• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang manajer di suatu organisasi sekolah terikat pada fungsi menajerialnya (planning, organizing, actuating, controlling) termasuk dalam mengelola sumber daya manusianya. Pengelolaan sumber daya manusia (guru) yang relevan dalam rangka menyambut pemberlakuan kurikulum 2013 adalah dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu dilaksanakan secara terus menerus dalam rangka pembinaan ketenagaan suatu organisasi. Program pelatihan tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga lembaga atau organisasi dan hubungan manusiawi dalam kelompok kerja.

Pelatihan merupakan upaya investasi sumber daya manusia dalam sebuah lembaga.

Pelatihan sebagai proses mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu agar pegawai semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik (Mangkuprawira, 2004: 15). Pelatihan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberi para pembelajar pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka saat ini (Mondy, 2008: 256). Pelatihan adalah modifikasi perilaku sistematis melalui pembelajaran, yang terjadi sebagai hasil dari pendidikan, pengembangan pembelajaran, dan pengalaman yang direncanakan (Armstrong, 2009: 67). Pelatihan merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu lembaga pendidikan untuk mempermudah pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku (Noe, 2014: 351).

Mengacu pendapat Noe (2014: 351), pelatihan guru adalah upaya yang direncanakan untuk meningkatkan penguasaan kompetensi guru yaitu

penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Tujuan pelatihan bagi karyawan secara garis besar ada 2 (dua) yaitu untuk menutup

gap antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan (Handoko, 2008: 103).

Pelatihan bagi guru bertujuan agar guru: (1) mampu memperbaiki kinerjanya. Guru yang memiliki kinerja kurang atau tidak memuaskan dapat disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bidang pekerjaannya; (2) dapat memuthakhirkan keahliannya sejalan dengan kemajuan teknologi dan dapat menerapkannya dalam dalam pekerjaan sehari-hari; (3) membekali guru baru agar kompeten dalam pekerjaan, karena seringkali guru baru tidak menguasai keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas-tugasnya; (4) membantu memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam menjalankan

tugasnya, sehingga program pelatihan hendaknya dilandasi pada kebutuhan guru; (5) mengembangkan karier guru.

Terdapat berbagai model pelatihan yang dapat digunakan dalam mengembangkan sumber daya guru SD, tentu saja model-model tersebut disesuaikan dengan pendekatan, strategi serta materi latihan. Kamil (2003: 11-14) merangkum berbagai model pelatihan, diantaranya adalah model latihan keterampilan kerja (Skill training for the job) yang dikembangkan oleh Louis Genci pada tahun 1966; model Training Design and Evaluation Model yang dirancang oleh Craig tahun 1976; dan Model Tujuh Langkah (The Seven-step

Model) yang dikemukakan oleh Parker pada

tahun 1976.

Di samping model-model tersebut, terdapat model pelatihan yang menekankan pada peristiwa-peristiwa penting yang harus dirancang oleh desainer pelatihan. Model tersebut adalah Critical Event Model (CEM) yang dikembangkan oleh Nadler (2011).

b. Model Pelatihan Critical Event Model (CEM)

The Critical Events model (CEM)

setiap eventnya selalu dievaluasi. Pada model ini tidak semua variabel bisa diidentifikasi atau ditetapkan pada saat dilakukan perancangan program pelatihannya, namun pada setiap langkahnya selalu di evaluasi dan sebagai

follow up. Pada dasarnya CEM berguna untuk program pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dimiliki individu. Tujuan model ini adalah menggambarkan apa yang mungkin terjadi, namun tidak dapat memprediksi produk akhir yang tepat. Nadler juga mengungkapkan keberhasilan CEM yang dibuktikan oleh siswa dan kliennya dengan menyelaraskan sebagai sebuah model. It is one with which I have had success that my student have found useful and that my client have been able to relate to so offer it as one model (Nadler, 1988: 11).

Model yang dikembangkan Nedler ini dimulai dari: 1) menentukan kebutuhan organisasi, 2) menspesifikasikan kinerja peserta pelatihan, 3) mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan, 4) merumuskan tujuan pelatihan, 5) memilih kurikulum pelatihan, 6) memilih strategi pelatihan, 7) mendapatkan sumber belajar, dan 8) melaksanakan pelatihan, dan selanjutnya

kembali lagi ke menentukan kebutuhan. Perputaran ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahan dari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah masih perlu diadakan perbaikan atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh organisasi. Siklus pelatihan pada CEM dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2.

