• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

3. Miskonsepsi

bidang IPA. Penelitian miskonsepsi ini ditandani dengan siswa yang menjawab dengan jawaban salah tetapi yakin benar.

4. Siswa Kelas V SD adalah 863 siswa yang berada pada tingkat kelas V dengan rata-rata umur 10-11 tahun di SD Negeri Se-Kecamatan Kalasan.

5. Kecamatan Kalasan adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan Kalasan berada di sebelah Timur Laut dari Ibu Kota Kabupaten Sleman, yang berbatasan dengan kota Klaten di sebelah timur, sebelah barat dengan kota Purworejo, sebelah utara kota Magelang, dan sebelah selatan laut Jawa.

6. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

10 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II membahas empat bagian inti yaitu kajian, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Bagian-bagian tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

A. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan uraian hasil pengkajian kita terhadap berbagai referensi yang dijadikan acuan dalam penelitian. Kajian pustaka misalnya dapat mengkaji beberapa hal sebagai berikut.

1. Konsep

Rosser (dalam Dahar 2009: 155) mengatakan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas atau objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Konsep tentang suatu objek dapat diperoleh dari hasil persepsi terhadap gejala-gejala alam, karena dari persepsi terhadap gejala-gejala akan diperoleh pemahaman secara konseptual tentang objek tersebut.

Menurut Amien (1990: 156) konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman tertentu yang relevan dan yang dapat digeneralisasikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu konsep akan terbentuk apabila dua atau lebih objek dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk, atau sifat-sifatnya. Bourne seperti dikutip dalam Amien (1990: 161) mengatakan bahwa suatu konsep

dapat dianggap sebagai suatu unit pikiran atau gagasan. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu konsep tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan satu sama lain dengan sistem dinamik yang disebut dengan sistem konseptual.

Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa suatu konsep, persepsi, atau gagasan yang dimiliki seseorang dengan yang lain diperoleh dari pengalaman tertentu dan pemahaman konseptual tentang objek tersebut berbeda beda, sehingga akan diperoleh pemahaman yang berbeda tentang objek tersebut.

2. Konsepsi

Menurut Budi (1992: 114-115) konsepsi adalah sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh indra maupun kondisi lingkungan.

Jika beberapa potong es batu dimasukan ke dalam sebuah gelas yang kering maka setelah beberapa saat kemudian akan ditemukan titik-titik air yang menempel di permukaan luar gelas. Menurut para ilmuwan munculnya titik-titik air yang menempel dipermukaan gelas tersebut berasal dari uap air berada di udara sekitar gelas. Pada saat udara yang mengandung air tersebut menyentuh permukaan gelas yang dingin maka uap air akan mengembun dan menempel pada permukaan gelas. Jika situasi tersebut dihadapkan kepada murid mungkin akan ditemukan beberapa murid yang mempunyai pemahaman yang berbeda satu sama

lain tentang konsep inilah yang disebut dengan konsepsi (Van dan Breg. 1991).

Konsepsi murid terhadap suatu konsep dapat benar atau salah. Jika konsepsi murid terhadap suatu konsep dengan konsepsi para ilmuwan, dikatakan murid tersebut mempunyai konsepsi yang benar. Jika konsepsi murid tentang suatu konsep berbeda dengan para ilmuwan, dikatakan murid tersebut mengalami miskonsepsi.

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi merujuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar. Miskonsepsi dapat berbentuk konsepsi, kesalahan hubungan yang tidak benar antar konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang salah. Menurut Fowler (dalam Suparno, 2005:4) miskonsepsi dapat merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.

Dalam pembelajaran fisika kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, teori dan model. Miskonsepsi dapat timbul karena tidak ada kecocokan antara teori, model atau konsep yang benar menurut keilmuan dengan teori, model atau konsep

yang secara spontan telah ada pada benak siswa (Prasetyo, 2004:49). Van den Berg (1991:10) mengartikan miskonsepsi sebagai konsepsi yang bertentangan dengan konsepsi para fisikawan. Sutrisno menyatakan miskonsepsi adalah konsepsi-konsepsi lain, yang tidak sesuai dengan konsep ilmuwan secara umum. Sementara itu, Brown (dalam Suparno, 2005: 4) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah ketidakcocokan konsep dan penjelasan salah yang dimiliki siswa atau sesorang dengan konsep yang dimiliki oleh para ahli. Kesalahan pemahaman dalam menghubungkan suatu konsep dengan konsep yang lain, antara konsep yang baru dan konsep yang sudah ada dalam pikiran siswa sehingga terbentuk konsep yang salah.

