• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Mei 2015. Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Kelompok Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Poklahsar) Kemiling Permai Kota Bengkulu melakukan preparasi ikan lele, pre-cooking dan proses pengasapan, Laboratorium Teknologi Industri Pertanian Universitas Bengkulu untuk pengujian organoleptik, BPTP Propinsi Bengkulu untuk pengujian kadar air penelitian tahap I, Laboratorium Teknologi Hasil Ternak FAPET IPB untuk pengujian aw, Laboratorium Kesehatan Ikan Aquakultur FPIK IPB melakukan preparasi dan persiapan preparat untuk uji histologi, Laboratorium Terpadu FPIK IPB untuk pengambilan gambar histologi dari preparat daging ikan lele yang menggunakan kamera digital dan mikroskop, Laboratorium Ilmu dan Hama Penyakit Tanaman Universitas Bengkulu untuk pengujian TVB dan TPC ikan lele asap, Laboratorium PAU IPB untuk pengujian kadar proksimat.

Bahan dan Alat

Bahan utama dalam penelitian adalah ikan lele (Clarias sp.) dengan ukuran panjang 27–28 cm dengan berat 120–121 gram. Ikan lele didapatkan dari Pokdakan Kemiling Permai Kelurahan Pekan Sabtu Kota Bengkulu. Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan 100% (Brataco), Xylol, Parafin, Buffer Neutral Formalin (BNF), larutan Eosin, larutan Bouin’s, pewarna

haematoxilin, aquades, BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl, bahan kemasan yaitu plastik jenis PE (Polyethylene) dengan ukuran berat 1 kg, Ice pack dengan bahan dasar plastik plate/gepeng, warna biru, ukuran kecil 20x8x3cm, berat 620 gram, ukuran besar 30x22x3cm, berat 2 kg, pembekuan ice pack menggunakan kulkas rumah tangga, chest freezer atau LTU, daya tahan ice pack 12 jam dalam styrofoam box type low, coolerbag/coolbox sesuai spesifikasi lapisan insulinnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu rumah pengasapan ( bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bengkulu), termometer, aw meter (Shibaura aw meter), alat pengukus, cawan porselen, mikrotom, mikroskop binokuler Olympus (U-RFLT 50), kamera digital merk Canon, oven, inkubator merk Heraeus, Laminer Air Flow merk Bassaire 04 HB, autoclave KT-40S, Alat titrasi, kayu bakar mahoni (Swietenia macrophylla). Kayu tersebut merupakan limbah dari kegiatan hasil pemangkasan pohon yang dilakukan oleh Dinas Pertamanan Kota Bengkulu.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi pengambilan sampel, preparasi (penyiangan dan pencucian), pre-cooking, pengasapan panas, pengujian organoleptik, analisis kadar air, analisis aw, analisis histologi (parafin) dengan pewarnaan hematoxilin-eosin, pengujian TVB, Pengujian TPC dan analisis proksimat. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

6

tahap 1

tahap 2

tahap 3

Gambar 2 Tahapan penelitian. Lele asap

Lele asap dengan waktu pre-cooking terbaik - Uji TVB - Uji TPC - Uji Proksimat - Uji organoleptik penyimpanan Penyimpanan suhu

ruang tanpa kemasan 0,3,6,9,12 hari

Teknik pengemasan: Tidak dikemas Kemas biasa

Kemas blue ice/ice pack

-Uji organoleptik pengemasan dan penyimpanan Ikan lele segar

Penyiangan sampai berbentuk butterfly Pre-cooking Suhu : 100 oC Waktu: 5, 10, 15 menit Pengasapan panas Suhu: 90 oC Waktu: 7 jam Penyimpanan 0,3,6,9,12,15,18,21 hari Uji organoleptik

Uji kadar air

Uji aw Pencucian

Kontrol (lele asap tanpa

pre-cooking)

Lele pre-cooking terbaik

Uji proksimat

7

Ikan lele hidup dimatikan dengan cara memukul kepalanya menggunakan pisau. Penyiangan dilakukan dengan cara membuang isi perut dan insang terlebih dahulu, setelah itu dibentuk butterfly atau dibelah dari bagian perut/punggung tetapi tidak sampai menjadi dua bagian yang terpisah. Ikan tersebut selanjutnya dicuci dalam air mengalir agar sisa kotoran yang masih menempel pada daging ikan terbuang.