The Critical Events Model

Gambar 2.2. The Critical Event Model (Nadler & Nadler, 1988: 12; 2011: 15)

Identify the Needs of the Organization Specify Job Performance Conduct Training Identify Learner Needs Obtain Instructional Resources Select Instructional Strategies Determine Objectives Build Curriculum Eva lu a ti o m a n d Fee d b a ck

Secara lebih rinci, setiap langkah pada gambar 2.2 dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, Identify the needs of the organization

yaitu menentukan masalah/kebutuhan mendasar. Tahap ini merupakan pijakan awal dari langkah selanjutnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara kenyataan dan harapan adalah front-end analysis. Menurut Firdousi (2011: 113), sebelum melakukan pelatihan, diwajibkan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dalam organisasi agar tercapai tujuan yang diinginkan.

Identifikasi kebutuhan merupakan komponen kritis dan sangat penting dalam keseluruhan proses pelatihan bahwa menganalisis kebutuhan pelatihan organisasi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam mendesain program pelatihan (Dick, Carey & Carey, 2009: 23; Hariandja dan Hardiwat, 2007: 174). Hasil penelitian Kanada (2015: 158), bahwa pelatihan In-House Training

secara konsisten dan berkesinambungan dapat terjamin secara kuantitas, tetapi disisi lain dibutuhkan pelatihan yang terjamin secara

kualitas. Untuk menjamin kualitas pelatihan, dibutuhkan analisis kebutuhan pelatihan organisasi, jabatan, dan individu pegawai.

Kedua, Specify Job Performance, yaitu menspesifikasikan kinerja. Pada tahap ini diperoleh data tentang spesifikasi kinerja para peserta pelatihan. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan kuesioner, wawancara, rapat, observasi, dan lain sebagainya.

Kinerja guru dispesifikasikan dalam bentuk Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pelatihan yang dikembangkan dari Permendiknas nomor 16 tahun 2007. Pemetaan kompetensi ini senada dengan pandangan Hakim (2009: 243), kompetensi pedagogik merupakan suatu performansi (kemampuan) seseorang dalam bidang ilmu pendidikan. Untuk menjadi guru yang profesional harus memiliki pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan dan keterampilan pada bidang profesi kependidikan. Kompetensi pedagogik atau akademik ini merujuk kepada kemampuan guru untuk mengelola proses belajar, mengajar, termasuk di dalamnya perencanaan

dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar dan pengembangan siswa sebagai individu-individu.

Menurut Atwi Suparman (2012: 68) hakikat kompetensi dalam pelatihan berbasis kompetensi sebenarnya adalah tujuan umum yang hendak dicapai oleh sebuah pelatihan.

Ketiga, Identify Learner Needs, yaitu mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan. Tujuan utama dari event ini adalah mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan. Jika pada event sebelumnya berfokus pada kinerja peserta pelatihan, maka pada event ini berfokus pada orang yang melakukan kinerja tersebut. Teknik identifikasi kebutuhan guru menggunakan front-end analysis. Menurut Nedler (1988: 19) untuk mengetahui kebutuhan yang muncul dapat dilihat dari kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi faktualnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Mawardi (2014: 34) menguraikan langkah-langkah untuk mengidentifikasi defisit kompetensi pedagogik dan profesional sebagai kebutuhan pelatihan dengan analisis awal-akhir (front-end analysis).

Proses front-end analysis terdiri dari: analisis kinerja (performance analysis), analisis kebutuhan (need assessment), dan analisis pekerjaan (job analysis) untuk program pelatihan tertentu. Pengumpulan data pada

event ini dapat dilakukan dengan cara rapat, wawancara, observasi, kuesioner, dan tes.

