Analisis mineral liat tanah menggunakan alat Differential Thermal Analysis
Pedon 1
Gambar 2. Termogram Horison IIC
Gambar 3. Termogram Horison Bt
Gambar 5. Termogram Horison Bw
Gambar 6. Termogram Horison Ap
Gambar 7. Termogram Horison Bw1
Gambar 9. Termogram Horison Bw3
Pedon 3
Gambar 12. Termogram Horison Bt1
Gambar 13. Termogram Horison Bt2
Data puncak endotermik dan jenis mineral liat tanah tertera pada tabel di
bawah ini.
Tabel 6. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 1
Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap IIC Bt IC Bw 60 255 470 65 260 470 70 260 475 60 260 470 60 260 480 Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit
Tabel 7. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 2
Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap Bw1 Bw2 Bw3 C 60 470 70 475 65 480 70 480 65 475 Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Tabel 8. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 3
Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap Bt1 Bt2 65 265 480 70 275 480 60 260 480 Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit 3. Mineral Indeks Van Wambeke
Berdasarkan perhitungan mineral indeks Van Wambeke (lampiran 5),
diperoleh angka-angka: bobot mineral indeks, faktor mineral indeks, bobot liat
saat ini, bobot bukan liat saat ini, bobot total semula, bobot liat semula, bobot
bukan liat semula, serta perubahan kadar liat dan bukan liat yang tertera pada
Pembahasan
Deskripsi Profil Tanah
Berdasarkan morfologi tanah pada pedon 1 diperoleh data bahwa pedon ini
terdiri dari lima horison, yaitu Ap-IIC-Bt-IC-Bw dengan kedalaman profil 54 cm,
yang memiliki batas peralihan yang berombak dan nyata. Pada pedon 2 terdiri dari
lima horison yaitu Ap-Bw1-Bw2-Bw3-C dengan kedalaman profil 165 cm, yang
memiliki batas peralihan yang berombak dan nyata. Pada pedon 3 terdiri dari lima
horison yaitu Ap-Bt1-Bt2 dengan kedalaman profil 140 cm, yang memiliki batas
peralihan yang berombak dan nyata.
Pada ketiga pedon tanah tersebut diamati warna tanah dengan
menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, dan diamati dalam keadaan
lembab. Warna tanah ini disusun oleh tiga variabel, yaitu hue, value, dan chroma.
Hue menunjukkan warna spektrum yang dominan, sesuai dengan panjang
gelombang, value menunjukkan gelap terangnya warna sesuai dengan banyaknya
sinar yang dipantulkan dan chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari
warna spektrum. Warna tanah ini merupakan salah satu parameter yang digunakan
dalam membedakan setiap batas horison dalam profil tanah.
Tekstur tanah pada pedon 1 didominasi oleh tekstur pasir, hal ini karena
profil 1 terletak di dekat aliran sungai. Pada saat air sungai meluap, maka akan
membawa partikel tanah yang berukuran kecil yaitu liat dan debu bersama dengan
aliran air sungai, sehingga akan didominasi oleh partikel pasir. Hal ini juga
didukung oleh kedalaman air tanah yang hanya 54 cm dan curah hujan tahunan
Pada pedon 2 dengan kedalaman tanah 150 cm sudah didapatkan bahan
induk atau horison C, sedangkan pada pedon 3 belum didapatkan bahan induk
dengan kedalaman 140 cm. Hal ini terjadi karena kedua pedon memiliki
ketinggian tempat yang berbeda, pedon 2 ketinggian tempatnya 60 m dpl,
sedangkan pedon 3 ketinggian tempatnya 70 m dpl. Tetapi sesungguhnya kedua
pedon ini memiliki bahan induk yang sama, jika dilihat dari toposekuennya. Hal
ini dapat terlihat dari gambar berikut:
Pedon 3
70 m dpl
Pedon 2
60 m dpl
Gambar 14. Toposekuen Pedon 2 dan Pedon 3
Perkembangan Tanah
1. Morfologi Tanah
Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan
kelengkapan horison tanahnya. Menurut Marpaung (2008), urutan perkembangan
tanah adalah sebagai berikut A-E-Bt-C; A-Bt-C; A-Bw-C; A-C; C-R; R, dimana
yang awal lebih berkembang daripada yang belakangnya.