Pre-cooking dilakukan dengan waktu pemasakan 5, 10 dan 15 menit pada suhu 100oC menggunakan kukusan. Ikan yang telah dipre-cooking disusun dalam 5 tingkat rak pengasapan. Posisi ikan disusun secara horizontal pada masing-masing rak dan diasap dengan suhu awal yaitu 35oC selama ± 2 jam bertujuan menjaga kematangan daging ikan lele asap. Pada tahap ini dilakukan rotasi pemindahan rak-rak ikan dari posisi bawah ke atas dan sebaliknya dalam waktu 15 menit, hal ini bertujuan untuk mengontrol supaya daging ikan lele matang dan menjaga kenampakan organoleptik. Tahap berikutnya dilakukan proses pengasapan panas pada suhu 90oC selama 5 jam. Lele asap diletakkan pada wadah keranjang dan diangin-anginkan pada suhu ruang. Ikan lele asap selanjutnya diuji organoleptik dan dianalisis kimia sesuai dengan tahapan penelitian. Gambar alat pengasapan disajikan pada Gambar 3

Gambar 3 Rancangan pengasapan : a. Rumah pengasapan; b. Penyusunan ikan di atas rak pengasapan.

Prosedur Analisis

Analisis sampel dilakukan terhadap ikan lele (bahan baku) dan juga pada produk yang telah diasapi selama masa penyimpanan, yang meliputi: proksimat, TVB, uji aw, mikrobiologis, uji organoleptik, uji histologi pada lele segar, hasil pre-cooking dan pengasapan. Prosedur analisis sampel secara rinci adalah sebagai berikut:

Uji proksimat

Uji proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari daging ikan lele. Analisis yang dilakukan meliputi kandungan air, lemak, abu dan protein. a) Uji kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan didinginkan sampai suhu ruang kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam. Cawan tersebut

8

dimasukkan ke dalam desikator dan didinginkan sampai suhu ruang selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air pada daging ikan lele dan ikan lele asap:

Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)

ℎ = ℎ� %

b) Uji kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan diatas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Sampel dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 400oC selama 1 jam, didinginkan sampai suhu ruang, lalu ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – cawan kosong (g)

= %

c) Uji kadar total nitrogen dan protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam uji protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 mL, lalu ditambah 7 g K2SO4, kjeldahl 0.005 g jenis HgO dan 15 mL H2SO4 pekat dan 10 mL H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih 2 jam atau cairan sampai berwarna hijau bening.

Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 mL, kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0.1% dan methyl red 0.1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100–150 mL destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:

%N = � � − � � � 4, 7 %

% protein = % N x FK

*) FK = faktor konversi = 6.25 d) Uji kadar lemak (AOAC 2005)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105oC) ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan

9

kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung Sokhlet. Sebanyak 150 mL kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak lalu labu lemak dikeringkan dengan oven 105oC selama 30 menit. Labu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan rumus:

% = ℎ� − %

e) Uji kadar karbohidrat (AOAC 2005)

Kandungan karbohidrat dihitung dengan metode by difference dengan rumus kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak) Uji mikrobiologi: TPC (Total Plate Count) ( SNI 01-2332.1-2006)

Ikan lele asap sebanyak 5 gram dilarutkan dalam 45 mL larutan pengencer butterfield’s phosphate buffered sehingga diperoleh pengenceran 10-1 (1:10). Selanjutnya dibuat pengenceran berturut-turut 10-2 dan seterusnya sesuai kebutuhan, dibuat juga untuk duplo. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptik.

