• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Mei 2014 mulai dari pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan pengolahan serta analisis data dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer,

Microsoft Office 2010 dan software ArcGis. Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data iklim, data kekeringan lahan persawahan, data produktivitas padi, dan data pola tanam.

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah mengumpulkan data lapang kemudian melakukan proses pengolahan data hingga selesai. Adapun proses sederhana dalam penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 6.

Keterangan :

1= Kec. Donorojo, 2=Kec. Pringkuku, 3=Kec. Kebonagung Gambar 5 Peta administrasi Kabupaten Pacitan 1

2

12

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan harian pengamatan stasiun hujan 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan selama 16 tahun yaitu mulai tahun 1998 hingga 2013. Data curah hujan dikumpulkan dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan serta Dinas Pertanian Kabupaten Pacitan. Data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kejadian kekeringan 2 mingguan, serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) tahun 2007 hingga 2012 serta data luas panen, luas tanam tanaman padi dan produksi padi tahun 1998 hingga 2012 untuk 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan. Data kejadian kekeringan yang digunakan adalah data bulanan yang terdiri dari dua periode setiap bulannya (2 mingguan).

Pengolahan Data

A. Metode Historical Burn Analysis (HBA)

Indeks iklim dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan metode Historical Burn (Historical Burn Analysis, HBA) yang dikembangkan oleh IRI

Columbia University. Tahapan analisis “Historical Burn” adalah sebagai berikut : 1. Memilih tahun dan periode yang akan diasuransikan (indeks window)

Indeks window dalam penelitian ini adalah bulan 1 Mei - 30 September tahun 1998 hingga tahun 2013 untuk 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan.

2. Menghitung curah hujan dasarian pada periode yang akan diasuransikan

(indeks window)

Formula untuk menghitung curah hujan dasarian adalah sebagai berikut : Bulan dekad 1 = SUM (hari 1:hari 10)

Bulan dekad 2 = SUM (hari 11:hari 20) Bulan dekad 3 = SUM (hari 21:hari 30)

3. Menghitung besarnya “cap” dan curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total)

Cap merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung untuk setiap periode sepuluh hari (IRI 2010). Penentuan nilai “cap” berhubungan

dengan nilai evapotranspirasi potensial harian.

Tabel 1 Rata-rata nilai ETp (mm hari -1) untuk berbagai wilayah agroklimat (Allen et al. 1998)

Wilayah

Rata-rata suhu harian (ᴼC) Dingin (~10ᴼC) Sedang (~20ᴼC) Hangat (>30ᴼC) Tropik dan subtropik

- Lembab dan sub lembab 2-3 3-5 5-7

- Kering dan semi kering 2-4 4-6 6-8

Temperate

- Lembab dan sub lembab 1-2 2-4 4-7

13 Sehingga nilai ETp yang digunakan adalah mendekati nilai 5 mm/hari. Maka nilai cap untuk 10 harian adalah :

Cap dasarian = 5mm x 10 hari = 50

Formula untuk menentukan besarnya curah hujan yang disesuaikan

(adjusted rainfall total) adalah sebagai berikut :

Bulan (periode yang diasuransikan) dekad 1 = IF(curah hujan total dekad 1<cap;curah hujan total dekad 1;cap)

Adjusted rainfall total atau curah hujan total yang disesuaikan adalah cuah hujan yang telah dijumlahkan untuk setiap sepuluh hari (dekad) selama periode yang diasuransikan. Jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang

dari “cap”, maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika dalam sepuluh hari total curah hujan lebih dari “cap”, maka “cap” lah yang

digunakan. Cap merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung untuk setiap periode sepuluh hari.

4. Menghitung jumlah curah hujan dasarian yang telah disesuaikan untuk setiap tahunnya.

Nilai curah hujan yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total) pada masing-masing periode yang diasuransikan dihitung dengan cara dijumlahkan untuk setiap periode sepuluh hari. Setelah penyesuaian dibuat, total dari per sepuluh hari curah hujan kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghitung total curah hujan yang disesuaikan untuk seluruh indeks window.

Jumlah curah hujan dasarian setiap tahun = ∑Curah hujan yang telah disesuaikan setiap dekad

5. Menyusun data curah hujan yang telah disesuaikan (setiap tahunnya) dari atas ke bawah mulai dari curah hujan tertinggi hingga terendah (memberikan

ranking).

