• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN A Latar Belakang

A. Minyak Daun Cengkeh

Minyak daun cengkeh diperoleh dari penyulingan daun cengkeh

(Syzigium aromaticum, Eugenia caryophyllata dan Syzigium caryophyllum).

Metode yang umum digunakan yaitu penyulingan dengan uap air. Minyak daun cengkeh berwarna kuning muda. Minyak daun cengkeh digunakan sebagai bahan baku industri pangan, parfum, farmasi, dan bahan pembuatan vanilin sintetik (Ketaren, 1985).

Minyak daun cengkeh pada umumnya mengandung jumlah eugenol lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Mutu minyak daun cengkeh terutama ditentukan oleh kandungan eugenol dan warna minyak (Ketaren, 1985). Tabel 1 memperlihatkan standar mutu minyak daun cengkeh berdasarkan Standar Nasional Indonesia.

Tabel 1 Standar mutu minyak daun cengkeh menurut SNI 06-2387-1998

Karakteristik Nilai

Bobot Jenis pada 15oC 1,03 - 1,06

Indeks Bias pada 20oC 1,52 - 1,54

Kadar eugenol minimal (%) 78

Minyak pelikan Negatif

Minyak lemak Negatif

Kelarutan dalam alkohol 70% Larut dalam dua volume

Sumber : BSN, 1998

Minyak daun cengkeh mengandung dua kelompok komponen penyusun. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol (80-85%) sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non fenolat yang meliputi beta karyofilen, alfa kubeben, alfa kopaen, humulen, delta kadinen, dan kadina 1,3,5 trien dengan beta karyofilen sebagai komponen terbesar (Sastrohamidjojo, 2002).

Minyak daun cengkeh umumnya dilakukan pengolahan lanjutan menjadi eugenol. Proses lanjutan ini dapat menggunakan destilasi fraksinasi atau ekstraksi secara kimiawi.

B. Eugenol

Eugenol dan non eugenol dari minyak daun cengkeh dapat dipisahkan dengan cara penambahan larutan NaOH atau KOH dan membentuk larutan natrium atau kalium eugenolat yang larut dalam air. Sedangkan komponen lain dalam minyak daun cengkeh tidak larut dalam air sehingga akan tebentuk dua lapisan cairan yang mudah dipisah. Cairan Na/K-eugenolat setelah terpisah dapat dinetralkan dengan larutan asam sulfat.

Eugenol dapat diisolasi dengan penambahan NaOH. Jumlah NaOH yang direaksikan harus proporsional dengan kandungan eugenol dalam minyak daun cengkeh. Eugenol akan bereaksi dengan NaOH membentuk Na-eugenolat yang larut dalam air. Setelah reaksi berlangsung akan diperoleh dua lapisan. Lapisan atas merupakan senyawa atau komponen dalam minyak cengkeh selain eugenol. Eugenol dapat diperoleh dengan menetralkan larutan eugenolat dengan menambahkan HCl hingga pH 3. Pada akhir reaksi terjadi dua lapisan, dimana lapisan atas mengandung eugenol (Sastrohamidjojo, 2002). Spesifikasi eugenol dalam perdagangan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Spesifikasi eugenol dalam perdagangan

Karakteristik Nilai

Bobot jenis pada 25o 1,064 – 1,070

Indeks bias pada 20oC 1,540 – 1,542

Kemurnian Eugenol, min. 99%

Penampakan dan warna Cairan bening sampai kuning muda

Kelarutan dalam etanol 70% 1 : 2

Aroma aroma cengkeh

Sumber : Anonim, 2006b

Wirawan (1982) melaporkan isolasi eugenol menggunakan larutan NaOH 4%, 5%, dan 6% dengan nisbah minyak daun cengkeh dengan larutan NaOH 1 : 5 menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH yang dipergunakan dalam isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh berpengaruh nyata terhadap kemurnian eugenol serta berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisiko-kimia dan rendemen eugenol yang diperoleh. Pada penelitian di atas juga dilakukan isolasi eugenol menggunakan larutan NaOH 7% dengan nisbah minyak daun cengkeh dan larutan NaOH 1 : 5, dari hasil percobaan ternyata terjadi

