• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pre Cooking Terhadap Karakteristik Dan Umur Simpan Lele (Clarias Sp) Asap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pre Cooking Terhadap Karakteristik Dan Umur Simpan Lele (Clarias Sp) Asap"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

PRE-COOKING

TERHADAP KARAKTERISTIK DAN

UMUR SIMPAN LELE (

Clarias sp.

) ASAP

VENNY YULIASTRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Kajian Pre-cooking terhadap Karakteristik dan Umur Simpan Lele (Clarias sp.) Asap” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

VENNY YULIASTRI. Kajian Pre-cooking terhadap Karakteristik dan Umur Simpan Lele (Clarias sp.) Asap. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan UJU.

Ikan lele merupakan komoditas unggulan dalam perikanan budidaya air tawar. Protein ikan lele sebesar 15–20% dan lemaknya kurang dari 5%. Untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan lele salah satunya dengan melakukan pengolahan ikan lele asap. Pengasapan ialah proses pengolahan dan pengawetan ikan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, memberikan warna, rasa dan bau yang khas pada ikan olahan serta membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Harga lele segar berkisar Rp13 000–Rp15 000/kg dan dibutuhkan 4 kg lele segar untuk menghasilkan 1 kg lele asap, setelah dijadikan lele asap harganya meningkat menjadi Rp70 000–Rp120 000/kg.

Masalah yang muncul pada pengasapan ikan adalah umur simpan yang pendek dan ditumbuhi jamur sehingga menyebabkan bau menjadi tengik dan perubahan tekstur. Alternatif teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah teknik pre-cooking. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pre-cooking dan pengasapan terhadap perubahan mutu serta penyimpanan dan pengemasan pada suhu ruang terhadap umur simpan ikan lele asap. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah uji-uji organoleptik sebelum penyimpanan, kadar air, aw, histologi, organoleptik selama penyimpanan suhu ruang, nilai TVB (Total Volatile Bases), TPC (Total Plate Count), kadar proksimat, dan nilai organoleptik menggunakan kemasan yang disimpan pada suhu ruang.

Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa konsumen menyukai lele asap tanpa dan dengan pre-cooking selama 5 menit. Nilai kadar air lele asap berkisar antara 16.23%–19.66% masih sesuai dengan standar ikan asap yaitu maksimal 60%. Lele asap tanpa pre-cooking nilai aw (0.82), lele asap dengan pre-cooking 5 dan 10 menit nilai aw sama (0.81). Hasil pengamatan histologi menunjukkan lele segar sebagian miomernya masih utuh dengan sarkolema dan struktur jaringan daging masih rapat; lele pre-cooking, miomernya mulai terjadi kerusakan dengan terbentuknya benang fibril berkelok-kelok; lele asap tanpa pre-cooking, terbentuknya serat-serat fibril bergelombang yang terlepas satu dengan yang lainnya; dan lele pre-cooking asap, mioseptumnya rusak dan mengakibatkan jarak antar miomer membesar, sehingga mutu lele yang diproses mengalami penurunan.

Nilai organoleptik lele asap tanpa dan dengan pre-cooking selama penyimpanan 9 hari pada suhu ruang rata-rata 7 masih sesuai dengan SNI ikan asap sedangkan pada hari ke-12 sudah ditumbuhi jamur. Penyimpanan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking pada suhu ruang dapat menyebabkan peningkatan kadar TVB dan aktivitas mikroba. Kadar TVB meningkat menjadi (120.44 mg N/100 g dan TPC (5.03 log CFU/g) pada 12 hari penyimpanan sehingga sudah melebihi SNI ikan asap dan tidak layak untuk dikonsumsi. Lele asap tanpa dan dengan pre-cooking yang dikemas plastik polyethilene dan ice pack dalam wadah tertutup rapat yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai sensori antara 7–8 sehingga masih layak dikonsumsi selama 18 hari penyimpanan, hari ke-21 mikroba mulai tumbuh. Nilai proksimat lele segar: protein (86.88%), lemak (9.06%), abu (3.67%), karbohidrat (0.08%). Lele asap tanpa pre-cooking: protein (55.68%), lemak (28.7%), abu (9.11%), karbohidrat (5.36%). Lele asap dengan pre-cooking: protein (52.97%), lemak (27.59%), abu (9.85%), karbohidrat (8.53%).

(5)

SUMMARY

VENNY YULIASTRI. The study of pre-cooking characteristics and shelf life of

smoked catfish (Clarias sp.) Supervised by RUDDY SUWANDI and UJU. Catfish is one of the main comodities in freshwater aquaculture. It contains of 15–20% protein and less than 5% fat. Smoked catfish is one of processing method to increase the selling value of catfish. Smoked fish is a process and preserve of fish with the aim to reduce the water content in the body of the fish, giving it color, taste and flavour the typical processed fish on inhibit the growth of bacteria. The fresh catfish prices ranged Rp13 000–Rp15 000/kg and 4 kg of fresh catfish is needed to produce 1 kg of smoked catfish, smoked catfish was made after its price increased to Rp70 000–Rp120 000/kg.

However, the main issues of smoked catfish are short storage life and overgrown by fungus which result bad smell and texture changing. One of alternative technologies to overcome these problems is pre-cooking technique. This research aims is to study the effect of pre-cooking and smoking of catfish to its quality changing during storage and to study the effect of packaging at room temperature on shelf life. The observation parameters of studies were pre-storage organoleptic, moisture content, aw, histology, organoleptic at room temperature storage, TVB (Total Volatile Bases), TPC (Total Plate Count), and proximate levels.

The result showed that consumers prefered to smoked catfish with and without pre-cooking process for 5 minutes. The value of moisture content ranges from smoked catfish 16.23% to 19.66% still in according with the standards of the smoked fish, namely a maximum of 60%. Smoked catfish without any pre-cooking value aw (0.82), smoked catfish with pre-cooking 5 and 10 minutes aw values (0.81). Observation of histology describe that some of myomer with sarcolemma of fresh catfish are still intact and structured tightly of the connective tissue; Unlikely, the myomer of pre-cooking smoked catfish was damage which indicated by winding fibrils, then there are separated wavy fibril fibers on smoked catfish without pre-cooking. Myoseptum of pre-cooking smoked catfish was broken causing spaces enlarged between myomeres, so the quality of processed catfish decline.

The organoleptic value of smoked catfish with and without pre-cooking during the 9 days of storage at room temperature were an average 7 still fits with the SNI smoked fish standard, while fungus started grow on day 12th. Storage of smoked catfish with and without pre-cooking process in room temperature may cause increase on total volatile bases and microbe activity. TVB levels increased to (120.44 mg N/100 g) and TPC (5.03 log CFU/g) on day 12th exceeded the SNI standard of smoked catfish and cannot be consummed. Smoked catfish with and without pre-cooking which wrapped tightly on polyethilene plastic and ice pack and stored at room temperature have the organoleptic value between 7 to 8 and still edible till the 18th days of storage; on the 21st day of storage, some microbes started grow. Proximate value of fresh catfish for protein (86.88%), fat (9.06%), ash (3.67%), and carbohydrate (0.08%). The value smoked catfish without pre-cooking for protein (55.68%), fat (28.7%), ash (9.11%), and carbohydrate (5.36%). The value smoked catfish with pre-cooking for protein (52.97%), fat (27.59%), ash (9.85%), and carbohydrate (8.53%).

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KAJIAN

PRE-COOKING

TERHADAP KARAKTERISTIK DAN

UMUR SIMPAN LELE (

Clarias sp.

) ASAP

VENNY YULIASTRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian Pre-cooking terhadap Karakteristik dan Umur Simpan Lele (Clarias sp.) Asap ”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil dan Bapak Dr Eng Uju, SPi, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi serta bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc (ketua Program Studi THP), Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi (dosen GKM), dan Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi (selaku dosen penguji) yang telah banyak memberikan masukan, saran dan perbaikan selama penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Tarmizi dan Ibu Wana POKLAHSAR Kemiling Permai yang telah membantu dan memberikan ijin untuk melakukan pengasapan ikan.