Indeks curah hujan = SORT (curah hujan dasarian yang telah disesuaikan)

6. Menyusun nilai exit dan trigger berdasarkan periode ulang yang dipilih

Nilai exit merupakan titik terendah dimana pembayaran sepenuhnya diberikan. Dalam penyusunan indeks dengan metode ini, exit dirancang sehingga ada pembayaran penuh untuk tahun terburuk selama periode data. Exit akan diatur sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. Trigger atau pemicu merupakan titik dimana apabila jumlah total curah hujan selama indeks window lebih dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Misalnya untuk kasus di Kecamatan Kebonagung periode ulang kejadian kekeringan adalah 4 kali selama 6 tahun atau sekitar 1.5 tahun sekali. Artinya selama 6 tahun periode datanya ada sekitar 4 kali pembayaran. Berikut ini adalah contoh perhitungan nilai exit dan trigger untuk Kecamatan Kebonagung.

14

Tabel 2 Ilustrasi perhitungan nilai exit dan trigger untuk Kecamatan Kebonagung

Tahun Indeks Curah Hujan (mm)

2010 1998 2013 2000 2005 2009 2001 2007 2004 2011 2006 2012 2002 1999 2003 2008 664 513 352 326 278 271 228 195 193 162 130 125 107 99 95 83 Keterangan :

Kotak merah : batas nilai trigger dimana petani dapat mengajukan klaim Kotak biru : batas nilai exit dimana klaim dapat dibayar penuh

Dalam metode ini, exit akan diatur sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. Nilai exit yang didapatkan berdasarkan Tabel 2 di atas adalah (83+95)/2=89. Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa di Kecamatan Kebonagung terjadi kekeringan sebanyak 4 kali selama periode tahun 2007 hingga 2012. Oleh karena itu, nilai

trigger yang dapat dihitung berdasarkan Tabel 2 di atas adalah (107+125)/2=116. Sehingga nilai exit dan trigger untuk Kecamatan Kebonagung masing-masing adalah sebesar 89 dan 116. Cara ini juga berlaku untuk menentukan nilai exit dan

trigger untuk Kecamatan Donorojo dan Pringkuku.

7. Pembayaran secara penuh akan dilakukan apabila curah hujan lebih rendah daripada exit selama periode yang diasuransikan. Apabila curah hujan berada diantara exit dan trigger, maka pembayaran akan dilakukan secara sebagian (parsial). Namun, apabila curah hujan lebih besar daripada trigger, maka tidak ada pembayaran yang dilakukan. Persamaan umum untuk menghitung besarnya nilai pertanggungan yang dibayarkan (Y) sesuai dengan hujan yang diterima selama periode pertanggungan (musim kemarau) ( Boer 2012) adalah sebagai berikut :

15 B. Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Produksi Padi dan Luas Tanam

Analisis data secara visual dilakukan dengan menampilkan hubungan data luas tanam (Ha), luas panen (Ha) terhadap curah hujan (mm) serta hubungan data produksi (ton) padi terhadap jumlah kejadian kekeringan dalam bentuk grafik line. Dalam penyusunan indeks iklim menggunakan metode analisis Historical Burn

ini digunakan beberapa asumsi, diantaranya adalah : Asumsi-asumsi :

1. Dalam penelitian ini, indeks window yang diasumsikan adalah bulan Mei-September. Pemilihan indeks window pada bulan tersebut didasarkan pada informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Pacitan yang menyatakan bahwa bulan kritis di Kabupaten Pacitan yang memicu terjadinya kekeringan adalah bulan Mei-September.

2. Nilai cap yang digunakan diasumsikan sebesar 50. Berdasarkan Tabel 1, Indonesia termasuk dalam kategori wilayah tropik lembab dengan rata-rata suhu harian mencapai 20ᴼC, sehingga rata-rata nilai Etp yang tercatat berkisar antara 3-5 mm hari-1. Namun, hampir setiap wilayah di Indonesia menggunakan nilai Etp acuan sebesar 5 mm hari-1. Dalam penghitungan cap untuk asuransi indeks iklim ini, menggunakan nilai Etp acuan 5 mm hari-1 yang dikalikan dengan 10 hari sehingga diperoleh nilai cap sebesar 50.

