• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengem"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif

a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif Pembelajaran tematik terpadu (integratif) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga memberikan pengalaman bermakna bagi siswa (Lampiran Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014). Pengertian pembelajaran tematik integratif dalam permendikbud ini menekankan adanya tema yang digunakan untuk mengikat mata pelajaran. Hasil integrasi dari beberapa mata pelajaran dikemas dalam satu tema sehingga memberikan pengalaman bermakna bagi siswa.

(2)

Definisi senada dikemukakan oleh Rusman (2012: 254) bahwa pembelajaran tematik integratif merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan autentik. Holistik bermakna bahwa pembelajaran tematik integratif akan mampu mengembangkan tiga ranah (kognitif, afektif dan psikomotorik) siswa secara utuh. Bermakna berarti bahwa materi pembelajaran tematik integratif sesuai dengan alam pikir siswa. Autentik berarti bahwa pembelajaran tematik integratif yang dikembangkan mampu memberikan pengalaman nyata dan langsung kepada siswa.

(3)

mata pelajaran, c) materi pelajaran disusun dari beberapa mata pelajaran dalam suatu tema, d) memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif menggali pengetahuannya sendiri, dan e) pembelajaran lebih bermakna dan autentik.

Pembelajaran tematik integratif terdiri dari beberapa komponen yaitu tujuan, bahan ajar, metode, media dan evaluasi (Ibrahim & Sukmadinata, 2010: 4). Agar tercipta sistem pembelajaran yang baik, maka seluruh komponen tersebut harus berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang utuh. Secara lebih jelas, interaksi antarkomponen pembelajaran dapat di gambarkan pada gambar 2.1 berikut.

Setiap komponen berinteraksi dengan komponen yang lain sehingga terbentuk sistem

(4)

pembelajaran yang bermakna. Pertama, komponen tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang akan dicapai dalam pembelajaran. Umumnya tujuan pembelajaran dipilah menjadi dua, yaitu tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum sifatnya masih umum, belum menggambarkan perilaku spesifik yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran khusus sudah lebih spesifik dan operasional. Dalam pembelajaran tematik integratif di SD berdasarkan Kurikulum 2013, tujuan umum mencakup tujuan kurikuler yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi inti (KI) dan tujuan pembelajaran umum yang dituangkan dalam rumusan kompetensi dasar (KD). Tujuan khusus dirumuskan dalam bentuk indikator pencapaian kompetensi dasar. Tujuan umum dan tujuan khusus dalam pembelajaran tematik integratif di SD merupakan gabungan dari KD dan indikator yang diturunkan dari KI tertentu dari berbagai muatan mata pelajaran yang diintegrasikan (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).

Kedua, komponen bahan ajar tematik

(5)
(6)

Ketiga, komponen strategi pembelajaran. Terdapat beberapa istilah yang mempunyai makna berdekatan dengan makna strategi pembelajaran, yaitu model dan metode. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan hierarkis fungsional. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, sementara strategi dan metode pembelajaran merupakan bagian dari model tersebut (Joyoatmojo, 2011: 102). Salah satu tugas guru SD dalam merancang pembelajaran adalah memilih strategi dan metode pembelajaran yang sesuai model pembelajaran yang diikuti. Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, tujuan pembelajaran, karakteristik materi, dan kondisi guru.

Keempat, komponen media

(7)

dalam memahami. Pemilihan dan pengembangan media pembelajaran semestinya disesuaikan dengan karakteristik materi dan strategi pebelajaran yang digunakan (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).

Kelima, evaluasi pembelajaran. Evaluasi

(8)

Model pembelajaran tematik integratif mencakup: 1) model terpisah (fragmented), yaitu model pembelajaran yang paling lemah integrasinya karena dirancang dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dan saling terpisah; 2) model keterkaitan/keterhubungan

(connected) model pembelajaran di mana

(9)

konsep yang saling tumpang tindih dalam berbagai disiplin ilmu, dicari keterampilan, konsep, dan sikap-sikap yang sama; 8)

immersed; yaitu memadukan apa yang

dipelajari dengan cara memandang seluruh pengajaran melalui perspektif bidang yang disukai; dan 9) membentuk jejaring

(networked), yaitu proses pemaduan topik yang

dipelajri melalui pemilihan jejaring pakar dan sumber daya (Robin Fogarty, 2009: 22-116).

Dari ragam model pembelajaran tematik yang telah dipaparkan, model pembelajaran tematik yang paling cocok diterapkan dalam pembelajaran di SD adalah jaring laba-laba (webbed). Model ini dimulai dari menentukan tema, kemudian dikembangkan menjadi subtema dengan memperhatikan keterkaitan tema dengan mata pelajaran yang terkait. Melalui subtema tersebut diharapkan aktivitas siswa dapat berkembang secara mandiri (Mawardi dan Bambang S. Sulasmono, 2011: 96).