4. Bapak Ranta dan Bapak Dr Ir Agoes M. Jacoeb Dipl Biol dari Laboratorium terpadu FPIK IPB yang banyak membantu untuk persiapan preparat dan dalam pembacaan hasil histologi.

5. Bapak Zulkifli, Mbak Yani dan Mas Eko dari Laboratorium Hama Penyakit dan Tanaman Universitas Bengkulu yang menyediakan fasilitas dan sekaligus membantu selama penelitian.

6. Bapak Iwan Setiawan selaku manajer operasional distributor Wall’s Propinsi Bengkulu yang telah membantu dan meminjamkan alat ice pack dalam penelitian pengemasan.

7. Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah memberikan dana beasiswa. 8. Ayahanda Sayudin Asmadi, SPd, Ibunda Masitah Sulastri, SPd, Suami dan

anakku tercinta Suyanto, SHut, MSi, Najdah Shafa Ramadhania dan Alya Nidaul Karimah serta ketiga orang saudaraku, Mama Vesy, Wak Dopi dan bungsu

Yeyen yang selalu memberikan do’a, semangat, motivasi, dan kasih sayang yang

tak terhingga, sehingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. 9. Seluruh teman-teman Pasca THP IPB angkatan 2011, 2012, 2013, 2014 yang

telah membantu dalam kelancaran penelitian, serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Bogor, Mei 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 METODOLOGI PENELITIAN 5

Waktu dan Tempat 5

Bahan dan Alat 5

Tahapan Penelitian 5

Prosedur Analisis 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Nilai Organoleptik Lele Asap 12

Kadar Air Lele Asap 13

Nilai aw Lele Asap 14

Karakterisasi Histologi Lele Asap 15

Nilai Organoleptik Lele Asap selama Penyimpanan 16 Kadar TVB dan TPC Ikan Lele Asap selama Penyimpanan Suhu Ruang 20 Kadar Proksimat Lele Segar, Lele Asap dan Lele Asap Hasil

Pre-cooking 22

Teknik Pengemasan Lele Asap selama Penyimpanan 23

4 SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 31

(16)
(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Roadmap penelitian 4

2 Tahapan penelitian 6

3 Rancangan pengasapan 7

4 Hasil pengujian organoleptik lele asap tanpa penyimpanan 13 5 Pengaruh pre-cooking terhadap kadar air lele asap 14 6 Pengaruh pre-cooking terhadap aw lele asap 14 7 Histologi daging lele dengan mikroskop elektron perbesaran 40 kali 15 8 Nilai organoleptik ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking pada

penyimpanan suhu ruang 18

9 Kecenderungan perubahan nilai TVB ikan lele asap (a) tanpa dan (b)

dengan pre-cooking selama penyimpanan 20

10 Kecenderungan perubahan nilai TPC ikan lele asap tanpa dan dengan

pre-cooking selama penyimpanan 21

(18)
(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lembar scoresheet ikan asap (SNI 2725:2013) 32

2 Dokumentasi foto penelitian 33

(20)
(21)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan lele merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya air tawar. Produksi nominal ikan lele dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 mengalami kenaikan dari 144 755 ton menjadi 543 461 ton (Ditjen Perikanan Budidaya KKP 2013). Perkembangan yang pesat dan tingginya produksi budidaya ikan lele diduga karena lele dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dan dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah serta modal usaha budidaya lele yang dibutuhkan relatif rendah. Saat ini teknologi pembesaran lele semakin berkembang, diantaranya adalah teknologi kolam terpal dan permanen. Teknologi ini banyak digunakan baik oleh masyarakat pribadi atau kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) sehingga terkadang membuat harga lele segar tidak stabil di pasaran; rata-rata harga per kilogramnya hanya Rp13 000–Rp15 000 (BPS Propinsi Bengkulu 2013). Untuk menghasilkan 1 kg lele asap dibutuhkan 4 kg lele segar, setelah dijadikan lele asap harganya meningkat menjadi Rp70 000–Rp120 000/kg.

Ikan lele memiliki protein sebesar 15–20% dan lemaknya kurang dari 5% (Foline et al. 2011). Berdasarkan data tersebut maka ikan lele dapat dikelompokkan ke dalam bahan pangan berprotein sedang dengan lemak rendah. Ikan lele juga mengandung karoten, vitamin A, protein, lemak, karbohidrat, fosfor, kalsium, zat besi, vitamin B1, vitamin B6, vitamin B12, dan kaya akan asam amino. Kandungan komponen gizi ikan lele mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia baik pada anak-anak, dewasa, dan orang tua. Ikan lele memiliki manfaat untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Kandungan asam amino esensial sangat berguna untuk tumbuh kembang tulang, membantu penyerapan kalsium dan menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh, dan memelihara masa tubuh anak agar tidak terlalu berlemak (Rohimah et al. 2014).

Pengasapan ialah proses pengolahan dan pengawetan ikan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, memberikan warna, rasa dan bau yang khas pada ikan olahan serta membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Damongilala 2009). Swastawati et al. (2013) melaporkan bahwa pengasapan merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar kayu yang akan membentuk senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar. Senyawa asap dalam bentuk uap akan menempel pada produk dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi kecoklatan.

(22)

2

Ayudiarti dan sari (2010) melaporkan komponen asap pada kayu mahoni yaitu menghasilkan asam asetat sebesar 4.27–11.30%, fenol 2.10–5.13% dan karbonil 8.56–15.23%. Komponen asap tersebut berfungsi sebagai antimikroba, antioksidan, pembentuk aroma, flavor, dan warna.

Perumusan Masalah

Salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan lele adalah dengan melakukan diversifikasi olahan ikan lele asap. Melalui strategi ini harga lele asap mencapai Rp120 000 per kilogram (BPS Propinsi Bengkulu 2013). Saat ini teknologi pengolahan lele asap panas telah banyak dilakukan berbagai daerah dan salah satunya Propinsi Bengkulu yaitu oleh Kelompok Pengolah dan Pemasaran Hasil perikanan atau Poklahsar Mina Pertiwi yang berkedudukan di Kelurahan Lempuing, Poklahsar Bentiring Indah di Kelurahan Bentiring, Poklahsar Kemiling Permai di Kelurahan Pekan Sabtu, Poklahsar Beringin Raya di Kelurahan Sungai Hitam dan P2MKP Surabaya Makmur di Kelurahan Surabaya. Pengolahan lele dengan asap panas dilakukan selama 7 jam pada suhu 90oC. Pengujian organoleptik (uji kesukaan) tekstur lele asap dengan metode pengasapan panas menghasilkan ikan lele yang masih lunak dan aromanya khas bau asap sehingga disukai oleh konsumen tetapi masa simpannya tidak bertahan lama. Swastawati et al. (2013) melaporkan karakteristik kualitas ikan lele (Clarias batrachus) asap menggunakan smoking cabinet dan tungku tradisional menunjukkan kualitas yang baik secara organoleptik dan nutrisinya masih terjaga. Pratama (2011) menyebutkan bahwa pengasapan juga dapat memperbaiki kenampakan ikan sehingga permukaan ikan menjadi mengkilat dan menimbulkan intensitas aroma fatty dan sweet yang lebih tinggi. Kendala yang muncul pada produk lele asap dengan menggunakan metode ini yaitu masa simpan ikan lele asap yang rendah (4– 6 hari) dan sudah ditumbuhi jamur. Pertumbuhan jamur pada ikan dapat menyebabkan bau tengik dan perubahan tekstur (Matina et al. 2012). Erkan et al. (2011) menyebutkan bahwa kualitas terbaik dari salmon pengasapan dingin yang menggunakan high pressure adalah 250 MPa suhu 25oC selama 10 menit dan dapat diterima sampai dengan 8 minggu penyimpanan. Perkembangan riset mengenai ikan asap disajikan pada Gambar 1.