3. Asumsi terjadinya bencana kekeringan di Kabupaten Pacitan adalah sulitnya masyarakat terhadap akses air bersih untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengairi lahan pertanian mereka. Pada saat musim penghujan, air tidak terdistribusi secara merata di setiap kecamatan dikarenakan topografi lahan yang bergunung dan berbukit dengan lereng yang terjal. Musim kemarau di Kabupaten Pacitan berlangsung pada bulan Mei-September yang sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kekeringan yang berujung pada gagal panen.

4. Data kekeringan yang digunakan adalah data kekeringan 2 mingguan. Kejadian kekeringan dihitung berdasarkan akumulasi terjadinya kekeringan selama periode 2 mingguan tersebut.

16

Gambar 6 Diagram alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Curah Hujan dan Kekeringan dengan Produksi dan Luas Tanam Padi

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi penghasil padi terbesar sepanjang tahun 2012 dengan total produksi mencapai 1,1 juta ton. Sebagai salah satu wilayah dengan dominasi lahan pertanian yang luas, Kabupaten Pacitan memproduksi padi rata-rata mencapai 5.3 ton per hektar. Pada tahun 2011 lalu sedikitnya terdapat 545 hektar lahan tanam di Kabupaten Pacitan yang mengalami kekeringan dan gagal panen. Dampak kekeringan tersebut membuat produksi padi per hektar turun dibandingkan setahun sebelumnya. Penurunan produksi sebesar 5,61 persen dari target 50,91 kuintal hanya terealisasi 48,05 kuintal (David 2010). Dalam bidang pertanian, air merupakan kendala utama pelaksanaan usaha tani di Kabupaten Pacitan sehingga penambahan ketersediaan air dalam skala jumlah dan waktu akan berpengaruh langsung terhadap produktifitas lahan (Sawiyo et al. 2005).

Klasifikasi iklim Oldeman

Selesai

Mulai

Identifikasi masalah wilayah kajian

Studi Pustaka

Pengumpulan data

Data curah hujan harian

Analisis dengan metode Historical

Burn Analysis (HBA)

Indeks Iklim

Data kekeringan, curah hujan, produksi padi sawah, dan sebaran

17 Kabupaten Pacitan dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan 2 musim yaitu musim hujan (Oktober-April) dan musim kemarau (April-Oktober). Analisis data iklim sangat diperlukan dalam kaitannya untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya di bidang pertanian. Secara umum, wilayah Kabupaten Pacitan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan rata-rata curah hujan tahunan. Curah hujan tahunan kurang lebih 1500 mm terjadi di wilayah Pacitan bagian barat dan curah hujan lebih dari 3000 mm terjadi di wilayah bagian timur laut utara yang bergunung. Selain itu, Kabupaten Pacitan juga dikelompokkan menjadi 4 zona agroklimat berdasarkan ketinggian tempat dan rata-rata curah hujan tahunannya. Oldeman (1975) memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklimnya. Bulan basah dan bulan kering yang terjadi secara berturut-turut menjadi dasar penentuan klasifikasi iklim Oldeman.

Data rata-rata curah hujan dari tahun 1998 hingga 2013 menunjukkan bahwa tipe iklim di Kabupaten Pacitan secara umum termasuk kedalam tipe C subdivisi 2 (tipe iklim C2). Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman, tipe iklim C2 ini berarti bahwa dalam satu tahun hanya dapat menanam padi sebanyak satu kali dan penanaman palawija yang kedua harus lebih berhati-hati dan tidak dilakukan pada bulan-bulan kering. Klasifikasi iklim Oldeman dipilih untuk menentukan tipe iklim di wilayah kajian ini karena dinilai cukup representatif untuk klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan di Indonesia, khususnya padi (Dinas Pertanian Kab. Pacitan 2007).

Tabel 3 Tipe iklim Oldeman di Kabupaten Pacitan berdasarkan data tahun 1998-2013

Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Ch rata-rata (mm) 338 377 314 223 130 77 43 7 48 147 274 341 BB BB BB BB BL BK BK BK BK BL BB BB Tipe Iklim Oldeman C2

18

Gambar 7 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di Kecamatan Donorojo selama periode tahun 2007 hingga 2012

(a) (b)

Gambar 8 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan dan produksi (Ton) tanaman padi di Kecamatan Donorojo

Gambar 7 memperlihatkan fluktuasi antara jumlah kejadian kekeringan dengan total produksi padi di Kecamatan Donorojo. Kekeringan sebanyak 2 kali terjadi di tahun 2007 yaitu pada bulan Agustus dan September dengan total produksi mencapai 500 ton. Kejadian kekeringan terjadi pada bulan Mei di tahun 2008. Peluang kejadian kekeringan di Kecamatan Donorojo adalah 0,5 dengan T (periode kejadian) 2, yang artinya selama 2 tahun hanya terjadi satu kali kekeringan.