Pedon 1 memiliki horison Ap-IIC-Bt-IC-Bw. Pada pedon ini terjadi
diskontinuitas litologi atau terjadi perulangan horison C. Ini disebabkan oleh
proses erosi dan pengendapan partikel tanah yang dilakukan air sungai pada saat
pada tingkat perkembangan tanah muda. Hal ini sesuai dengan literatur
Hanafiah (2005) yang mengatakan bahwa tanah-tanah muda dicirikan oleh
horison yang baru berkembang.
Pedon 2 memiliki horison Ap-Bw1-Bw2-Bw3-C. Berdasarkan
kelengkapan horisonnya maka pedon 2 dapat dikategorikan pada tingkat
perkembangan tanah dewasa. Hal ini sesuai dengan literatur Foth (1994) yang
menyatakan bahwa tahap dewasa diperoleh dengan perkembangan horison B.
Pedon 3 memiliki horison Ap-Bt1-Bt2. Berdasarkan kelengkapan
horisonnya maka pedon 3 dapat dikategorikan pada tingkat perkembangan tanah
dewasa, tetapi lebih berkembang dari pedon 2, sesuai dengan literatur Marpaung
(2008) yang menjelaskan tentang urutan perkembangan tanah, diamana A-Bt-C
lebih berkembang dari A-Bw-C. Hal ini terjadi karena pedon 2 terletak pada
kemiringan lereng 10 % yang menyebabkan proses iluviasi dan eluviasi terganggu
oleh karena aliran permukaan atau run off, sedangkan pedon 3 kemiringan
lerengnya 3 % yang membuat proses iluviasi dan eluviasi dapat berlangsung
dengan baik.
Dari hasil penelitan Nadeak (2006) menyimpulkan bahwa pada pedon 2
dengan horison Ap-Bw-C1-C2 lebih berkembang daripada pedon 1 dengan
horison Ap-IIC1-IIC2-Bw-IC, karena pada pedon 1 terjadi diskontinuitas litologi,
hal ini sesuai dengan data yang didapat pada hasil penelitian, pedon 2 dengan
horison Ap-Bw1-Bw2-Bw3 lebih berkembang dari pedon 1 dengan horison Ap-
2. Mineral Liat
Penentuan tingkat perkembangan tanah didasarkan pada susunan mineral
mineral liat penyusun tanah. Menurut Marpaung (2008) urutan mineral liat adalah
gibsit-kaolinit-montmorillonit-alofan, dimana yang awal lebih berkembang
daripada yang di belakangnya.
Berdasarkan hasil interpretasi termogram diketahui bahwa pada pedon 1
kandungan mineralnya adalah alofan, gibsit, imogolit. Berdasarkan data ini, maka
tingkat perkembangan tanahnya adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut,
karena telah terbentuk mineral gibsit yang berasal dari pelapukan alofan.
Pada pedon 2 disusun oleh alofan, imogolit. Berdasarkan data ini, maka
tingkat perkembangan tanahnya adalah awal, karena belum terbentuk mineral
yang lebih lanjut seperti gibsit.
Dan pedon 3 disusun oleh mineral alofan, gibsit, imogolit. Berdasarkan
data ini, maka tingkat perkembangan tanahnya adalah berkembang ke arah yang
lebih lanjut, karena telah terjadi pelapukan mineral alofan menjadi gibsit.
Berdasarkan mineral penyusunnya, maka pedon 1 dan pedon 3 lebih
berkembang dari pedon 2, karena pedon 1 dan 3 sudah terdapat mineral gibsit.
Dan di antara pedon 1 dan pedon 3, diketahui bahwa pedon 3 lebih berkembang
dari pedon 1 karena puncak endotermik dari mineral gibsit pada profi 3 lebih jelas
terlihat dibanding pada pedon 1.
Dari hasil penelitian Sitinjak (2001), pada pedon 1 dan pedon 2 dengan
horison Ap1-Ap2-Bw1-Bw2 terdapat mineral alofan dan juga gibsit pada horison
Bw2. Jika dibandingkan dengan data hasil penelitian, terutama pada pedon 2
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat perkembangan tanah dengan
menggunakan mineral liat walaupun mempunyai horison yang serupa
(horison Bw).
3. Mineral Indeks Van Wambeke
Penentuan tingkat perkembangan tanah didasarkan kepada bobot liat yang
terbentuk dan bobot bukan liat yang hilang. Umumnya dalam perkembangan
tanah terjadi pengurangan bobot bahan bukan liat dan penambahan kadar liat.