Teknik pre-cooking (pemasakan awal) adalah salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi permasalahan pada metode pengasapan panas yang masa simpannya tidak berlangsung lama. Nuraini (2014) melaporkan bahwa pre-cooking merupakan tahap perubahan fisik daging ikan akibat perubahan kandungan kimiawi di dalamnya dan bertujuan untuk mematangkan ikan, mengeluarkan body juice (lemak/minyak) ikan agar tidak terjadi ketengikan, serta untuk mematikan bakteri patogen dan bakteri pembentuk histamin. Menurut Josupeit dan Catarci (2004) waktu yang dibutuhkan untuk pre-cooking tergantung pada ukuran ikan, umumnya berkisar 1–4 jam, yang dianggap mampu mereduksi 17.5% kadar air dari daging ikan, dengan suhu pemasakan 100–105oC.

(23)

3

karena itu analisis mutu secara fisiko-kimia dan mikrobiologis sangat diperlukan untuk mengungkap karakteristik atau sifat-sifat mutu dari produk olahan ini.

Salah satu cara untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan lele asap sehingga dapat sampai ke tangan konsumen dalam keadaan masih layak untuk dikonsumsi adalah melalui proses pengemasan. Pengemasan pada bahan pangan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dipasarkan, masa simpan yang lama serta dapat meningkatkan daya jual dari suatu produk tersebut (Basriman 2010). Mareta dan Shofia (2011) menyatakan bahwa syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kemasan agar dapat berfungsi dengan baik adalah harus dapat melindungi produk dari kotoran, kerusakan fisik, perubahan kadar air, gas, penyinaran (cahaya) dan kontaminasi sehingga produk tetap bersih, mudah untuk dibuka atau ditutup,ditangani dalam pengangkutan dan distribusi, efisien dan ekonomis khususnya selama proses pengisian produk ke dalam kemasan, mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang ada serta menunjukkan identitas, informasi dan penampilan produk yang jelas agar dapat membantu promosi atau penjualan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pre-cooking dan pengasapan terhadap perubahan mutu serta penyimpanan dan pengemasan pada suhu ruang terhadap umur simpan ikan lele asap.

Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan alternatif baru dalam mengolah lele segar menjadi lele asap dengan metode pre-cooking atau pemanasan awal dan memberikan informasi mengenai umur simpan ikan lele asap. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam pemanfaatan lele asap sebagai olahan diversifikasi produk unggulan.

(24)

4

Melakukan kajian precooking terhadap karakteristik

dan umur simpan lele asap Pengasapan ikan

Ikan lainnya Ikan lele Umur simpan

Karakteristik kualitas lele (Clarias batrachus) asap menggunakan metode smoking cabinet dan tungku tradisional menunjukkan kualitasnya baik secara organoleptik dan kandungan nutrisi terjaga (Swastawati et al. 2013)

Kualitas terbaik dari salmon pengasapan dingin yang

Waktu yang dibutuhkan pre-cooking tergantung pada ukuran ikan, berkisar 1–4 jam dengan suhu pemasakan 100–105oC (Josupeit dan Catarci 2004).

Pengemasan pada bahan pangan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan sehingga mudah disimpan, diangkut panas masih sesuai dengan SNI ikan asap yaitu berkisar 20.14–53.95%.

(Paputungan et al. 2015)

(25)

2. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Mei 2015. Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Kelompok Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Poklahsar) Kemiling Permai Kota Bengkulu melakukan preparasi ikan lele, pre-cooking dan proses pengasapan, Laboratorium Teknologi Industri Pertanian Universitas Bengkulu untuk pengujian organoleptik, BPTP Propinsi Bengkulu untuk pengujian kadar air penelitian tahap I, Laboratorium Teknologi Hasil Ternak FAPET IPB untuk pengujian aw, Laboratorium Kesehatan Ikan Aquakultur FPIK IPB melakukan preparasi dan persiapan preparat untuk uji histologi, Laboratorium Terpadu FPIK IPB untuk pengambilan gambar histologi dari preparat daging ikan lele yang menggunakan kamera digital dan mikroskop, Laboratorium Ilmu dan Hama Penyakit Tanaman Universitas Bengkulu untuk pengujian TVB dan TPC ikan lele asap, Laboratorium PAU IPB untuk pengujian kadar proksimat.

Bahan dan Alat

Bahan utama dalam penelitian adalah ikan lele (Clarias sp.) dengan ukuran panjang 27–28 cm dengan berat 120–121 gram. Ikan lele didapatkan dari Pokdakan Kemiling Permai Kelurahan Pekan Sabtu Kota Bengkulu. Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan 100% (Brataco), Xylol, Parafin, Buffer Neutral Formalin (BNF), larutan Eosin, larutan Bouin’s, pewarna haematoxilin, aquades, BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl, bahan kemasan yaitu plastik jenis PE (Polyethylene) dengan ukuran berat 1 kg, Ice pack dengan bahan dasar plastik plate/gepeng, warna biru, ukuran kecil 20x8x3cm, berat 620 gram, ukuran besar 30x22x3cm, berat 2 kg, pembekuan ice pack menggunakan kulkas rumah tangga, chest freezer atau LTU, daya tahan ice pack 12 jam dalam styrofoam box type low, coolerbag/coolbox sesuai spesifikasi lapisan insulinnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu rumah pengasapan ( bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bengkulu), termometer, aw meter (Shibaura aw meter), alat pengukus, cawan porselen, mikrotom, mikroskop binokuler Olympus (U-RFLT 50), kamera digital merk Canon, oven, inkubator merk Heraeus, Laminer Air Flow merk Bassaire 04 HB, autoclave KT-40S, Alat titrasi, kayu bakar mahoni (Swietenia macrophylla). Kayu tersebut merupakan limbah dari kegiatan hasil pemangkasan pohon yang dilakukan oleh Dinas Pertamanan Kota Bengkulu.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi pengambilan sampel, preparasi (penyiangan dan pencucian), pre-cooking, pengasapan panas, pengujian organoleptik, analisis kadar air, analisis aw, analisis histologi (parafin) dengan pewarnaan hematoxilin-eosin, pengujian TVB, Pengujian TPC dan analisis proksimat. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

(26)
(27)

7

Ikan lele hidup dimatikan dengan cara memukul kepalanya menggunakan pisau. Penyiangan dilakukan dengan cara membuang isi perut dan insang terlebih dahulu, setelah itu dibentuk butterfly atau dibelah dari bagian perut/punggung tetapi tidak sampai menjadi dua bagian yang terpisah. Ikan tersebut selanjutnya dicuci dalam air mengalir agar sisa kotoran yang masih menempel pada daging ikan terbuang.

Pre-cooking dilakukan dengan waktu pemasakan 5, 10 dan 15 menit pada suhu 100oC menggunakan kukusan. Ikan yang telah dipre-cooking disusun dalam 5 tingkat rak pengasapan. Posisi ikan disusun secara horizontal pada masing-masing rak dan diasap dengan suhu awal yaitu 35oC selama ± 2 jam bertujuan menjaga kematangan daging ikan lele asap. Pada tahap ini dilakukan rotasi pemindahan rak-rak ikan dari posisi bawah ke atas dan sebaliknya dalam waktu 15 menit, hal ini bertujuan untuk mengontrol supaya daging ikan lele matang dan menjaga kenampakan organoleptik. Tahap berikutnya dilakukan proses pengasapan panas pada suhu 90oC selama 5 jam. Lele asap diletakkan pada wadah keranjang dan diangin-anginkan pada suhu ruang. Ikan lele asap selanjutnya diuji organoleptik dan dianalisis kimia sesuai dengan tahapan penelitian. Gambar alat pengasapan disajikan pada Gambar 3

Gambar 3 Rancangan pengasapan : a. Rumah pengasapan; b. Penyusunan ikan di atas rak pengasapan.