Keempat, Determine Objectives, yaitu merumuskan tujuan pelatihan. Pada tahap ini desainer mengidentifikasi elemen-elemen yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan program pelatihan dan pengalaman yang akan didapat oleh peserta pelatihan. Soetarno Joyoatmojo (2011: 80-81) menyatakan bahwa indikator pelatihan sebenarnya merupakan tujuan pembelajaran/pelatihan khusus yang dikembangkan dari tujuan umum pelatihan (SK dan KD). Tujuan pelatihan khusus merupakan deskripsi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai oleh perserta pelatihan, sekaligus sebagai acuan dalam memilih materi, strategi dan instrumen penilaian. Tujuan pelatihan khusus yang dinyatakan dengan jelas akan menjadi

pedoman bagi peserta pelatihan untuk menguasai kompetensi pelatihan.

Senada dengan Soetarno Joyoatmojo, perumusan tujuan pelatihan yang didasarkan pada indikator yang telah dikembangkan dari SK dan KD pelatihan ini, Mujiman (2011: 70), menyatakan bahwa tujuan pelatihan mengacu pada penguasaan terhadap kemampuan yang ditargetkan untuk dapat dikuasai pada akhir pelatihan.

Kelima, Build Curriculum, yaitu memilih kurikulum pelatihan. Event ini merupakan point utama dalam CEM, karena pada event ini desainer menentukan apa saja yang harus dipelajari serta urutan pembelajaran yang akan didapat oleh peserta pelatihan. Pemilihan materi pelatihan dapat menggunakan materi yang telah ada asalkan sesuai dengan tujuan pelatihan (Joyoatmojo, 2011: 86). Pendapat senada juga disampaikan oleh Mujiman (2011: 71) bahwa pemilihan materi ini harus disesuaikan dengan tujuan pelatihan. Lebih lanjut, Mujiman menjelaskan bahwa dalam menyusun materi pelatihan, perlu

didiskusikan dengan kolega untuk mendapatkan masukan.

Keenam, Select Instructional Strategies,

yaitu memilih strategi pelatihan. Pada event ini berisi pemilihan strategi yang berupa aktivitas instruktur dan peserta pelatihan dalam melakukan pelatihan. Pemilihan strategi pembelajaran perlu disesuaikan dengan materi pelatihan (Nadler, 2011: 164). Berbeda dengan pandangan Nadler, Mujiman (2011: 71) mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran dalam pelatihan ditentukan oleh tujuan pembelajaran, karakteristik peserta pelatihan, ketersediaan alat bantu pembelajaran, preferensi, kemampuan instruktur, dan sebagainya.

Ketujuh, Obtain Instructional Resources,

yaitu mendapatkan sumber pembelajaran. Sumber pembelajaran yang dimaksud dalam event ini meliputi sumber belajar fisik (ruang pelatihan, soundsystem, ATK, dll), finansial, dan sumber daya manusia (Supervisor, instruktur, pengelola, dan peserta). Hal senada juga ditegaskan oleh Mujiman (2011: 72) bahwa sumber belajar pelatihan dapat berupa

bahan ajar baik cetak maupun elektronik, alat bantu belajar, instruktur, dan peserta pelatihan.

Kedelapan, Conduct Training, yaitu melaksanakan pelatihan. Tujuan event ini adalah untuk melakukan program pelatihan yang telah dirancang sebelumnya. Pada tahap ini, aktivitas perancang semakin berkurang dan diambil alih oleh instruktur pelatihan. Aktivitas perancang beralih menjadi pengawas proses pelatihan meskipun kompetensi perancang tidak sama dengan kompetensi pengawas sesungguhnya. Hal ini tetap dilakukan karena setidaknya perancang mengetahui keseluruhan desain pelatihan yang dirancang. Evaluation and Feedback wajib dilakukan pada setiap event sebagai output event yang sedang berlangsung dan input pada event berikutnya (Nadler & Nadler, 1988: 12; 2011: 15).

Penelitian dan pengembangan ini memilih model Critical Event Model (CEM), dengan pertimbangan: 1) CEM memiliki langkah-langkah prosedural, artinya tahapan demi tahapan pelaksanaan pelatihan memiliki keterkaitan logis. Output tahapan sebelumnya

menjadi input bagi tahapan berikutnya yang berkonsekuensi menindak lanjuti tahapan sebelumnya mengarah pada keefektifan sistem pelatihan sistemik; 2) CEM memiliki langkah-langkah fungsional yang saling terkait dan saling membutuhkan; 3) CEM bersifat inovatif, sejauh penelusuran hasil penelitian tentang

CEM dijurnal cetak maupun online baru ditemukan satu hasil penelitian tentang pelatihan yang menggunakan model CEM; 4)

CEM dilaksanakan sesuai dengan bekal pengetahuan awal peserta pelatihan, pada hakikatnya pelatihan CEM cocok untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang sudah mempunyai pekerjaan.