Hasil produksi padi maksimum dicapai pada tahun 2011 yaitu sebesar 1.450 ton. Selama periode tahun 2007 hingga 2012 curah hujan cukup rendah terjadi pada tahun 2008. Pada Gambar 8 (a) luas panen dan luas tanam terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu masing-masing sebesar 250 Ha dan 280 Ha sedangkan luas tanam dan luas panen terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu masing-masing sebesar 105 Ha dan 92 Ha. Luas panen yang cukup rendah pada tahun 2007 berimplikasi terhadap produksi padi di Kecamatan Donorojo, yaitu hanya sebesar

19 538 ton, hampir tiga kali lebih rendah dibandingkan tahun 2011. Apabila dihubungkan dengan Gambar 7, curah hujan dan produksi memiliki hubungan yang erat. Tingkat produksi padi mencapai nilai maksimum pada tahun 2011 dengan curah hujan sebesar 2400 mm.

Gambar 8 (b) memperlihatkan bahwa ketika curah hujan rendah, maka produksi padi untuk wilayah Donorojo juga relatif rendah. Oldeman (1975) memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim dan menyebutkan bahwa jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah. Dalam hal ini, curah hujan sebesar 2400 mm pada tahun 2011 cukup sesuai untuk membudidayakan padi sawah sehingga dapat mencapai hasil panen maksimum dibanding tahun-tahun lainnya.

Gambar 9 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di Kecamatan Kebonagung selama periode tahun 2007 hingga 2012

(a) (b)

Gambar 10 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan (mm) dan produksi (Ton) tanaman padi di Kecamatan Kebonagung

Gambar 9 memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah kejadian kekeringan semakin rendah hasil produksi padi. Jumlah kejadian kekeringan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan 2008 dengan produksi padi yang cukup

20

rendah, yaitu hanya sebesar 8.000 ton untuk tahun 2007 dan 9.000 ton untuk tahun 2008. Kekeringan terjadi di bulan Juli dan Agustus pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2008 kekeringan terjadi pada bulan Juni dan Juli. Peluang kejadian kekeringan selama periode tahun 2007 hingga 2008 adalah sebesar 0,67 dengan T (periode kejadian) 1,5, yang artinya selama 1,5 tahun hanya terjadi satu kali kekeringan. Hasil produksi padi tertinggi di Kecamatan Kebonagung terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 15.000 ton.

Gambar 10 (a) memperlihatkan pengaruh curah hujan terhadap luas tanam dan luas panen tanaman padi di Kecamatan Kebonagung. Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 3250 mm. Pada tahun yang sama, luas tanam yang dilakukan oleh petani mencapai maksimal yaitu 2.700 Ha dengan luas panen sebesar 2.300 Ha dan menghasilkan produksi sebesar 14.947 ton. Gambar 10 (b) memperlihatkan bahwa tingginya curah hujan tidak selalu memberikan pengaruh terhadap produksi padi di Kecamatan Kebonagung. Pada tahun 2009 curah hujan di wilayah ini cukup rendah dibandingkan tahun-tahun lainnya, namun produksi padi yang diperoleh justru lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 yang curah hujannya sedikit lebih tinggi.

Gambar 11 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di Kecamatan Pringkuku selama periode tahun 2007 hingga 2012

(a) (b)

Gambar 12 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan (mm) dan produksi (Ton) tanaman padi di Kecamatan Pringkuku

21 Gambar 11 menunjukkan bahwa kejadian kekeringan terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Kejadian kekeringan masing-masing terjadi pada bulan Juli dan Juni untuk tahun 2007 dan 2008. Peluang kejadian kekeringan selama periode tahun 2007 hingga 2012 adalah 0,3 dengan T (periode kejadian) 3, yang artinya bahwa selama 3 tahun hanya terjadi satu kali kekeringan. Produksi padi yang didapatkan pada tahun 2007 lebih rendah 1.000 ton dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 4.200 ton. Namun demikian, produksi padi tertinggi untuk Kecamatan Pringkuku selama periode 2007 hingga 2012 adalah sebesar 4.779 ton yang terjadi pada tahun 2011. Sama halnya dengan Kecamatan Kebonagung, tingginya curah hujan tidak selalu memberikan pengaruh terhadap tingginya hasil produksi padi di Kecamatan Pringkuku (Gambar 12b).