Prosedur Analisis

Analisis sampel dilakukan terhadap ikan lele (bahan baku) dan juga pada produk yang telah diasapi selama masa penyimpanan, yang meliputi: proksimat, TVB, uji aw, mikrobiologis, uji organoleptik, uji histologi pada lele segar, hasil pre-cooking dan pengasapan. Prosedur analisis sampel secara rinci adalah sebagai berikut:

Uji proksimat

Uji proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari daging ikan lele. Analisis yang dilakukan meliputi kandungan air, lemak, abu dan protein. a) Uji kadar air (AOAC 2005)

(28)

8

dimasukkan ke dalam desikator dan didinginkan sampai suhu ruang selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air pada daging ikan lele dan ikan lele asap:

Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)

� ℎ = ℎ� %

b) Uji kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan diatas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Sampel dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 400oC selama 1 jam, didinginkan sampai suhu ruang, lalu ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – cawan kosong (g)

= %

c) Uji kadar total nitrogen dan protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam uji protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 mL, lalu ditambah 7 g K2SO4, kjeldahl 0.005 g jenis HgO dan 15 mL H2SO4 pekat dan 10 mL H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih 2 jam atau cairan sampai berwarna hijau bening.

Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 mL, kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0.1% dan methyl red 0.1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100–150 mL destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

(29)

9

kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung Sokhlet. Sebanyak 150 mL kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak lalu labu lemak dikeringkan dengan oven 105oC selama 30 menit. Labu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan rumus:

% = ℎ� − %

e) Uji kadar karbohidrat (AOAC 2005)

Kandungan karbohidrat dihitung dengan metode by difference dengan rumus kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak) Uji mikrobiologi: TPC (Total Plate Count) ( SNI 01-2332.1-2006)

Ikan lele asap sebanyak 5 gram dilarutkan dalam 45 mL larutan pengencer butterfield’s phosphate buffered sehingga diperoleh pengenceran 10-1 (1:10). Selanjutnya dibuat pengenceran berturut-turut 10-2 dan seterusnya sesuai kebutuhan, dibuat juga untuk duplo. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptik.

Sampel hasil pengenceran diambil sebanyak 1 mL ke dalam cawan petri, setelah itu ke dalam cawan petri dimasukkan media Plate Count Agar (PCA) sebanyak 10–15 mL. Cawan yang telah ditutup digerakkan di atas meja secara hati-hati membentuk angka 8 untuk menyebarkan sel mikroba secara merata. Agar yang telah memadat diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35oC dengan posisi terbalik selama 1–2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total mikroba per gram contoh. Perhitungan jumlah koloni dilakukan menggunakan Quebec Colony Counter.

Perhitungan Angka Lempeng Total sebagai berikut :

� =[ + ,]

Keterangan :

N = jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g; ∑C = jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung;

= jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung; = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung; d = pengenceran pertama yang dihitung.

Uji biokimia

a. Uji TVB (Total Volatile Bases) Metode Conway (AOAC 1995)

(30)

10

menambahkan 10 mL larutan TCA 7.5%, lalu ekstraksi daging ikan disaring dengan kertas saring.

Sebanyak 1 mL larutan H3BO3 1% dan beberapa tetes larutan indikator

methyl red dan bromo cresol green dipipet ke inner chamber, kemudian 1 mL larutan ekstrak daging ikan dipipet ke outer chamber. Penutup cawan yang permukaannya telah diolesi rata dengan vaselin, diletakkan pada rumahnya dengan posisi sedikit terbuka. Sebanyak 1mL K2CO3 jenuh dipipet ke outer chamber bagian lain, kemudian cawan ditutup rapat dan diputar perlahan sampai larutan sampel bercampur dengan K2CO3 jenuh. Bersamaan dengan pekerjaan tersebut dibuat blanko yang berisi larutan TCA. Cawan disimpan dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 80 menit atau dalam suhu kamar selama 24 jam. Titrasi bagian inner chamber dengan menggunakan larutan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi adalah pada saat H3BO3 kembali berwarna merah muda

kemudian dicatat berapa banyak (mL) asam klorida yang digunakan untuk mentitrasi.

Perhitungan TVB dapat dihitung dengan rumus:

TVB ( N ) = − � 4 %

Penentuan nilai aktivitas air dari produk diukur menggunakan alat pengukur aw (Shibaura aw meter). aw meter dikalibrasi sebelum digunakan dengan cara memasukkan garam ke dalam wadah yang telah tersedia. Jenis garam yang digunakan adalah BaCl2, Mg(NO3)2, NaCl dan KCl. Pengukuran nilai aw dilakukan dengan cara memasukkan sampel yang akan diukur dalam wadah yang tersedia pada alat tersebut, kemudian sampel didiamkan kurang lebih 15 menit, setelah itu dilihat nilai aw yang tertera pada alat tersebut.

Uji histologi dengan pewarnaan HE(Gunarso 1989)

(31)

11

sayatan diletakkan di atas gelas objek yang telah diberi perekat. Proses pewarnaan jaringan dilakukan menggunakan pewarna haemotoxilin dan eosin. Selanjutnya preparat diamati dengan menggunakan mikroskop.

Uji organoleptik

Pengujian mutu organoleptik skala hedonik terhadap ikan lele asap berdasarkan SNI 2752.1: 2009 (BSN 2009) dan SNI 2752: 2013 untuk pengolahan ikan asap dengan pengasapan panas.

Pada penelitian ini sifat sensori yang diujikan kepada 30 orang panelis. Kriteria responden adalah 10 orang semi terlatih yaitu pengolah lele asap, 20 orang tidak terlatih yaitu Dosen, karyawan dan mahasiswa Universitas Bengkulu. Scoresheet organoleptik ikan asap dengan pengasapan panas disajikan pada Lampiran 1.

Uji statistik (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Perlakuan yang diamati terdiri dari dua faktor, yaitu perlakuan perbedaan waktu pre-cooking dan lama penyimpanan. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0: Waktu pre-cooking dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap karakteristik mutu ikan lele asap

H1: Waktu pre-cooking dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap karakteristik mutu ikan lele asap

Model rancangan yang digunakan sebagai berikut:

Keterangan :

Yij = respon karena pengaruh perlakuan ke-i dan ke-j

μ = rata-rata populasi

αi = pengaruh taraf ke-i dari faktor waktu pre-cooking

βj = pengaruh taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

(αβ)ij = pengaruh kombinasi taraf ke-i dari faktor waktu pre-cooking dan taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

εij = galat karena pengaruh perlakuan

Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika analisisnya berbeda

nyata pada selang 95% (α= 0.05%) maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Data hasil pengamatan organoleptik dianalisa menggunakan metode statistik non parametrik yakni Uji Dunn.

(32)

12

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Organoleptik Lele Asap

Hasil uji organoleptik terhadap lele asap dengan atribut kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir disajikan pada Gambar 4. Perlakuan kontrol dari masing-masing atribut penilaian ikan asap menunjukkan nilai yang tertinggi untuk kenampakan, bau dan rasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa panelis sangat menyukai lele asap tanpa proses pre-cooking (PC). Rumah pengasapan dengan metode pengasapan panas yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Lampiran 2a. Nilai organoleptik lele asap tanpa PC (pre-cooking) masih sesuai dengan SNI 2752.1: 2009 dengan kisaran rata-rata kenampakan (8.13), bau (8.46) dan rasa (8.66).

