• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model kelembagaan agroindustri

2 PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRAS

2.5 Model kelembagaan agroindustri

Kolaborasi dan interaksi dengan stakeholder merupakan salah satu unsur keberlanjutan bisnis (Stubs dan Cocklin, 2008; D’Amato et al., 2009). Dayasaing rantai pasok merupakan resultan dari integrasi semua pelaku yang ada sepanjang rantai pasok khususnya pemasok, pabrik dan distributor. Perusahaan akan mampu bersaing ketika mampu menciptakan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan seluruh pelakunya (Naslund dan Williamson, 2010; Verma dan Seth, 2010). Perdagangan yang adil harus menjadi kontrak sosial dengan prinsip: penciptaan kesempatan ekonomi bagi produsen marjinal, transparansi dan akuntabilitas, pembangunan dan pemberdayaan kapasitas, pembayaran harga yang adil, pengelolaan lingkungan yang lebih baik, dan kemitraan dagang yang pantas dan berkelanjutan (WFTO, 2009).

Ghandi et al., (2001), Ghandi dan Jain (2011) telah menguji kinerja beberapa model pengembangan agroindustri perdesaan dan petani gurem di India yaitu:

1) Model Koperasi (Cooperative Organization)

2) Model BUMN (Government Organization)

3) Model Kemitraan Swasta Multinasional (Private Multinational Partnering)

4) Model Perusahaan Lokal-Multinasional dengan Perusahaan Agribisnis

(Multinational-Local Firm Partnership with Corporate Farming) 5) Model Pusat Nilai Tambah (Value Addition Center).

24

1) Aspek manajerial merupakan tantangan utama dalam mengorganisasikan

produksi dan penyediaan berkelanjutan dari perusahaan besar ke petani kecil.

2) Pola kemitraan masih merupakan pendekatan yang paling menjanjikan untuk

mengatasi berbagai kendala pengembangan. Pola ini dapat diterapkan baik melalui koperasi maupun hubungan bisnis yang saling menguntungkan antara pihak swasta dan petani.

3) Pada kedua kasus di atas, pemerintah harus memainkan peran fasilitasi melalui kebijakan, regulasi, opsi finansial serta riset dan pengembangan.

Ghandi et al. (2001) menyimpulkan perlunya “indigenous model” untuk membangkitkan organisasi agroindustri. Apapun sifat modelnya, ada beberapa faktor kunci sukses yang harus diperhatikan:

1) Menciptakan insentif bagi petani untuk memproduk bahan baku sesuai kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan, dan memasok produk sesuai ketetapan kontrak.

2) Menyediakan input dan teknologi pertanian yang dibutuhkan dan memastikan

siapa yang menanggung biaya dan risiko.

3) Mampu mengakses teknologi pengolahan berkualitas tinggi

4) Memperhatikan perubahan permintaan pelanggan melalui pasar cerdas yang efektif.

5) Menarik modal investasi.

6) Memperhatikan isu-isu pemilikan, organisasi, manajemen dan kendali mutu. Contract farming (CF) di India dianggap lembaga yang paling baik dan sukses meningkatkan efisiensi dan kinerja rantai pasok guna mendapatkan bahan baku yang bermutu untuk kebutuhan pengolahan dan pemasaran produk segar bernilai tinggi (Singh, 2007). CF juga berdampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam CF adalah pendidikan, usia, ukuran usaha, akses terhadap lembaga dana, sumber pendapatan off-farm dan keanggotaan dalam koperasi (Sharma, 2008). CF juga mampu menciptakan lapangan kerja lebih tinggi ketimbang pertanian non- kontrak (Kumar dan Kumar, 2008).

Contract Farming adalah kesepakatan petani dan perusahaan agribisnis untuk menghasilkan dan memasok produk pertanian berdasarkan kesepakatan

25 waktu, mutu dan harga yang telah ditentukan (Eaton dan Shepherd, 2001; Bijman, 2008). CF memiliki keunggulan seperti efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, harga relatif stabil, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra (Saptana et al., 2009).

CF merupakan lembaga yang mengintegrasikan petani kecil perdesaan dengan pasar di negara-negara berkembang (Costales dan Catelo, 2009). Demikian pula untuk pemasaran hasil kebun karet di India dan Thailand (Viswanathan, 2006). Pengalaman di Thailand dan China menunjukkan bahwa berbagai bentuk kemitraan CF memberikan keuntungan pada kedua belah pihak dan sangat menjanjikan bagi pengembangan agroindustri. CF dapat menjadi mekanisme kelembagaan yang efektif untuk mereduksi biaya transaksi yang dihadapi oleh para petani kecil, termasuk petani padi, meningkatkan keuntungan yang signifikan dibandingkan petani non-kontrak serta mereduksi kemiskinan perdesaan (Setboonsarng et al. 2006; Miyata et al., 2008; Sriboonchitta dan Wiboonpoongse, 2008).