Kabupaten Pacitan seperti daerah lainnya di Pulau Jawa dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan 2 musim yaitu musim hujan (Oktober-April) dan musim kemarau (April-Oktober). Secara umum, wilayah Kabupaten Pacitan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan rata-rata curah hujan tahunan. Kabupaten Pacitan sebelah barat memiliki curah hujan tahunan kurang lebih 1500 mm. Sedangkan, curah hujan tahunan lebih tinggi yaitu sebesar 3000 mm terjadi di sebelah timur laut Kabupaten Pacitan. Curah hujan yang lebih tinggi ini dipengaruhi oleh topografi wilayah timur laut Pacitan yang lebih bergunung-gunung. Curah hujan tahunan di ketiga kecamatan tersebut cukup bervariasi. Selama periode tahun 2007 hingga tahun 2012, rata-rata curah hujan terendah terjadi pada tahun 2008. Hampir 75% kecamatan di wilayah Kabupaten Pacitan memiliki curah hujan terendah di tahun 2008, yaitu Kecamatan Arjosari, Bandar, Nawangan, Ngadirojo, Punung, Sudimoro, dan Tulakan. Rendahnya curah hujan pada tahun 2008 berdampak terhadap tingginya kejadian kekeringan di Kabupaten Pacitan. Apabila dibandingkan dengan kejadian kekeringan, serangan OPT lebih mendominasi di wilayah ini. Setiap tahun selama periode tahun 2007 hingga 2012, serangan OPT selalu terjadi meski intensitasnya berbeda-beda. Produksi padi terendah terjadi pada tahun 2007 dan 2012 dengan rata-rata produksi hanya mencapai 87.000 ton.

Kekeringan yang terjadi sepanjang tahun 2007 cukup tinggi yaitu sebanyak 8 kali. Jumlah kejadian kekeringan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2008. Namun demikian, produksi pada tahun ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah serangan OPT. Pada tahun 2007 tercatat telah terjadi 13 kali serangan OPT pada lahan pertanaman padi di Kabupaten Pacitan. Tingginya curah hujan pada tahun ini memicu semakin tingginya serangan OPT sehingga mempengaruhi produksi padi yang dihasilkan. Organisme Pengganggu tanaman (OPT) yang ditemukan di lahan pertanaman padi selama tahun 2007-2012 adalah jenis Blast (Pyricularia oryzae)

(LPHP 2012). Kesigapan petani dalam mengantisipasi serangan OPT pada tahun 2008, berdampak terhadap lebih tingginya hasil produksi meskipun kejadian kekeringannya meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hubungan parameter yang diperlihatkan Gambar 13 memperlihatkan bahwa kejadian kekeringan memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap sistem usaha tani padi dibandingkan serangan OPT. Sehingga tindakan adaptasi terhadap kejadian kekeringan harus lebih diperhatikan dan diintesifkan untuk mempertahankan kestabilan produksi padi.

22

Gambar 13 Hubungan curah hujan, kejadian kekeringan, dan serangan OPT terhadap produksi padi selama periode tahun 2007 hingga 2012 Hubungan antara produksi padi dengan serangan OPT menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,51 sedangkan hubungan antara produksi padi dengan kejadian kekeringan menunjukkan hubungan korelasi sebesar -0,19. Serangan OPT dan kejadian kekeringan sama-sama menunjukkan hubungan korelasi negatif terhadap produksi padi. Namun, untuk periode tahun 2007 hingga 2012, kejadian kekeringan memiliki hubungan yang cukup lemah terhadap produksi padi, artinya kejadian kekeringan bukan merupakan faktor utama penyebab penurunan produksi padi selama periode tahun tersebut.