(33)

13

Gambar 4 Hasil pengujian organoleptik lele asap tanpa penyimpanan. Kontrol; PC 5 menit; PC 10 menit; PC 15 menit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter organoleptik yang dihasilkan (p<0.05). Semakin lama waktu pre-cooking menyebabkan parameter organoleptik yaitu kenampakan, bau, rasa dan tekstur dari ikan lele asap mengalami penurunan. Parameter organoleptik dari kenampakan, bau, dan rasa ikan lele asap yang dipre-cooking mengalami penurunan dan kurang disukai konsumen, hal ini dikarenakan ikan lele asapnya sudah tidak utuh lagi dan aroma asapnya hilang seiring dengan adanya proses pemanasan. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa setiap perlakuan lama pre-cooking memiliki nilai organoleptik yang berbeda nyata, lele asap dengan pre-cooking 5 menit adalah yang disukai panelis. Hasil pre-cooking ikan lele asap dengan waktu 5, 10 dan 15 menit ditunjukkan pada Lampiran 2b, 2c dan 2d.

Kadar Air Lele Asap

Hasil pengujian kadar air disajikan pada Gambar 5. Nilai kadar air berkisar antara 16.23%–19.66%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air lele asap masih sesuai dengan SNI 2752.1: 2009 tentang kadar air ikan asap yaitu maksimal 60%. Pre-cooking dapat menyebabkan berkurangnya kadar air. Penurunan kadar air dapat dipengaruhi oleh suhu pre-cooking, suhu pengasapan dan lama waktu pengasapan. Gordianus et al. (2013) menyatakan bahwa kadar air dapat dipengaruhi oleh suhu, lamanya waktu pengasapan dan pengeringan serta juga lamanya ikan yang telah mengalami penyimpanan setelah proses pengolahan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air yang dihasilkan (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan lele asap tanpa pre-cooking berbeda nyata dengan lele asap pre-cooking 5 dan10 menit. Swastawati et al. (2014) menyatakan bahwa kadar air pada ikan asap semakin berkurang dikarenakan kadar air bebas yang terkandung pada ikan asap mengalami penguapan sejalan dengan semakin tinggi suhu dan lama pengasapan. Kadar air fillet ikan rainbow trout (Onchorhyncus mykiss) yang diasap selama 3 jam dengan suhu 80–90oC mengalami pengurangan kadar air sebesar 11.1% (Oguzhan dan Angis 2013).

(34)

14

Gambar 5 Pengaruh pre-cooking terhadap kadar air lele asap. Nilai aw Lele Asap

Hasil pengujian aw disajikan pada Gambar 6. Nilai aw terendah yaitu 0.81 dan tertinggi 0.82. Hal ini menunjukkan bahwa produk lele asap tanpa dan dengan pre-cooking dapat diklasifikasikan sebagai produk pangan semi basah. Peta stabilitas pangan menginformasikan bahwa pertumbuhan bakteri mulai terjadi pada aw≥ 0.8, pertumbuhan khamir mulai berlangsung pada aw sedikit lebih rendah yaitu aw ≥ 0.75, sedangkan pertumbuhan kapang dimulai pada aw ≥ 0.7. Dalam hal perubahan kimia, peta ini menginformasikan bahwa reaksi enzimatis mulai berlangsung di sekitar nilai aw = 0.3 dan meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya aktifitas air. Pengaruh aw terhadap laju reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis juga dijelaskan dalam peta stabilitas pangan (Arpah 2001).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pre-cooking tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw yang dihasilkan (p>0.05). Hal tersebut disebabkan karena kandungan air dalam lele asap yang cukup tinggi. Adanya proses adsorpsi menyebabkan lele asap bersifat higroskopis, karena uap air yang berasal dari udara terserap oleh lele asap (Arpah 2007). Montiel et al. (2012) melaporkan bahwa nilai aw ikan cod asap yang diproses dengan tekanan tinggi juga meningkat seiring lamanya penyimpanan, disebabkan karena bahan makanan sebelum dan sesudah diolah bersifat dapat menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (Labuza dan Schmidl 1985).

Gambar 6 Pengaruh pre-cooking terhadap aw lele asap. a

Tanpa PC PC 5 menit PC 10 menit

K

Tanpa PC PC 5 menit PC 10 menit

Nilai

aw(

(35)

15

Karakterisasi Histologi Lele Asap

Hasil pengamatan terhadap histologi lele segar, lele kukus (pre-cooking), lele asap, dan lele pre-cooking asap disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Histologi daging lele dengan mikroskop elektron perbesaran 40 kali. A. Lele segar; B. Lele Pre-cooking; C. Lele asap; D. Lele asap pre-cooking.

Perubahan jaringan lele segar (Gambar 7A) menunjukkan jaringan otot dan kulit ikan lele segar belum mengalami kerusakan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari sebagian miomer dan sarkolema yang masih utuh, kompak, dan teratur. Miomer adalah bagian otot daging yang bersegmen, sedangkan sarkolema adalah membran yang melapisi sel otot daging atau miomer. Siburian et al. (2012) menyatakan bahwa pada ikan yang masih segar dagingnya elastis dan berwarna cerah, apabila ditekan tidak menimbulkan bekas yang permanen.

(36)

16

Struktur daging ikan mengalami perubahan selama perembesan air dari dalam sel. Pengukusan menyebabkan terjadinya dehidrasi pada daging ikan. Dehidrasi akan menyebabkan denaturasi pada protein otot dan kerusakan struktur membran (Bahuaud et al. 2008).

Perubahan jaringan lele asap (Gambar 7C) menunjukkan miomer longitudinal masih utuh, sebagian serat terlepas dari mioseptum dan menjadi serpihan memanjang serta bagian lainnya terbentuk serat-serat fibril bergelombang yang terlepas satu dengan lainnya. Sigurgisladottir et al. (2001) melaporkan bahwa ikan salmon asap tanpa proses tekanan tinggi juga sebagian mengalami kerusakan dari jaringan daging dengan dibuktikan serat-seratnya yang terpisah.

Perubahan jaringan lele asap pre-cooking (Gambar 7D) menunjukkan sebagian mioseptum masih utuh, mioseptum lainnya rusak dan mengakibatkan jarak antar miomer tetapi sebagian miomernya masih kompak. Penelitian menggunakan mikroskop elektron (SEM) oleh Sigurgisladottir et al. (2001) menunjukkan bahwa panjang sarkomer tidak berubah pada sampel ikan salmon (Salmo salar L) asap. Setelah pengasapan sejumlah globula lemak mengalami kerusakan, tidak kompak dan sudah mengalami pemecahan. Sigurgisladottir et al. (2000) melaporkan bahwa pengaruh pengasapan pada mikrostruktur jaringan fillet salmon asap pada serat-serat fibernya menjadi berkurang dan tidak utuh. Permukaan filet asap secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan fillet yang tidak diproses (Sigurgisladottir et al. 2000). Swastawati et al. (2012) menyatakan bahwa kadar protein dapat menurun karena adanya proses pengolahan dengan terjadinya denaturasi protein selama pemanasan. Suhu, lama pemanasan, dan jarak sumber panas dengan ikan yang diasapi juga berpengaruh terhadap penurunan komposisi kandungan lemak ikan lele (Swastawati et al. 2013).

Nilai Organoleptik Lele Asap selama Penyimpanan

Nilai organoleptik menjadi salah satu parameter terpenting dalam menentukan suatu produk tersebut disukai atau tidak oleh konsumen karena berkaitan dengan daya penerimaan mutu produk yang dinyatakan dalam nilai tertentu. Adanya pengaruh suhu dan lama pengasapan yang berbeda menghasilkan nilai sensori yang berbeda-beda.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan ada pengaruh nyata (p<0.05) selama penyimpanan suhu ruang. Konsumen menyukai produk ikan lele asap selama 9 (sembilan) hari penyimpanan, hal ini dapat dilihat dari nilai organoleptik penyimpanan hari ke-0 sampai dengan hari ke-9 yang masih sesuai dengan SNI 2725:2013 tentang ikan asap yang diolah dengan pengasapan panas. Berdasarkan SNI 2725:2013, bahwa nilai organoleptik ikan asap berkisar 7 sampai dengan 9 mencirikan produk lele asap masih bagus dan dapat diterima oleh konsumen (BSN 2013). Lele asap tanpa dan dengan pre-cooking selama 5 menit ditunjukkan pada Lampiran 2e dan 2f.