penyabunan setelah minyak daun cengkeh direaksikan dengan larutan NaOH 7%. Rendemen eugenol yang tertinggi diperoleh dari perlakuan dengan larutan NaOH dengan konsentrasi 4% pada suhu 45oC. Selanjutnya untuk memisahkan komponen non eugenol atau komponen bukan asam, komponen diekstrak dengan eter, sedangkan natrium eugenolat larut dalam air dan pereaksinya. Eugenol ini kemudian dimurnikan dengan penguapan atau penyulingan. Menurut Sumangat et.al. (2003)., isolasi eugenol menggunakan NaOH 6% dan nisbah minyak daun cengkeh terhadap NaOH 1:7 sudah dapat meningkatkan rendemen dan kemurnian eugenol yang diperoleh. Wahyudin, (2007)., melaporkan isolasi eugenol menggunakan NaOH 10% dapat menurunkan larutan NaOH yang digunakan tetapi masih dapat menghasilkan produk isolasi dengan kemurnian dan rendemen yang cukup tinggi.

Dari berbagai kegunaan eugenol yang telah diketahui (pengobatan gigi, parfum, flavor) salah satunya adalah sebagai bahan dasar produksi isoeugenol untuk pembuatan vanilin. Di Indonesia penggunaan eugenol sebagai bahan baku vanilin masih belum dikembangkan, walaupun potensi sumber bahan baku eugenol dari minyak daun cengkeh cukup besar.

Eugenol termasuk senyawa yang mengandung beberapa gugus fungsional yaitu alil (alkena), fenol dan eter dan merupakan cairan tidak berwarna atau kekuning-kuningan, dan berubah menjadi coklat bila kontak dengan udara. Sifat fisiko-kimia eugenol antara lain disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Sifat fisiko-kimia eugenol

- Rumus molekul C10H12O2

- Rumus bangun

- Titik leleh (oC) -9 - Titik didih (oC) 254 - Bobot jenis 1,066

- Kelarutan Sedikit larut air ( <1 mg/ml ), larut dalam eter, alkohol, kloroform, asam asetat dan larutan basa - Indeks bias 1,5410

C. Isoeugenol

Isoeugenol dapat dijumpai di alam antara lain dalam minyak cengkeh, ylang-ylang, dan cempaka (West, 1949). Komponen tersebut umumnya sangat sedikit sehingga isolasi isoeugenol dari bahan alam tersebut tidak efisien. Isoeugenol banyak digunakan dalam industri parfum, penambah aroma, dan industri farmasi sebagai antiseptik dan analgesik, serta banyak digunakan sebagai bahan baku vanilin.

Isoeugenol atau dengan nama lain orto metoksi fenol atau 2-metoksi-4-(1-propenil) fenol merupakan isomer struktur dari eugenol dengan rumus molekul C10H12O2. Isoeugenol komersial merupakan campuran dari isomer

cis- dan trans- yang memiliki struktur molekul seperti disajikan pada Gambar 1. Secara fisik, isoeugenol merupakan cairan kental dengan aroma cengkeh namun lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Sifat fisiko-kimia isoeugenol disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sifat fisiko-kimia isoeugenol

Karakteristik Nilai

Rumus molekul C10H12O2

Warna kuning jernih

Bobot jenis (g/ml) 1,077

Indeks bias 1.5760

Titik didih (oC) 266 – 268

Titik leleh (oC) - 10

Kelarutan dalam air agak larut

Bobot molekul (g/mol) 164,20

Sumber : http://www.coleparmer.com/catalog/Msds/19038.htm 2005)

Gambar 1 Struktur molekul isoeugenol (Kadarohman dkk. 1999) OCH3 OCH3 OH H H OH H H Tran s- Cis-

Sebagian besar isoeugenol diperoleh melalui isomerisasi eugenol, karena isolasi isoeugenol dari bahan alam tidak efisien. Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol yaitu jenis katalis, pelarut, suhu, nisbah molar (konsentrasi katalis), dan adanya air (Cerveny et al., 1987).

Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol merupakan suatu reaksi katalitik, antara lain NaOH/KOH (Moestafa et al.,1990; Baby, 1997), rhutenium (Alan, 1975; Sharma et al., 2006), dan rhodium (III) klorida (Givaudan, 1977; andrieux et al., 1977, Cerveny et al.,1987). Penggunaan katalis tersebut menghasilkan isoeugenol dengan rendemen tinggi, namun terdapat perbedaan dalam kemudahan proses dan waktu reaksi yang diperlukan (Cerveny et al., 1987).

