BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif
a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif Pembelajaran tematik terpadu (integratif) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga memberikan pengalaman bermakna bagi siswa (Lampiran Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014). Pengertian pembelajaran tematik integratif dalam permendikbud ini menekankan adanya tema yang digunakan untuk mengikat mata pelajaran. Hasil integrasi dari beberapa mata pelajaran dikemas dalam satu tema sehingga memberikan pengalaman bermakna bagi siswa.
Definisi senada dikemukakan oleh Rusman (2012: 254) bahwa pembelajaran tematik integratif merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan autentik. Holistik bermakna bahwa pembelajaran tematik integratif akan mampu mengembangkan tiga ranah (kognitif, afektif dan psikomotorik) siswa secara utuh. Bermakna berarti bahwa materi pembelajaran tematik integratif sesuai dengan alam pikir siswa. Autentik berarti bahwa pembelajaran tematik integratif yang dikembangkan mampu memberikan pengalaman nyata dan langsung kepada siswa.
mata pelajaran, c) materi pelajaran disusun dari beberapa mata pelajaran dalam suatu tema, d) memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif menggali pengetahuannya sendiri, dan e) pembelajaran lebih bermakna dan autentik.
Pembelajaran tematik integratif terdiri dari beberapa komponen yaitu tujuan, bahan ajar, metode, media dan evaluasi (Ibrahim & Sukmadinata, 2010: 4). Agar tercipta sistem pembelajaran yang baik, maka seluruh komponen tersebut harus berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang utuh. Secara lebih jelas, interaksi antarkomponen pembelajaran dapat di gambarkan pada gambar 2.1 berikut.
Setiap komponen berinteraksi dengan komponen yang lain sehingga terbentuk sistem
pembelajaran yang bermakna. Pertama, komponen tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang akan dicapai dalam pembelajaran. Umumnya tujuan pembelajaran dipilah menjadi dua, yaitu tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum sifatnya masih umum, belum menggambarkan perilaku spesifik yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran khusus sudah lebih spesifik dan operasional. Dalam pembelajaran tematik integratif di SD berdasarkan Kurikulum 2013, tujuan umum mencakup tujuan kurikuler yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi inti (KI) dan tujuan pembelajaran umum yang dituangkan dalam rumusan kompetensi dasar (KD). Tujuan khusus dirumuskan dalam bentuk indikator pencapaian kompetensi dasar. Tujuan umum dan tujuan khusus dalam pembelajaran tematik integratif di SD merupakan gabungan dari KD dan indikator yang diturunkan dari KI tertentu dari berbagai muatan mata pelajaran yang diintegrasikan (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).
Kedua, komponen bahan ajar tematik
Ketiga, komponen strategi pembelajaran. Terdapat beberapa istilah yang mempunyai makna berdekatan dengan makna strategi pembelajaran, yaitu model dan metode. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan hierarkis fungsional. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, sementara strategi dan metode pembelajaran merupakan bagian dari model tersebut (Joyoatmojo, 2011: 102). Salah satu tugas guru SD dalam merancang pembelajaran adalah memilih strategi dan metode pembelajaran yang sesuai model pembelajaran yang diikuti. Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, tujuan pembelajaran, karakteristik materi, dan kondisi guru.
Keempat, komponen media
dalam memahami. Pemilihan dan pengembangan media pembelajaran semestinya disesuaikan dengan karakteristik materi dan strategi pebelajaran yang digunakan (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).
Kelima, evaluasi pembelajaran. Evaluasi
Model pembelajaran tematik integratif mencakup: 1) model terpisah (fragmented), yaitu model pembelajaran yang paling lemah integrasinya karena dirancang dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dan saling terpisah; 2) model keterkaitan/keterhubungan
(connected) model pembelajaran di mana
konsep yang saling tumpang tindih dalam berbagai disiplin ilmu, dicari keterampilan, konsep, dan sikap-sikap yang sama; 8)
immersed; yaitu memadukan apa yang
dipelajari dengan cara memandang seluruh pengajaran melalui perspektif bidang yang disukai; dan 9) membentuk jejaring
(networked), yaitu proses pemaduan topik yang
dipelajri melalui pemilihan jejaring pakar dan sumber daya (Robin Fogarty, 2009: 22-116).
