutan, resin, standard quality

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1981, para peneliti mulai menguji penggunaan ozon sebagai bagian dari proses reklamasi air. Penelitian awal menunjukan bahwa dosis ozon tertentu diperlukan untuk mencapai tingkat spesifik penyuci-hamaan [1]. Literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling signifikan

dimana mempengaruhi persyaratan dosis ozon adalah effluent chemical oxygen demand (COD),

influent kepadatan bakteri, dan target effluent kepadatan bakteri.

Plasma adalah zat keempat disamping zat klasik, padat , cair dan gas. Zat plasma ni diketemukan oleh ilmuan Amerika , Irving Langmuir 1881-19570 dalam percobaanya melalui filamen tungsten dengan prinsip mengalirnya arus listrik akan menunjukan adanya ionisasi yang mengakibatkan terbentuknya ion serta elektron pada udara diantara dua elektroda yang diberi tegangan listrik yang cukup tinggi (< 10 kV) [2]. Semakin besar tegangan listrik yang diberikan, semakin banyak jumlah ion dan electron yang terbentuk. Aksi–reaksi yang terjadi antara ion dan electron dalam jumlah banyak akan menimbulkan kondisi udara dua elektroda menjadi netral, peristiwa inilah yang disebut plasma.

Dewasa ini teknologi plasma banyak digunakan dalam berbagai bidang industri, seperti industri elektronik, material, kimia dan obat-obatan. Selain dari pada itu teknologi plasma dimanfaatkan juga untuk mengolah limbah cair dan gas.

Sistem pengolah limbah cair yang ada umumnya mempergunakan cara kombinasi antara pemakaian clorine, sistem kondensasi, sedimentasi dan filtrasi. Sedangkan untuk mengolah limbah cair

organik banyak mempergunakan mikrobiologi, karbon aktif atau membran filtrasi tidaklah cukup untuk limbah organik yang semakin banyak. Untuk masalah limbah organik ini, teknologi ozon mulai dipergunakan.

Sesuai dengan fungsinya, instalasi pengolahan air limbah ini dapat dipakai untuk pengolahan air limbah domestik yang didalamnya banyak terkandung berbagai jenis senyawa kimia dan

(25)

19

mikroorganisma yang dapat merusak lingkungan dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat disekitarnya.

Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair mengandung bahan peroxide

adalah senyawa-senyawa organik beracun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan peroxide, penggunaan cara oksidasi merupakan proses utama dalam proses pengolahan air limbah dengan teknologi ozon ini. Oksidasi sangat diperlukan dalam proses penguraian senyawa-senyawa kimia organik dan sebagian anorganik.

Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh kementrian negara lingkungan hidup dimana setiap perusahaan wajib untuk dapat mengatasi dan mengurangi jumlah bahan pencemar dalam limbah cair yang dihasilkan. Untuk itu perusahaan yang menggunakan bahan peroxide memerlukan adanya suatu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan limbah cair tersebut.

PERMASALAHAN

Pengembangan instalasi instrumentasi pengolahan limbah cair bahan peroxide menggunakan metode AOP dengan kombinasi ozon dan ultraviolet dimaksudkan agar limbah cair yang diolah dapat dibuang dengan aman dan memenuhi baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup [3].

Dari proses produksi perusahaan berbahan peroxide setiap harinya menghasilkan kurang lebih 10 m3/day limbah cair dengan kadar kandungan COD 116208 ppm di sampelA3-2 yang dinilai

sangat tinggi, sehingga limbah cair ini tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan air.

Konsep dasar sistem yang akan dibangun adalah sistem AOP dengan menggunakan ozon dan ultraviolet [4,5]. sebagai komponen utama sistem yang dikombinasikan dengan karbon aktif sebagai filtrasi pada tahapan terakhir.

Fungsi dari kombinasi ozon dan ultraviolet adalah untuk menghasilkan hydroxyl radikal (⋅OH) ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2), dimana sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V)[3,6]. Sedangkan lampu ultraviolet pada panjang gelombang tertentu (λ = 254 m) akan efektif dalam proses membunuh bakteri. Hal ini menjadikan kombinasi ozon dan ultraviolet sangat potensial untuk mengoksidasi berbagai senyawa organik, minyak, dan bakteri yang terkandung didalam air.

O3 + UV→ O2 + O(1D) (1)

O(1D) + H2O → 2 ·OH (2)

Rangkaian dasar sistem yang diajukan adalah sebagai berikut, Gambar 1,

wastewater

AOP

filtration

clearwater

Gambar 1. Konsep dasar pengolahan limbah bahan peroxide dengan teknologi AOP

(26)

Gambar 3. Skema Sistem Instalasi AOP dan Laboratorium

Gambar 4. Rangkaian unit AOP dan Gambar 5. Alat ozone generator

TATA KERJA

Sistem instrumentasi yang digunakan adalah metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Sistem AOP yang dipergunakan adalah kombinasi antara Ozon-UV-H2O2 dan karbon aktif (Gambar 2).

Sistem AOP bekerja memanfaatkan hydroxyl radical (·OH) yang dihasilkan dari reaksi antara kombinasi Ozon-UV-H2O2 dalam air. Karbon aktif bekerja dalam membantu proses absorpsi mikro polutan hasil

oksidasi dari sistem AOP.