Baby (1997) menyatakan isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dengan katalis KOH pada konsentrasi 4 M, pelarut alkohol (etanol dan gliserol), dan suhu pemanasan 130-150oC dapat mengkonversi eugenol menjadi isoeugenol sebanyak 95-98%. Penggunaan pelarut gliserol lebih menguntungkan dibandingkan dengan etanol karena waktu reaksi yang diperlukan lebih singkat (0,75 jam) dibandingkan dengan etanol (5 jam). Namun demikian, penggunaan katalis KOH tersebut memiliki kelemahan yaitu produk yang dihasilkan sangat kental, dan memadat pada keadaan dingin, serta memerlukan jumlah pelarut yang cukup banyak (Cerveny et al., 1987). Baby (1997) juga membandingkan pemanasan konvensional (refluks) dan gelombang mikro pada isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dengan katalis alkalin (KOH). Pemanasan menggunakan gelombong mikro ternyata dapat mempercepat waktu reaksi 13,2 kali lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional (refluks). Hasil penelitian Kurniawan (2005), menunjukkan bahwa konversi eugenol menjadi isoeugenol pada isomerisasi dengan pemanasan gelombang mikro pada tingkat warm mencapai 92,44%, dengan komposisi 0,02% trans- dan 94,97% cis-isoeugenol.

Alan (1975) melaporkan ruthenium dapat digunakan sebagai katalis pada proses isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol. Namun demikian,

penggunaan katalis ini kurang efisien karena memerlukan suhu dan konsentrasi katalis yang tinggi.

Penggunaan rhodium (III) klorida sebagai katalis isomerisasi, memiliki keunggulan dibandingkan dengan katalis alkalin dan ruthenium. Salah satu keunggulan katalis rhodium, yaitu penggunaan katalis dengan konsentrasi yang sangat rendah (Alan, 1975). Menurut Alan, (1975), penggunaan katalis rhodium dengan konsentrasi 87 ppm pada suhu 25-160oC dapat menghasilkan isoeugenol dengan rendemen 90-98%.

Soesanto (2006), melakukan isomerisasi eugenol menggunakan katalis rhodium (III) klorida hidrat dengan pemanasan menggunakan gelombang mikro. Pada penelitiannya diamati mengenai pengaruh konsentrasi katalis RhCl3.3H2O (0,08 %, 0,16 %, dan 0,24 %) dan lamanya waktu pemanasan dengan gelombang mikro (10 menit, 15 menit, dan 20 menit) terhadap karakteristik produk isoeugenol yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar isoeugenol meningkat secara nyata dengan semakin lamanya waktu pemanasan sampai dengan 15 menit, namun perpanjangan waktu pemanasan dari 15 menit sampai 20 menit tidak meningkatkan kadar isoeugenol secara nyata dan bahkan terjadi sedikit penurunan. Penggunaan katalis RhCl3.3H2O menghasilkan nisbah cis dan

trans yang lebih baik dibandingkan dengan katalis KOH.

Menurut Alan (1975), pelarut yang digunakan dalam isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dengan katalis rhodium (III) klorida sebaiknya pelarut alkohol yang memiliki titik didih rendah dengan atom karbon 1-4. Hasil penelitian Cerveny et al., (1987) menunjukkan bahwa pelarut etanol lebih efektif dibandingkan dengan isopropranol karena waktu reaksinya yang lebih cepat. Keberadaan air dalam isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dengan katalis rhodium memberikan pengaruh negatif. Hasil penelitian Kadarohman(2009), menunjukkan bahwa adanya air dalam reaksi isomerisasi ini menyebabkan konversi menjadi rendah.

D. Vanilin

Vanilin atau 4-hidroksil-3-metoksilbenzaldehida dengan rumus molekul C8H8O3, mempunyai gugus fungsional aldehida, metoksil, dan

hidroksil (Gambar 2). Secara fisik, vanilin merupakan kristal putih atau sedikit berwarna kuning yang mempunyai bau, aroma, dan rasa yang khas. Vanili banyak dipakai sebagai pengharum makanan, minuman, parfum dan obat-obatan. Sifat fisiko-kimia vanilin disajikan pada Tabel 5.

Gambar 2 Struktur molekul vanilin (Kadarohman dkk. 1999) Tabel 5 Sifat fisiko-kimia vanilin

Karakteristik Nilai

- Rumus molekul C8H8O3

- Warna putih atau sedikit kuning

- Bobot jenis (g/cm3) 1,056 (padat)

- Titik didih (oC) 285

- Titik leleh (oC) 80-81

- Kelarutan dalam air (25oC) 1 g/100 ml

- Bobot molekul (g/mol) 152,14

Sumber : http://www.chemicalland21.com, 2005.