Dari ragam model pembelajaran tematik yang telah dipaparkan, model pembelajaran tematik yang paling cocok diterapkan dalam pembelajaran di SD adalah jaring laba-laba (webbed). Model ini dimulai dari menentukan tema, kemudian dikembangkan menjadi subtema dengan memperhatikan keterkaitan tema dengan mata pelajaran yang terkait. Melalui subtema tersebut diharapkan aktivitas siswa dapat berkembang secara mandiri (Mawardi dan Bambang S. Sulasmono, 2011: 96).
sejumlah nilai budi pekerti sesuai dengan situasi dan kondisi (Kemendikbud, 2014: 16).
Secara garis besar, berdasar pada Kemendikbud (2014: 16) pembelajaran tematik integratif bertujuan untuk menjadikan pembelajaran lebih berkesan dan bermakna, sehingga memudahkan peserta didik dalam mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dari beberapa muatan pelajaran.
Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta” (Permendikbud nomor 22 tahun 2016).
diperoleh dari percobaan secara kolaboratif; 6) menyimpulkan, yaitu peserta didik menyimpulkan hasil kegiatan mengolah informasi bersama kelompok; 7) menyajikan dan mengkomunikasikan, yaitu peserta didik menyajikan dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun (Kemendikbud, 2013: 200-209).
2.1.2 Kompetensi Pedagogik Guru SD
menurut ketentuan hukum. Lebih lanjut, Syah mengemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.
Berdasar pada Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas profesional.
Dari berbagai pandangan mengenai kompetensi guru, dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru merupakan spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfleksikan kedalam kebiasaan berperilaku dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi sosial merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi yang menjadi titik fokus pada penelitian dan pengembangan ini adalah kompetensi pedagogik guru.
b. Aspek-Aspek Kompetensi Pedagogik Guru SD
informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, 6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, 8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan 10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
penilaian; (6) Guru juga perlu mengerti bagaimana seharusnya melakukan refleksi pembelajaran sehingga guru dapat melakukan perbaikan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.
d. Strategi Mengembangkan Kompetensi Pedagogik Guru
Buku 4 Pedoman Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (Kemendiknas, 2010: 1) menyatakan bahwa konsekuensi dari jabatan guru sebagai profesi, diperlukan suatu sistem pembinaan dan pengembangan terhadap profesi guru secara terprogram dan berkelanjutan. Pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) hakikatnya merupakan pengembangan kompetensi guru seiring dengan pengembangan karier guru. Salah satu unsur PKB yang langsung berkaitan dengan pengembangan kompetensi guru adalah komponen pengembangan diri.
bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Macam kegiatan dapat berupa kursus, pelatihan, penataran, maupun berbagai bentuk diklat yang lain. Kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan (Kemendiknas, 2010: 15-17).
Mengacu buku panduan PKB seperti tersebut di atas, kegiatan perancangan pelatihan kurikulum 2013 menggunakan model CEM merupakan salah satu strategi dalam mengembangkan kompetensi guru, termasuk kompetensi pedagogik.
e. Indikator Pengukuran Kompetensi Pedagogik Guru SD
Sebagai tenaga profesional, konsekuensi
sebagai guru profesional adalah memiliki
kompetensi, salah satunya kompetensi
pedagogik. Dari sepuluh aspek kompetensi
pedagogik guru sebagaimana dipaparkan pada
bagian 2.1.2 sub b di atas, terdapat 3 aspek
yang relevan terhadap pelatihan
di SD. Aspek-aspek tersebut diantaranya yaitu
1) mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan bidang yang diampu menggunakan
berbagai pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik secara
kreatif; 2) menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran yang mendidik; dan 3)
menyelenggarakan penilaian sekaligus evaluasi
proses dan hasil belajar (Lampiran
Permendiknas nomor 16 tahun 2007: 18).
Tuntutan kompetensi yang bersifat
umum ini tentu akan disesuaikan dengan
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia,
termasuk menyesuaikan dengan tuntutan
kurikulum 2013 SD tematik integratif versi
2017. Dalam rangka penyesuaian tersebut,
sudah semestinya standar kompetensi
pelatihan pengembangan pembelajaran tematik
integratif mencakup: 1) menguasai secara luas
dan mendalam hakikat pembelajaran tematik
integratif yang mendukung pembelajaran
tematik integratif di SD; 2) mampu
mengembangkan pembelajaran tematik
Standar kompetensi tersebut kemudian
dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan
indikator berikut:
1) memahami karakteristik model-model desain
pembelajaran tematik integratif di SD,
mencakup indikator: a) menentukan
karakteristik model-model desain pembelajaran
tematik integratif; b) menentukan kelebihan
dan kelemahan model-model desain
pembelajaran tematik integratif di SD; dan c)
memilih model desain pembelajaran tematik
integratif yang cocok diterapkan di SD.