(10)
(11)

sejumlah nilai budi pekerti sesuai dengan situasi dan kondisi (Kemendikbud, 2014: 16).

Secara garis besar, berdasar pada Kemendikbud (2014: 16) pembelajaran tematik integratif bertujuan untuk menjadikan pembelajaran lebih berkesan dan bermakna, sehingga memudahkan peserta didik dalam mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dari beberapa muatan pelajaran.

(12)

Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta” (Permendikbud nomor 22 tahun 2016).

(13)

diperoleh dari percobaan secara kolaboratif; 6) menyimpulkan, yaitu peserta didik menyimpulkan hasil kegiatan mengolah informasi bersama kelompok; 7) menyajikan dan mengkomunikasikan, yaitu peserta didik menyajikan dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun (Kemendikbud, 2013: 200-209).

2.1.2 Kompetensi Pedagogik Guru SD

(14)

menurut ketentuan hukum. Lebih lanjut, Syah mengemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.

(15)

Berdasar pada Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas profesional.

Dari berbagai pandangan mengenai kompetensi guru, dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru merupakan spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfleksikan kedalam kebiasaan berperilaku dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

(16)

berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi sosial merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi yang menjadi titik fokus pada penelitian dan pengembangan ini adalah kompetensi pedagogik guru.

b. Aspek-Aspek Kompetensi Pedagogik Guru SD

(17)

informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, 6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, 8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan 10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

(18)
(19)

penilaian; (6) Guru juga perlu mengerti bagaimana seharusnya melakukan refleksi pembelajaran sehingga guru dapat melakukan perbaikan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.

d. Strategi Mengembangkan Kompetensi Pedagogik Guru

Buku 4 Pedoman Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (Kemendiknas, 2010: 1) menyatakan bahwa konsekuensi dari jabatan guru sebagai profesi, diperlukan suatu sistem pembinaan dan pengembangan terhadap profesi guru secara terprogram dan berkelanjutan. Pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) hakikatnya merupakan pengembangan kompetensi guru seiring dengan pengembangan karier guru. Salah satu unsur PKB yang langsung berkaitan dengan pengembangan kompetensi guru adalah komponen pengembangan diri.

(20)

bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Macam kegiatan dapat berupa kursus, pelatihan, penataran, maupun berbagai bentuk diklat yang lain. Kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan (Kemendiknas, 2010: 15-17).

Mengacu buku panduan PKB seperti tersebut di atas, kegiatan perancangan pelatihan kurikulum 2013 menggunakan model CEM merupakan salah satu strategi dalam mengembangkan kompetensi guru, termasuk kompetensi pedagogik.

e. Indikator Pengukuran Kompetensi Pedagogik Guru SD

Sebagai tenaga profesional, konsekuensi

sebagai guru profesional adalah memiliki

kompetensi, salah satunya kompetensi

pedagogik. Dari sepuluh aspek kompetensi

pedagogik guru sebagaimana dipaparkan pada

bagian 2.1.2 sub b di atas, terdapat 3 aspek

yang relevan terhadap pelatihan

(21)

di SD. Aspek-aspek tersebut diantaranya yaitu

1) mengembangkan kurikulum yang terkait

dengan bidang yang diampu menggunakan

berbagai pendekatan, strategi, metode, dan

teknik pembelajaran yang mendidik secara

kreatif; 2) menyelenggarakan kegiatan

pembelajaran yang mendidik; dan 3)

menyelenggarakan penilaian sekaligus evaluasi

proses dan hasil belajar (Lampiran

Permendiknas nomor 16 tahun 2007: 18).

Tuntutan kompetensi yang bersifat

umum ini tentu akan disesuaikan dengan

perkembangan dunia pendidikan di Indonesia,

termasuk menyesuaikan dengan tuntutan

kurikulum 2013 SD tematik integratif versi

2017. Dalam rangka penyesuaian tersebut,

sudah semestinya standar kompetensi

pelatihan pengembangan pembelajaran tematik

integratif mencakup: 1) menguasai secara luas

dan mendalam hakikat pembelajaran tematik

integratif yang mendukung pembelajaran

tematik integratif di SD; 2) mampu

mengembangkan pembelajaran tematik

(22)

Standar kompetensi tersebut kemudian

dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan

indikator berikut:

1) memahami karakteristik model-model desain

pembelajaran tematik integratif di SD,

mencakup indikator: a) menentukan

karakteristik model-model desain pembelajaran

tematik integratif; b) menentukan kelebihan

dan kelemahan model-model desain

pembelajaran tematik integratif di SD; dan c)

memilih model desain pembelajaran tematik

integratif yang cocok diterapkan di SD.

2) Merancang jaring tema berbasis lingkungan

untuk pembelajaran tematik integratif di SD,

mencakup indikator: menyusun jaring tema

berbasis lingkungan untuk pembelajaran

tematik integratif di SD.