Secara alami, vanili terdapat sebagai komponen utama buah vanili. Tanaman penghasil buah vanili yaitu Vanilla planifolia, V. pompana, dan V. tahitensis, namun tanaman yang banyak dibudidayakan yaitu V. planifolia.

Vanilin dapat diisolasi dari buah vanili, namun kadar vanilin terdapat dalam buah vanili sangat kecil yaitu berkisar 1,5-3%. Unsur utama dari polong vanili adalah vanilin, asam vanilat, p-hidroksibensaldehid dan p-asam hidroksibensoat (Smith, 1964; Archer, 1989; Ranadive, 1992 di dalam Peter, 2004)

Disebabkan oleh mahalnya ekstrak vanilin alami dan ketersediaannya yang terbatas, maka telah lama dilakukan pembuatan vanilin sintesis. Proses produksi vanilin alami dari tanaman vanila berlangsung lama dan melelahkan.

OCH3

OH

Proses penyerbukannya memerlukan bantuan tangan manusia selanjutnya pemeraman selama 1- 6 bulan daari saat polong vanila hijau dipanen. Produksi 1 kg vanili membutuhkan sekitar 500 kg polong vanili, yang setara dengan penyerbukan 40.000 bunga. Saat ini, hanya 0,25% (40 ton dari 16.000) dari vanilin yang berasal dari polong vanili yang dapat dijual setiap tahun selebihnya berasal dari lignin, terutama dari guaiacol (Hansen, et. all., 2009). Sementara sebagian besar sisanya disintesis secara kimia dari lignin atau hidrokarbon fosil, khususnya yang mengandung guaiacol.

Beberapa cara sintesis vanilin yang telah diketahui antara lain :

a. Sintesis vanilin dari coniferin, yaitu suatu glukosida yang diperoleh dalam getah dari kambium coniferin. Sintesis dilakukan melalui oksidasi dengan asam kromat menghasilkan glukovanilin yang akan terurai oleh asam menjadi vanilin dan glukosa.

b. Sintesis vanilin dari guaiakol, yaitu suatu senyawa yang diperoleh dari tar kayu guaiakol. Sintesis vanilin ini melibatkan formilasi

(formylation) guaiakol oleh formaldehida, yang dikenal dengan reaksi

Reimer-Tiemann. Proses ini merupakan salah satu jalur sintesis vanilin yang cukup murah, dan banyak digunakan sebelum berkembangnya penggunaan lignin dari limbah pabrik kertas, dan bila harga minyak cengkeh mahal (Kerkar, 2005).

c. Sintesis vanilin dari lignin, yaitu melalui proses oksidasi lignin (asam lignosulfonat) dari limbah cair pabrik kertas pada kondisi alkalin (Kerkar, 2005). Vanilin yang diperoleh dari bahan ini berkisar 5-10 %. Kelayakan teknologi ini tergantung pada hasil yang diperoleh. Selain dengan cara kimia, sintesis vanilin dari lignin dapat dilakukan melalui proses biologis menggunakan beberapa jenis bakteri seperti Bacillus sp.

dan Pseudomonas sp. (Furukawa et al., 2003).

d. Sintesis vanilin dari eugenol, yaitu melalui proses isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol yang dilanjutkan dengan oksidasi untuk membentuk vanilin. Keuntungan penggunaan eugenol sebagai bahan vanilin, yaitu bahan baku tersedia secara kontinyu, dan jalur reaksinya yang sederhana.

BB-Pascapanen (2006) dan Cisadesi (2007) melaporkan bahwa vanilin dapat disintesis melalui eugenol dari minyak daun cengkeh seperti disajikan pada Gambar3.

Gambar3. Sintesis vanilin dari eugenol

Reaksi oksidasi isoeugenol menjadi vanilin disajikan pada Gambar 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses oksidasi isoeugenol menjadi vanilin, yaitu jenis oksidator, katalis, suhu dan lama reaksi, dan nisbah mol oksidator dengan isoeugenol.

