• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

3. Miskonsepsi

Budi (1992: 114-115) mengungkapkan bahwa kesalahan konsep atau miskonsepsi adalah terjadi perbedaan konsepsi antara orang yang satu dengan yang lain dalam mempelajari konsep untuk menangkap makna konsep melalui proses persepsi melalui tahap-tahap perekaman informasi. Brown (dalam Suparno, 2005: 4) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli.

Senada dengan pendapat di atas, Suparno (2005: 4) mengatakan bahwa miskonsepsi adalah konsep awal yang dibawa siswa kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan dengan konsep yang diterima para ahli. Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah itu biasanya disebut miskonsepsi atau salah konsep. Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima pakar dalam bidang itu.

Secara garis besar, miskonsepsi adalah ketidaksesuaian pemahaman siswa dengan pengertian ilmiah. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah ketidaksesuaian atau bahkan bertentangan dengan pemahaman konsep-konsep awal dengan konsep yang diterima oleh para ahli atau pakar dalam bidang itu.

a. Penyebab Miskonsepsi

Suparno (2005: 29) menyatakan bahwa penyebab miskonsepsi adalah siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar

1) Siswa

Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain:

a) Prakonsepsi atau Konsep Awal Siswa

Banyak siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering kali mengandung miskonsepsi. Salah konsep awal ini jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran fisika berikutnya, sampai kesalahan itu diperbaki. Prakonsepsi ini biasanya diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. Jelas sekali bahwa orang tua mempengaruhi prakonsepi siswa. Suparno (2005: 35) juga menegaskan bahwa miskonsepsi akan lebih banyak lagi, jika yang mempengaruhi pembentukan konsep pada anak tersebut mempunyai banyak miskonsepsi, seperti orang tua, tetangga, dan lain-lain.

b) Pemikiran Asosiatif Siswa

Marshall dan Gilmour (dalam Suparno, 2005: 36) menjelaskan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata antar siswa dan guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata atau istilah yang digunalan oleh guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena pada kehidupan sehari-hari mereka menggunakan istilah lain

c) Pemikiran humanistik

Osborne, dkk (dalam Suparno 2005: 36) siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Benda-benda dipikirkan dalam

proses pengalaman orang dan secara manusiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup sehingga tidak cocok. d) Reasoning (penalaran) yang tidak lengkap /salah

Miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Alasan yang tidak lengkap disebabkan karena informasi yang didapatkan juga tiak lengkap. Akibatnya, siswa menarik kesimpulan secara salah dan ini yang menyebakan miskonsepsi siswa.

e) Intuisi yang salah

Intuisi yang salah dan perasaan siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti. Contoh siswa kadang-kadang mempunyai intuisi bahwa benda yang besar akan jatuh bebas lebih cepat daripada benda yang kecil. Pemikiran intuitif ini sering membuat siswa tidak kritis dan mengakibatkan miskonsepsi.

f) Tahap perkembangan kognitif siswa

Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Secara umum, siswa yang masih dalam tahap operational concrete bila mempelajari sesuatu bahan yang abstrak sulit menangkap dan sering salah mengerti tentang konsep tersebut.

g) Kemampuan siswa

Kemampuan siswa juga mempunyai pengaruh pada miskonsepsi siswa. Siswa yang kurang berbakat fisika atau kurang mampu dalam mempelajari fisika, sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses belajar.

h) Minat belajar siswa

Berbagai studi menunjukkan bahwa minat siswa terhadap fisika juga berpengaruh pada miskonsepsi. Secara umum dapat dikatakan, siswa yang berminat pada fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak berminat pada fisika.

2) Guru

Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru fisika. Guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan fisika secara tidak benar, akan menyebabkan siswa mendapatkan miskonsepsi (Suparno, 2005: 42).

3) Buku

Buku terdiri dari beberapa jenis. Jenis-jenis buku menurut Suparno (2005: 44-47) dijelaskan sebagai berikut :

a) Buku Teks

Buku teks juga menyebabkan miskonsepsi. Entah karena bahasanya sulit dimengerti atau karena penjelasannya tidak benar, miskonsepsi tetap diteruskan. Para peneliti menemukan bahwa beberapa miskonsepsi datang dari buku teks (Lona dalam Suparno, 2005: 44).

b) Buku Fiksi Sains (Science Fiction)

Seringkali pengarang membuat gagasan fisika kurang berdasarkan kaidah ilmu yang sesungguhnya. Misalnya gerak-gerakan tokoh fiksi di udara bebas yang kadang-kadang tidak mengindahkan hukum fisika. Akibatnya, dalam diri anak tertanam nilai dan pengertian yang tidak benar.

c) Kartun (Cartoon)

Gambar-gambar kartun dalam majalah sains sering kali dapat memunculkan dan menyebabkan miskonsepsi pada siswa bila tidak mengindahkan hukum dan teori fisika yang berlaku.