Pada pedon 1 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah +20,05 g dan
bobot liat yang terbentuk adalah - 4,54 g. Dalam hal ini terjadi penambahan bobot
bukan liat dan pengurangan bobot liat. Perkembangan tanah pada pedon 1 adalah
tanah yang telah berkembang dan terjadi pengendapan.
Pada pedon 2 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah
+280,57 g dan bobot liat yang terbentuk adalah +422,54 g. Dalam hal ini terjadi
penambahan bobot bukan liat dan penambahan bobot liat. Berdasarkan hal ini
maka perkembangan tanah pada pedon 2 adalah tanah yang telah berkembang dan
terjadi pengendapan.
Pada pedon 3 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah
+213,86 g dan bobot liat yang terbentuk adalah +667,29 g. Dalam hal ini terjadi
penambahan bobot bukan liat dan penambahan bobot liat. Berdasarkan hal ini
maka tanah pada pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang dan terjadi
pengendapan.
Berdasarkan bobot bukan liat yang hilang dan bobot liat yang terbentuk
pada ketiga pedon, maka diketahui bahwa pedon 3 lebih berkembang dari pedon 1
besar yaitu +881,15 g dibanding pedon 2 yaitu +703,11 g dan pedon 1 yaitu
+ 15,51 g. Dan diketahui juga bahwa pedon 2 lebih berkembang dari profil 1,
karena pada pedon 1 telah terjadi erosi yang menyebabkan bobot liatnya
berkurang,
Dari hasil penelitian Silalahi (2006), pada pedon 1 dengan horison Ap-IIC-
Bw-IC yang terjadi diskontunitas litologi memperlihatkan terjadinya pengurangan
bahan bukan liat sebesar -70,21 g dan penambahan bahan liat sebesar 9,53 g pada
horison Ap-IIC, sehingga disimpulkan sebagai tanah yang berkembang dan
disertai pengendapan. Jika dibandingkan dengan data hasil penelitian, terutama
pada pedon 1 dengan horison Ap-IIC-Bt-IC-Bw yang juga terjadi diskontuinitas
litologi, yang memperlihatkan adanya penambahan bahan bukan liat sebesar
+20,05 g dan pengurangan liat -4,54 g pada horison Ap-IIC, maka dapat
disimpulkan bahwa walaupun kedua pedon mengalami diskontuinitas litologi,
tetapi terdapat perbedaan terhadap hasil yang didapat yaitu pada perubahan kadar
bukan liat dan perubahan kadar liatnya.
4. Perbandingan Metode Penentuan Tingkat Perkembangan Tanah
Perbandingan metode penentuan tingkat perkembangan tanah, berdasarkan
metode morfologi, mineral liat dan mineral indeks Van Wambeke dapat dilihat
Tabel 8. Perbandingan Metode Penentuan Tingkat Perkembangan Tanah
No Metode Pedon
1 2 3
1 Morfologi Muda Dewasa Dewasa (lebih dari
pedon 2)
2 Mineral Liat Berkembang ke arah
yang lebih lanjut Awal
Berkembang ke arah yang lebih lanjut
3 Mineral Indeks Van Wambeke Berkembang (ada pengendapan) Berkembang (ada pengendapan, lebih banyak dari pedon 1)
Berkembang (ada pengendapan, lebih banyak dari pedon 2)
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa pada pedon 1 perkembangan tanah
berdasarkan morfologi adalah muda, dan berdasarkan mineral liat adalah
berkembang ke arah lanjut. Sedangkan pada pedon 2 pada metode morfologi,
tanah dikategorikan pada tingkat perkembangan tanah dewasa,dan pada metode
mineral liat, tanah dikategorikan tingkat perkembangan awal. Seharusnya pada
metode mineral liat, pedon 2 lebih berkembang dari pedon 1, tetapi pada tabel
didapati hasil yang berbeda, yaitu pedon 1 lebih berkembang daripada pedon 2.
Hal ini dikarenakan terdapatnya mineral gibsit pada pedon 1 yang berasal dari
bahan induk atau horison C-nya (IIC dan IC), sehingga horison yang berada di
atasnya (Ap dan Bt) juga terdapat mineral gibsit. Sedangkan pada pedon 2 tidak
terdapat mineral gibsit. Tidak terdapatnya mineral gibsit pada pedon 2 karena
tidak terdapatnya mineral gibsit pada horison C-nya dan pedon ini terdapat pada
kemiringan lereng bergelombang (10 %), sehingga pelapukan mineral alofan
terhambat oleh proses aliran permukaan.