3) Memahami hubungan antara SKL, KI, KD, dan

Silabus, dengan indikator: a) menyebutkan

butir-butir SKL, KI, KD, dan Silabus; dan b)

memerinci butir-butir SKL, KI, KD, dan

Silabus.

4) Menganalisis SKL, KI, KD, dan Silabus serta

membuat indikator, dengan indikator

(23)

5) Memahami karakteristik pembelajaran dengan

pendekatan Saintifik, Problem Based Learning,

Project Based Learning, dan Discovery Learning,

dengan indikator: a) menjelaskan pengertian

pembelajaran dengan pendekatan Saintifik,

Problem Based Learning, Project Based

Learning, dan Discovery Learning; b)

membedakan karakteristik pembelajaran

dengan pendekatan Saintifik, Problem Based

Learning, Project Based Learning, dan Discovery

Learning; dan c) memilih model pembelajaran

tematik sesuai dengan materi pembelajaran.

6) Menyusun skenario pembelajaran tematik

integratif, dengan indikator merancang

skenario pembelajaran sesuai model

pembelajaran yang dipilih.

7) Menentukan teknik penilaian sikap,

pengetahuan, dan keterampilan, dengan

indikator: a) menentukan kompetensi dasar

pengetahuan dan keterampilan pada

masing-masing semester; dan b) menentukan teknik

penilaian sikap, pengetahuan, dan

keterampilan.

8) Menyusun instrumen penilaian sikap,

(24)

indikator menyusun instrumen penilaian

sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

9) Memahami prinsip penyusunan RPP, dengan

indikator menelaah prinsip penyusunan RPP.

10) Merancang RPP berdasarkan kurikulum 2013

dengan indikator menyusun RPP kelas 4 SD

untuk 1 (satu) kali pembelajaran dilengkapi

dengan materi pembelajaran.

2.1.3 Model Pelatihan Critical Event Model (CEM) a. Model-model Pelatihan

(25)

Pelatihan merupakan upaya investasi sumber daya manusia dalam sebuah lembaga.

Pelatihan sebagai proses mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu agar pegawai semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik (Mangkuprawira, 2004: 15). Pelatihan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberi para pembelajar pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka saat ini (Mondy, 2008: 256). Pelatihan adalah modifikasi perilaku sistematis melalui pembelajaran, yang terjadi sebagai hasil dari pendidikan, pengembangan pembelajaran, dan pengalaman yang direncanakan (Armstrong, 2009: 67). Pelatihan merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu lembaga pendidikan untuk mempermudah pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku (Noe, 2014: 351).

(26)

penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Tujuan pelatihan bagi karyawan secara garis besar ada 2 (dua) yaitu untuk menutup

gap antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan (Handoko, 2008: 103).

(27)

tugasnya, sehingga program pelatihan hendaknya dilandasi pada kebutuhan guru; (5) mengembangkan karier guru.

Terdapat berbagai model pelatihan yang dapat digunakan dalam mengembangkan sumber daya guru SD, tentu saja model-model tersebut disesuaikan dengan pendekatan, strategi serta materi latihan. Kamil (2003: 11-14) merangkum berbagai model pelatihan, diantaranya adalah model latihan keterampilan kerja (Skill training for the job) yang dikembangkan oleh Louis Genci pada tahun 1966; model Training Design and Evaluation Model yang dirancang oleh Craig tahun 1976; dan Model Tujuh Langkah (The Seven-step

Model) yang dikemukakan oleh Parker pada

tahun 1976.

Di samping model-model tersebut, terdapat model pelatihan yang menekankan pada peristiwa-peristiwa penting yang harus dirancang oleh desainer pelatihan. Model tersebut adalah Critical Event Model (CEM) yang dikembangkan oleh Nadler (2011).

b. Model Pelatihan Critical Event Model (CEM)

The Critical Events model (CEM)

(28)

setiap eventnya selalu dievaluasi. Pada model ini tidak semua variabel bisa diidentifikasi atau ditetapkan pada saat dilakukan perancangan program pelatihannya, namun pada setiap langkahnya selalu di evaluasi dan sebagai

follow up. Pada dasarnya CEM berguna untuk program pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dimiliki individu. Tujuan model ini adalah menggambarkan apa yang mungkin terjadi, namun tidak dapat memprediksi produk akhir yang tepat. Nadler juga mengungkapkan keberhasilan CEM yang dibuktikan oleh siswa dan kliennya dengan menyelaraskan sebagai sebuah model. It is one with which I have had success that my student

have found useful and that my client have been

able to relate to so offer it as one model (Nadler, 1988: 11).

(29)

kembali lagi ke menentukan kebutuhan. Perputaran ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahan dari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah masih perlu diadakan perbaikan atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh organisasi. Siklus pelatihan pada CEM dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2.