2) Merancang jaring tema berbasis lingkungan
untuk pembelajaran tematik integratif di SD,
mencakup indikator: menyusun jaring tema
berbasis lingkungan untuk pembelajaran
tematik integratif di SD.
3) Memahami hubungan antara SKL, KI, KD, dan
Silabus, dengan indikator: a) menyebutkan
butir-butir SKL, KI, KD, dan Silabus; dan b)
memerinci butir-butir SKL, KI, KD, dan
Silabus.
4) Menganalisis SKL, KI, KD, dan Silabus serta
membuat indikator, dengan indikator
5) Memahami karakteristik pembelajaran dengan
pendekatan Saintifik, Problem Based Learning,
Project Based Learning, dan Discovery Learning,
dengan indikator: a) menjelaskan pengertian
pembelajaran dengan pendekatan Saintifik,
Problem Based Learning, Project Based
Learning, dan Discovery Learning; b)
membedakan karakteristik pembelajaran
dengan pendekatan Saintifik, Problem Based
Learning, Project Based Learning, dan Discovery
Learning; dan c) memilih model pembelajaran
tematik sesuai dengan materi pembelajaran.
6) Menyusun skenario pembelajaran tematik
integratif, dengan indikator merancang
skenario pembelajaran sesuai model
pembelajaran yang dipilih.
7) Menentukan teknik penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan, dengan
indikator: a) menentukan kompetensi dasar
pengetahuan dan keterampilan pada
masing-masing semester; dan b) menentukan teknik
penilaian sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
8) Menyusun instrumen penilaian sikap,
indikator menyusun instrumen penilaian
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
9) Memahami prinsip penyusunan RPP, dengan
indikator menelaah prinsip penyusunan RPP.
10) Merancang RPP berdasarkan kurikulum 2013
dengan indikator menyusun RPP kelas 4 SD
untuk 1 (satu) kali pembelajaran dilengkapi
dengan materi pembelajaran.
2.1.3 Model Pelatihan Critical Event Model (CEM) a. Model-model Pelatihan
Pelatihan merupakan upaya investasi sumber daya manusia dalam sebuah lembaga.
Pelatihan sebagai proses mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu agar pegawai semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik (Mangkuprawira, 2004: 15). Pelatihan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberi para pembelajar pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka saat ini (Mondy, 2008: 256). Pelatihan adalah modifikasi perilaku sistematis melalui pembelajaran, yang terjadi sebagai hasil dari pendidikan, pengembangan pembelajaran, dan pengalaman yang direncanakan (Armstrong, 2009: 67). Pelatihan merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu lembaga pendidikan untuk mempermudah pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku (Noe, 2014: 351).
penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Tujuan pelatihan bagi karyawan secara garis besar ada 2 (dua) yaitu untuk menutup
gap antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan (Handoko, 2008: 103).
tugasnya, sehingga program pelatihan hendaknya dilandasi pada kebutuhan guru; (5) mengembangkan karier guru.
Terdapat berbagai model pelatihan yang dapat digunakan dalam mengembangkan sumber daya guru SD, tentu saja model-model tersebut disesuaikan dengan pendekatan, strategi serta materi latihan. Kamil (2003: 11-14) merangkum berbagai model pelatihan, diantaranya adalah model latihan keterampilan kerja (Skill training for the job) yang dikembangkan oleh Louis Genci pada tahun 1966; model Training Design and Evaluation Model yang dirancang oleh Craig tahun 1976; dan Model Tujuh Langkah (The Seven-step
Model) yang dikemukakan oleh Parker pada
tahun 1976.
Di samping model-model tersebut, terdapat model pelatihan yang menekankan pada peristiwa-peristiwa penting yang harus dirancang oleh desainer pelatihan. Model tersebut adalah Critical Event Model (CEM) yang dikembangkan oleh Nadler (2011).
b. Model Pelatihan Critical Event Model (CEM)
The Critical Events model (CEM)
setiap eventnya selalu dievaluasi. Pada model ini tidak semua variabel bisa diidentifikasi atau ditetapkan pada saat dilakukan perancangan program pelatihannya, namun pada setiap langkahnya selalu di evaluasi dan sebagai
follow up. Pada dasarnya CEM berguna untuk program pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dimiliki individu. Tujuan model ini adalah menggambarkan apa yang mungkin terjadi, namun tidak dapat memprediksi produk akhir yang tepat. Nadler juga mengungkapkan keberhasilan CEM yang dibuktikan oleh siswa dan kliennya dengan menyelaraskan sebagai sebuah model. It is one with which I have had success that my student
have found useful and that my client have been
able to relate to so offer it as one model (Nadler, 1988: 11).
kembali lagi ke menentukan kebutuhan. Perputaran ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahan dari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah masih perlu diadakan perbaikan atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh organisasi. Siklus pelatihan pada CEM dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2.
