DAFTAR LAMPIRAN
B. Luas Daerah Jelajah
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.3 Pemilihan Habitat
5.4.8 Model Kesesuaian Habitat dalam Perspektif Ekolog
Hasil analisis dengan SPSS 17 menunjukkan bahwa dari tujuh variabel yang diamati, hanya lima variabel saja yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk menyusun model kesesuaian habitat harimau translokasi di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM). Variabel-variabel bebas tersebut antara lain ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Kelima variabel bebas signifikan memberi pengaruh nyata terhadap kesesuaian habitat harimau translokasi (sig. < 0,05). Hasil ini ternyata sesuai dengan hasil kajian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menyatakan bahwa faktor-faktor fisik kawasan seperti ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai serta tutupan vegetasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat bagi harimau sumatera. Namun pada penelitiannya, Putri (2010) tidak menyertakan faktor jarak dari tepi hutan (edge). Dalam penelitian ini, jarak dari tepi hutan (edge) termasuk kedalam salah satu faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap model kesesuaian habitat. Wibisono et al (2011) menyatakan dalam pemodelannya bahwa harimau di Sumatera paling banyak ditemukan pada areal-areal yang berbatasan dengan patches hutan. Wilayah-wilayah batas antara daerah terbuka dengan hutan merupakan areal yang disukai oleh banyak hewan ungulata sebagai tempat mencari makan. Williamson & Hirth (1985) menyatakan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata (yang merupakan mangsa harimau) adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan (edge). Areal-areal bervegetasi hutan bagi ungulata berfungsi sebagai cover
untuk perlindungan baik dari predator maupun dari panas matahari. Secara alamiah areal-areal terbuka yang berbatasan dengan hutan banyak ditumbuhi vegetasi tingkat bawah yang menjadi pakan hewan ungulata. Selain itu, daerah-daerah seperti ini juga merupakan kawasan yang ideal bagi harimau untuk mengintai dan menyergap hewan mangsanya.
108
Gambar 22. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi hasil eks- trapolasi pada seluruh kawasan hutan Ulu Masen, Aceh.
Box (1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001) menyatakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Sebuah model, baik yang dibangun oleh sedikit maupun banyak variabel, semuanya tetap mengandung kesalahan. Semakin kompleks suatu model (semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan), maka model tersebut akan semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti (Constanza & Sklar 1985 diacu dalam Sklar & Hunsaker 2001). Model dengan kompleksitas yang rendah (yang disusun dengan sedikit variabel), dapat mencapai akurasi yang lebih tinggi karena dapat menerangkan banyak hal dari sesuatu yang sedikit. Efektivitas sebuah model yang sesungguhnya adalah seberapa banyak model dapat mencoba menjelaskan (kompleksitas) dan seberapa baik model dapat menjelaskan apa yang diamati (Sklar & Hunsaker 2001).
109
Model kesesuaian habitat yang terbentuk menunjukkan bahwa harimau sumatera translokasi di kawasan Ulu Masen dipengaruhi secara nyata oleh lima varabel lingkungan, yaitu ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Sementara itu, Bailey (1984) dan Alikodra (1990) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan satwa pada suatu habitat tertentu merupakan kombinasi antara komponen fisik dan biotik. Demikian pula halnya dengan harimau sumatera yang merupakan satwa karnivora dan bersifat soliter, keberadaanya pada satu habitat juga ditentukan oleh adanya interaksi yang kompleks antar berbagai komponen fisik dan biotik. Ada beberapa komponen habitat atau faktor pembatas lain yang diduga kuat sangat mempengaruhi keberadaan harimau translokasi pada satu habitat, namun tidak diikutkan dalam model yang terbentuk karena keterbatasan data pendukung dan sumberdaya. Faktor/variabel tersebut antara lain ketersediaan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan), keberadaan harimau lokal yang lebih dahulu menghuni kawasan, dan faktor gangguan atau kehadiran manusia pada kawasan yang menjadi habitat harimau.
Sebagai satwa karnivora dan top predator, harimau sumatera membutuhkan sekitar 5-6 kg daging setiap harinya (Sunquist 1981). Seekor harimau dapat membunuh kijang seberat 20 kg setiap tiga hari atau satu ekor rusa seberat 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999). Meskipun kadang-kadang harimau ditemukan berburu hewan mangsa yang berukuran lebih kecil, seperti kancil/napu, beruk, landak, trenggiling dan burung kuwau (Soehartono et al. 2007), namun ada kecenderungan bahwa ada preferensi terhadap hewan mangsa bertubuh besar (Bachi el al. 2003). Dengan demikian, diduga kuat bahwa kehadiran harimau pada satu kawasan hutan dipengaruhi oleh ketersediaan hewan mangsa di tempat tersebut. Pemodelan yang dihasilkan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa ketersediaan satwa ungulata (rusa dan kijang) berpengaruh positif terhadap distribusi harimau.
Harimau merupakan satwa yang bersifat soliter, penyendiri, dan berperilaku teritorial meskipun daerah jelajahnya tidak eksklusif. Interaksi
110
sosial hanya terjadi antara harimau betina dewasa dengan anak-anaknya. Harimau jantan tidak toleran akan kehadiran harimau jantan lain di wilayah teritorialnya. Dengan adanya sifat-sifat tersebut, dapat dipastikan bahwa kehadiran harimau lain yang ditranslokasikan akan berdampak besar terhadap struktur demografi harimau yang telah ada di wilayah tersebut. Dua skenario dapat terjadi. Harimau lokal akan meninggalkan wilayah jelajahnya bila kalah dalam persaingan, atau harimau translokasi akan tersingkir dan hanya menjadi individu pelintas (floater/transient) jika tidak mampu bersaing dengan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami wilayah tersebut. Oleh karenanya, faktor keberadaan/kelimpahan harimau lokal di lokasi translokasi menjadi salah satu variabel penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau translokasi.
Dengan sifat naturalnya yang pesembunyi (secretive) dan menghindari interaksi dengan manusia, membuat harimau sumatera menjadi sangat sensitif akan kehadiran manusia pada habitatnya. Berbagai aktivitas yang semakin tidak terkendali yang dilakukan manusia di dalam kawasan hutan (merambah hutan, menebang kayu, berburu hewan mangsa harimau, mencari gaharu, mencari madu, memanen rotan atau mengumpulkan hasil hutan bukan kayu lainnya), secara langsung atau tidak langsung dapat menurunkan kepadatan harimau di wilayah tersebut. Dengan demikian, faktor intensitas gangguan manusia di dalam hutan yang menjadi habitat harimau juga seharusnya menjadi variabel penting untuk diikut-sertakan dalam penyusunan suatu model kesesuaian habitat. Hasil pemodelan di lansekap Terai Arc, India, yang dilakukan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa keberadaan lahan- lahan pertanian dan kehadiran manusia di habitat harimau memberikan pengaruh negatif terhadap persebaran harimau.