Sampel hasil pengenceran diambil sebanyak 1 mL ke dalam cawan petri, setelah itu ke dalam cawan petri dimasukkan media Plate Count Agar (PCA) sebanyak 10–15 mL. Cawan yang telah ditutup digerakkan di atas meja secara hati-hati membentuk angka 8 untuk menyebarkan sel mikroba secara merata. Agar yang telah memadat diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35oC dengan posisi terbalik selama 1–2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total mikroba per gram contoh. Perhitungan jumlah koloni dilakukan menggunakan Quebec Colony Counter.

Perhitungan Angka Lempeng Total sebagai berikut :

� =[ + , ]

Keterangan :

N = jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g; ∑C = jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung;

= jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung; = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung; d = pengenceran pertama yang dihitung.

Uji biokimia

a. Uji TVB (Total Volatile Bases) Metode Conway (AOAC 1995)

Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di- dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut diikat oleh asam borat, lalu dititrasi dengan larutan HCl. Metode analisis TVB ditetapkan dengan metode conway. Penyiapan ekstraksi daging sampel dilakukan dengan menimbang 5 g daging ikan, dihancurkan dalam sebuah mortar dengan

10

menambahkan 10 mL larutan TCA 7.5%, lalu ekstraksi daging ikan disaring dengan kertas saring.

Sebanyak 1 mL larutan H3BO3 1% dan beberapa tetes larutan indikator methyl red dan bromo cresol green dipipet ke inner chamber, kemudian 1 mL larutan ekstrak daging ikan dipipet ke outer chamber. Penutup cawan yang permukaannya telah diolesi rata dengan vaselin, diletakkan pada rumahnya dengan posisi sedikit terbuka. Sebanyak 1mL K2CO3 jenuh dipipet ke outer chamber bagian lain, kemudian cawan ditutup rapat dan diputar perlahan sampai larutan sampel bercampur dengan K2CO3 jenuh. Bersamaan dengan pekerjaan tersebut dibuat blanko yang berisi larutan TCA. Cawan disimpan dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 80 menit atau dalam suhu kamar selama 24 jam. Titrasi bagian inner chamber dengan menggunakan larutan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi adalah pada saat H3BO3 kembali berwarna merah muda kemudian dicatat berapa banyak (mL) asam klorida yang digunakan untuk mentitrasi.

Perhitungan TVB dapat dihitung dengan rumus:

TVB ( N ) = 4 % Keterangan: N = Konsentrasi HCl fp = Faktor pengenceran b = mL titrasi blanko a = mL titrasi sampel b. Uji aw (aktivitas air) (AOAC 1984)

Penentuan nilai aktivitas air dari produk diukur menggunakan alat pengukur aw (Shibaura aw meter). aw meter dikalibrasi sebelum digunakan dengan cara memasukkan garam ke dalam wadah yang telah tersedia. Jenis garam yang digunakan adalah BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl dan KCl. Pengukuran nilai aw dilakukan dengan cara memasukkan sampel yang akan diukur dalam wadah yang tersedia pada alat tersebut, kemudian sampel didiamkan kurang lebih 15 menit, setelah itu dilihat nilai aw yang tertera pada alat tersebut.

Uji histologi dengan pewarnaan HE(Gunarso 1989)

Sampel kulit dan daging ikan diambil untuk dibuat preparat. Sampel yang akan diamati struktur jaringannya dipotong kecil dan difiksasi dalam larutan BNF untuk mengawetkan jaringan. Tahap dehidrasi meliputi perendaman sampel dalam alkohol 70% selama 24 jam, perendaman dalam alkohol 80%, 90%, 95% (1), 95% (2) dan etanol absolut (1) masing-masing selama 2 jam, kemudian perendaman dalam etanol absolut tahap 2 selama 1 jam. Pemindahan sampel ke dalam larutan alkohol dan xylol dilakukan selama 30 menit, sampel dipindahkan ke larutan xylol bagian ke-1, ke-2 dan ke-3 masing-masing selama 30 menit, dilanjutkan dengan pemindahan sampel ke larutan xylol dan parafin selama 45 menit pada suhu 55°C. Tahap embedding dilakukan dengan cara memasukkan sampel ke dalam parafin 1, 2, dan 3 masing-masing selama 45 menit. Parafin dicetak dalam kotak yang terbuat dari kertas dan sampel diletakkan didalamnya dengan posisi yang sesuai. Penyayatan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan irisan 7–9 µm dan