The Critical Events Model
Gambar 2.2. The Critical Event Model (Nadler & Nadler,
1988: 12; 2011: 15)
Secara lebih rinci, setiap langkah pada
gambar 2.2 dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, Identify the needs of the organization
yaitu menentukan masalah/kebutuhan
mendasar. Tahap ini merupakan pijakan awal
dari langkah selanjutnya. Teknik pengumpulan
data yang digunakan untuk menjembatani
kesenjangan antara kenyataan dan harapan
adalah front-end analysis. Menurut Firdousi
(2011: 113), sebelum melakukan pelatihan,
diwajibkan untuk mengidentifikasi kebutuhan
pelatihan dalam organisasi agar tercapai
tujuan yang diinginkan.
Identifikasi kebutuhan merupakan
komponen kritis dan sangat penting dalam
keseluruhan proses pelatihan bahwa
menganalisis kebutuhan pelatihan organisasi
merupakan langkah pertama yang harus
dilakukan dalam mendesain program pelatihan
(Dick, Carey & Carey, 2009: 23; Hariandja dan
Hardiwat, 2007: 174). Hasil penelitian Kanada
(2015: 158), bahwa pelatihan In-House Training
secara konsisten dan berkesinambungan dapat
terjamin secara kuantitas, tetapi disisi lain
kualitas. Untuk menjamin kualitas pelatihan,
dibutuhkan analisis kebutuhan pelatihan
organisasi, jabatan, dan individu pegawai.
Kedua, Specify Job Performance, yaitu
menspesifikasikan kinerja. Pada tahap ini
diperoleh data tentang spesifikasi kinerja para
peserta pelatihan. Teknik pengumpulan data
dapat menggunakan kuesioner, wawancara,
rapat, observasi, dan lain sebagainya.
Kinerja guru dispesifikasikan dalam
bentuk Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) pelatihan yang
dikembangkan dari Permendiknas nomor 16
tahun 2007. Pemetaan kompetensi ini senada
dengan pandangan Hakim (2009: 243),
kompetensi pedagogik merupakan suatu
performansi (kemampuan) seseorang dalam
bidang ilmu pendidikan. Untuk menjadi guru
yang profesional harus memiliki pengetahuan
dan pemahaman serta kemampuan dan
keterampilan pada bidang profesi
kependidikan. Kompetensi pedagogik atau
akademik ini merujuk kepada kemampuan
guru untuk mengelola proses belajar,
dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar dan
pengembangan siswa sebagai
individu-individu.
Menurut Atwi Suparman (2012: 68)
hakikat kompetensi dalam pelatihan berbasis
kompetensi sebenarnya adalah tujuan umum
yang hendak dicapai oleh sebuah pelatihan.
Ketiga, Identify Learner Needs, yaitu
mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.
Tujuan utama dari event ini adalah
mengidentifikasi kebutuhan peserta pelatihan.
Jika pada event sebelumnya berfokus pada
kinerja peserta pelatihan, maka pada event ini
berfokus pada orang yang melakukan kinerja
tersebut. Teknik identifikasi kebutuhan guru
menggunakan front-end analysis. Menurut
Nedler (1988: 19) untuk mengetahui
kebutuhan yang muncul dapat dilihat dari
kesenjangan antara kondisi yang diharapkan
dengan kondisi faktualnya. Sejalan dengan
pandangan tersebut, Mawardi (2014: 34)
menguraikan langkah-langkah untuk
mengidentifikasi defisit kompetensi pedagogik
dan profesional sebagai kebutuhan pelatihan
Proses front-end analysis terdiri dari: analisis
kinerja (performance analysis), analisis
kebutuhan (need assessment), dan analisis
pekerjaan (job analysis) untuk program
pelatihan tertentu. Pengumpulan data pada
event ini dapat dilakukan dengan cara rapat,
wawancara, observasi, kuesioner, dan tes.
