• Tidak ada hasil yang ditemukan

BMKG BPBD

PEMKAB KEPALA

DESA

49 Model komunikasi yang digunakan pada masa relokasi dan rekonstruksi ini adalah model komunikasi Lasswell dimana terdapat sumber pesan, pesan yang ingin disampaikan, media yang digunakan, ditujukan kepada siapa dan ada efek dari pesan tersebut atau tidak. Model komunikasi pasca relokasi ini bersumper dari dua pihak yaitu BMKG dan BPBD, dimana dua komunikator tersebut memberikan pesan kepada PEMKAB dan kepala desa kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada ketua RT.

Media yang digunakan dalan proses relokasi ini adalah media surat dan online, media surat digunakan untuk pemberitahuan mengenai adanya rapat serta adanya hasil akhir dari keputusan warga ataupun pemerintah dan bawahannya. Sedangkan, media online adalah hasil riset dan hasil penelitian dari BMKG mengenai struktur tanah ataupun wilayah lahan yang akan digunakan sebagai huntap apakah aman atau tidak.

Peran warga atau audience dalam hal penentuan relokasi tidaklah banyak, dikarenakan warga hanya bisa pasrah dengan keadaan dan mereka hanya mengikuti saran dari pemerintah, dikarenakan pada saat itu warga masih linglung ataupun bingung diakibatkan kehilangan saudara dan harta benda mereka termasuk rumah mereka yang hancur. Hanya ketua RT yang pada saat itu menghadiri rapat dan menyuarakan pendapat para warganya mengenai pemilihan lokasi huntap bagi mereka.

Dalam hal relokasi ini warga tidak turut serta membantu dalam proses pembangunan huntap dan pemilihan tempat relokasi. Semua diserahkan kepada pemerintah, BPBD, BMKG dan para donator yang bersedia membantu dalam proses pembuatan huntap bagi mereka. Saat proses proses relokasi ini mereka semua masih berada di tempat pengungsian dan menunggu huntap mereka jadi.

Feedback yang di dapat setelah warga menempati huntap, mereka bersyukur bahwa sekarang mereka sudah tidak tinggal di posko pengungsian dan sudah memiliki rumah atau tempat tinggal tetap.

50 Walaupun, pasti dalam proses rekonstruksi ini ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan dalam hal baik luas atau model rumah yang berbeda dengan rumah mereka sebelumnya, setidaknya mereka memiliki tempat tinggal yang layak daripada tidak memiliki tempat tinggal sama sekali.

C. Problem Perekonomian Masyarakat Pasca Relokasi

Dalam hal sosialisasi dengan warga asli Desa Ambal, warga Desa Sampang tidak mengalami kesulitan karena warga sudah kenal dan jarak antara desa mereka yang lama juga dekat. Permasalahan yang terjadi, hanyalah perbedaan perekonomian saja dikarenakan warga asli Desa Ambal sudah memiliki roda perekonomian yang stabil berbeda dengan warga Desa Sampang yang diibaratkan sebagai warga pendatang perlu mencari lahan atau cara sendiri agar bisa menutup perekonomian mereka. Permasalahan lainnya yang terjadi adalah perbedaan kebudayaan atau adat jika di Dusun Jemblung, Desa Sampang dulunya, apabila ada yang meninggal, maka diadakan pengajian 7 harian, 40 harian, dan seterusnya. Untuk di Desa Ambal sendiri tidak ada seperti itu, hanya perbedaan itu saja.

Perubahan serta kendala lain yang dihadapi pasca bencana yaitu penghasilan warga Desa Sampang yang dulu berasal dari kebun dan ladang, serta memelihara ternak, sekarang sudah habis diluluh lantahkan oleh longsor. Untuk mengolah kembali kebun yang berada di Desa Sampang, tentu membutuhkan modal yang cukup, yaitu modal untuk kembali ke Desa Sampang dan modal awal untuk mengelola kembali kebun tersebut.

