• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN TEORI

3. Model-model lembaga pendidikan Islam di Indonesia

1) Sejarah

v Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Perkataan pesantren berasal dari Bahasa Sansekerta san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong.3 Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik. Sedang istilah funduk (dalam 3 www.pesantrenonline.com, akses tanggal 5 Januari 2007

bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel.4 Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di Pulau Jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri. Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), dayah (Aceh), dan pondok (daerah lain).5

Pondok Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous.6 Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren dianggap sangat bergengsi karena merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang berstruktur. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.

4 Ibid.

5 Ensiklopedi Islam, dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, him. 99.

Secara definitif, sebagaimana dikatakan Fatah Syukur pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh f l al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari/

Ciri umum yang dapat di ketahui adalah pesantren memiliki kultur khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya. Beberapa peneliti menyebut sebagai sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncratic.8 Cara pengajarannya pun unik. Sang Kyai, yang biasanya pendiri sekaligus pemilik pesantren, membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa Arab (di kenal dengan sebutan “kitab kuning”), sementara santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi, jawa) pada kitab yang sedang dibaca Metode ini di sebut bandongan atau layanan kolektif (collective learning process). Selain itu, para santri di tugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustadz menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah sorogan atau layanan individu (individu learning process). Kegiatan belajar mengajar di atas berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa.

Baru memasuki era 1970-an pesantren pengalami perkembangan signifikan. Perubahan dan perkembangan itu bisa 7 Fatah Syukur: M adrasah D i Indonesia, Dinamika, Kontinuitas dan Problematika, dalam

Dinamika Pesantren dan M adrasah, Ismail SM, ed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, him. 245. 8 Loc. Cit.

ditilik dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan menakjubkan, baik di wilayah pedesaan, pinggiran kota, maupun perkotaan.

Perubahan penting lainnya yang teijadi dalam kehidupan pesantren ialah ketika dimasukkannya sistem madrasah. Hal ini dianggap sebagai perimbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat. Dengan masuknya sistem madrasah jenjang-jenjang pendidikan di Pesantren juga ikut menyesuaikan diri dengan jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Disamping itu pesantren juga mengalami perubahan dari segi kurikulum dengan ditambahkannya sejumlah pelajaran nonagama, walaupun pengajaran kitab-kitab klasik tetap dipertahankan.

2) Tipologi Pondok Pesantren

Ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:

a) Pondok Pesantren Tradisional

Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang di tulis oleh ulama pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab. Pola pengajarannya dengan menerapakan sistem “halaqah ” yang dilaksanakan di masjid atau mushola. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghafalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang

menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang di berikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).

b) Pondok Pesantren Modem

Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orietasi belajarannya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modem ini terutama nampak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai adalah sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan mad-asah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.

c) Pondok Pesantren Komprehensif

Sistem pesintren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modem. Artinya di dalamnya diteiapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan dan bandongan

atau weionan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua b. Madrasah

1) Sejarah Madrasah

Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa madrasah berasal dari kata darasa yaitu belajar. Nama atau sebutan bagi sekolah agama Islam, tempat proses belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang mempunyai kelas (dengan sarana antara lain meja, bangku, dan papan tulis) dan kurikulum dalam bentuk klasikal.9

Pada masa awal perkembangan Islam, umat Islam belum memiliki tempat belajar (madrasah) seperti yang dikenal sekarang ini. Tempat kegiatan belajar waktu itu berlangsung di masjid-masjid. Pada masa Rasulullah SAW tempat belajar berlangsung di Masjid Nabawi. Di masjid ada suatu ruangan tempat belajar yang disebut suffah, sekaligus tempat menyantuni fakir miskin.10 Keadaan ini berlangsung juga pada masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayah.

Sistem halaqah mempunyai pengaruh yang besar dalam sistem pendidikan modem dengan nama adult education (pendidikan dewasa). Dalam perkembangan berikutnya dibuat tempat-tempat belajar mengajar di luar masjid yang khusus mengajarkan anak-anak membaca, menulis, mempelajari Alquran dan dasar-dasar Islam yang

9 Ensiklopedi Islam, Op. C it, , him. 105. 10 Ib id

disebut kuttab.u Pendidikan lanjutan dilaksanakan di masjid dengan sistem halaqah.

Madrasah yang pertama kali didirikan di dunia Islam, sebagai lembaga pendidikan yang bentuk dan sistemnya mendekati seperti sekarang ini adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Madrasah ini didirikan oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk (1018/1019-1092), seorang penguasa Bani Seljuk pada abad ke-11. Madrasah ini berkembang di berbagai kota di wilayah kekuasaan Islam dan banyak menghasilkan ulama dan saijana yang tersebar di negeri-negeri Islam.

