• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Microencapsulated Ginger Powder

III. TINJAUAN PUSTAKA

3. MODEL KADAR AIR KRITIS (Labuza,1982)

Model kadar air kritis atau persamaan Labuza (1982) merupakan permodelan berdasarkan perubahan fisik, yaitu untuk produk pangan yang sensitif terhadap perubahan kadar air. Model persamaan Labuza mengkorelasikan total jumlah penetrasi uap air (q) dengan berat produk, yaitu:

dWHR2RO

dt R R R R .  

dimana:

dWH2O = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram) k/x = permeabilitas kemasan (g H2O/ hari.m2.mmHg)

A = luas permukaan kemasan (m3)

Pout = tekanan uap air di luar kemasan (mmHg) Pout= Po*RH

Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg) Pin= Po*Aw

Dalam model ini, terdapat dua pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan kurva sorpsi Isotermis. Penentuan umur simpan dengan pendekatan ini memperhitungkan pengaruh: 1) perbedaan kadar air awal dan kadar air kritis, semakin besar perbedan antara kadar air awal, maka umur simpan akan semakin lama, 2) perbedaan tekanan udara di luar dan dalam kemasan,

semakin besar perbedaannya, maka perpindahan uap air semakin lambat dan umur simpan lebih panjang, 3) permeabilitas kemasan, semakin besar permeabilitas kemasan, maka uap air akan semakin mudah bermigrasi, sehingga umur simpan menjadi lebih pendek, dan 4) luasan kemasan yang digunakan, semakin besar luasan kemasan, maka uap air yang masuk akan tersebar dan memperlambat tercapainya kadar air kritis, sehingga umur simpan menjadi semakin panjang. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju perubahan kadar air dapat ditentukan dengan persamaan Labuza (1982), yaitu:

t= ln Me-Mi Me-Mc kx A

Ws Po b Dimana:

t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari) Mc = kadar air kesetimbangan pada suhu dan RH tertentu (%bk) Mo = kadar air awal produk di awal penyimpanan (%bk) Mc = kadar air kritis pada suhu tertentu (%bk)

k/x = WVTR/Po= permeabilitas kemasan (g/m2/hari/mmHg)

WVTR adalah water vapor transmission rate (g/m2/hari) pada suhu dan RH tertentu (%)

A = luas kemasan yang dihitung berdasaarkan dimensi kemasan yang digunakan (m2)

Ws = berat solid produk awal (gram) Po = tekanan uap air jenuh (mmHg) b = slope kurva isotermis

Parameter-parameter persamaan Labuza (1986) di atas dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (Mc, Mi, Mc, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x, A) dan lingkungan luar atau dalam pengemas (RH penyimpanan dan b).

Untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa yang tinggi, maka sulit dicapai kadar air kesetimbangan dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linear, karena pada RH tertentu kadar airnya akan semakin meningkat (tidak tercapai kondisi kesetimbangan). Dengan demikian, persamaan Labuza di atas tidak dapat diterapkan karena tidak dapat diperoleh nilai kadar air kesetimbangan (Mc) dan slope kurva linear sorpsi isotermis (b).

untuk produk yang memiliki kelarutan tinggi i za telah memodifikasi persamaan di atas sebagai berikut:

seperti ni, Labu

t ∆

Dimana:

t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari) Mc = kadar air kritis pada suhu dan RH tertentu (%bk)

Mo = kadar air awal produk di awal penyimpanan (%bk) Mc-Mo= selisih antara kadar air kritis dengan kadar air awal (%bk) k/x = WVTR/Po= permeabilitas kemasan (g/m2/hari/mmHg)

A = luas kemasan yang dihitung berdasaarkan dimensi kemasan yang digunakan (m2)

Ws = berat solid produk awal (gram) ΔP = selisih tekanan uap air jenuh (mmHg)

Dalam persamaan tersebut, tekanan udara luar bergantung pada suhu dan kelembaban relatif penyimpanan. Adanya perbedaan tekanan udara luar (Pout) dan tekanan udara dalam kemasan (Pin) akan menyebabkan mobilisasi uap air. Jika Pout > Pin, maka terjadi migrasi uap air ke dalam kemasan, dan sebaliknya jika Pout < Pin, maka terjadi perpindahan uap air dari dalam kemasan. Bila migrasi tersebut telah mencapai batas kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya (Kusnandar, 2008).

4. PERISA

Perisa merupakan gabungan karakteristik dari makanan yang dikonsumsi, yang menimbulkan sensasi dari rasa bau, dan juga oleh tanggapan trigeminal dalam mulut, diingat kembali dan diinterpretasikan oleh otak. Perisa dalam makanan memiliki makna berbeda dengan perisa sebagai bahan tambahan makanan atau yang dikenal dengan perisaing. Perisa dalam makanan dihasilkan oleh komponen kimia beraroma yang terbentukpada saat metabolisme di dalam tumbuh-tumbuhan dan hewan, dapat pula terjadi pada saat pemasakan atau pengolahan. Perisa sebagai bahan tambahan makanan dibuat oleh manusia, dengan cara mencampurkan komponen kimia beraroma alami atau sintetis, yang tidak ada di alam. Tujuannya adalah menghasilkan berbagai alternatif perisa, memodifikasi perisa, atau untuk menutupi perisa yang tidak diinginkan sehingga meningkatkan penerimaan produk akhir (Reineccius, 1994 ).