The Critical Events Model

Gambar 2.2. The Critical Event Model (Nadler & Nadler,

1988: 12; 2011: 15)

(30)

Secara lebih rinci, setiap langkah pada

gambar 2.2 dapat dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, Identify the needs of the organization

yaitu menentukan masalah/kebutuhan

mendasar. Tahap ini merupakan pijakan awal

dari langkah selanjutnya. Teknik pengumpulan

data yang digunakan untuk menjembatani

kesenjangan antara kenyataan dan harapan

adalah front-end analysis. Menurut Firdousi

(2011: 113), sebelum melakukan pelatihan,

diwajibkan untuk mengidentifikasi kebutuhan

pelatihan dalam organisasi agar tercapai

tujuan yang diinginkan.

Identifikasi kebutuhan merupakan

komponen kritis dan sangat penting dalam

keseluruhan proses pelatihan bahwa

menganalisis kebutuhan pelatihan organisasi

merupakan langkah pertama yang harus

dilakukan dalam mendesain program pelatihan

(Dick, Carey & Carey, 2009: 23; Hariandja dan

Hardiwat, 2007: 174). Hasil penelitian Kanada

(2015: 158), bahwa pelatihan In-House Training

secara konsisten dan berkesinambungan dapat

terjamin secara kuantitas, tetapi disisi lain

(31)

kualitas. Untuk menjamin kualitas pelatihan,

dibutuhkan analisis kebutuhan pelatihan

organisasi, jabatan, dan individu pegawai.

Kedua, Specify Job Performance, yaitu

menspesifikasikan kinerja. Pada tahap ini

diperoleh data tentang spesifikasi kinerja para

peserta pelatihan. Teknik pengumpulan data

dapat menggunakan kuesioner, wawancara,

rapat, observasi, dan lain sebagainya.

Kinerja guru dispesifikasikan dalam

bentuk Standar Kompetensi (SK) dan

Kompetensi Dasar (KD) pelatihan yang

dikembangkan dari Permendiknas nomor 16

tahun 2007. Pemetaan kompetensi ini senada

dengan pandangan Hakim (2009: 243),

kompetensi pedagogik merupakan suatu

performansi (kemampuan) seseorang dalam

bidang ilmu pendidikan. Untuk menjadi guru

yang profesional harus memiliki pengetahuan

dan pemahaman serta kemampuan dan

keterampilan pada bidang profesi

kependidikan. Kompetensi pedagogik atau

akademik ini merujuk kepada kemampuan

guru untuk mengelola proses belajar,

(32)

dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar dan

pengembangan siswa sebagai

individu-individu.

Menurut Atwi Suparman (2012: 68)

hakikat kompetensi dalam pelatihan berbasis

kompetensi sebenarnya adalah tujuan umum

yang hendak dicapai oleh sebuah pelatihan.

Ketiga, Identify Learner Needs, yaitu

mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.

Tujuan utama dari event ini adalah

mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.

Jika pada event sebelumnya berfokus pada

kinerja peserta pelatihan, maka pada event ini

berfokus pada orang yang melakukan kinerja

tersebut. Teknik identifikasi kebutuhan guru

menggunakan front-end analysis. Menurut

Nedler (1988: 19) untuk mengetahui

kebutuhan yang muncul dapat dilihat dari

kesenjangan antara kondisi yang diharapkan

dengan kondisi faktualnya. Sejalan dengan

pandangan tersebut, Mawardi (2014: 34)

menguraikan langkah-langkah untuk

mengidentifikasi defisit kompetensi pedagogik

dan profesional sebagai kebutuhan pelatihan

(33)

Proses front-end analysis terdiri dari: analisis

kinerja (performance analysis), analisis

kebutuhan (need assessment), dan analisis

pekerjaan (job analysis) untuk program

pelatihan tertentu. Pengumpulan data pada

event ini dapat dilakukan dengan cara rapat,

wawancara, observasi, kuesioner, dan tes.

Keempat, Determine Objectives, yaitu

merumuskan tujuan pelatihan. Pada tahap ini

desainer mengidentifikasi elemen-elemen yang

harus dipertimbangkan dalam merumuskan

tujuan program pelatihan dan pengalaman

yang akan didapat oleh peserta pelatihan.

Soetarno Joyoatmojo (2011: 80-81)

menyatakan bahwa indikator pelatihan

sebenarnya merupakan tujuan

pembelajaran/pelatihan khusus yang

dikembangkan dari tujuan umum pelatihan

(SK dan KD). Tujuan pelatihan khusus

merupakan deskripsi pengetahuan,

keterampilan dan sikap yang akan dicapai oleh

perserta pelatihan, sekaligus sebagai acuan

dalam memilih materi, strategi dan instrumen

penilaian. Tujuan pelatihan khusus yang

(34)

pedoman bagi peserta pelatihan untuk

menguasai kompetensi pelatihan.