Di Indonesia, perkembangan pendidikan dan pengajaran Islam dalam bentuk madrasah juga merupakan pengembangan dari sistem tradisional yang diadakan di surau, langgar, masjid, dan pesantren. Perkembangan selanjutnya yang mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal dipengaruhi oleh sistem sekolah-sekolah pemerintah kolonial Belanda.11 12 13 Hal ini bertujuan untuk menandingi sekolah- sekolah Belanda yang diskriminatif dan netral agama yang dinilai tidak sesuai dengan cita-cita Islam. Pengaruh itu juga datang dari orang-orang Indonesia yang belajar di negeri-negeri Islam atau dari para guru dan ulama negeri-negeri tersebut yang datang ke Indonesia.14

11 Ibid., him. 106

12 Ib id

13 Abdul Ghofur dan Muhaimin, Pengenalan Kurikulum M adrasah, Ramahani, Solo, 1993, him. 11

2) Dinamika Perkembangan Madrasah

Madrasah berkembang setelah lahirnya organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, M u’alimin dan M u’alimat, Al Irsyad (1913) yang mendirikan Madrasah Awwaliyah dan Madrasah Tajhiziyah, M athla’ul Anwar (1916), NU (1926), dan lain-lain.15 Setelah Indonesia merdeka (1945) dan Departemen Agama (Depag) berdiri (3 Januari 1946), pembinaan madrasah menjadi tanggungjawab departemen ini. 16

Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan tuntutan jaman dan masyarakat, Depag menyeragamkan nama, jenis, dan tingkatan madrasah yang beragam tersebut sebagaimana yang ada sekarang ini dalam dua kelompok yaitu: pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30 % sebagai mata pelajaran dasar dan pelajaran umum 70 %. Statusnya ada yang negeri dan dikelola Depag dan ada pula yang swasta dan dikelola masyarakat, yaitu: (1) Raudlatul Atfal/Bustanul Atfal (tingkat taman kanak- kanak); (2) Madrasah Ibtidaiyah (tingkat dasar); (3) Madrasah Tsanawiyah (tingkat menengah pertama); dan (4) Madrasah Aliyah (tingkat menengah atas). Kedua: madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam mumi, hanya memberikan pelajaran agama yang disebut dengan madrasah diniyah, yaitu (1) madrasah diniyah awwaliyah (tingkat dasar); (2) madrasah diniyah wusta (tingkat

15 Abdul Ghofur dan Muhaimin, Op.Cit., him. 12 16 Ibid, him. 108

menengah pertama); (3) madrasah diniyah ulya (tingkat menengah atas). Madrasah ini umumnya berada dilingkungan pesantren dan masjid serta dikelola oleh masyarakat.17

Pada masa awal berdirinya, sebagian madrasah di Indonesia masih lebih banyak memberikan ilmu-ilmu keagamaan daripada ilmu-ilmu umum, namun terjadilah perubahan yaitu setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri nomor 6 tahun 1975, nomor 37 / U / 1575 dan nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah maka semua madrasah mengubah kurikulumnya menjadi 70% bidang studi umum, dan 30 % bidang studi agama.hal itu berlaku bagi madrasah yang dikelola oleh Depag (madrasah negeri), sedangkan madrasah yang dikelola oleh swasta ada beberapa variasi yakni ada 60% bidang studi agama dan 40 % bidang studi umum dan ada juga yang memang masih tetap yakni 70% bidang studi agama dan 30% bidang studi umum.18 Adapun hasil yang ingin diharapkan adalah:

a) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.

b) Lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.

17 Ridlwan Nasir, M encari Tipologi Format Pendidikan Ideal : Pondok Pesantren di Tengah A rus Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, him. 91

c) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

Untuk mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan umum pada madrasah ditentukan agar madrasah menyesuaikan pelajaran umum yang diberikan setiap tahun di semua tingkat sebagai berikut: (1) Pelajaran umum pada Madrasah Ibtidaiyah sama dengan standar pengetahuan umum pada Sekolah Dasar. (2) Pelajaran umum pada Madrasah Tsanawiyah sama dengan standar pengetahuan umum pada Sekolah Menengah Pertama. (3) Pelajaran umum pada Madrasah Aliyah sama dengan standar pengetahuan umum pada Sekolah Menengah Atas.19