11

sayatan diletakkan di atas gelas objek yang telah diberi perekat. Proses pewarnaan jaringan dilakukan menggunakan pewarna haemotoxilin dan eosin. Selanjutnya preparat diamati dengan menggunakan mikroskop.

Uji organoleptik

Pengujian mutu organoleptik skala hedonik terhadap ikan lele asap berdasarkan SNI 2752.1: 2009 (BSN 2009) dan SNI 2752: 2013 untuk pengolahan ikan asap dengan pengasapan panas.

Pada penelitian ini sifat sensori yang diujikan kepada 30 orang panelis. Kriteria responden adalah 10 orang semi terlatih yaitu pengolah lele asap, 20 orang tidak terlatih yaitu Dosen, karyawan dan mahasiswa Universitas Bengkulu. Scoresheet organoleptik ikan asap dengan pengasapan panas disajikan pada Lampiran 1.

Uji statistik (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Perlakuan yang diamati terdiri dari dua faktor, yaitu perlakuan perbedaan waktu pre-cooking dan lama penyimpanan. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0: Waktu pre-cooking dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap karakteristik mutu ikan lele asap

H1: Waktu pre-cooking dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap karakteristik mutu ikan lele asap

Model rancangan yang digunakan sebagai berikut:

Keterangan :

Yij = respon karena pengaruh perlakuan ke-i dan ke-j

μ = rata-rata populasi

αi = pengaruh taraf ke-i dari faktor waktu pre-cooking

βj = pengaruh taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

(αβ)ij = pengaruh kombinasi taraf ke-i dari faktor waktu pre-cooking dan taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

εij = galat karena pengaruh perlakuan

Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika analisisnya berbeda

nyata pada selang 95% (α= 0.05%) maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Data hasil pengamatan organoleptik dianalisa menggunakan metode statistik non parametrik yakni Uji Dunn.

12

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Organoleptik Lele Asap

Hasil uji organoleptik terhadap lele asap dengan atribut kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir disajikan pada Gambar 4. Perlakuan kontrol dari masing-masing atribut penilaian ikan asap menunjukkan nilai yang tertinggi untuk kenampakan, bau dan rasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa panelis sangat menyukai lele asap tanpa proses pre-cooking (PC). Rumah pengasapan dengan metode pengasapan panas yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Lampiran 2a. Nilai organoleptik lele asap tanpa PC (pre-cooking) masih sesuai dengan SNI 2752.1: 2009 dengan kisaran rata-rata kenampakan (8.13), bau (8.46) dan rasa (8.66).