(37)

17

menunjukkan penggunaan tekanan tinggi selama 5 dan 10 menit sebelum dilakukan pengasapan nilai kenampakan ikan salmon asap selama 7 hari penyimpanan masih lebih bersih dan warna coklat keemasan yang menarik, dibuktikan untuk nilai kenampakan terendah yaitu 5.67 pada hari ke-7 penyimpanan dan nilai tertinggi yaitu 8.87 pada hari ke-0 penyimpanan. Isamu et al. (2012) menyebutkan bahwa perbedaan jumlah asap yang menempel pada ikan diduga akibat lama waktu pengasapan yang digunakan, dapat diasumsikan semakin lama pengasapan menyebabkan bertambahnya komponen asap seperti asam asetat, fenol dan karbonil yang menempel pada ikan.

(38)

18

Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)

(39)

19

Erkan et al. (2011) melaporkan bahwa nilai bau dan rasa ikan salmon asap yang menggunakan tekanan tinggi selama 5 menit dan 10 menit menunjukkan nilai dengan kisaran 5.40 sampai dengan 8.97 untuk aroma atau bau, sedangkan nilai rasa yang tertinggi adalah 9.78 dengan penyimpanan 0 hari dan nilai terendah adalah 5.33 masing-masing penyimpanan selama 7 hari. Kostyra dan Pikielna (2006) melaporkan bahwa senyawa karbonil dengan turunannya yaitu aldehida, keton dan asam karboksilat, serta fenol dengan turunannya yaitu guaiakol, kresol dan eugenol berkontribusi dalam menentukan bau dan rasa khas pada produk yang diasap. Penyimpanan hari ke-12, nilai rasa dari lele asap mengalami penurunan yang signifikan seiring juga dengan adanya jamur yang menempel pada produk. Proses lele asap dengan pre-cooking ini lebih banyak ditumbuhi jamur daripada lele asap tanpa pre-cooking diduga pada saat pengukusan banyak mikroorganime yang menempel pada ikan, alat-alat yang digunakan serta ruang tempat ikan asap disimpan memiliki kelembaban yang tinggi sehingga memungkinkan mikroorganisme berkembang pada ikan lele asap tersebut.

(40)

20

Kadar TVB dan TPC Ikan Lele (Clarias sp.) Asap Selama Penyimpanan Suhu Ruang

Hasil regresi TVB pada ikan lele asap tanpa proses cooking dan pre-cooking selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 9. Nilai TVB meningkat dengan semakin lamanya waktu peyimpanan. konsumen. Penyimpanan hari ke-12 masing-masing nilai TVB mengalami kenaikan diatas 100 mgN/100 g sehingga ikan lele asap tidak dapat dikonsumsi lagi. Sesuai dengan pendapat Connel (1975) bahwa produk ikan asap nilai TVB sebaiknya kurang dari 100 mgN/100 g sampel.

Nilai TVB ikan lele asap tanpa pre-cooking meningkat dengan kenaikan 6.33 mg N/100 g per hari, sedangkan kecepatan kenaikanTVB ikan lele asap dengan pre-cooking sebesar 5.08 mg N/100 g per hari. Hal serupa juga dilaporkan oleh Erkan et al. (2011) menyebutkan ikan asap yang diproses menggunakan tekanan tinggi dengan waktu 5 menit nilai TVB-nya lebih rendah jika dibandingkan dengan ikan asap tanpa proses tekanan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pre-cooking dapat menekan laju kenaikan nilai TVB ikan lele asap selama penyimpanan. Keeratan korelasi antara nilai TVB dan waktu penyimpanan lele asap sangat erat baik tanpa dan dengan pre-cooking (R>90%). Kandungan TVB, banyak ditentukan oleh mikroorganisme yang terdapat pada produk (Erkan 2007). Berdasarkan hal tersebut pengukuran TPC (jumlah mikroorganisme hidup yang terdapat pada produk uji) pada kedua jenis perlakuan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking disajikan pada Gambar 10. Nilai TPC meningkat dengan semakin lamanya waktu peyimpanan. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan mikroba tanpa pre-cooking cenderung lebih tinggi sedikit (p<0.05) bila dibandingkan dengan lele asap melalui pre-cooking.

(41)

21

Gambar 10 Kecenderungan perubahan nilai TPC ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking selama penyimpanan. Kontrol; PC5

Hari ke-12 penyimpanan nilai TPC dari lele asap tanpa dan dengan pre-cooking sudah melebihi batas SNI ikan asap sehingga tidak dapat dikonsumsi lagi. Nilai Total Plate Count atau angka lempeng total dari produk ikan asap yang dapat diterima oleh konsumen adalah maksimum 5x104 koloni/g atau sesuai dengan SNI ikan asap 2725: 2013 tentang ikan asap dengan pengasapan panas (BSN 2013).

Natawiria (2004) menyatakan peningkatan nilai TPC selama penyimpanan disebabkan pengaruh dari kelembaban udara, sehingga terjadi penyerapan uap air dari udara ke dalam ikan lele asap yang menyebabkan lele asap menjadi lembab dan kadar air meningkat (kelembaban udara atau relative humidity (RH) Propinsi Bengkulu sebesar 63–95%). Kadar air merupakan salah satu parameter utama pada produk pangan karena sangat berhubungan dengan peningkatan aktivitas mikroba dalam produk, dengan kata lain semakin tinggi peningkatan kadar air lele asap maka semakin tinggi juga peningkatan jumlah mikroorganismenya (Herawati 2008). Montiel et al. (2012) menyatakan penggunaan waktu yang lebih lama di atas 5 menit pada proses pemanasan dengan tekanan tinggi pada ikan cod asap maka jumlah mikroba atau nilai TPC sangat sedikit yaitu < log 1 CFU/g.Pengukusan, pengeringan dan pengalengan adalah proses pemanasan yang diterapkan dalam proses pengawetan ikan untuk menghambat bakteri dan enzim yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi selama penyimpanan (Djarismawati et al. 2009).

(42)

22

Kadar Proksimat Lele Segar, Lele Asap dan Lele Asap Hasil Pre-Cooking

Kualitas ikan asap antara lain dapat dilihat dari kandungan proksimat, meliputi protein, lemak, air, abu dan karbohidrat. Hasil pengukuran dan pengamatan kadar proksimat pada ikan lele (Clarias sp.) segar dan asap disajikan pada Tabel 1. Kadar protein menurun seiring dengan adanya proses pemanasan, hal ini sejalan dengan penelitian Romero et al. (2009) yang melaporkan penurunan kelarutan protein disebabkan karena adanya pengolahan panas.

Tabel 1 Analisis proksimat pada ikan lele segar, lele asap dan lele asap dengan proses pre-cooking dalam dry bases

Perlakuan Parameter Uji

Protein Lemak Abu Karbohidrat Lele segar 86.88a+0.20 9.06a+0.14 3.67a+0.07 0.08a+0.04 Lele asap 55.68b+0.05 28.7b+0.24 9.11b+0.54 5.36b±0.60 Lele asap

Precooking

52.97b+0.02 27.59b+0.28 9.85b+0.73 8.53c+0.41

Keterangan: superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Ikan lele asap yang diproses tanpa dan dengan pre-cooking memiliki kadar protein yang rendah dan berbeda nyata dari ikan lele segar, hal ini banyak disebabkan karena penggunaan air secara langsung pada saat proses pencucian yang akan melarutkan sebagian protein ke dalam air. Widjanarko et al. (2012) menyatakan bahwa pencucian (leaching) bahan pangan pada air mengalir dan sekaligus adanya proses pemanasan akan menurunkan zat gizi yang terkandung didalamnya.