Pelatihan CEM mempunyai dampak terhadap kinerja sumber daya manusia. Hal ini telah ditegaskan oleh Nadler bahwa keampuhan pelatihan CEM telah dibuktikan oleh siswa dan kliennya yang kemudian diselaraskan sebagai sebuah model. It is one with which I have had success that my student have found useful and that my client have been able to relate to so offer it as one model (Nadler, 1988: 11). Senada dengan pernyataan tersebut,

Mulastin (2016) melalui penelitian dan pengembangan yang dilakukan telah membuktikan keberhasilan pelatihan CEM

untuk meningkatkan sumber daya manusia.

c. Desain Pelatihan menggunakan CEM

Pelaksanaan suatu program tidak dapat terlepas dari suatu rancangan atau desain. Desain dapat diartikan sebagai peta jalan atau kerangka kerja sebagai pedoman bagi pelaksana program mencapai tujuan yang ditetapkan. Tanpa adanya desain, maka pelaksanaan suatu program tidak dapat mencapai tujuan. Begitu pula dalam pelaksanaan program pelatihan bagi guru mengembangkan pembelajaran tematik integratif, harus didesain sedemikian rupa agar tujuan pelatihan dapat tercapai.

Desain pelatihan merupakan proses sistematis dalam mencapai tujuan pelatihan secara efektif dan efisien melalui pengidentifikasian masalah, pengembangan strategi dan bahan pelatihan, serta pengevaluasian terhadap strategi dan bahan pelatihan untuk menentukan hal-hal yang

harus direvisi. Hasil akhir dari desain pelatihan adalah satu set produk pelatihan yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pelatihan. Proses desain pelatihan dimulai dari mengidentifikasi masalah, mengembangkan strategi dan bahan pelatihan, diakhiri dengan mengevaluasi efektifitas dan efisiensi produk (Suparman, 2012: 99). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desain pelatihan merupakan

blue print untuk mengembangkan bahan dan

media untuk mencapai tujuan pelatihan.

Mendesain pelatihan adalah kegiatan merancang penyajian bahan pelatihan dalam bentuk lesson plan yang dapat digunakan oleh instruktur. Secara garis besar lesson plan

pelatihan harus memuat topik, masalah pokok, tujuan, materi, alokasi waktu, metode, media, dan instrumen evaluasi (Mudjiman, 2011: 73). 2.1.4 Hasil Penelitian Relevan

Penelitian dan pengembangan tentang desain pelatihan CEM untuk meningkatkan kompetensi guru mengembangkan pembelajaran tematik integratif ini didukung oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya. Penelitian tersebut berkaitan dengan penelitian

pelatihan guru secara umum, penelitian model

CEM secara khusus, dan penelitian tentang peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif SD.

Pertama, penelitian relevan terkait

pelatihan guru dilakukan oleh Kazu, H. & Demiralp, D. (2016) tentang Faculty Members’ Views on the Effectiveness of Teacher Training

Programs to Upskill Life-Long Learning

Competence. Pada akhir penelitiannya

diperoleh data bahwa guru kekurangan kompetensi life-long learning seperti rasa ingin tahu, melek informasi, terbuka untuk belajar, semangat meneliti bahkan guru tidak dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh bidang keahliannya. Teacher Training Programs

(TTP) yang dilakukan ternyata tidak sesuai

untuk meningkatkan kompetensi life-long

learning dan tidak memadai dalam

pengembangan personal guru pra-jabatan. Hal ini disebabkan karena guru telah lulus dari fakultas pendidikan sebelum mendapatkan kompetensi life-long learning dan juga belum dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan

oleh bidang keahliannya. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan pengaturan kurikulum yang mendorong pembelajaran life-long learning. Kazu & Demiralp menyarankan pada kagiatan pelatihan selanjutnya diharapkan program pelatihan dilengkapi dengan proyek yang berorientasi praktik, memungkinkan pembelajaran berbasis reflektif dan berbasis kompetensi. Penelitian dan pengembangan ini berusaha menjawab temuan Kazu & Demiralp, dengan menyelenggarakan pelatihan dilengkapi dengan praktik dan memungkinkan pembelajaran berbasis kompetensi yang dibutuhkan.