Berdasarkan Gambar 4, nilai organoleptik untuk kenampakan terendah yaitu pada perlakuan pre-cooking 15 menit dan yang tertinggi yaitu kontrol atau proses lele asap tanpa pre-cooking, karena kenampakannya masih utuh dengan warna coklat keemasan serta nilai organoleptik yang dihasilkan rata-rata 8. Hal ini menunjukkan bahwa spesifikasi kenampakan lele asap tanpa proses pre-cooking sangat diterima dan disukai oleh panelis, sedangkan lele asap dengan proses pre-cooking kenampakannya tidak utuh dan berwarna kusam. Ikan asap dengan pengasapan panas, nilai 7–9 untuk spesifikasi kenampakan harus utuh dan warna mengkilap sehingga produk layak untuk dipasarkan dan didistribusikan kepada para konsumen (BSN 2013). Swastawati et al. (2013) melaporkan bahwa ikan lele (Clarias batrachus) dan patin yang diasapi menggunakan smoking cabinet memiliki kenampakan yang lebih bersih, dan warna coklat keemasan yang menarik. Pratama (2011) menyebutkan bahwa pengasapan menimbulkan intensitas aroma atau bau yang fatty dan rasa sweet yang lebih tinggi. Nilai organoleptik tekstur tidak memiliki pengaruh yang signifikan (P>0.05) terhadap sampel perlakuan. Proses pre-cooking membuat kenampakan dari ikan sudah lunak dan agak patah bila dibandingkan dengan ikan segar yang masih kenyal. Lele dengan waktu pre-cooking 10 dan 15 menit kemudian dilakukan pengasapan dengan lama waktu 7 jam dan suhu pengasapan 90oC membuat kenampakan dari lele asap semakin jelek dengan penampilan yang tidak utuh lagi serta kusam. Organoleptik bau pada perlakuan kontrol dan pre-cooking 5 menit masih disukai konsumen. Asap yang dihasilkan dari bahan bakar kayu keras dan lama proses pengasapan juga berpengaruh terhadap organoleptik bau. Dea et al. (2011) menyatakan bahwa atribut sensoris yang paling disukai adalah aroma atau bau. Bau yang dihasilkan pada smoked fish berasal dari asap hasil pembakaran serbuk kayu secara langsung. Organoleptik rasa menunjukkan perlakuan lele asap tanpa pre-cooking berbeda secara signifikan dengan perlakuan lele asap yang mengalami pre-cooking terlebih dahulu dengan lama waktu yang bervariasi yaitu 5 , 10, dan 15 menit. Proses pre-cooking dapat mengeluarkan lemak atau minyak yang terdapat pada ikan sehingga rasa gurih akan hilang (Josupeit dan Catarci 2004).

13

Gambar 4 Hasil pengujian organoleptik lele asap tanpa penyimpanan. Kontrol; PC 5 menit; PC 10 menit; PC 15 menit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter organoleptik yang dihasilkan (p<0.05). Semakin lama waktu pre-cooking menyebabkan parameter organoleptik yaitu kenampakan, bau, rasa dan tekstur dari ikan lele asap mengalami penurunan. Parameter organoleptik dari kenampakan, bau, dan rasa ikan lele asap yang dipre-cooking mengalami penurunan dan kurang disukai konsumen, hal ini dikarenakan ikan lele asapnya sudah tidak utuh lagi dan aroma asapnya hilang seiring dengan adanya proses pemanasan. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa setiap perlakuan lama pre-cooking memiliki nilai organoleptik yang berbeda nyata, lele asap dengan pre-cooking 5 menit adalah yang disukai panelis. Hasil pre-cooking ikan lele asap dengan waktu 5, 10 dan 15 menit ditunjukkan pada Lampiran 2b, 2c dan 2d.

Kadar Air Lele Asap

Hasil pengujian kadar air disajikan pada Gambar 5. Nilai kadar air berkisar antara 16.23%–19.66%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air lele asap masih sesuai dengan SNI 2752.1: 2009 tentang kadar air ikan asap yaitu maksimal 60%. Pre-cooking dapat menyebabkan berkurangnya kadar air. Penurunan kadar air dapat dipengaruhi oleh suhu pre-cooking, suhu pengasapan dan lama waktu pengasapan. Gordianus et al. (2013) menyatakan bahwa kadar air dapat dipengaruhi oleh suhu, lamanya waktu pengasapan dan pengeringan serta juga lamanya ikan yang telah mengalami penyimpanan setelah proses pengolahan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air yang dihasilkan (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan lele asap tanpa pre-cooking berbeda nyata dengan lele asap pre-cooking 5 dan10 menit. Swastawati et al. (2014) menyatakan bahwa kadar air pada ikan asap semakin berkurang dikarenakan kadar air bebas yang terkandung pada ikan asap mengalami penguapan sejalan dengan semakin tinggi suhu dan lama pengasapan. Kadar air fillet ikan rainbow trout (Onchorhyncus mykiss) yang diasap selama 3 jam dengan suhu 80–90oC mengalami pengurangan kadar air sebesar 11.1% (Oguzhan dan Angis 2013).