(43)

23

Kadar abu meningkat selama proses pemanasan diduga karena ada proses pemanasan awal dan metode pengasapan yang digunakan. Peningkatan kadar abu pada lele asap juga seiring bertambahnya kadar lemak pada proses pengolahan dikarenakan ada komponen asap yaitu asam-asam organik (Widjanarko et al. 2012). Rosa et al. (2007) melaporkan bahwa ikan lele dumbo yang dikukus mengandung kadar abu sebesar 1.20% jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan lele segarnya yaitu 1.00% dan lele yang diproses dengan cara dipanggang kadar abunya meningkat sebesar 2.62%. Prasetyo et al. (2015) menyebutkan pengasapan juga dapat meningkatkan karbohidrat ikan asap, nilai karbohidrat yang diperoleh pada penelitian ini didapatkan dari hasil rumus perhitungan bukan berdasarkan analisa secara kuantitatif dan kualitatif.

Teknik Pengemasan Lele Asap selama Penyimpanan

Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan dipakai.Mareta dan Shofia (2011) melaporkan bahwa pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi.

(44)

24

(45)

25

(a) Ikan lele asap tanpa pre-cooking

(b) Ikan lele asap dengan pre-cooking

Gambar 11 Nilai organoleptik pengemasan ikan lele asap selama penyimpanan. Kenampakan; Bau; Rasa; Tekstur; Jamur.

Tidak dikemas Kemas biasa Kemas blue ice

Nila

Tidak dikemas Kemas biasa Kemas blue ice

(46)

4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Nilai rata-rata kadar air ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking 5 dan

10 menit masih memenuhi syarat mutu SNI untuk ikan asap. Nilai rata-rata aw lele asap tanpa dan dengan pre-cooking 5 dan 10 menit adalah 0.8. Mutu ikan lele

asap tanpa dan dengan pre-cooking berdasarkan nilai TVB dari penyimpanan 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari masih masuk dalam standar nilai TVB ikan olahan dan layak dikonsumsi, sedangkan penyimpanan 12 hari sudah melebihi standar nilai TVB. Mutu ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking berdasarkan nilai TPC dari penyimpanan 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari masih memenuhi standar ikan asap yang direkomendasikan oleh Badan Standar Nasional Indonesia (SNI 2725:2013), penyimpanan 12 hari nilai TPC sudah melebihi SNI ikan asap sehingga tidak layak dikonsumsi oleh konsumen. Berdasarkan kriteria mutu dan penilaian organoleptik, ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking yang disimpan pada suhu ruang untuk kenampakan, bau, rasa, dan tekstur belum mengalami kemunduran mutu dan masih bisa diterima oleh konsumen sampai dengan 9 hari penyimpanan sesuai dengan nilai sensori ikan asap minimal 7 berdasarkan SNI ikan asap dengan pengasapan panas, penyimpanan 12 hari nilai sensori ikan asap kurang dari angka 7 sehingga tidak layak dikonsumsi. Ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking yang dikemas menggunakan plastik polyethilene dan blue ice dengan suhu -5oC di dalam wadah tertutup rapat yang disimpan pada suhu ruang nilai sensorinya diatas angka 7 untuk kenampakan, bau, rasa, tekstur, jamur dan lendir pada penyimpanan 18 hari, hal ini masih sesuai dengan standar ikan asap yaitu SNI 2725:2013. Hari ke-21 penyimpanan nilai sensori ikan asap dibawah angka 7 dan ditumbuhi jamur. Berdasarkan uji histologi, struktur jaringan ikan lele asap tanpa dan dengan pre-cooking sebagian miomer masih utuh dan bagian lainnya sudah mengalami kerusakan.

Saran

(47)

27

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methods of Analysis. 14th Edition. Washington DC.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC (US).

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis (18 Edn). Association of Official Analytical Chemist Inc. Mayland: USA.

Andina RY, Emma R. 2009. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik kimiawi filet lele dumbo asap cair pada penyimpanan suhu ruang. Jurnal Bionatura. 11(1):1-16.

Arpah. 2001. Pendugaan umur simpan produk makanan. Makalah disampaikan pada pelatihan teknis penentuan waktu kadaluwarsa makanan, Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia-Badan Pengembangan Ekspor Nasional. 13-15 Maret, 2001. Jakarta.

Arpah. 2007. Penetapan waktu kadaluwarsa pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ayudiarti DL, Sari RN. 2010. Asap cair dan aplikasinya pada produk perikanan. Squalen. 5(3):101-108.

Bahuaud D, Morkore T, Langsrud O, Sinnes K, Veiseth E, Ofstad R, Thomassen MS. 2008. Effect of -1.5 °C Super-chilling on quality of atlantic salmon (Salmo salar) pre-rigor fillets: cathepsin activity, muscle histology, texture and liquid leakage. Food Chemistry 11(1): 329-339.

Bao HND, Sigurjon A, Kristin AP. 2007. Effects of dry ice and superchilling on quality and shelf life of arctic charr (Salvelinus alpinus) fillets. International Journal of Food Engineering. 3(7):1-27.

Basriman I. 2010. Pengemasan dan Penyimpanan Pangan, Teori dan Aplikasinya pada Industri. Jakarta (ID): Universitas Sahid Jakarta.

Bower CK, Hietala KA, Oliveira ACM, Wu TH. 2009. Stabilizing oils from smoked pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha). Journal Food Science. 74(3): 248-257.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data dan Laporan Statistik. Propinsi Bengkulu. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2332.1-2006: Pengujian

Mikroba terhadap Produk Perikanan. Jakarta.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI-2725.J: 2009: Ikan Asap Bagian 1. Jakarta.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. SNI-2725: 2013: Ikan Asap dengan Pengasapan Panas. Jakarta.

Conell, JJ. 1975. Control of Fish Quality. Surrey London (UK): Fishing News. Books Ltd.

Damongilala LJ. 2009. Kadar air dan total bakteri pada ikan roa (Hemirhampus sp.) asap dengan metode pencucian bahan baku berbeda. Jurnal Ilmiah Sains. 9 (2): 191-198.

(48)

28

Djarismawati, Aminah NS, Supraptini, Rahmawati M. 2009. Peningkatan kadar histamin pada ikan laut yang sudah diolah. Jurnal Ekologi Kesehatan. 1(2):44 - 48.

Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Data dan Laporan Statistik Perikanan Budidaya. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Erkan N. 2007. Sensory, chemical and microbiological attributes of sea bram (Sparus aurata): effect of washing and ice storage. International Journal of Food Properties. 10(3):421-434.

Erkan N, Uretener G, Alpas H, Selcuk A, Ozden O, Buzrul S. 2011. The effect of different high pressure conditions on the quality and shelf life of cold smoked fish. Journal Innovative Food Science and Emerging Technologies. 12:104-110.

Ernawati. 2012. Efek antioksidan asap cair terhadaf sifat fisiko kimia ikan gabus (Ophiocephalus striatus) asap selama penyimpanan. Jurnal Teknologi Pangan. 4 (1):121-138.

Foline OF, Adedayo MR, Bamishaiye EI, Awagu EF. 2011. Proximate composition of catfish (Clarias gariepinus) smoked in Nigerian stored products research institute (NSPRI): developed kiln. International Journal of Fisheries and Aquaculture. 3(5):96-98.

Gordianus PL, Albert RR, Hens O. 2013. Studi mutu produk ikan japuh (Dussumieria acuta C.V) asap kering industri rumah tangga di desa tumpaan baru, kecamatan tumpaan. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 1(2):47-53.

Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Herawati, H. 2008. Penentuan umur simpan pada produk pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 27(4):124-130.