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa dengan metode morfologi, tingkat
perkembangan tanah pada pedon 1 adalah muda karena terjadi diskontinuitas
litologi, tetapi dengan metode mineral liat, tingkat perkembangan tanahnya adalah
berkembang ke arah yang lebih lanjut (sama dengan pedon 3), karena terdapat
tidak dapat menetukan tingkat perkembangan secara tepat, karena pada pedon 1
yang terjadi diskontinuitas litologi memiliki tingkat perkembangan yang sama
dengan pedon 3 yang tidak terjadi diskontinuitas litologi dan juga lebih
berkembang dari pedon 2.
Berdasarkan tabel di atas, penentuan tingkat perkembangan tanah dengan
metode mineral indeks Van Wambeke hanya dapat menyimpulkan tanah
berkembang dengan terjadi pengendapan atau erosi atau tidak keduanya. Dari hal
ini dapat terlihat kelemahan dari metode ini, karena tidak dapat menentukan
tingkat perkembangan tanah pada tingkat muda, dewasa dan lanjut. Tetapi metode
ini mempunyai kelebihan, yaitu dapat mengetahui erosi yang terjadi.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode yang
terbaik dalam menentukan tingkat perkembangan tanah adalah metode morfologi
karena dapat menentukan secara tepat tingkat perkembangan tanahnya. Sedangkan
metode mineral liat dan mineral indeks Van Wambeke dapat dijadikan sebagai
data pelengkap.
Analisis Laboratorium
1. Tekstur Tanah
Pada pedon 1, pada horison Ap dan IIC tekstur tanahnya didominasi oleh
fraksi pasir, yaitu antara 88 sampai 90%, sedangkan fraksi lainnya memiliki
presentase rendah, seperti debu hanya 7 sampai 10% dan liat yang hanya 0,2
sampai 1,36%. Dari presentase fraksi tanah ini dapat dilihat bahwa horison Ap
masih memiliki sifat yang hampir sama dengan bahan induknya, yaitu horison
IIC, tetapi sudah mengalami perkembangan yang ditandai dengan berkurangnya
Pada pedon 1, fraksi liatnya mengalami penurunan dari horison IIC yaitu
sebesar 1,36% menadi hanya 0,2% di horison Ap. Hal ini dimungkinkan karena
letak dari pedon 1 yang berada di dekat sungai, yang dapat menyebabkan
terbawanya partikel yang ringan yaitu liat bersama dengan aliran sungai pada saat
air sungai meluap.
Pedon 2 memiliki presentase partikel liat yang lebih kecil dari pedon 3.
Pada pedon 2 partikel liatnya berkisar antara 21 sampai 46 %, sedangkan pada
pedon 3 partikel liatnya berkisar antara 42 sampai 78 %. Hal ini dapat terjadi
karena pedon 2 memiliki kemiringan lereng yang bergelombang yaitu 10 %, yang
menyebabkan proses iluviasi dan eluviasi terganggu, karena aliran permukaan
atau run off yang dapat membawa partikel liat dan mengendapkannya, sedangkan
pedon 3 kemiringan lerengnya datar yaitu 2 % yang memungkinkan proses
iluviasi dan eluviasi berlangsung dengan baik.
2. Mineral Liat Tanah
Untuk melakukan analisis mineral liat digunakan alat DTA (Differential
Thermal Analysis). Prinsip kerja dari alat DTA ini adalah membandingkan garis
yang terbentuk pada kertas termogram yang disebabkan oleh perubahan
temperatur antara contoh tanah dengan bahan pembanding, dalam hal ini
digunakan Al2O3, dengan kecepatan pemanasan yang konstan, dalam penelitian
ini digunakan kecepatan 10OC/menit. Contoh tanah dan bahan pembanding
tersebut dipanaskan dalam suatu wadah yang disebut thermocouple yang berbahan
dasar platinum rodium (PR). Temperatur yang digunakan dalam melakukan
Pada termogram terlihat adanya puncak yang mengarah ke bawah, puncak
ini disebut dengan puncak endotermik. Puncak ini terjadi apabila terjadi
dehiroksilasi atau pelepasan air yang disebabkan oleh peningkatan temperatur.