Sistem instalasi AOP ditunjukkan dengan skema seperti pada Gambar 3. Dari skema percobaan ini dapat dijelaskan tahapan-tahapan proses pengolahan air limbah sebagai berikut:

Air limbah dilewatkan ke unit AOP untuk direaksikan dengan O3-UV- H2O2. Proses oksidasi

terjadi di unit AOP. Air limbah yang sudah teroksidasi dilewatkan unit karbon (CA), selanjutnya air limbah yang sudah melewati tahapan-tahapan tersebut kemudian di analisa kadar COD-nya.

(27)

21

Gambar 6 Lokasi Pengambilan Air Limbah Cair untuk diproses dengan alat AOP Peralatan instrumentasi yang digunakan dalam uji laboratorium adalah:

a) Unit AOPs skala Laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr. (Gambar 4) b) Unit filter CA skala laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr.

c) Ozone generator kapasitas maks 6 gr/hr (Gambar 5)

d) Oxygen (tabung) kapasitas 7m3 e) H2O2 konsentrasi 50% 1 ltr

Sampel limbah yang akan diuji cobakan diambil dari 7 titik tempat pengumpulan limbah berdasarkan jenis limbah dan pengolahannya (Gambar 6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji lapangan dilakukan dengan peralatan instrumentasi pengolah limbah cair AOP berjalan (mobile), dengan spesifikasi :

Metoda : Ozone – UV (AOP) Kapasitas: Maksimum 1 m3/jam Daya: 750 watt

Hasil pengolahan menggunakan AOP

Tabel 1. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP

No Sampel Result Sampel Result Persentase

Before AOP COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]

1 A1-2 8842 B1-2 3763 57.44 2 A2-2 1521 B2-2 117 92.33 3 A3-2 116208 B3-2 43580 62.50 4 A4-2 597 B4-2 53 91.17 5 A5-2 36800 B5-2 19400 47.28 6 A6-2 1097 B6-2 36 96.76 7 A7-2 141 B7-2 45 67.90

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7

(28)

Gambar 7. Penurunan kandungan COD Before dan After AOP Tabel 2. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP

No Sampel Result Sampel Result Persentase

Before AOP COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]

1 A1-3 6888 B1-3 2952 57.14 2 A2-3 1005 B2-3 64 93.63 3 A3-3 131750 B3-3 32860 75.06 4 A4-3 57 B4-3 10 82.46 5 A5-3 31842 B5-3 15670 50.79 6 A6-3 1033 B6-3 69 93.30 7 A7-3 248 B7-3 22 91.33

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7

Pengambilan Sampel : Tahap kedua

(29)

23

Tabel 3. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP P

No Sampel Result Sampel Result Persentase

Before AOP COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]

1 A1-4 43042 B1-4 2364 94.51 2 A2-4 2082 B2-4 165 92.10 3 A3-4 123333 B3-4 8567 93.05 4 A4-4 0 B4-4 0 0.00 5 A5-4 33992 B5-4 13217 61.12 6 A6-4 1278 B6-4 229 82.10 7 A7-4 293 B7-4 33 88.61

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7

Pengambilan Sampel : Tahap ketiga

Gambar 9. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP Tabel 4. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP

No Sampel Result Sampel Result Persentase

Before AOP COD [ppm] After AOP COD [ppm] [%]

1 A1-10 5500 B1-10 1454 73.56 2 A2-10 1175 B2-10 389 66.89 3 A3-10 143833 B3-10 16520 88.51 4 A4-10 0 B4-10 0 0.00 5 A5-10 39517 B5-10 10217 74.15 6 A6-10 1363 B6-10 310 77.26 7 A7-10 214 B7-10 50 76.58

Lokasi Pengolahan : Titik 1 s/d Titik 7

Gambar

Tabel 1. Komposisi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat.
Gambar 1.  Struktur mikro gelas limbah hasil pengamatan dengan mikroskop optik (perbesaran   260 kali)
Gambar 2. Struktur gelas-limbah amorf
Gambar 4A.  Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Setelah bertemu dengan tujuannya, tokohnya akan pulang dan menerapkan segala hal yang ditemuinya di perjalanan untuk hidup selanjutnya. Pada akhir perjalanan, tokoh

Dalam proses ini penulis akan menggabungkan dari beberapa scene dari hasil rendering animasi agar tergabung menjadi suatu kesatuan cerita yang beruntut sesuai dengan sinopsis dan

Ketepatan kebijakan, ditunjukkan dengan perumusan program yang sesuai dengan permasalahan di masyarakat yaitu penanggulangan kemiskinan, dibuat oleh lembaga yang berwenang menyusun

Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006 : 419) menyatakan bahwa kompensasi dapat mengikat.. karyawan, kompensasi memberikan dorongan untuk menyelesaikan pekerjaan,

Berdasarkan peraturan menteri dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan desa disebutkan bahwa alokasi dana desa berasal dari APBD kabupaten/kota

SURYA KONSTRUKSINDO UTAMA sampai saat ini telah berhasil melaksanakan beberapa pekerjaan proyek pertambangan kontruksi, dan Jasa yang telah dipercayakan oleh para

Salah satu contoh penggunaan regresi berganda dibidang pertanian diantaranya ilmuwan pertanian menggunakan analisis regresi untuk menjajagi antara hasil pertanian

dan dinyatakan sebagai Lethal Concentration (LC), ANOVA One Way untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap jumlah kematian larva dan uji Tukey untuk