• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Mikroba Patogen

Keberadaan mikroba patogen, sangat mempengaruhi kehidupan kita, terutama dalam hal masalah kesehatan. Terdapat berbagai penyebab penyakit, salah satunya ialah mikroba patogen. Penyakit yang ditimbulkan bermacam-macam tergantung dari jenis mikroba penyebab penyakit tersebut, dan menimbulkan infeksi pada organ-organ tertentu. Oleh karena itu, dilakukan pencegahan semaksimal mungkin terhadap mikroba patogen tersebut.

2.3.1. Streptococcus mutans

Streptococcus mutans merupakan kuman yang mampu membentuk karies pada gigi karena segera membentuk asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. S. mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, yang mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut dextran (Nugraha, 2008).

Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi yang dapat menular dan terutama mengenai jaringan keras gigi, sehingga terjadi kerusakan jaringan keras setempat. Proses terjadinya kerusakan pada jaringan keras gigi melalui suatu reaksi kimiawi oleh bakteri. Proses kerusakan terjadi pada bagian anorganik, kemudian berlanjut pada bagian organik (Sabir, 2005).

Kerusakan gigi dimulai dari permukaan dan berkembang ke arah dalam. Awal dari karies adalah pembentukan plak yang terdiri atas endapan-endapan gelatin dari glukan. Polimer-polimer glukan dihasilkan oleh Streptococcus terutama Streptococcus mutans (Jawetz et al., 2001). S. mutans juga menyebabkan pembusukan gigi melalui pembentukan biofilm dekstran dan asam yang merusak email gigi (Hawley, 2003).

2.3.2. Salmonella typhii

Salmonella typhii merupakan bakteri Gram-negatif yang tidak berspora dan merupakan salah satu penyebab infeksi penyakit utama pada manusia. Keberadaan S. typhii tidak tahan pada kondisi lingkungan yang mengandung konsentrasi garam yang tinggi. Organisme ini masuk melalui jalan oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan atau minuman. Salah satu infeksi penyakit yang disebabkan oleh S. typhii ialah demam enterik Typhoid.

Mekanisme infeksi penyakit demam typhoid S. typhii berada pada bagian dalam tubuh. S. typhii menyerang ileosekum, menginvasi dan mematikan sel-sel makrofag sehingga menyebar dan mencapai aliran darah. Selanjutnya S. typhii berada di jaringan pembuluh empedu, diangkut ke dalam saluran pencernaan, sehingga dapat menyebabkan penyakit (Hawley, 2003). Ketika Salmonella mencapai usus kecil, kemudian masuk ke dalam cairan getah bening dan kemudian ke aliran darah, selanjutnya dibawa oleh darah ke beberapa organ. Bakteri ini meningkat di dalam jaringan getah bening usus dan dikeluarkan melalui tinja (Jawetz etal., 2001).

Waktu masa demam tiphoid yaitu selama empat minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dan denyut nadi. Pada minggu kedua terjadi peradangan pada splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi dan pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis (Zein et al., 2004).

2.3.3. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan jenis mikroorganisme koliform. E. coli memiliki ciri-ciri berbentuk batang, merupakan bakteri Gram-negatif, tidak berkapsul dan bersifat motil. E. coli juga digunakan sebagai indikator pencemaran makanan dan air oleh tinja. Bakteri ini terdapat banyak pada usus manusia dan hewan.

E. coli adalah salah satu dari bakteri enterik. E. coli diklasifikasikan berdasarkan sifat karakteristik dan virulensinya dan tiap kelompok menyebabkan

penyakit dengan mekanisme yang berbeda. Ketika infeksi klinis terjadi, biasanya disebabkan oleh E. coli. Bakteri ini menjadi patogen ketika mereka mencapai jaringan di luar intestinal normal atau tempat flora normal yang kurang umum, dan kebanyakan tempat yang sering mengalami infeksi klinis yaitu pada saluran air kemih, dan beberapa rongga perut (Jawetz et al., 2001), kemudian ketika ketahanan tubuh inang tidak kuat dapat menimbulkan infeksi lokal yang secara klinik dapat mencapai aliran darah lalu menimbulkan sepsis (Rio et al., 2012).