Berdasarkan hasil, diketahui bahwa pada ketiga pedon didominasi oleh
mineral alofan, ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur 60 – 70OC.
Kandungan mineral yang lainnya adalah imogolit yang terdapat pada ketiga
pedon ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur 255-275OC dan
gibsit pada pedon 1 dan 3, ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur
470 – 480OC.
Dengan susunan mineral liat yang didominasi oleh alofan, sedikit imogolit
dan gibsit, dan menurut literatur Sudihardjo, dkk (1995) maka dapat diduga
beberapa mekanisme proses pelapukan mineral liat tersebut mengikuti sekuens
sebagai berikut: alofan haloisit hidrat + gibsit pada kondisi pencucian intensif, dan pada karena imogolit juga ditemukan, maka diduga pelapukan alofan
mengikuti mekanisme sebagai berikut: alofan imogolit haloisit hidrat.
Pada pedon 1, pada setiap horisonnya terdapat mineral gibsit, walaupun
dengan jumlah yang sedikit. Mineral gibsit yang terdapat pada pedon 1
disebabkan karena pada horison C-nya (IIC dan IC) sudah terdapat mineral gibsit,
sehingga horison yang di atasnya (horison Ap dan Bt) memiliki kandungan
mineral gibsit. Pada pedon 2, tidak terdapat horison gibsit, karena topografinya
yang miring (10%), sehingga pencucian dan pelapukan alofan terhambat dan
didukung oleh kandungan mineral liat pada horison C yang juga tidak terdapat
mineral gibsit. Sedangkan pada pedon 3 terdapat mineral gibsit, dan terbanyak
menjadi gibsit. Hal ini sesuai dengan literatur Sudihardjo, dkk (1995) yang
menyatakan bahwa mekanisme proses pelapukan mineral liat tersebut mengikuti
sekuens sebagai berikut: alofan haloisit hidrat + gibsit pada kondisi pencucian intensif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. a. Berdasarkan morfologi tanah, tingkat perkembangan tanah pada pedon 1
adalah muda, pada pedon 2 adalah dewasa, dan pedon 3 adalah dewasa
(lebih berkembang dari pedon 2).
b. Berdasarkan mineral liat, tingkat perkembangan tanah pada pedon 1 adalah
berkembang ke arah yang lebih lanjut, pedon 2 adalah awal, dan pedon 3
adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut (lebih berkembang dari
pedon 1).
c. Berdasarkan mineral indeks Van Wambeke, tingkat perkembangan tanah
pada pedon 1 adalah tanah yang telah berkembang dan ada pengendapan,
pedon 2 adalah tanah yang telah berkembang ada pengendapan (lebih besar
dari pedon 1), dan pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang ada
pengendapan (lebih besar dari pedon 2).
2. Metode yang terbaik untuk menentukan tingkat perkembangan tanah adalah
dengan metode morfologi tanah, yang kedua adalah mineral indeks Van
Wambeke dan terakhir adalah mineral liat.
Saran
Agar dilakukan penelitian di daerah lain yang memiliki kondisi topografi
yang sama dengan daerah penelitian ini untuk membandingkan data yang telah
DAFTAR PUSTAKA
Buol, S. W., F. D. Hole, and R. J. McCracken, 1980. Soil Genesis and
Calssification. Second Edition. The Iowa State University Press, Ames. Halaman 100-101.
Darmawijaya, I., 1990. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Halaman 128, 140.
Foth, H. D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu tanah. Terjemahan Soenartono Adisoemarto. Erlangga, Jakarta. Halaman 196, 198, 210.
Grace, D., 2002. Kajian Perkembangan Tanah Uruk Gerungang Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat dengan Metode Van Wambeke. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 24-25.
Hakim, N, M. Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha, G. B. Hong, dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Press, Lampung. Halaman 33.
Hanafiah, K. A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Halaman 53.
Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi dan Pedogenesis Tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Halaman 4
Marpaung, P., 2008. Genesis dan Taksonomi Tanah, Practice Guide Book.
Laboratorium Mineralogi dan Klasifikasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Halaman 13.
Munir, M., 1996. Geologi Dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta. Halaman 267-268.
Nadeak, F., 2006. Kajian Perkembangan Tanah pada Toposekuen di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten karo dengan Metoda
Morfologi. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 33.