Perubahan terjadi manakala Menteri Agama mengeluarkan SK nomor 73 tahun 1987 yang memunculkan Madrasah Aliyah model baru yang kemudian di kenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Tujuannya untuk mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan dasar dalam bidang ilmu agama Islam dan bahasa Arab yang diperlukan untuk melanjutkan ke IAIN atau dapat langsung bekeija di masyarakat dalam bidang pelayanan keagamaan. Program ini mencakup pelajaran agama 65% dan umum 35 %. MAPK ini sejak tahun ajaran 1987/1988 telah dibuka dibeberapa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) sebagai pilot project yaitu MAN Ciamis, MAN Yogyakarta, MAN Jember, MAN Padangpanjang, dan MAN Ujungpandang.20

19 Ibid, him. 98

Khusus untuk Madrasah Pesantren dimana madrasah ini adalah madrasah yang memakai sistem pondok pesantren di mana siswa tinggal bersama kyai di pondok, hidup dalam suasana belajar selama 24 jam sehari semalam. Unsur-unsur pesantren yang telah disebutkan pada bahasan terdahulu dijumpai di madrasah ini, ada kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan diutamakan.

Bila ditinjau dari segi kurikulumnya, madrasah pesantren ini dapat dibagi menjadi dua macam:21

a) Seluruh kurikulumnya diprogramkan dan diatur oleh pondok pesantren sendiri, contohnya pondok pesantren Gontor Ponorogo. b) Mata pelajaran umum sesuai dengan kurikulum madrasah SKB

Tiga Menteri, sedangkan mata pelajaran agamanya diprogramkan dan diatur oleh pondok, dengan tetap memperhatikan kurikulum madrasah SKB Tiga Menteri. Karena itu mereka diikutkan ujian Negara, contohnya Pondok Pesantren Tebuireng.

B. MANAJEMEN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM 1. Pengertian Manajemen

Istilah manajemen pada dasarnya merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga. Seringkah orang menyebut sebuah pengelolaan kegiatan atau pengelolaan usaha dengan istilah manajemen. Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuna management, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Karenanya, manajemen dapat diartikan

sebagai ilmu dan seni tentang upaya untuk memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien.

Manajemen menurut Stoner sebagaimana dikutip Hani Handoko adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.22 23 Manajemen juga berkenaan dengan cara-cara pengelolaan suatu lembaga agar lembaga tersebut efisien dan efektif.24 Suatu lembaga akan efisien apabila investasi yang ditanamkan di dalam lembaga tersebut sesuai atau memberikan provit sebagaimana yang diharapkan.25 Lembaga juga dikatakan akan efektif apabila pengelolaannya menggunakan prinsip-prinsip uang tepat dan benar, sehingga berbagai kegiatan di dalam lembaga tersebut dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah direncanakan.26

Manajemen dapat pula diartikan sebagai proses memimpin, membimbing dan memberi fasilitas dari usaha-usaha orang-orang yang terorganisir didalam organisasi-organisasi formal guna mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.27 Manajemen sering juga diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu, oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara

22

http://idwikipedia.org/wiki/M anajem en, akses tanggal 7 Mei 2007

23 Hani handoko. M anajem er,edisi 2, cet.l 1, BPFE, Yogyakarta, 1997, hlm.8

24 H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, him. 10 25 Ib id , hlm.l 1

26 Ib id

sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang

< 7 0

bekeijasama.

Disamping pengertian manajemen di atas, sebagai bahan perbandingan setidaknya perlu disimak beberapa definisi manajemen yang dikemukakan para tokoh/pakar manajemen, diantaranya:

a. H. Koontz dan O’Donnel, sebagaimana dikutip Soewamo Handayaningrat, mengemukakan definisi manajemen yaitu: “Management involves getting things done through and with people ” (manajemen berhubungan dengan pencapaian sesuatu tujuan yang dilakukan melalui dan dengan orang-orang)28 29

b. Haimann mendefinisikan manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama.30

c. Mary Parker Follet mendefinisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekeijaan orang lain.31

d. Luther Gulich mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat system keijasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.32

28 Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hlm.l

29 Soewamo Handayaningrat, Pengantar Studi Ilm u Adm inistrasi dan Manajemen,

Gunung Agung, Jakarta, 1983, him. 19

30 M. Manullang, Dasar-dasar Manajemen, cet. Ke-12, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, him. 15

31 Hani Handoko, Op. Cit, him. 8 32 Ib id , him. 11

e. George R. Terry mendefinisikan manajemen sebagai berikut: “Management is a distinct process consisting o f planning, organizing, actuating, and controlling, utiliting in each both science and art, and followed in order to accomplish predetermined objectives ” (Manajemen adalah suatu proses yang membeda-bedakan atas: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan, dan pengawasan, dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni, agar dapat menyelesaikan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya).33

Bertitik tolak kepada pengertian manajemen di atas, maka manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses/kegiatan/usaha pencapaian tujuan tertentu melalui keijasama dengan orang lain. Dari landasan ini, dapat diketahui beberapa hal mengenai unsur-unsur tindakan yang mengarah kepada usaha yang disebut dengan istilah manajemen. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) Adanya kegiatan atau usaha, (2) Adanya kesatuan tujuan yang baik, (3) Adanya keijasama, (4) Adanya orang yang melakukan kegiatan.