Senada dengan Soetarno Joyoatmojo,

perumusan tujuan pelatihan yang didasarkan

pada indikator yang telah dikembangkan dari

SK dan KD pelatihan ini, Mujiman (2011: 70),

menyatakan bahwa tujuan pelatihan mengacu

pada penguasaan terhadap kemampuan yang

ditargetkan untuk dapat dikuasai pada akhir

pelatihan.

Kelima, Build Curriculum, yaitu memilih

kurikulum pelatihan. Event ini merupakan

point utama dalam CEM, karena pada event ini

desainer menentukan apa saja yang harus

dipelajari serta urutan pembelajaran yang

akan didapat oleh peserta pelatihan. Pemilihan

materi pelatihan dapat menggunakan materi

yang telah ada asalkan sesuai dengan tujuan

pelatihan (Joyoatmojo, 2011: 86). Pendapat

senada juga disampaikan oleh Mujiman (2011:

71) bahwa pemilihan materi ini harus

disesuaikan dengan tujuan pelatihan. Lebih

lanjut, Mujiman menjelaskan bahwa dalam

(35)

didiskusikan dengan kolega untuk

mendapatkan masukan.

Keenam, Select Instructional Strategies,

yaitu memilih strategi pelatihan. Pada event ini

berisi pemilihan strategi yang berupa aktivitas

instruktur dan peserta pelatihan dalam

melakukan pelatihan. Pemilihan strategi

pembelajaran perlu disesuaikan dengan materi

pelatihan (Nadler, 2011: 164). Berbeda dengan

pandangan Nadler, Mujiman (2011: 71)

mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran

dalam pelatihan ditentukan oleh tujuan

pembelajaran, karakteristik peserta pelatihan,

ketersediaan alat bantu pembelajaran,

preferensi, kemampuan instruktur, dan

sebagainya.

Ketujuh, Obtain Instructional Resources,

yaitu mendapatkan sumber pembelajaran.

Sumber pembelajaran yang dimaksud dalam

event ini meliputi sumber belajar fisik (ruang

pelatihan, soundsystem, ATK, dll), finansial,

dan sumber daya manusia (Supervisor,

instruktur, pengelola, dan peserta). Hal senada

juga ditegaskan oleh Mujiman (2011: 72)

(36)

bahan ajar baik cetak maupun elektronik, alat

bantu belajar, instruktur, dan peserta

pelatihan.

Kedelapan, Conduct Training, yaitu melaksanakan pelatihan. Tujuan event ini adalah untuk melakukan program pelatihan yang telah dirancang sebelumnya. Pada tahap ini, aktivitas perancang semakin berkurang dan diambil alih oleh instruktur pelatihan. Aktivitas perancang beralih menjadi pengawas proses pelatihan meskipun kompetensi perancang tidak sama dengan kompetensi pengawas sesungguhnya. Hal ini tetap dilakukan karena setidaknya perancang mengetahui keseluruhan desain pelatihan yang dirancang. Evaluation and Feedback wajib dilakukan pada setiap event sebagai output event yang sedang berlangsung dan input pada event berikutnya (Nadler & Nadler, 1988: 12; 2011: 15).

Penelitian dan pengembangan ini

memilih model Critical Event Model (CEM),

dengan pertimbangan: 1) CEM memiliki

langkah-langkah prosedural, artinya tahapan

demi tahapan pelaksanaan pelatihan memiliki

(37)

menjadi input bagi tahapan berikutnya yang

berkonsekuensi menindak lanjuti tahapan

sebelumnya mengarah pada keefektifan sistem

pelatihan sistemik; 2) CEM memiliki

langkah-langkah fungsional yang saling terkait dan

saling membutuhkan; 3) CEM bersifat inovatif,

sejauh penelusuran hasil penelitian tentang

CEM dijurnal cetak maupun online baru

ditemukan satu hasil penelitian tentang

pelatihan yang menggunakan model CEM; 4)

CEM dilaksanakan sesuai dengan bekal

pengetahuan awal peserta pelatihan, pada

hakikatnya pelatihan CEM cocok untuk

meningkatkan kompetensi sumber daya

manusia yang sudah mempunyai pekerjaan.

Pelatihan CEM mempunyai dampak

terhadap kinerja sumber daya manusia. Hal ini

telah ditegaskan oleh Nadler bahwa

keampuhan pelatihan CEM telah dibuktikan

oleh siswa dan kliennya yang kemudian

diselaraskan sebagai sebuah model. It is one

with which I have had success that my student

have found useful and that my client have been

able to relate to so offer it as one model (Nadler,

(38)

Mulastin (2016) melalui penelitian dan

pengembangan yang dilakukan telah

membuktikan keberhasilan pelatihan CEM

untuk meningkatkan sumber daya manusia.

c. Desain Pelatihan menggunakan CEM

Pelaksanaan suatu program tidak dapat

terlepas dari suatu rancangan atau desain.