Kajian Stessens et al. (2004) di sejumlah negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin dan Asia yang melibatkan lebih dari 70 koperasi menunjukkan bahwa kemitraan CF dalam agroindustri dan agribisnis lebih efisien dan mampu menciptakan perdagangan yang adil jika dilakukan melalui koperasi petani yang kuat didukung oleh advokasi, inovasi, pelatihan dan pengorganisasian, dimana koperasi dapat berperan sebagai kontraktor dan penyedia jasa. Menurut Eaton and Sheperd (2001) kontrak tani tidak bisa dibentuk kecuali jika telah terpenuhi beberapa prasyarat terkait (1) profitabilitas pasar, (2) dukungan lingkungan fisik dan sosial, dan (3) dukungan pemerintah.

Menurut Bijman (2008) pemerintah dapat memainkan peran penting ketika CF macet dengan beberapa aksi: (1) regulasi pasar untuk mencegah kontraktor menyalahgunakan kekuatan pasar yang dimiliki; (2) memfasilitasi proses kontrak dengan mendorong perusahaan memulai kontrak baru dan pengkondisian kepada para petani agar siap memasuki kontrak, memberikan informasi yang jelas tentang untung-rugi serta konsekuensi skema CF; (3) menyediakan informasi pasar dan harga komoditas; (4) subsidi langsung kepada petani.

26

Di Bangladesh, praktek CF langsung antara petani dengan industri agribisnis membuat petani memiliki akses teknologi, bantuan teknis, kredit dan jaminan pasar. Namun dengan daya tawar tidak seimbang, sering terjadi eksploitasi oleh perusahaan. Aksi kolektif melalui kelompok tani meningkatkan posisi tawar petani, dapat mengorganisir anggota untuk keperluan pelatihan, jasa tambahan, akuisisi teknologi, koordinasi panen dan jadwal pengiriman. Perusahaan dapat bernegosiasi dengan organisasi petani, ini lebih murah dan mudah ketimbang harus bernegosiasi dengan banyak petani (Bijman, 2008; Esham, 2009). Alternatif lain adalah membentuk perusahaan patungan antara kelompok petani, perusahaan agribisnis dan pemerintah seperti diilustrasikan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Model kelembagaan agroindustri dengan intervensi pemerintah (Esham, 2009).

Di Indonesia sampai sekarang pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) masih menggunakan mekanisme proyek kemitraan terpadu (PKT) yang melibatkan perusahaan besar/eksportir (inti/avalis), kelompok petani/usaha kecil (plasma) dan perbankan. Pola ini umumnya digunakan untuk pembiayaan UMKM termasuk usaha kayu olahan. Mekanisme PKT disajikan pada Gambar 2.6.

Perusahaan patungan

(Perusahaan pengolahan ekspor) Pemerintah

Industri agribisnis Kelompok Tani Desa produksi ekspor Saham 21% Saham 51% Saham 28% Saham 100 %

27 Gambar 2.6. Mekanisme proyek kemitraan terpadu (Bank Indonesia, 2003)

Hubungan kemitraan adalah berbagai cara kolaborasi dan integrasi di antara pihak-pihak yang terlibat berikut elemen kuncinya. Hampir seluruh kerangka kerja SCM dipengaruhi oleh isu terkait kepercayaan dalam rantai pasok. Saling pengertian di antara mitra dagang dan berbagi informasi merupakan komponen terpenting untuk menjamin kesuksesan integrasi rantai pasok dan kolaborasi. Komitmen terhadap relasi dan kepercayaan pemasok berdampak positif terhadap stabilitas hubungan kemitraan rantai pasok yang pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap kinerja kemitraan (Rahman et al., 2008; Yang et al., 2008; Naslund dan Williamson, 2010; Ren et al., 2010).

Lahirnya konsep lembaga kemitraan didasari beberapa alasan, antara lain: (1) adanya perbedaan penguasaan sumberdaya lahan dan kapital, (2) adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha (Saptana et al., 2006). Haris (2006) menawarkan model aliansi strategis untuk mengatasi keterpisahan spasial dan fungsional pengembangan agroindustri crumb rubber. Model ini secara kelembagaan menempatkan pengusaha agroindustri dan petani sebagai pelaku utama. Kapasitas aliansi adalah skala medium dengan lokasi agroindustri mendekat ke sentra produksi bahan baku. Prediksi kinerja model berdasarkan lima parameter; transparansi, kepercayaan, saling ketergantungan, biaya transaksi, serta pembagian manfaat dan resiko.