Fungsi manajemen sendiri menurut George R. Terry adalah sebagai: Planning, Organizing, Actuating serta Controlling.34 Sehingga fungsi-fungsi manajemen dapat dikelompokkan dalam empat hal tersebut yaitu:

33 Soewamo Handayaningrat, Op. Cit., him. 20 34 M. Manullang, Op.Cit., him. 19

a. Planning (perencanaan)

Perencanaan berarti suatu perumusan persoalan-persoalan tentang apa dan bagaimana suatu pekerjaan hendak dilaksanakan.35 Perencanaan juga dapat berarti keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana akan dilakukan dan siapa yang akan melakukan.36

Merencanakan kegiatan sebagai jalan untuk mencapai target yang ingin dicapai merupakan kegiatan yang perlu dilakukan dengan kecermatan. Kecermatan bukan hanya terkait dengan masalah keberhasilan dalam waktu dekat saja tetapi juga mempertimbangkan kejadian yang mungkin akan terjadi di masa datang. Disamping hal tersebut dalam perencanaan juga perlu direncanakan target serta tujuan yang hendak dicapai dengan melakukan pengorganisasian segenap sumber daya yang tersedia.

b. Organizing (pengorganisasian)

Pengorganisasian dapat didefinisikan sebagai proses membagi kerja ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada yang sesuai kemampuannya, mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dalam rangka efektivitas pencapaian tujuan organisasi.37

Pengorganisasian diperlukan untuk membedakan jenis pekerjaan, tingkat tanggungjawab dan juga untuk mempermudah mempergunakan sumberdaya yang ada demi tercapainya tujuan. Keseluruhan rangkaian 33 Ibid

36 Soekarno K., Op.Cit., hlm.66 37 Nanang Fattah, Op.Cit., him. 71

proses pengorganisasian tersebut juga memerlukan satu kesepahaman mengenai pekeijaan yang dilakukan. Rangkaian kegiatan tersebut harus pula didukung dengan intensnya komunikasi untuk mendukung keberhasilan dalam proses pengorganisasian tersebut.

c. Actuating (penggerakan)

Penggerakan atau pelaksanaan adalah usaha agar semua anggota kelompok suka melaksanakan tugasnya menuju tercapainya tujuan dengan kesadarannya dan berpedoman pada perencanaan {planning) dan usaha pengorganisasian. Penggerakan merupakan lanjutan dari proses perencanaan dan pengorganisasian. Setelah rencana tersusun dan telah diatur mengenai pembagian tugas, maka setelah itu dilakukan usaha-usaha untuk menggerakkan seluruh sum berdaya yang ada untuk menyelesaikan tugas demi tercapainya tujuan bersama. Oleh karena itu, di dalam proses ini faktor kepemimpinan menjadi kekuatan untuk melakukan pengorganisasian atas keseluruhan komponen pendukung, sehingga rencana yang telah ada dapat terealisasikan.

d. Controlling (pengendalian/pengawasan)

Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi.38 39 Proses dasar tersebut terdiri dari tiga tahap: pertama, menetapkan standar pelaksanaan. Kedua, pengukuran pelaksanaan pekeijaan dibandingkan

38 Soewamo Handayaningrat, Op.Cit., him. 26 39 Ib id , him 101

dengan standar. Ketiga, menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.40

e. Evaluating (evaluasi)

Evaluasi merupakan proses yang terakhir dalam setiap manajemen. Hal ini dilakukan karena sangat dibutuhkan dalam sebuah manajemen untuk melihat hasil akhir dari pelaksanaan sebuah manajemen. Bila manajemen tersebut berhasil, maka pada tahun selanjutnya manajemen tersebut akan diterapkan, akan tetapi bila manajemen tersebut gagal dan tidak berhasil maka manajemen tersebut akan dievaluasi, diperbaiki, bahkan mungkin diganti dengan manajemen yang baru.

Dokumen terkait