Keterangan :

Angka 5, 11, 0, 0, dan 3 menunjukkan jumlah kecamatan yang terkena kekeringan Gambar 14 Jumlah kecamatan yang terkena bencana kekeringan di Kabupaten

Pacitan selama periode tahun 2007 hingga 2012

Kejadian kekeringan dan jumlah curah hujan total pada tahun 2008 sangat berkorelasi. Rendahnya jumlah curah hujan total pada tahun 2008 di hampir 75% kecamatan di Kabupaten Pacitan mengakibatkan semakin

23 tingginya jumlah kejadian kekeringan. Kejadian kekeringan menyerang 11 kecamatan pada tahun 2008, diantaranya adalah Arjosari, Donorojo, Kebonagung, Nawangan, Ngadirojo, Pacitan, Pringkuku, Punung, Sudimoro, Tegalombo, dan Tulakan. Pada tahun 2007 kejadian kekeringan menyerang 5 kecamatan, yaitu Donorojo, Kebonagung, Pringkuku, Tegalombo, dan Tulakan. Jumlah kecamatan yang terserang kejadian kekeringan semakin berkurang untuk tahun 2011, yaitu hanya kecamatan Arjosari, Tegalombo, dan Tulakan. Pada tahun 2009, 2010, dan 2012 tidak terjadi kekeringan sama sekali di wilayah kajian.

Penyusunan Indeks Iklim

Asuransi indeks iklim merupakan asuransi pertanian yang berbasis indeks iklim. Kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada keobyektifan dan bukan pada pengukuran dari kehilangan riil (Manuamorn 2010 dalam Estiningtyas 2012). Dalam penelitian ini, indeks iklim yang dipilih adalah curah hujan. Keeratan hubungan antara produksi padi dengan curah hujan menjadi dasar dalam penentuan indeks iklim. Penelitian dengan menggunakan Metode Hostorical Burn Anaylsis (HBA) ini juga pernah diterapkan di Kabupaten Indramayu (Estiningtyas 2012). Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim penting yang sangat terlihat nyata pengaruhnya akibat anomali iklim. Kejadian anomali iklim d Indonesia telah terbukti dominan mempengaruhi produksi pertanian dan ketahanan pangan (Estiningtyas et al. 2008). Gagal panen akibat kekeringan disebabkan oleh hujan yang menurun jauh di bawah normal atau akibat banjir karena hujan jauh di atas normal.

Gambar 15 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim untuk Kecamatan Kebonagung

Curah hujan sebesar 116 mm pada Gambar 15 merupakan tinggi hujan yang dapat men-trigger terjadinya pembayaran nilai pertanggungan kepada pemegang polis. Nilai pertanggungan secara penuh (exit) ditunjukkan oleh angka curah hujan 89 mm yang berarti bahwa nilai pertanggungan harus dibayarkan secara penuh. Apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau diantara 89 mm dan 116

24

mm, maka besar nilai pertanggungan yang dibayarkan hanya sebagian saja sesuai dengan proporsi hujan yang diterima selama musim kemarau tersebut.

Gambar 16 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim untuk Kecamatan Donorojo

Indeks iklim berdasarkan curah hujan untuk setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan berbeda-beda. Gambar 16 memperlihatkan indeks iklim untuk Kecamatan Pringkuku. Tinggi hujan yang dapat men-trigger terjadi pembayaran nilai pertanggungan kepada pemegang polis adalah 70 mm, sedangkan pembayaran nilai pertanggungan secara penuh (exit) dilakukan apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau lebih rendah dari 38 mm. Apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau diantara 38 mm dan 70 mm, maka besar nilai pertanggungan yang dibayarkan hanya sebagian saja sesuai dengan proporsi hujan yang diterima selama musim kemarau tersebut.

Gambar 17 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim untuk Kecamatan Pringkuku

Kecamatan Pringkuku adalah salah satu kecamatan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Pacitan. Tinggi hujan yang dapat men-trigger terjadinya pembayaran nilai pertanggungan kepada pemegang polis adalah 61 mm. Exit yang merupakan indikator pembayaran nilai pertanggungan secara penuh, pada gambar 16 di atas, dijelaskan apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau adalah

25 lebih rendah dari 18 mm. Namun, apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau (MJJAS) berada diantara 18 mm dan 61 mm, maka pemegang polis harus membayar hanya sebagian saja sesuai dengan proporsi hujan yang diterima

Dokumen terkait