• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.5 Teori Migrasi

2.5.1 Teori Migrasi Todaro

Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang tela dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaaan pendapatan antara kota dan desa. Namun, pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah penghasilan yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapakan (expected income). Adapun premis dasar dalam model ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membandingkan-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkannya keuntungan yang diharapkan (expected gains) dari migrasi.

Pada dasarnya, model todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan penghasilan yang diharapkan selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan (yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Mereka baru akan memutuskan untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih di kota melebihi pengasilan bersih yang tersedia di desa.

Model ekonomi mengenai migrasi yang biasa digunakan, yakni yang lebih menitikberatkan pengaruh faktor selisih pendapatan sebagai penentu keputusan akhir untuk bermigrasi, tidak akan mengalami kesulitan dalam menunjukkan pilihan mana yang akan diambil oleh para pekerja di desa. Mereka pasti akan memutuskan untuk

bermigrasi guna mencari mencari upah di kota yang lebih tinggi. Meskipun demikian, penting untuk dipahami bahwa model migrasi ini dikembangkan dalam konteks perekonomian industri maju sehingga secara implisit mengasumsikan adanya kesempatan kerja yang penuh atau hampir penuh. Dalam situasi kesempatan kerja penuh, kesempatan untuk bermigrasi memang dapat didasarkan semata-mata pada keinginan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang relatif tinggi, di mana pun pekerjaan itu tersedia. Lebih lanjut, arus migrasi itu akan berhenti dengan sendirinya jika selisih pendapatan desa dan kota mengecil (upah di kota menurun karena jumlah pekerja yang tersedia bertambah, sedangkan upah di desa meningkat karena jumlah tenaga pekerja menyusut) sampai akhirnya sama. Bertolak dari pemikiran ini, model atau teori yang sederhana itu menganggap migrasi bukan suatu masalah yang perlu dikhawatirkan, karena mekanisme pasar akan mampu menghentikan atau, sebaliknya, meningkatkannya sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Sayangnya, analisis seperti ini tidaklah realistis, apalagi jika dikaitkan dengan kerangka kelembagaan dan ekonomi di sebagian negara-negara berkembang. Terdapat sejumlah alasan yang kuat untuk mengatakan analisis itu tidak realistis. Pertama, negara-negara berkembang pada umumnya menghadapi masalah pengangguran yang serius dan kronis sehingga seorang migran tidak dapat berharap segera mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi di perkotaan. Pada kenyataannya, ketika masuk ke dalam pasar kerja di perkotaan, banyak migran yang sebagian besar tidak terdidik dan tidak mempunyai keahlian, akan betul-betul menjadi pengangguran atau mencoba mencari pekerjaan lepas sebagai penjual keliling, pedagang asongan, petugas reparasi, atau pekerja harian yang berpindah-pindah di sektor perkotaan tradisional atau informal, yang relatif mudah dimasuki, beroperasi pada skala kecil, dan dengan upah yang relatif bersaing. Pada kasus penduduk migran yang terdidik peluangnya lebih baik,

dan beberapa diantaranya akan menemukan pekerjaan di sektor formal relatif lebih cepat. Namun pekerja terdidik ini hanya bagian kecil dari aliran penduduk migran secara total. Itu berarti sebelum memutuskan untuk bermigrasi, para calon migran juga harus mempertimbangkan kemungkinan dan resiko menganggur (baik terbuka maupun terselubung) dalam jangka waktu yang cukup lama.

Mayoritas usia migran yang muda membuat keputusan mereka untuk melakukan migrasi harus dilandaskan pada suatu jangka waktu yang lebih panjang guna memungkinkan mereka memperhitungkan penghasilan yang lebih permanen. Apabila para calon migran itu memperkirakan bahwa nilai-nilai kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tetap relatif rendah pada periode awal, bobot kemungkinan tersebut diharapkan akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu dan semakin luasnya hubungan atau koneksinya, sehingga tetap rasional baginya untuk bermigrasi meskipun penghasilan yang diharapkan pada periode awal mungkin lebih rendah daripada pendapatan yang diperolehnya di pedesaan. Jadi, sepanjang nilai sekarang (present value) dari penghasilan bersih yang diharapkan selama kurun waktu yang diperhitungkannya melebihi pendapatan yang bisa diperoleh di pedesaan, maka keputusan untuk bermigrasi tetap dapat di benarkan.

Dengan demikian, migrasi dari desa ke kota bukanlah suatu proses positif yang menyamakan tingkat upah di kota dan di desa seperti yang diungkapkan oleh model-model kompetitif, melainkan kekuatan yang menyeimbangkan jumlah pendapatan yang diharapkan (expected income) di pedesaan serta di perkotaan.

2.5.2 Teori Migrasi Everett S. Lee

Dalam keputusan bermigrasi selalu terkandung keinginan untuk memperbaiki salah satu aspek kehidupan, sehingga keputusan seseorang melakukan migrasi dapat

disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Lee (1987) ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi penduduk, yaitu :

1. Faktor-faktor daerah asal

2. Faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan 3. Rintangan antara

4. Faktor-faktor individual

Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah tujuan serta rintangan antara

Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor -). Selain itu ada pula faktor-faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (faktor o). Diantara keempat

Daerah Asal Rintangan Antara Daerah Tujuan - o+ - o+ - o + - o+ - o+ - o+ - o o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o + - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+ - o+- o+ - o+ - o+ -

faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri.

Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor) daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan transportasi. Kondisi ini diminati oleh penduduk daerah lain yang berharap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor) yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor pendorong itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Dokumen terkait