4) Konteks

Konteks terdiri dari lima jenis. Kelima jenis tersebut yaitu pengalaman, bahasa sehari-hari, teman lain, keyakinan dan ajaran agama, dan metode mengajar. Peneliti menjabarkan kelima jenis konteks menurut Suparno (2005: 29) yang dijelaskan sebagai berikut.

a) Pengalaman

Pengalaman siswa dapat menyebabkan miskonsepsi. Kita dapat melihatnya dalam kasus kekekalan energi. Dalam kehidupan sehari-hari, siswa mengalami, bahwa mereka akan merasa lelah setelah bekerja keras. Motor akan kehabisan bahan bakar bila dipakai terlalu lama dan bahan bakarnya tidak diisi kembali. Tampak bahwa energi hilang dan tidak kekal. Di sini siswa berpikir tentang kekekalan energi dalam pengertian yang terbatas dan tidak dalam pengertian luas (Stavy dalam Suparno, 2005: 47).

b) Bahasa Sehari-hari

Beberapa miskonsepsi datang dari bahasa sehari-hari yang mempunyai arti lain dengan fisika (Gilbert dalam Suparno, 2005: 48). Misalnya, dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan menggunakan istilah berat dan kg. Tetapi dalam fisika, berat adalah suatu gaya, dan unitnya adalah Newton. c) Teman Lain

Orang muda sangat senang belajar dalam kelompok bersama teman-teman kelompoknya. Kelompok sering didominasi oleh beberapa orang yang suaranya vokal. Bila siswa yang dominan atau vokal itu mempunyai miskonsepsi, maka jelas mereka dapat mempengaruhi siswa lain dalam hal miskonsepsi.

d) Keyakinan dan Ajaran Agama

Keyakinan atau agama siswa dapat juga menjadi penyebab miskonsepsi dalam bidang fisika (Commins dalam Suparno, 2005: 49). Keyakinan ataupun ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa tidak dapat menerima penjelasan ilmu pengetahuan.

e) Metode Mengajar

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek yaitu memunculkan miskonsepsi siswa.

b. Cara Mendeteksi Adanya Miskonsepsi

Suparno (1998: 121-128) mengungkapkan cara bagi seorang peneliti atau seorang guru mendeteksi miskonsepsi siswa, yaitu melalui :

1) Peta Konsep

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa dalam bidang fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat mengungkap miskonsepsi siswa digambarkan dalam peta konsep tersebut. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan lengkap antar konsep (Nova dalam Suparno, : 121).

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Beberapa peneliti menggunakan pertanyaan pilihan ganda digabungkan dengan alasan yang sudah tertentu. Jadi alasan-alasannya sudah dipilihkan. Model ini dipilih, biasanya dengan alasan untuk lebih memudahkan menganalisis. Kelemahan model ini adalah alasan siswa yang tidak tercantum dalam pilihan itu, tidak terungkap.

3) Tes Esai Tertulis

Tes tersebut dapat digunakan untuk mengetahui miskonsepsi yang dibawa siswa pada suatu bidang. Setelah ditemukan miskonsepsinya, peneliti dapat melakukan wawancarai pada beberapa siswa untuk lebih mendalami gagasan mereka.

4) Wawancara Diagnosis

Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara bebas, guru atau peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan bebas menjawab. Sedangkan dalam wawancara terstruktur,

pertanyaan sudah disiapkan dan urutannya pun secara garis besar sudah disusun, sehingga memudahkan dalam praktiknya.

5) Diskusi dalam Kelas

Siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Berdasarkan kegiatan diskusi di kelas tersebut dapat diketahui tepat atau tidak gagasan yang disampaikan oleh siswa tersebut.

6) Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak. Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan bagaimana siswa menjelaskan persoalan-persoalan dalam praktikum tersebut.

Dokumen terkait