Desain dapat diartikan sebagai peta jalan atau

kerangka kerja sebagai pedoman bagi

pelaksana program mencapai tujuan yang

ditetapkan. Tanpa adanya desain, maka

pelaksanaan suatu program tidak dapat

mencapai tujuan. Begitu pula dalam

pelaksanaan program pelatihan bagi guru

mengembangkan pembelajaran tematik

integratif, harus didesain sedemikian rupa agar

tujuan pelatihan dapat tercapai.

Desain pelatihan merupakan proses

sistematis dalam mencapai tujuan pelatihan

secara efektif dan efisien melalui

pengidentifikasian masalah, pengembangan

strategi dan bahan pelatihan, serta

pengevaluasian terhadap strategi dan bahan

(39)

harus direvisi. Hasil akhir dari desain

pelatihan adalah satu set produk pelatihan

yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan

pelatihan. Proses desain pelatihan dimulai dari

mengidentifikasi masalah, mengembangkan

strategi dan bahan pelatihan, diakhiri dengan

mengevaluasi efektifitas dan efisiensi produk

(Suparman, 2012: 99). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa desain pelatihan merupakan

blue print untuk mengembangkan bahan dan

media untuk mencapai tujuan pelatihan.

Mendesain pelatihan adalah kegiatan

merancang penyajian bahan pelatihan dalam

bentuk lesson plan yang dapat digunakan oleh

instruktur. Secara garis besar lesson plan

pelatihan harus memuat topik, masalah pokok,

tujuan, materi, alokasi waktu, metode, media,

dan instrumen evaluasi (Mudjiman, 2011: 73).

2.1.4 Hasil Penelitian Relevan

Penelitian dan pengembangan tentang

desain pelatihan CEM untuk meningkatkan

kompetensi guru mengembangkan

pembelajaran tematik integratif ini didukung

oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya.

(40)

pelatihan guru secara umum, penelitian model

CEM secara khusus, dan penelitian tentang

peningkatan kompetensi guru dalam

mengembangkan pembelajaran tematik

integratif SD.

Pertama, penelitian relevan terkait

pelatihan guru dilakukan oleh Kazu, H. &

Demiralp, D. (2016) tentang Faculty Members’

Views on the Effectiveness of Teacher Training

Programs to Upskill Life-Long Learning

Competence. Pada akhir penelitiannya

diperoleh data bahwa guru kekurangan

kompetensi life-long learning seperti rasa ingin

tahu, melek informasi, terbuka untuk belajar,

semangat meneliti bahkan guru tidak dapat

memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh

bidang keahliannya. Teacher Training Programs

(TTP) yang dilakukan ternyata tidak sesuai

untuk meningkatkan kompetensi life-long

learning dan tidak memadai dalam

pengembangan personal guru pra-jabatan. Hal

ini disebabkan karena guru telah lulus dari

fakultas pendidikan sebelum mendapatkan

kompetensi life-long learning dan juga belum

(41)

oleh bidang keahliannya. Hal ini

mengindikasikan bahwa diperlukan

pengaturan kurikulum yang mendorong

pembelajaran life-long learning. Kazu &

Demiralp menyarankan pada kagiatan

pelatihan selanjutnya diharapkan program

pelatihan dilengkapi dengan proyek yang

berorientasi praktik, memungkinkan

pembelajaran berbasis reflektif dan berbasis

kompetensi. Penelitian dan pengembangan ini

berusaha menjawab temuan Kazu & Demiralp,

dengan menyelenggarakan pelatihan dilengkapi

dengan praktik dan memungkinkan

pembelajaran berbasis kompetensi yang

dibutuhkan.

Selain Kazu, Jalmo dan Rustaman (2010)

juga melakukan penelitian pengembangan

tentang Program Pelatihan Peningkatan

Kompetensi Guru IPA menemukan hasil

berikut: 1) Program Pelatihan Guru dengan

strategi Scaffolding (PPGS) merupakan program

yang efektif dalam meningkatkan kompetensi

peserta; 2) terdapat enam karakteristik PPGS;

3) kelemahan PPGS adalah tidak efisien waktu;

(42)

centered dan memotivasi peserta bekerja keras

untuk meningkatkan kompetensinya. Temuan

ini mendukung R&D yang dilakukan oleh

peneliti yaitu melakukan pelatihan untuk

meningkatkan kompetensi guru. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa program

pelatihan mampu meningkatkan kompetensi

guru. Bedanya pada temuan Jalmo dan

Rustaman menggunakan strategi Scaffolding,

sedangkan pada R&D yang dilakukan peneliti

menggunakan desain CEM.

