• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Pembahasan yang sistematis mengenai perubahan struktur produksi dan

2.2.2. Model Lewis

Menurut Kasliwal (1995) model Lewis tentang surplus tenaga kerja dikenal sejak tahun 1950an, dan dipandang memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teori ekonomi pembangunan, terutama karena elaborasinya mengenai ekonomi dua sektor (dual economy) yang terdiri (1) sektor tradisional dan (2) sektor modern. Lewis membuat asumsi bahwa lahan yang terbatas

menyebabkan produk marjinal tenaga kerja pertanian menurun. Tetapi membuang asumsi Malthusian bahwa populasi akan tumbuh secara endogen.

Model Lewis (1954) percaya bahwa sebagian besar negara-negara berkembang memiliki banyak tenaga kerja yang setengah menganggur (underemployed) dengan tingkat upah sekedar cukup untuk hidup (subsisten). Tenaga kerja tersebut dapat di tempatkan untuk bekerja dalam suatu sektor baru yang dinamis untuk menghasilkan pertumbuhan. Lewis mencatat bahwa sektor pertanian mempunyai banyak surplus tenaga kerja seperti itu. Ketika pekerja marginal ditransfer dari pertanian ke sektor industri yang lebih produktif, output agregat mengalami loncatan peningkatan.

Beberapa implikasi dalam Model Lewis dapat dilihat di Gambar 4. Gambar ini dibangun dengan memutar balik kurva tenaga kerja pertanian dan memasang di sisi sebelah kanan kurva sektor industri. Kita dapat lihat bagaimana tenaga kerja dipekerjakan di industri L1, dan tenaga kerja pertanian LA menambahkan sampai kepada total angkatan kerja. Ketika industri berkembang, upah tetap konstan sampai semua surplus tenaga kerja diserap; baru setelah itu upah mulai naik secara keseluruhan.

Model itu menyiratkan adanya akumulasi modal yang terus menerus, paling tidak sampai surplus tenaga kerja dihabiskan. Sepanjang tingkat upah tetap rendah, ratio modal/tenaga kerja yang digunakan di dalam industri juga tetap konstant. Jadi tingkat pengembalian (rate of return) atas modal tetap tinggi,

Sumber : Kasliwal, (1995) Gambar 4. Model Lewis

dengan demikian memberi harapan investasi terus berlanjut. Implikasi kebijakan yang cukup kuat dari Model Lewis adalah :

(1) Sektor industri harus di dorong khusus, mungkin merangsang ketertarikan kapitalis asing yang ingin menginvestasikan modalnya karena adanya tingkat upah yang rendah. Sebagai alternative pemerintah dapat melakukan intervensi untuk merangsang (stimulate) industri domestic yang pada awalnya dilindungi dari kompetisi import. Dengan kata lain, industri dapat

dimulai dengan industri substitusi impor

(import-substituting-industrialization).

(2) Tabungan yang tersedia untuk investasi bagi para pemodal (capitalists), harus di dorong khusus. Rangsangan yang penting adalah menjamin suatu tingkat keuntungan industri yang lebih tinggi dengan memastikan bahwa upah tentu saja tetap rendah, sampai pada akhirnya semua surplus tenaga kerja dihabiskan. Pada garis besarnya hal ini dilakukan dengan perpajakan atau harga pangan yang murah dan mengalihaknnya ke industri.

(3) Tingkat pertumbuhan populasi (dan pertumbuhan angkatan kerja) harus dikendalikan agar lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) yang diciptakan oleh perluasan industri. Jika tenaga kerja (labor) tumbuh lebih cepat dari penyerapan potensi nya ke dalam industri, penentuan titik peningkatan upah atau pengurangan pengangguran tidak pernah dicapai.

Model Lewis dikritik karena berbagai kegagalan dalam pengalaman pembangunan di Negara berkembang. Kenyataannya upah industri terus meningkat bahkan sebelum banyak surplus tenaga kerja pedesaan diserap. Sementara penciptaan lapangan kerja industri mengecewakan, tenaga kerja migrasi dari pedesaan ke wilayah perkotaan terus berlanjut. Urbanisasi yang berlebihan ini telah mendorong suatu permasalah baru di Negara berkembang. Suatu kritik yang lebih serius diarahkan pada model ini adalah implikasinya yang bias terhadap pertanian dan lebih menyokong industri. Kebijakan yang bias seperti itu kelihatannya telah menekan pertumbuhan perekonomiana secara keseluruhan di banyak Negara berkembang. Model Lewis, juga mengabaikan kemungkinan

kemajuan teknologi dalam pertanian. Lewis tidak membayankan kesuksen yang spektakuler seperti kesuksean Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau yang tak diduga di sekitar 1970an telah meningkatkan produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian seperti ditunjukkan pada Gambar-5. Peningkatan tingkat upah ini secara independent dari aktivitas industri. Teknologi baru secara efektif mengurangi kendala lahan yang terbatas. Model Lewis telah mendorong suatu sikap yang pengabaian pertanian yang ramah (benign). Bahkan yang lebih buruk adalah mendorong kebijakan yang bias terhadap pertanian dengan mendorong perpajakan dari sektor ini dan terus mentransfer ke sektor industri. Pelajaran baru dari revolusi hijau adalah bahwa pembangunan pertanian itu tidak bisa diabaikan. Keadaan pertanian yang tangguh nampaknya menjadi suatu prasyarat penting untuk pembangunan industri.

Secara historis pertumbuhan industri menunjukkan bahwa setelah dua generasi dari pembangunan sektor ini belum secara signifikan menghabiskan surplus tenaga kerja yang tersedia di Negara berkembang. Penduduk yang bermigrasi ke kota seperti disiratkan oleh model Lewis, tetapi tidak semua tertampung pada pekerjaan industri di sana. Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam aktivitas produksi lain tidak memadai bagi tenaga kerja yang dilepas dari pertanian. Penyebab utamanya mungkin dari penggunaan metode teknologi yang hemat tenaga kerja (labor saving) karena berbagai alasan. Seperti pemerintah

Gambar 5. Model Lewis Dinamis Sumber : Kasliwal, 1995

yang bertujuan untuk mendorong industri, mereka sering melebih- lebihkan insentif untuk investasi. Modal yang dibuat jadi murah (artificially-cheapened) telah merangsan perusahaan untuk menggunakan teknik padat modal yang berlebihan. Lebih dari itu, industri tergantung pada teknologi import dari negara maju yang pada umumnya hemat tenaga kerja dan tidak sesuai bagi negara berkembang dengan surplus tenaga kerja.

Selain itu Model Lewis dianggap dapat memperburuk distribusi pendapatan yang saat ini semakin dipandang sebagai suatu masalah serius untuk pembangunan di negara berkembang. Model Lewis mengasumsikan bahwa upah industri akan (dan perlu) tetap sedikit lebih tinggi dibanding upah subsisten di pertanian. Perbedaan upah ini diperlukan untuk mengimbangi biaya hidup yang lebih tinggi di perkotaan, terutama karena migrant kehilangan semua pekerjaan penyokong yang tersedia di pedesaan. Tetapi dalam kenyataan empiris, kesenjangan upah telah bervariasi secara dramatis dari waktu ke waktu dan pada semua negara. Sepanjang tahun 1960an dan awal 1970an, upah industri membumbung tinggi dalam hubungannya dengan upah pertanian pada sebagian besar negara berkembang, sehingga kesenjangan upah dilebarkan dengan baik sebelum full employment dicapai.