Selama ini, E. coli merupakan mikroorganisme indikator yang dipakai dalam analisis air untuk menguji adanya pencemaran oleh tinja, tetapi penyebarannya tidak selalu melalui air, melainkan juga melalui mulut dan dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman (Melliawati, 2009). E. coli juga merupakan penyebab utama diare pada bayi di negara-negara berkembang. Penyakit ini ditularkan melalui pemakaian feses sebagai pupuk tanaman dan umumnya pada sanitasi yang buruk (Hawley, 2003).

2.3.4. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi ketika spora mulai muncul. Spesies ini umum ditemukan pada kacang-kacangan (khususnya kacang tanah), rempah-rempah, biji yang mengandung minyak, serealia, dan kadang-kadang pada buah-buahan yang dikeringkan (Gandjar et al., 1999). Berbagai bahan baku dan makanan olahan seperti kacang-kacangan, daging dan buah juga rentan mendapat kontaminasi dari jamur ini, yang terjadi melalui penyiapan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, pemasaran, hingga sampai pada konsumen.

Koloni A. flavus dapat mencapai diameter 3-5 cm dalam waktu tujuh hari, dan berwarna hijau kekuningan karena lebatnya konidiofor yang terbentuk. Kepala konidia khas berbentuk bulat, kemudian merekah menjadi beberapa kolom, dan berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua kekuningan. Konidiofor berwarna hialin, kasar dan dapat mencapai panjang 1,0 mm (ada yang sampai 2,5 mm).

Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat, dan berdiameter 25-45 µm. Fialid terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula, dan berukuran (6-10) x (4,0-5,5) µm. Metula berukuran (6,5-10) x (3-5) µm. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berdiameter 3,6 µm, hijau pucat dan berduri (Gandjar et al., 1999).

Secara makroskopis jamur yang tumbuh terlihat warna koloni hijau kekuningan yang merupakan indikator adanya jamur A. flavus. Secara mikroskopis pada A. flavus tampak vesikel agak lonjong dengan dinding konidia lebih halus dan tidak bergerigi seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. a. Koloni jamur A. flavus, b. Konidia A. flavus pada pembesaran 100x10 (Safika, 2008)

Tahun 1961 telah ditemukan suatu bahan beracun dihasilkan oleh jamur A. flavus bersifat saprofit, dengan alasan ini maka racun tersebut dinamakan aflatoksin. Aflatoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari jamur A. flavus yang banyak ditemukan pada hasil pertanian di negara tropik. Lingkungan tropik memberkan kondisi optimum bagi pertumbuhan jamur A. flavus (Massey et al., 1995).

Kondisi optimum jamur ini untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25-35 0C, kelembaban relatif 85 % dan kadar air 16 %, serta pH 6. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan terjadi bila strain aflatoxigenic berhasil tumbuh dan membentuk koloni serta selanjutnya memproduksi aflatoksin. Jamur A. flavus akan menghasilkan 50 % strain aflatoxigenic (Cotty & Melon, 2004).

Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang A. flavus (Mehan et al., 1991), yang terdiri dari empat komponen induk yaitu, aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2),

aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2). Di antara keempat jenis aflatoksin ini, diketahui aflatoksin B1 (AFB1) dan aflatoksin B2 (AFB2) termasuk yang berbahaya, sehingga pengembangan penelitian banyak difokuskan pada aflatoksin jenis ini (Coallier & Idzack, 1985).

Resiko kesehatan yang ditimbulkan jika konsumen mengkonsumsi produk yang telah terkontaminasi A. flavus dan aflatoksin ini sangat besar, sedangkan proses pengolahan makanan tradisional belum dapat menghilangkan cemaran aflatoksin sampai batas aman. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu metode kombinasi secara biologis, dengan terus melakukan eksplorasi dan skrining mikroba kompetitor yang memenuhi standar "food grade" dan mampu menurunkan kadar aflatoksin (Bata & Lasztity, 1999). Memodifikasi kondisi lingkungan seperti: kelembaban rendah, kadar air serealia rendah (kering), pengepakan yang kedap udara, perlakuan fumigasi merupakan cara mengeliminasi pertumbuhan A. flavus sekaligus menekan kontaminasi aflatoksin (Misgyarta & Suarni, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN

Dokumen terkait