Selanjutnya, Tuginem dan Muhyadi

(2014) meneliti tentang keefektifan pelatihan

penyusunan bahan ajar berbasis Lectora,

menunjukkan hasil bahwa melalui program

pelatihan penyusunan bahan ajar, standar

kompetensi pedagogik guru terpenuhi dalam

kategori sangat efektif (>22,75). Temuan ini

mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti,

bahwa melalui program pelatihan dapat

meningkatkan kompetensi pedagogik guru

secara efektif.

Yoto (2015) melakukan penelitian kajian

literatur pengembangan pendidikan melalui

(43)

guru perlu melakukan pelatihan secara

terus-menerus agar mengetahui dan memahami

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Melalui pelatihan, guru mampu dan

terampil dalam memainkan peran di hadapan

peserta didik, sehingga mutu pendidikan akan

menjadi baik dan lulusannya mampu bersaing

dalam mencari pekerjaan. Hasil penelitian

literatur yang dilakukan oleh Yoto sangat

mendukung penelitian dan pengembangan

yang dilakukan oleh peneliti, bahwa kegiatan

pelatihan guru penting dilakukan bahkan

secara continew agar mengetahui kebutuhan

yang harus dipenuhi dan bagaimana

meningkatkan kompetensinya. Hasil penelitian

Wangid, Mustadi, dan Astuti (2013)

menunjukkan bahwa Pelatihan Pembelajaran

Tematik Integratif Bagi Guru Sekolah Dasar

dapat membantu upaya pemerintah dalam

memberikan pelatihan terhadap guru-guru

dalam implementasi kurikulum 2013.

Keberhasilan penelitian tersebut dibuktikan

dengan dua indikator: 1) adanya peningkatan

(44)

peningkatan nilai rata-rata RPP yang dibuat

sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan.

(45)

Secara garis besar, beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan pentingnya program pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Meskipun dari kajian tersebut belum ditemukan hasil penelitian tentang pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya dengan menggunakan desain pelatihan CEM

sebagaimana yang dilakukan peneliti pada R&D ini.

Kedua, penelitian relevan terkait

pelatihan CEM. Penelitian R&D tentang keefektifan pelatihan penelitian bagi dosen STIKes Jawa Tengah menggunakan model integratif CEM dilakukan oleh Mulastin, Samsudi, Rusdarti (2016). Hasil penelitian menunjukankan: 1). Hasil analisis pelatihan yang ada selama ini berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pelatihan penelitian bagi dosen masih kurang efektif dan

2). Integrated Critical Event Model (ICEM)

(46)

kelembagaan, spesifikasi tugas yang harus dijalankan, tujuan, kurikulum, memilih strategi pembelajaran, hingga mendapatkan sumber pembelajaran.

Model pelatihan ICEM yang dikembangkan oleh Mulastin mempunyai kesamaan dengan model pelatihan CEM

sebagaimana yang dilakukan dalam R&D ini, hanya saja pada model ICEM peneliti mengkombinasikannya dengan strategi mentoring sehingga program pelatihan dapat terlaksana secara efektif.

Barger (2008) melakukan penelitian literatur tentang keampuhan model pelatihan

CEM. Barger menyimpulkan bahwa model CEM

(47)

Ketiga, penelitian relevan terkait peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif SD. Rahayu, Pujianto dan Purwaningsih (2014) melakukan R&D tentang Pelatihan Pengembangan Model Pembelajaran Tematik dan Terintegrasi ‘Webbed’ Bermuatan Kearifan Lokal bagi Guru-Guru SD untuk Meningkatkan Kompetensi Guru sebagai Penunjang Kesiapan Implementasi Kurikulum 2013. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan dan pemahaman guru-guru terhadap pengembangan perangkat pembelajaran tematik dan produk berupa tujuh tema pembelajaran. Temuan ini mendukung penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh peneliti, khususnya pada penggunaan model pembelajaran tematik integratif ‘Webbed’ untuk mengembangkan pembelajaran berbasis tema.

Selanjutnya, Yama dan Setiyani (2016)

melakukan penelitian mengenai pengaruh

pelatihan guru, kompetensi guru, dan

pemanfaatan sarana prasarana terhadap

kesiapan guru dalam implementasi kurikulum

(48)

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

pelatihan guru dalam implementasi kurikulum

2013. Artinya pemberian treatmen berupa

pelatihan kepada guru dapat menunjang

kesuksesan implementasi kurikulum 2013.

Temuan ini juga mendukung R&D ini bahwa

kegiatan pelatihan guru dalam rangka

menyukseskan implementasi kurikulum 2013

adalah hal yang penting untuk dilakukan.