Definisi perisa menurut SNI-01-7152-2006 adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat, dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavor, dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan tidak diperlakukan sebagai bahan pangan. perisa dibedakan menjadi tujuh jenis yaitu senyawa perisa alami, bahan baku aromatik alami, preparat perisa, perisa asap, senyawa perisa identik alami, senyawa perisa artifisial, dan perisa hasil proses panas. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan pengertian dari ketujuh jenis perisa tersebut.

Terdapat lima alasan penggunaan perisa. Alasan pertama, proses pembuatan produk makanan mungkin mengharuskan penambahan perisa, misalnya karena kehilangan perisa akibat pemanasan.

Alasan kedua, tidak tersedianya bahan aroma alami, sehingga mengharuskan penggunaan perisa.

Alasan ketiga, faktor ekonomi dapat membatasi penggunaan bahan alami. Alasan keempat, bentuk dari bahan alami tidak dapat digunakan. Alasan kelima, potensi dari bahan alami sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan secara praktis dalam produk akhir (Mayasari, 2009). Menurut deMan (1999), yangtermasuk dalam golongan perisa adalah rempah-rempah, oleoresin, minyak atsiri dan ekstrak alami. Dan yang termasuk perisa sintetik yang kebanyakan mengandung senyawa kimia yang sama seperti yang ada di alam, meskipun biasanya memiliki susunan yang lebih rumit. Tiga kategori dari perisa adalah a) perisa alami adalah senyawa tunggal yang diperoleh secara eksklusif dari bahan alam dalam keadaan alamiahnya atau diproses untuk konsumsi manusia b) perisaidentik-alami dihasilkan secara sintetis atau dari bahan mentah aromatic, dan secara kimia sama dengan bahan alam yang digunakan untuk konsumsi manusia c) perisa buatan atau sintetik adalah senyawa perisa yang tidak terdapat dalam bahan alam.

5. CAKING

Caking adalah aglomerasi partikel yang kecil ke dalam potongan massa solid yang lebih besar. Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya gumpalan pada padatan dengan kadar air rendah (Johanson dan Paul, 1996). Agregasi dan penggumpalan partikel masalah serius pada banyak pengolahan bahan granular. Penggumpalan atau caking yang disebabkan oleh migrasi uap air dipengaruhi oleh siklus adsorpsi dan desorpsi uap air yang terjadi antara udara dan partikel padatan.

Secara umum, tahapan terjadinya caking karena migrasi uap air adalah sebagai berikut: 1) adsorpsi uap air dan secara penampakan, bubuk menjadi basah, 2) liquid bridging, perlusan kelembaban, 3) pengeringan dan desorpsi uap air, 4) pengerasan dan solid bridging, 5) penggumpalan(Christakis, 2006).

Caking bergantung pada aktivitas air, waktu, dan suhu serta berhubungan dengan fenomena hancurnya bubuk oleh gaya grafitasi. Tahapan dalam caking meliputi bridging, aglomerasi, pemadatan, dan liquefaction. Faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kinetika caking dapat dipengaruhi oleh bubuk itu sendiri (distribusi ukuran partikel, higroskopisitas dan muatan partikel, keadaan bahan, kotoran) dan faktor eksternal seperti suhu, kelembaban relatif dan tekanan mekanik. Untuk mempertahankan sifat-sifat aliran yang tepat dari bubuk dan mencegah penggumpalan serbuk, dapat diterapkan: (a) pengeringan hingga kadar air yang rendah, (b) pengkondisian bubuk pada kelembaban atmosfer rendah dan kemasan dengan permeabilitas rendah (c) penyimpanan pada suhu rendah, (d) penggunaan dessicant pada kemasan, (e) aglomerasi, dan (f) panambahan anti-caking agent.

Anti-caking agent adalah bahan makanan yang ditambahkan ke bubuk higroskopis untuk meningkatkan kemampuan aliran serta menghambat penggumpalan. Anti-caking yang baik dapat bersaing dengan bubuk inti dalam penyerapan kelembaban sehingga mengurangi higroskopisitas dan kecenderungan untuk menggumpal. Bahan-bahan ini dari menyerap dan melindungi bahan pangan dengan menyerap uap air dalam jumlah yang besar dengan daya ikat yang tinggi, sehingga dapat menekan Aw pada kadar air yang relatif tinggi (Anonim, 2006). Aluminum calcium silicate, Calcium silicate, Magnesium silicate, Sodium aluminosilicate, Sodium calcium aluminosilicate, Tricalcium silicate merupakan anti-caking yang tercatat sebagai bahan tambahan Generally Recognized As Safe (GRAS). GRAS merupakan setiap zat yang sengaja ditambahkan pada makanan adalahmakanan aditif, yang ditinjau premarket dan persetujuan oleh FDA(Food and Drug Administration),kecuali substansi yang umumnya diakui oleh ahli dan telah cukup terbukti aman di bawah kondisipenggunaan yang dimaksudkan, terkecuali penggunaansubstansi yang dinyatakan dikecualikan dari definisi aditif makanan (US Food and Drug Administration, 2004).

Dokumen terkait