Menurut Simanek (dalam Donald E, 2009) miskonsepsi dapat terjadi di dalam dan di luar sekolah, jika miskonsepsi terjadi di sekolah maka guru, buku, bahkan siswa itu sendiri merupakan sumber terjadinya miskonsepsi. Penyebab dari guru yaitu, ketidakjelasan dalam menyampaikan materi pelajaran, penggunaan media pelajaran yang tidak sesuai dengan materi yang disampaikan, penggunaan analogi yang keliru serta kurangnya

kemampuan guru dalam mengelola dan menyampaikan materi pelajaran.Sedangkan penyebab dari siswa antara lain, rendahnya motivasi belajar, cara belajar yang kurang baik dan kurang mampu dalam mengaitkan antara konsep-konsep yang saling berhubungan. Miskonsepsi siswa dapat terjadi pada berbagai tingkatan pendidikan formal dalam berbagai subjek. Miskonsepsi pada umumnya sulit direduksi meskipun berbagai upaya perbaikan pembelajaran telah dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) jarang dilakukan tes atau tugas yang ditujukan untuk melihat terjadinya miskonsepsi, (2) miskonsepsi muncul dari kesalahan analogi, (3) banyak miskonsepsi yang muncul dari keterangan terlalu singkat, tanpa penjelasan rinci, (4) adanya slogan misalnya ‘aksi sama dengan reaksi’ dan ‘setiap akibat memiliki sebab, akan mendorong pemikiran yang dangkal.

Berdasarkan teori seperti yang dijabarkan di atas miskonsepsi merupakan perbedaan penangkapan konsep antara orang satu dengan orang yang lain dengan konsep awal dan konsep ilmiah atau yang diperoleh dari para ahli.

b. Penyebab Miskonsepsi

Berg (Yunita, dkk, 2013:2) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi miskonsepsi adalah, siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Apabila miskonsepsi yang terjadi pada siswa tidak diperhatikan oleh

guru, akan berdampak pada hasil belajar siswa, karena semakin bertambahnya materi yang tidak mampu dipahami oleh siswa dengan tuntas, akan menyebabkan hasil belajar siswa rendah.

Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005: 29-54). Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Siswa

Miskonsepsi dalam bidang fisika paling banyak berasal dari diri siswa sendiri. Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain :

a. Prakonsepsi atau konsep awal siswa, banyak siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering kali mengandung miskonsepsi. Prakonsepsi ini biasanya diperoleh dari orangtua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. Prakonsepsi yang dimiliki siswa menunjukkan bahwa pikiran siswa sejak lahir tidak diam, tetapi terus aktif untuk memahami sesuatu.

b. Pemikiran asosiatif siswa, asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang-kadang juga membuat miskonspesi (Arons dalam Suparno, 2005: 35). Contohnya, siswa

mengasosiasikan gaya dengan aksi atau gerakan. Gaya oleh banyak siswa dianggap selalu menyebabkan gerakan. Maka jika siswa tidak tidak melihat suatu benda bergerak, mereka memastikan tidak ada gaya.

c. Pemikiran humanistik, siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi (Gilbert dalam Suparno, 2005: 36). Tingkah laku benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup, sehingga tidak cocok.

d. Reasoning yang tidak lengkap atau salah, miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh reasoning atau penalaram siswa yang tidak lengkap atau salah (Comins dalam Suparno, 2005: 38). e. Intuisi yang salah, intuisi atau perasaan siswa dapat

menyebabkan miskonsepsi. Intuisi adalah suatu perasaab dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkapkan sikap arau gagasan tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti. Contoh siswa kadang-kadang mempunyai instuisi bahwa benda yang besar akan jatuh bebas lebih cepat daripada benda yang kecil. Pemikiran instuitif ini sering membuat siswa tidak kritis dan mengakibatkan miskonsepsi.

f. Tahap perkembangan kognitif siswa, perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Secara umum

siswa yang masih dalam tahap operasional konkret bila mempelajari suatu bahan yang abstrak sulit menangkap dan sering salah mengerti tentang konsep bahan tersebut.

g. Kemampuan siswa, siswa yang kurang berbakat fisika atau kurang mampu dalam mempelajari fisika, sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses belajar. Minat belajar, siswa yang berminat pada fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak berminat pada fisika.

2. Guru atau pengajar

Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru fisika. Guru tidak menguasai bahan, tidak kompeten, bukan lulusan dari dari bidang ilmu, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan atau ide, realisasi guru-siswa tidak baik. Guru yang tidak menguasai bahan atau materi tentang suatu konsep pembelajaran dan diajarkan kepada siswa secara tidak benar, akan menyebabkan siswa mendapatakan miskonsepsi. (Suparno, 2005: 42).

3. Buku

a. Buku teks juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Mungkin karena bahasanya yang sulit atau karena penjelasan tidak benar, miskonsepsi tetap diteruskan. Para peneliti

menemukan bahwa beberapa miskonsepsi datang dari buku teks (Lona dalam Suparno, 2005: 44).

b. Buku fiksi sains(Science Fiction), banyak negara menerbitkan buku fiksi sains untuk menarik anak-anak menyukai bidang sains, termasuk fisika. Tujuannya untuk menarik anak, maka seringkali pengarang membuat gagasan fisika secara sederhana dan bahkan agak ekstrem yang kurang berdasarkan kaedah ilmu yang sesungguhnya. Meski di satu sisi buku ini baik, karena membuat anak senang membaca dan mempelajari fisika, tetapi dalam banyak hal dapat juga menyesatkan dan memunculkan miskonsepsi pada diri anak.

c. Kartun (Cartoon), gambar-gambar kartun dalam majalah

sains sering kali dapat memunculkan dan menyebabkan miskonsepsi pada siswa bila tidak mengindahkan hukum dan teori fisika yang berlaku.