Selain Kazu, Jalmo dan Rustaman (2010) juga melakukan penelitian pengembangan tentang Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA menemukan hasil berikut: 1) Program Pelatihan Guru dengan strategi Scaffolding (PPGS) merupakan program yang efektif dalam meningkatkan kompetensi peserta; 2) terdapat enam karakteristik PPGS; 3) kelemahan PPGS adalah tidak efisien waktu; dan 4) keunggulan PPGS adalah student

centered dan memotivasi peserta bekerja keras untuk meningkatkan kompetensinya. Temuan ini mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa program pelatihan mampu meningkatkan kompetensi guru. Bedanya pada temuan Jalmo dan Rustaman menggunakan strategi Scaffolding,

sedangkan pada R&D yang dilakukan peneliti menggunakan desain CEM.

Selanjutnya, Tuginem dan Muhyadi (2014) meneliti tentang keefektifan pelatihan penyusunan bahan ajar berbasis Lectora, menunjukkan hasil bahwa melalui program pelatihan penyusunan bahan ajar, standar kompetensi pedagogik guru terpenuhi dalam kategori sangat efektif (>22,75). Temuan ini mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti, bahwa melalui program pelatihan dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru secara efektif.

Yoto (2015) melakukan penelitian kajian literatur pengembangan pendidikan melalui pendidikan dan pelatihan menemukan bahwa

guru perlu melakukan pelatihan secara terus-menerus agar mengetahui dan memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui pelatihan, guru mampu dan terampil dalam memainkan peran di hadapan peserta didik, sehingga mutu pendidikan akan menjadi baik dan lulusannya mampu bersaing dalam mencari pekerjaan. Hasil penelitian literatur yang dilakukan oleh Yoto sangat mendukung penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh peneliti, bahwa kegiatan pelatihan guru penting dilakukan bahkan secara continew agar mengetahui kebutuhan yang harus dipenuhi dan bagaimana meningkatkan kompetensinya. Hasil penelitian Wangid, Mustadi, dan Astuti (2013) menunjukkan bahwa Pelatihan Pembelajaran Tematik Integratif Bagi Guru Sekolah Dasar dapat membantu upaya pemerintah dalam memberikan pelatihan terhadap guru-guru dalam implementasi kurikulum 2013. Keberhasilan penelitian tersebut dibuktikan dengan dua indikator: 1) adanya peningkatan nilai rata-rata pretes dan postes; 2) adanya

peningkatan nilai rata-rata RPP yang dibuat sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan.

Masrukhi, Widodo, Sukestiyarno dan Raharjo (2015) melakukan R&D tentang Pengembangan Model Pelatihan PTK Berbasis Pendampingan memperoleh hasil model dan perangkat pelatihan PTK yang terdiri dari buku panduan instruktur dan peserta, model pelatihan PTK berbasis pendampingan, buku pedoman pelatihan, dan modul materi pelatihan. Setelah dilakukan kegiatan pelatihan, peserta mampu menghasilkan produk berupa karya ilmiah laporan hasil PTK. Temuan ini mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti tentang pengembangan desain pelatihan CEM. Bedanya dalam penelitian yang dilakukan oleh Masrukhi, Widodo, Sukestiyarno dan Raharjo adalah mengembangkan model pelatihan PTK berbasis pendampingan dengan menghasilkan beberapa produk berupa buku panduan instruktur dan peserta, buku pedoman pelatihan, dan modul materi pelatihan, sedangkan pada R&D yang dilakukan peneliti adalah mengembangkan desain pelatihan menggunakan CEM dengan produk berupa silabus, RPP, dan materi pelatihan.

Secara garis besar, beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan pentingnya program pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Meskipun dari kajian tersebut belum ditemukan hasil penelitian tentang pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya dengan menggunakan desain pelatihan CEM

sebagaimana yang dilakukan peneliti pada R&D ini.