Rafi’i, S., 1990. Ilmu Tanah. Penerbit Angkasa, Bandung. Halaman 37.
Silalahi, G. M., 2006. Kajian Perkembangan Tanah pada Toposekuen di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dengan Metode Van Wambeke. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 25-26.
Sitinjak, E., 2001. Tingkat Perkembangan Tanah di Uruk Gerunggang Kecamatan Kuala kabupaten Langkat Berdasarkan Mineral Liat. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 28-29.
Sudihardjo, A.M., Tejoyuwono, N., dan D. Mulyadi. 1995. Andisolisasi Tanah- Tanah di Wilayah Karst Gunung Kidul.Kongres Nasional HITI VI. 1995. Serpong. Halaman 5-7.
Tan, K. H., 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarata. Halaman 130.
Lampiran 1. Prosedur Pemakaian DTA
Unit kontrol dan amplifier dihidupkan selama 30 menit sebelum analisa dimulai
Timbang bahan pembanding (serbuk alumina) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel
Timbang bahan yang akan diuji (sampel) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel
Bahan pembanding dan sampel diletakkan ke dalam gagang sampel (bahan pembanding ditempatkan di sebelah kiri dan sampel di tempatkan di sebelah kanan)
DETEKTOR, set pada DTG dan Thermocouple set PR
PROGRAM MODE, set Up dan kecepatan pemanasan set 5 ºC sampai 20 ºC (biasanya set 10 ºC)
TEMPERATUR, K, ºC, mV, set pada ºC LIMIT TEMPERATUR, set di bawah 1000 ºC
Saklar amplifier DTA, switch ON dan RANGE ± 250 µV, set sesuai dengan yang diinginkan (± 100 µV). Selektor set TG
RECORDER:
Pen 1 (temperatur), POWER switch ON dan RANGE set “S” ZERO, set pen 1 pada titik 0 (nol)
RANGE, seleksi sesuai dengan tempeeratur percobaan, thermocouple PR (biasanya set 15 mV)
Pen 2, (DTA), POWER switch ON dan RENGE set “S”, dan set pen 2 pada titik awal DTA dan RANGE DTA set 20 mV (lihat perubahan pen 2). Jika pen DTA bergerak set kembali ke titik awal dengan memutar tombol ZERO pada amplifier DTA
Unit control, ST-BY switch ON
START TEMPERATUR, set 2 ºC sampai 3 ºC lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter
RECORDER, CHART SPEED, dipilih dari 1,25 sampai 40 mm/menit dan CHART SW, Switch ON
Lampiran 2. Prosedur Analisis Tekstur dengan Metode Pipet Penetapan tekstur cara Pipet
Dasar penetapan
Bahan organik dioksidasi dengan H2O2 dan garam garam yang mudah larut dihilangkan dari tanah dengan HCl sambil dipanaskan. Bahan yang tersisa adalah mineral yang terdiri atas pasir, debu dan liat.
Pasir dapat dipisahkan dengan cara pengayakan basah, sedangkan debu dan liat dipisahkan dengan cara pengendapan yang didasarkan pada hukum Stoke. Peralatan
♦ Piala gelas 800 ml ♦ Pemanas listrik
♦ Ayakan 50 mikron ♦ Gelas ukur 500 ml ♦ Pipet 20 ml ♦ Cawan aluminium ♦ Gelas ukur 200 ml ♦ Stop watch ♦ Oven berkipas
♦ Neraca analitik ketelitian 4 desimal Pereaksi
♦ H2O2 30% ♦ H2O2 10%
H2O2 30% diencerkan tiga kali dengan air bebas ion. ♦ HCl 2N
Encerkan 170 ml HCl 37% teknis dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 L. ♦ Larutan Na4P2O7 4%
Larutkan 40 g Na4P2O7.10 H2O dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 L .
Cara kerja
- Timbang 10,00 g contoh tanah <2 mm, masukan ke dalam piala gelas 800 ml, ditambah 50 ml H2O2 10% kemudian dibiarkan semalam
- Keesokan harinya ditambah 25 ml H2O2 30% dipanaskan sampai tidak berbusa,
- Selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl 2N.
- Didihkan diatas pemanas listrik selama lebih kurang 10 menit. Angkat dan setelah agak dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml. - Diendap-tuangkan sampai bebas asam,