Huda N, Dewi RS, Ahmad R. 2010. Proximate, color and amino acid profile of Indonesian traditional smoked catfish. Journal of Fisheries and Aquatic Science. 5(2):106-112.

Isamu KT, Purnomo H, Yuwono S. 2012. Karakteristik fisik, kimia dan organoleptik ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap di Kendari. Jurnal Teknologi Pertanian. 13(2):105-110.

Jacoeb AM, Nurjanah, Aninta S. 2013. Kandungan asam lemak dan kolesterol kakap merah (Lutjanus bohar) setelah pengukusan. Jurnal Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 16(2):168-176.

Josupeit H, Catarci C. 2004. The world tuna industry an analysis of imports. Journal Food Control. 8(74):173-176.

Labuza TP, Schmidl MK. 1985. Accelerated shelf-life testing of foods. Food Technology. 39(9):57-62.

Kostyra E, Pikielna NB. 2006. Volatiles composition and flavour profile identity of smoke flavourings. Food Quality and Preference. 17:85-95.

(49)

29

Montiel R, De Alba M, Bravo D, Gaya P, Medina. 2012. Effect of high pressure treatments on smoked cod quality during refrigerated storage. Journal Food control. 23:429-436.

Natawiria, W. 2004. Sifat fisik, kimia dan organoleptik bagian paha dan dada kalkun asap selama penyimpanan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nuraini. EF. 2014. Pengendalian mutu proses pre-cooking ikan lemuru (Sardinella longiceps) di PT Maya Muncar Banyuwangi. [Skripsi]. Jember (ID): Politeknik Negeri Jember.

Oguzhan P, Angis S. 2013. Effects of processing methods on the sensory, mineral matter and proximate omposition of rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) fillets. African Journal of Food Science and Technology. 4(4):71-75. Prasetyo DYB, Yudhomenggolo SD, Fronthea S. 2015. Efek perbedaan suhu dan

lama pengasapan terhadap kualitas ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) cabut duri asap. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 4(3):94-98.

Pratama RI. 2011. Karakteristik flavor beberapa jenis produk ikan asap di Indonesia. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pratama RI, Iis R, Muhammad YA. 2013. Komposisi kandungan senyawa flavor ikan mas (Cyprinus carpio) segar dan hasil pengukusannya. Jurnal Akuatika IV(1):55-67.

Putra DS. 2013. Analisis bahaya dan titik kendali kritis pada penanganan cakalang precooked loin beku di PT. Gabungan Era Mandiri. [Skripsi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran Bandung.

Rohimah I, Etti S, Ernawati N. 2014. Analisis energi dan protein serta uji daya terima biskuit tepung labu kuning dan ikan lele. Jurnal USU.ac.id/index.php/gkre/article/viewfile/5160/2781.

Romero A, Cordobes F, Puppo MC, Villanueva A, Pedroche J and Guerrero A. 2009. Linear viscoelasticity and microstructure of heat induced crayfish protein isolate gels. Food Hydrocolloid. 23(3):964-972.

Rosa R, Bandarra NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of african catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the european production of siluroidei. Journal Food Science and Technology. 42(3):342-351.

Siburian ETP, Pramesti D, Nana K. 2012. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan bakteri dan fungi ikan bandeng. Unnes Journal of Life Science. 1(2):101-105.

Sigurgisladottir S, Margret SS, Ole JT, Jean LV, Hannes H. 2000. Efects of different salting and smoking processes on the microstructure, the texture and yield of atlantic salmon (Salmo salar) fillets. Journal Food Research International. 33:847-855.

Sigurgisladottir S, Margret SS , Helga I, Ole JT, Hannes H. 2001. Microstructure and texture of fresh and smoked atlantic salmon, Salmo salar L fillets from fish reared and slaughtered under different condition. Journal Aquaculture Research. 32:1-10.

(50)

30

Stolyhwo A, Sikorski ZE. 2005. Polycyclic aromatic hidrocarbons in smoked fish

– a critical review. Food Chemistry. 9:303-311.

Sulchan M, Endang NW. 2007. Food safety of plastic and styrofoam packaging. Maj Kedokt Indon. 57(2):54-59.

Swastawati F, Eko S, Bambang C, Wahyu AT. 2012. Quality characteristic and lysine available of smoked fish. Journal APCBEE Procedia. 2:1-6. Swastawati F, Titi Su, Tri WA, Putut HR. 2013. Karakteristik kualitas ikan asap

yang diproses menggunakan metode dan jenis ikan berbeda. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(3):126-132.

Swastawati F, Darmanto YS, Sya’rani L, Kuswanto R, Taylor A. 2014. Quality characteristic of smoked skipjack (Katsuwonus pelamis) using different liquid smoke. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics. 4(2):94-99.

Tapotubun AM, Nanlohy EEEM, Louhenapessy JM. 2008. Efek waktu pemanasan terhadap mutu presto beberapa jenis ikan. Jurnal Ichthyos 7(2): 65-70. Widjanarko SB, Elok Z, Aan MK. 2012. Studi kualitas fisik-kimiawi dan

(51)

31

(52)

32

Lampiran 1 Lembar Scoresheet Ikan Asap (SNI 2725:2013)

Lembar penilaian sensori ikan asap dengan pengasapan panas

Nama Panelis : ...

Berikan tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.

No. Spesifikasi Nilai

● Utuh, warna mengkilap spesifik produk 9

● Utuh, warna kurang mengkilap spesifik produk 7

● Utuh, warna agak kusam. 5

● Bau tambahan kuat, tercium bau amoniak dan

tengik

● padat, kompak, kering, antar jaringan cukup

erat

7

● Kurang padat , kurang kompak, antar jaringan

(53)

33

Lampiran 2 Dokumentasi Foto Penelitian

a. Rumah pengasapan

b. Pre-cooking 5 menit c. Pre-cooking 10 menit

d. Pre-cooking 15 menit

(54)

34

Lampiran 3 Organoleptik selama Pengemasan dan Penyimpanan

a. Kemas blue ice b. Kemas biasa

c. Kemas blue ice d. Blue Ice/ice pack

f. Lele asap tanpa pre-cooking

ditumbuhi jamur

e. Blue ice/ice pack beku

g. Lele asap dengan pre-cooking

(55)

35

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Roadmap penelitian.
Gambar 2  Tahapan penelitian.
Gambar 4   Hasil pengujian organoleptik lele asap tanpa penyimpanan.
Gambar 5  Pengaruh pre-cooking terhadap kadar air lele asap.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari 38 orang siswa diperoleh data hasil belajar teknik passing bola basket dilihat dari aspek kognitif, apektif dan psikomotor dengan menggunakan assesment

kepadatan 40.000 sel/ml (perlakuan C) menyebabkan hipoksia (berkurangnya oksigen terlarut) pada media pemeliharaan larva udang vaname sehingga pertumbuhan dan sintasan

Terakhir pada hari ke90 pemeliharaan, ikan kerapu bebek (C. altivelis) yang diberi pakan sumber lemak dari kedelei masih memberikan pertumbuhan paling tinggi menyusul

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor motivasi membaca murid yang telah mengikuti intervensi SFBT selama enam sesi, sebesar 106 poin, dengan

1) Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan Terbatas maupun usaha Perseroan Terbatas, dan memberi

Belum lagi apabila terdapat kesenjangan atau sulitnya mengikutsertakan orang tua dalam proses pendidikan moral ini mengingat masih ada orang tua-orang tua yang

Baiklah, hanya dengan menggunakan fungsi ‘Check’ untuk menemukan apakah antena telah diarahkan ke satelit dan mendapatkan sinyal yang dapat digunakan.. luar jangauan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini yaitu: (1) Memberikan pre- test kepada seluruh kelas X SMA Negeri 1 Sengah Temila yaitu kelas XA, XB, XC, XD, XE, XF, XG, dan XH;