Kedua, penelitian relevan terkait

pelatihan CEM. Penelitian R&D tentang keefektifan pelatihan penelitian bagi dosen STIKes Jawa Tengah menggunakan model integratif CEM dilakukan oleh Mulastin, Samsudi, Rusdarti (2016). Hasil penelitian menunjukankan: 1). Hasil analisis pelatihan yang ada selama ini berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pelatihan penelitian bagi dosen masih kurang efektif dan

2). Integrated Critical Event Model (ICEM)

terbukti efektif digunakan dalam pelatihan penelitian bagi Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Jawa Tengah (t-hitung = 10,72> nilai t-tabel 2,101). Model pelatihan ini menyisipkan teori ICEM, yaitu sebuah konsep berkenaan dengan penentuan kebutuhan

kelembagaan, spesifikasi tugas yang harus dijalankan, tujuan, kurikulum, memilih strategi pembelajaran, hingga mendapatkan sumber pembelajaran.

Model pelatihan ICEM yang dikembangkan oleh Mulastin mempunyai kesamaan dengan model pelatihan CEM

sebagaimana yang dilakukan dalam R&D ini, hanya saja pada model ICEM peneliti mengkombinasikannya dengan strategi mentoring sehingga program pelatihan dapat terlaksana secara efektif.

Barger (2008) melakukan penelitian literatur tentang keampuhan model pelatihan

CEM. Barger menyimpulkan bahwa model CEM

merupakan model terbuka, fleksibel dan dapat melibatkan pihak-pihat terkait dalam merancang pelatihan melalui proses evaluasi dan pemberian umpan balik (feedback). Evaluasi dan umpan balik bukan merupakan aktivitas tunggal dalam pelatihan, melainkan merupakan sebuah proses pada setiap tahap. Fleksibilitas CEM terlihat pada pertanyaan yang muncul setiap tahapan sebagai bantuan perancang untuk memutuskan tindakan selanjutnya.

Ketiga, penelitian relevan terkait peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif SD. Rahayu, Pujianto dan Purwaningsih (2014) melakukan R&D tentang Pelatihan Pengembangan Model Pembelajaran Tematik dan Terintegrasi ‘Webbed’ Bermuatan Kearifan Lokal bagi Guru-Guru SD untuk Meningkatkan Kompetensi Guru sebagai Penunjang Kesiapan Implementasi Kurikulum 2013. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan dan pemahaman guru-guru terhadap pengembangan perangkat pembelajaran tematik dan produk berupa tujuh tema pembelajaran. Temuan ini mendukung penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh peneliti, khususnya pada penggunaan model pembelajaran tematik integratif ‘Webbed’ untuk mengembangkan pembelajaran berbasis tema.

Selanjutnya, Yama dan Setiyani (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh pelatihan guru, kompetensi guru, dan pemanfaatan sarana prasarana terhadap kesiapan guru dalam implementasi kurikulum 2013. Pembuktian secara statistik

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pelatihan guru dalam implementasi kurikulum 2013. Artinya pemberian treatmen berupa pelatihan kepada guru dapat menunjang kesuksesan implementasi kurikulum 2013. Temuan ini juga mendukung R&D ini bahwa kegiatan pelatihan guru dalam rangka menyukseskan implementasi kurikulum 2013 adalah hal yang penting untuk dilakukan.

Kasmad (2015) melakukan penelitian tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tematik terpadu melalui kegiatan

In House Training (IHT) bagi guru kelas 1 SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui kegiatan IHT, kreativitas guru dan kualitas pembelajaran tematik integratif pada kelas 1 menjadi meningkat. Tindakan yang diberikan pada kegiatan IHT ini adalah workshop tentang pembelajaran tematik integratif dan pembahasan instrumen pengamatan pembelajaran tematik. Keberhasilan penelitian ini dapat dilihat dari capaian nilai guru pada pelaksanaan pembelajaran tematik melalui

peer teaching. Pada siklus 1 terdapat 2 guru yang mendapat nilai C, 3 guru mendapat nilai

B, dan 1 guru mendapat nilai A. Pada siklus 2, sudah tidak ada guru yang memperoleh nilai C, 1 diantaranya mendapat nilai B, 5 lainnya mendapatkan nilai A. Artinya, temuan ini mendukung penelitian R&D yang dilakukan oleh peneliti, bahwa melalui sebuah treatmen pelatihan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif.

Berdasarkan kajian hasil penelitian di

Dokumen terkait