Produk mengkristal pada suhu kamar

Eugenol

Perlakuan konsentrasi katalis dan lama reaksi + Katalis RhCl3. 3H2O

dalam etanol

Gelombang mikro

Perlakuan daya dan lama reaksi Perlakuan nisbah mol

dan lama reaksi Refluks 130oC Nitrobenzena/ DMSO/KOH Pendinginan HCl Pendinginan Isoeugenol

Ekstraksi dengan dietil eter

Penguapan pelarut

Isoeugenol Vanilin Gambar 4 Oksidasi isoeugenol menjadi vanilin

Jenis oksidator yang telah diketahui dapat digunakan dalam oksidasi isoeugenol menjadi vanilin diantaranya nitrobenzen (Sastrohamidjojo, 2002), KMnO4 dengan katalis 18-crown eter-6 (Setiyatno, 1991), dan H2O2 dengan katalis methyltrioxorhenium (MTO) (Herrmann et al., 2000).

Menurut Sastrohamidjojo (2002), oksidasi menggunakan oksidator nitrobenzen pada suhu 130oC selama 3 jam dapat menghasilkan vanilin sebanyak 53,8% pada pemanasan dengan cara konvensional. Pada pemanasan dengan gelombang mikro vanilin yang dihasilkan sebanyak 86,10% (Suwarso, 2005). Rendemen vanilin yang dihasilkan pada oksidasi dengan KMnO4 dan katalis 18-crown eter-6 lebih rendah dibandingkan dengan nitrobenzen, yaitu sebesar 22.9%. Menurut Cisadesi (2007), pada sintesis vanilin dengan nisbah penggunaan oksidator nitrobensen maupun KOH terhadap isoeugenol pada jumlah yang sangat sedikit, tidak dapat menghasilkan rendemen maupun kemurnian produk vanilin yang tinggi.

Herrmann et al., (2000), telah melakukan oksidasi isoeugenol menjadi vanilin dengan oksidator H2O2 dan katalis methyltrioxorhenium (MTO). Rendemen vanilin yang dihasilkan cukup tinggi (64-75%). Metode ini menggunakan suhu reaksi yang lebih rendah (60oC) dan waktu reaksi yang lebih singkat (2 jam), namun masalah utamanya yaitu ketersediaan katalis MTO dan harganya yang tinggi.

E. Katalis

Katalis adalah suatu senyawa kimia yang mampu menyebabkan suatu reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangannya tanpa terlibat langsung secara

OCH3 OH O Oksidator Panas OCH3 OH

permanen dalam reaksi (Keenan, 1992). Fungsi katalis adalah untuk menurunkan energi suatu reaksi sehingga laju reaksi dapat meningkat.

Secara garis besar, katalis dikelompokkan menjadi tiga jenis: katalis homogen, katalis heterogen, dan katalis enzim. Katalis homogen adalah katalis yang mempunyai fasa yang sama dengan substrat atau interaksi antara substrat dan katalis berada pada fasa yang sama. Katalis heterogen adalah katalis yang yang mempunyai fasa yang berbeda dengan substrat atau interaksi antara substrat dan katalis berada pada fasa yang berbeda. Sedangkan katalis enzim merupakan molekul protein dengan ukuran koloid, memiliki fasa yang berada di antara katalis homogen dan heterogen (chem-is-try.org, 2006).

Katalis RhCl3.3(H2O) merupakan katalis dari logam transisi yang sering digunakan dalam proses reaksi sintesis senyawa kimia. RhCl3.3(H2O) mempunyai berat molekul 293.28, berwarna merah tua dengan bentuk kristal, bersifat higroskopis. RhCl3.3(H2O) dihasilkan dari reaksi HCl terhadap Rhodium (III) Oxida (Swan et al., 1974). Reaksi isomerisasi yang dikatalisis oleh logam terdiri atas dua mekanisme (Chiu, 2002), yaitu: 1) mekanisme eliminasi-adisi hidrida logam, dimana mekanisme ini memerlukan hidrogen eksternal (Gambar 5) dan 2) mekanisme π-allyl kompleks atau pergeseran atom hydrogen 1,3 (Gambar 6). Menurut Sharma et al. (2006), kunci dari mekanisme π-allyl kompleks yaitu pengaktifan –C-H pada posisi β yang merupakan tahap yang melibatkan penyusunan tiga atom karbon pada ikatan π terhadap logam.

Gambar 5. Mekanisme eliminasi-adisi hidrida logam

Gambar 6 Mekanisme π-allyl kompleks α

γ β

Dokumen terkait