28

Aliansi strategis adalah kesepakatan formal antara dua atau lebih perusahaan yang terpisah dimana terdapat kerjasama strategis yang relevan terkait beberapa tugas, kontribusi sumberdaya, berbagi resiko dan kendali (Dordevic, 2009). Cante el al. (2003) menyebutkan lima kelebihan utama dalam praktek aliansi ini adalah: hemat biaya, meningkatkan kualitas/konsistensi, peningkatan pelayanan, peningkatan revenue, dan peningkatan profitabilitas. Sementara lima kelemahan utamanya adalah: komunikasi, kontrol lemah, masalah waktu, kurang ketulusan, dan issu menetapan harga/profit.

Dari sejumlah model kelembagaan agroindustri yang ada dapat dibangun sebuah model hipotetik bahwa model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan dan pelaku kunci agroindustri. Asumsi pelaku kunci dalam kegiatan ini adalah 1) industri karet, 2) petani, 3) pemerintah dan 4) lembaga dana yang berkolaborasi dan menjalin kemitraan dalam membangun agroindustri karet alam terintegrasi. Industri karet dan petani secara kolektif terlibat langsung dalam kegiatan rantai pasok karet alam baik berbasis karet dan kayu karet dari hulu hingga hilir. Pemerintah, di samping penetapan kebijakan, subsidi dan regulasi yang pro-poor dan pro-growth, memfasilitasi proses kemitraan serta menciptakan insentif bagi pelaku agroindustri dapat pula menyertakan modalnya dalam kegiatan pengembangan. Keterlibatan dan intervensi pemerintah ini dipandang dapat menjamin bahwa kolaborasi kemitraan akan berjalan sesuai aturan main juga menjadi perekat dalam kemitraan. Lembaga dana mendukung dari sisi pendanaan dengan memberikan insentif pinjaman dengan bunga ringan (di bawah 10%) dan subsidi suku bunga selama masa konstruksi.

Model integrasi secara vertikal dapat dilakukan pada agroindustri karet baik berbasis karet maupun kayu karet. Dengan ketersediaan teknologi dan daya serap pasar dalam negeri untuk barang jadi karet yang hanya mencapai 15%, maka integrasi berbasis karet pada tahap awal hanya layak sampai produk antara dalam bentuk karet remah. Sementara untuk agroindustri berbasis kayu karet sesuai ketersediaan teknologi dan serapan pasar masih sangat memungkinkan diintegrasikan dari penyediaan bahan baku hingga industri hilir berupa industri furnitur.

29 Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan dapat menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Untuk mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi kelembagaan di tingkat petani, dukungan universitas, pihak swasta (industri) dan pemerintah (Gunasekara, 2006; Saptana dan Ashari, 2007; Gorman dan Garnet, 2009). Relasi akademisi-industri-pemerintah ini dikenal dengan model “triple helix” (Etzkowitz and Leydesdorff, 1998; 2000; Leydesdorff and Meyer, 2003) yang telah berkembang di China, Polandia dan Republik Korea dan banyak disarankan sebagai model pengembangan wilayah (Martin, 2011).

Universitas, industri dan pemerintah memainkan peran yang sama dan membentuk triple-helix guna merangsang inovasi ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based business) (Etzkowitz, 2010). Regulasi yang stabil memang perlu, tapi tidak cukup. Transformasi universitas dari transfer pengetahuan dan riset menjadi institusi kewirausahaan merupakan kebutuhan vital. Pemerintah harus mendukung inovasi baru melalui kebijakan lingkungan, insentif pajak serta penyediaan modal ventura. Industri dapat berperan sebagaimana universitas dalam pelatihan dan riset pengembangan dengan level yang sama. Jika terjadi kesenjangan industri berbasis pengetahuan, maka interaksi universitas-pemerintah dapat membantu memicu kreasi dan mendorong pertumbuhan (Etzkowitz et al., 2007; Etzkowitz dan Ranga, 2010).

Sukses kemitraan agroindustri harus didukung oleh (ADB, 2010):

1) Riset yang kuat di sektor pertanian dan dukungan teknologi untuk agroindustri.

2) Mendorong investasi oleh sektor swasta

3) Dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan agroindustri 4) Peningkatan kemitraan

5) Pengembangan institusi agroindustri, dan 6) Kebijakan pemerintah yang kondusif.

Di Indonesia, pola kemitraan untuk pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) yang melibatkan lembaga dana dan pemerintah masih menganut pola kemitraan terpadu (PKT) seperti yang ditunjukkan dalam PPUK kayu olahan (BI, 2003) dan PPUK furnitur kayu (BI, 2008).

30