4. Konteks

a. Pengalaman siswa

Pengalaman belajar siswa dalam kegiatan sehari-hari dapat dijadikan sebagai sumber belajar namun dalam pengalaman yang didapat siswa tersebut belum tentu hasilnya sesuai dengan yang ada dalam pembelajarn formal di sekolah. b. Bahasa sehari-hari

Bahasa siswa yang diganakan sehari-hari terkadang menimbulkan salah arti dengan yang dimaksudkan sehingga terjadi simpang siur dan salah paham. Misalnya, dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan menggunakan istilah berat dan kg. Tetapi dalam fisika, berat adalah suatu gaya, dan unitnya adalah Newton.

c. Teman lain

Banyak siswa yang tidak kritis terhadap kesalahan teman, terlebih bila teman tersebut dianggapnya dekat, pandai atau berpengaruh. Jika salah konsep yang diajarkan maka juga akan terjadi salah konsep yang beruntutan.

d. Keyakinan dan ajaran agama

Keyakinan atau agama siswa dapat juga menjadi penyebab miskonsepsi dalam bidang fisika (Commins dalam Suparno, 2005: 49). Keyakinan ataupun ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa tidak dapat menerima penjelasan ilmu pengetahuan.

e. Metode mengajar

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan miskonsepsi siswa (Suparno, 2005: 50).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan penyebab miskonsepsi adalah siswa/mahasiswa, guru/pengajar, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Miskonsepsi pada siswa disebabkan oleh pengetahuan awal siswa (prakonsepsi), pemikiran siswa, pemahaman siswa yang berbeda, cara berfikir yang berbeda, serta minat belajar yang ada dalam diri siswa. Miskonsepsi yang terjadi pada guru/pengajar terjadi karena guru kurang menguasai bahan atau materi, serta guru kurang berkompeten dalam bidang tersebut, serta realisisai antara guru dengan siswa yang kurang. Buku teks, buku fiksi, kartun dapat menyebabkan miskonsepsi karena bahasanya yang digunakan sulit, penjelasan tidak benar atau tidak sesuai dengan kaedah ilmu (teori-teori fisika yang berlaku). Konteks menjadi penyebab miskonsepsi karena pengalaman, bahasa, teman, serta keyakinan dan ajaran agama yang dimiliki setiap siswa berbeda-beda. Kemudian cara mengajar atau metode mengajar yang digunakan guru sulit dipahami siswa sehingga tidak dapat mengungkap miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

5. Kiat-kiat mengatasi Miskonsepsi

Kurangnya pemahaman terhadap suatu konsep, mengakibatkan terjadinya miskonsepsi dan hasil belajar yang

kurang memuaskan pada peserta didik. Ada beberapa langkah yang digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi yaitu mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa, mencoba menemukan penyebab miskonsepsi, dan mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi.

Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu siswa mengatasi msikonsepsi ada 3, yaitu (Suparno, 2005:55) : a. Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan

siswa

Untuk dapat membantu siswa mengatasi miskonsepsi, pertama-tama guru perlu mengerti kerangka berfikir, cara menangkap, dan bagaimana gagasan siswa, dengan begitu kita dapat mengetahui dengan tepat dimana letak miskonsepsi siswa dan kita dapat membantunya. Cara yang dilakukan seperti, siswa dibebaskan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan. Hal ini dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Guru dapat memberi pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa bingung dan sisiwa diminta menjawab secara jujur. Pertanyaan ini dapat dilakukan secara pribadi maupun umum di kelas. Guru juga dapat mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu yang biasanya

mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa berdiskusi dengan bebas.

b. Mencoba menemukan penyebab miskonspesi yang dialami siswa

Untuk menemukan penyebab miskonsepsi yang dialami oleh siswa dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu, guru dapat melakukan wawancara secara langsung baik pribadi ataupun umum di kelas, guru juga bisa memberikan pertanyaan tertulis yang diberikan kepada siswa.

c. Mencari perlakuan yang sesuai untuk siswa

Para pendidik sebaiknya mencari dan memilih metode atau strategi pembenahan miskonsepsi siswa yang lebih cocok dengan situasi siswa yang mereka hadapi.

Disimpulkan bahwa cara mengatasi miskonsepsi dengan mencari tahu miskonsepsi yang dialami siswa, lalu mencari tahu penyebab kesalahan atau miskonsepsi yang dialami siswa, sehingga dengan metode dan strategi yg tepat dapat mengurangi dampak terjadinya miskonsepsi pada siswa.

Dokumen terkait