a a a a a a b b b a a a c c c b a a d c c c a a 0 2 4 6 8 10 12

kenampakan bau rasa tekstur jamur lendir

N il ai O rgan ol ep tik ( -) Parameter Organoleptik

14

Gambar 5 Pengaruh pre-cooking terhadap kadar air lele asap. Nilai aw Lele Asap

Hasil pengujian aw disajikan pada Gambar 6. Nilai aw terendah yaitu 0.81 dan tertinggi 0.82. Hal ini menunjukkan bahwa produk lele asap tanpa dan dengan pre-cooking dapat diklasifikasikan sebagai produk pangan semi basah. Peta stabilitas pangan menginformasikan bahwa pertumbuhan bakteri mulai terjadi pada aw≥ 0.8, pertumbuhan khamir mulai berlangsung pada aw sedikit lebih rendah yaitu aw ≥ 0.75, sedangkan pertumbuhan kapang dimulai pada aw ≥ 0.7. Dalam hal perubahan kimia, peta ini menginformasikan bahwa reaksi enzimatis mulai berlangsung di sekitar nilai aw = 0.3 dan meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya aktifitas air. Pengaruh aw terhadap laju reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis juga dijelaskan dalam peta stabilitas pangan (Arpah 2001).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw yang dihasilkan (p>0.05). Hal tersebut disebabkan karena kandungan air dalam lele asap yang cukup tinggi. Adanya proses adsorpsi menyebabkan lele asap bersifat higroskopis, karena uap air yang berasal dari udara terserap oleh lele asap (Arpah 2007). Montiel et al. (2012) melaporkan bahwa nilai aw ikan cod asap yang diproses dengan tekanan tinggi juga meningkat seiring lamanya penyimpanan, disebabkan karena bahan makanan sebelum dan sesudah diolah bersifat dapat menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (Labuza dan Schmidl 1985).

Gambar 6 Pengaruh pre-cooking terhadap aw lele asap. a b b 0 5 10 15 20 25

Tanpa PC PC 5 menit PC 10 menit

K ad ar air (% ) a a a 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

Tanpa PC PC 5 menit PC 10 menit

Nilai

aw(

15

Karakterisasi Histologi Lele Asap

Hasil pengamatan terhadap histologi lele segar, lele kukus (pre-cooking), lele asap, dan lele pre-cooking asap disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Histologi daging lele dengan mikroskop elektron perbesaran 40 kali. A. Lele segar; B. Lele Pre-cooking; C. Lele asap; D. Lele asap pre-cooking.

Perubahan jaringan lele segar (Gambar 7A) menunjukkan jaringan otot dan kulit ikan lele segar belum mengalami kerusakan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari sebagian miomer dan sarkolema yang masih utuh, kompak, dan teratur. Miomer adalah bagian otot daging yang bersegmen, sedangkan sarkolema adalah membran yang melapisi sel otot daging atau miomer. Siburian et al. (2012) menyatakan bahwa pada ikan yang masih segar dagingnya elastis dan berwarna cerah, apabila ditekan tidak menimbulkan bekas yang permanen.

Perubahan jaringan lele pre-cooking (Gambar 7B) menunjukkan hanya sebagian miomer kompak dan masih utuh, miomer yang lain mulai terjadi kerusakan diantaranya berupa celah memanjang dan terbentuknya benang-benang fibril yang berkelok. Penelitian yang dilakukan Jacoeb et al. (2013) melaporkan bahwa pengukusan ikan yang berlangsung 10 menit dengan suhu 100oC struktur dagingnya cukup kompak dan sebagian masih rapat, hal ini menunjukkan

Dokumen terkait