Kasmad (2015) melakukan penelitian

tindakan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran tematik terpadu melalui kegiatan

In House Training (IHT) bagi guru kelas 1 SD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui

kegiatan IHT, kreativitas guru dan kualitas

pembelajaran tematik integratif pada kelas 1

menjadi meningkat. Tindakan yang diberikan

pada kegiatan IHT ini adalah workshop tentang

pembelajaran tematik integratif dan

pembahasan instrumen pengamatan

pembelajaran tematik. Keberhasilan penelitian

ini dapat dilihat dari capaian nilai guru pada

pelaksanaan pembelajaran tematik melalui

peer teaching. Pada siklus 1 terdapat 2 guru

(49)

B, dan 1 guru mendapat nilai A. Pada siklus 2,

sudah tidak ada guru yang memperoleh nilai

C, 1 diantaranya mendapat nilai B, 5 lainnya

mendapatkan nilai A. Artinya, temuan ini

mendukung penelitian R&D yang dilakukan

oleh peneliti, bahwa melalui sebuah treatmen

pelatihan dapat meningkatkan kompetensi

guru dalam melaksanakan pembelajaran

tematik integratif.

Berdasarkan kajian hasil penelitian di

atas tampak bahwa program pelatihan bagi

guru telah sering dilakukan dengan tujuan

meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan

sesuai bidang yang diampu. Dari beberapa

literatur yang dikaji, diperoleh hasil yang relatif

sama yaitu program pelatihan terbukti efektif

dalam memperbaiki dan meningkatkan

kompetensi guru mengembangkan perangkat

dan melaksanakan pembelajaran tematik

integratif. Hasil penelitian Sari (2014: 47)

menunjukan bahwa kompetensi pedagogik

memberikan konstribusi terhadap kinerja

mengajar guru. Lebih lanjut hasil penelitian

Sari menunjukkan bahwa semakin tinggi

(50)

tinggi pula kinerja mengajar guru dan

sebaliknya semakin rendah kompetensi

pedagogik yang dimiliki guru maka semakin

rendah pula kinerja mengajarnya. Meskipun

terdapat hasil penelitian yang kontradiktif,

bahwa kegiatan pelatihan guru belum mampu

memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh

bidang keahliannya; disarankan untuk

program pelatihan berikutnya dilengkapi

dengan praktik dan memungkinkan

pembelajaran berbasis kompetensi yang

dibutuhkan guru.

Penelitian ini berfokus pada

pengembangan desain pelatihan CEM untuk

meningkatkan kompetensi guru

mengembangkan pembelajaran tematik

integratif. Hal yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya terletak pada

desain pelatihan. Sepanjang pencarian literatur

mengenai program pelatihan menggunakan

CEM, baru ditemukan satu literatur hasil

penelitian mengenai efektifitas desain pelatihan

CEM. Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa desain program pelatihan CEM terbukti

(51)

bagi dosen. Dalam penelitian ini akan

menggunakan desain pelatihan CEM untuk

meningkatkan kompetensi guru SD

mengembangkan pembelajaran tematik

integratif.

2.1.5 Kerangka Pikir

(52)

Selanjutnya ditentukan tujuan pelatihan, kurikulum pelatihan, strategi pelatihan, sumber materi dan kemudian dilaksanakan pelatihan. Pelatihan yang dirancang secara sistematis dengan menganalisis kebutuhan seperti ini akan berdampak pada meningkatnya kompetensi pedagogik guru SD dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif alternatif (tidak cukup hanya panduan yang dikembangkan oleh Kemendikbud). Akhirnya pembelajaran tematik integratif yang dilakukan di SD akan lebih bermutu. Seiring dengan perubahan, maka kompetensi pedagogik guru ini harus selalu dikembangkan terus-menerus. Bisa saja kompetensi guru tidak lagi mencukupi kebutuhan sekolah, sehingga perlu dilakukan pelatihan kembali, demikian proses ini akan berulang secara siklus.

Secara teoritis, desain pelatihan CEM

(53)

kebutuhan guru. Agar kerangka pikir ini lebih jelas, pada gambar 2.3 berikut dipaparkan bagan yang menggambarkan kerangka pikir penelitian ini.

Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Gambar

Gambar 2.2. The Critical Event Model (Nadler & Nadler,
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pendidikan di sekolah terjadi kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik atau siswa agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan pengetahuan yang

Utamanya adalah pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dan ketrampilan khusus guru yang berkaitan dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP )

Pada bagian hasil validasi ahli telah dipaparkan bahwa ahli yang memberikan penilaian terhadap produk desain pelatihan pengembangan pembelajaran tematik integratif

Dalam kurikulum 2013 penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat

Membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh, yaitu menetapkan keberhasilan belajar siswa dari bebarapa bidang kajian terkait yang dipadukan. Sesuai pendapat para ahli

Membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh, yaitu menetapkan keberhasilan belajar siswa dari bebarapa bidang kajian terkait yang dipadukan. Sesuai pendapat para ahli

Dengan mengisi tabel tentang perilaku yang mencerminkan nilai Pancasila, siswa dapat menerapkan perilaku di sekitar rumah yang sesuai dengan sila-sila pada Pancasila

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berhubungan dengan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan prinsip dasar desain.. ELEMEN KOMPETENSI