Kemudian peneliti mewawancarai warga lain yaitu Ibu Ruqinah yang kebetulan sedang berada dirumah. Dulunya beliau juga seorang pedagang dikarenakan rumah beliau dekat dengan jalan utama atau jalan raya yang banyak di lalu lalang kendaraan tetapi sekarang beliau sudah tidak berdagang lagi hanya sesekali saja dikarenakan modal yang tidak mencukupi, permasalahan beliau setelah pindah dihuntap ini ketika peneliti wawancara,

51

”Kendala yang dihadapi pasca bencana, saya adalah orang petani sekarang ini kalau untuk bercocok tanam atau untuk ke ladang yang berada di Dusun Jemblung Desa Sampang lumayan jauh dan harus mengeluarkan biaya pulang pergi sekitar Rp 4.000 untuk naik mitromini. Kalau tidak punya uang tidak bisa ke ladang.” (Ibu, Ruqinah, Warga desa Sampang, 09 November 2017)

Jawaban lain dari Ibu Sukarni yang tinggal dihuntap ketika peneliti tanya mengenai perubahan atau kendala yang dihadapi beliau paska bencana.

“Dulunya saya menjual bensin eceran, kemudian saya juga berjualan minuman dan snack-snack ringan karena dulu rumah saya tepat di depan jalan raya jadi kan dekat dengan kendaraan yang lalu lalang. Dulu juga bapak sempat bekerja dibengkel karena dekat dengan rumah dan bengkel itu punya saudara sendiri. Bengkel itu sekarang sudah berjalan lagi tetapi sekarang sudah jarang untuk kesana karena jaraknya yang lumayan dan harus menggunakan kendaraan jadi agak kesulitan.” (Ibu Sukarni, Warga Desa Sampang, 09 November 2017)

Kesusahan ekonomi yang dialami warga mulai terasa seiring berjalannya waktu ketika harus menanggung biaya listrik sendiri, padahal pada saat itu warga masih belum memiliki pekerjaan. Bila pada waktu itu mereka memilih kembali ke Desa Sampang untuk bertani, mengolah lahan atau ladang, di sisi lain mereka masih trauma atas longsor yang terjadi. Maka sebagian dari mereka lebih memilih merantau atau bekerja sebagai kuli angkut dipasar atau sekedar berdagang kecil-kecilan. Untuk sekarang ini, mereka pasrah terhadap keadaan, bagi mereka yang terpenting keluarga mereka bisa makan dan hidup di rumah huntap itu saja sudah lebih dari cukup.

52 Namun, jika ditanya mengenai pendapat individu terlebih mengenai permasalahan perekonomian warga yang direlokasi. Sungguh jelas terlihat mereka hanya berdiam dirumah dan hanya mengobrol dengan tetangga saja. Pekerjaan mereka terkadang tidak menentu. Bahkan bisa sehari dua hari mereka tidak bekerja dikarenakan tidak adanya uang. Ada uang pun digunakan untuk makan dan keperluan penting yang lainnya.

Pekerjaan petani di ladang atau lahan tempat mereka yang dulunya terkena longsor. Sedangkan, untuk warga yang berdagang yang dulunya bias berdagang dirumah saja mereka sekarang harus pergi ke pasar dan menjual dagangan mereka. Ada yang menjual sayur mayur, makanan ringan, bahkan ada pula yang hanya menjadi tukang angkat dagangan orang-orang atau biasa disebut kuli panggul.

Mereka senang bila ada donatur yang membantu mereka namun bagi mereka, yang terpenting mereka berusaha untuk bekerja seadanya dan hasilnya adalah halal. Walaupun, peneliti sendiri bisa melihat dari ekspresi sedih mereka ketika peneliti bertanya berapa penghasilan yang diperoleh, mereka hanya tersenyum kecil, namun kembali lagi bahwa mereka menerima apapun sekarang kondisinya, bagi mereka hal ini dinamakan musibah ataupun yang lainnya. Bagi mereka, bisa selamat dari bencana tersebut adalah keberkahan bagi mereka sendiri.

Jika mereka ditanya mengapa tetangga memilih merantau mereka akan menjawab karena mereka telah kehabisan akal untuk mencari pekerjaan ada juga yang mengatakan jika mereka pindah karena diluar kota ada sanak saudara yang menampung, dan ada juga yang mengatakan mencari pekerjaan di luar kota dan ada juga yang menyewakan atau mengontrakan huntap tersebut jika mereka sewaktu-waktu kembali sudah mendapatkan biaya tambahan dan huntap mereka tetap terawat.

53 Table 3.1 Sensus Perekonomian Sesudah Bencana

NO NAMA KK / AHLI