Keempat, Determine Objectives, yaitu
merumuskan tujuan pelatihan. Pada tahap ini
desainer mengidentifikasi elemen-elemen yang
harus dipertimbangkan dalam merumuskan
tujuan program pelatihan dan pengalaman
yang akan didapat oleh peserta pelatihan.
Soetarno Joyoatmojo (2011: 80-81)
menyatakan bahwa indikator pelatihan
sebenarnya merupakan tujuan
pembelajaran/pelatihan khusus yang
dikembangkan dari tujuan umum pelatihan
(SK dan KD). Tujuan pelatihan khusus
merupakan deskripsi pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang akan dicapai oleh
perserta pelatihan, sekaligus sebagai acuan
dalam memilih materi, strategi dan instrumen
penilaian. Tujuan pelatihan khusus yang
pedoman bagi peserta pelatihan untuk
menguasai kompetensi pelatihan.
Senada dengan Soetarno Joyoatmojo,
perumusan tujuan pelatihan yang didasarkan
pada indikator yang telah dikembangkan dari
SK dan KD pelatihan ini, Mujiman (2011: 70),
menyatakan bahwa tujuan pelatihan mengacu
pada penguasaan terhadap kemampuan yang
ditargetkan untuk dapat dikuasai pada akhir
pelatihan.
Kelima, Build Curriculum, yaitu memilih
kurikulum pelatihan. Event ini merupakan
point utama dalam CEM, karena pada event ini
desainer menentukan apa saja yang harus
dipelajari serta urutan pembelajaran yang
akan didapat oleh peserta pelatihan. Pemilihan
materi pelatihan dapat menggunakan materi
yang telah ada asalkan sesuai dengan tujuan
pelatihan (Joyoatmojo, 2011: 86). Pendapat
senada juga disampaikan oleh Mujiman (2011:
71) bahwa pemilihan materi ini harus
disesuaikan dengan tujuan pelatihan. Lebih
lanjut, Mujiman menjelaskan bahwa dalam
didiskusikan dengan kolega untuk
mendapatkan masukan.
Keenam, Select Instructional Strategies,
yaitu memilih strategi pelatihan. Pada event ini
berisi pemilihan strategi yang berupa aktivitas
instruktur dan peserta pelatihan dalam
melakukan pelatihan. Pemilihan strategi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan materi
pelatihan (Nadler, 2011: 164). Berbeda dengan
pandangan Nadler, Mujiman (2011: 71)
mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran
dalam pelatihan ditentukan oleh tujuan
pembelajaran, karakteristik peserta pelatihan,
ketersediaan alat bantu pembelajaran,
preferensi, kemampuan instruktur, dan
sebagainya.
Ketujuh, Obtain Instructional Resources,
yaitu mendapatkan sumber pembelajaran.
Sumber pembelajaran yang dimaksud dalam
event ini meliputi sumber belajar fisik (ruang
pelatihan, soundsystem, ATK, dll), finansial,
dan sumber daya manusia (Supervisor,
instruktur, pengelola, dan peserta). Hal senada
juga ditegaskan oleh Mujiman (2011: 72)
bahan ajar baik cetak maupun elektronik, alat
bantu belajar, instruktur, dan peserta
pelatihan.
Kedelapan, Conduct Training, yaitu melaksanakan pelatihan. Tujuan event ini adalah untuk melakukan program pelatihan yang telah dirancang sebelumnya. Pada tahap ini, aktivitas perancang semakin berkurang dan diambil alih oleh instruktur pelatihan. Aktivitas perancang beralih menjadi pengawas proses pelatihan meskipun kompetensi perancang tidak sama dengan kompetensi pengawas sesungguhnya. Hal ini tetap dilakukan karena setidaknya perancang mengetahui keseluruhan desain pelatihan yang dirancang. Evaluation and Feedback wajib dilakukan pada setiap event sebagai output event yang sedang berlangsung dan input pada event berikutnya (Nadler & Nadler, 1988: 12; 2011: 15).
Penelitian dan pengembangan ini
memilih model Critical Event Model (CEM),
dengan pertimbangan: 1) CEM memiliki
langkah-langkah prosedural, artinya tahapan
demi tahapan pelaksanaan pelatihan memiliki
menjadi input bagi tahapan berikutnya yang
berkonsekuensi menindak lanjuti tahapan
sebelumnya mengarah pada keefektifan sistem
pelatihan sistemik; 2) CEM memiliki
langkah-langkah fungsional yang saling terkait dan
saling membutuhkan; 3) CEM bersifat inovatif,
sejauh penelusuran hasil penelitian tentang
CEM dijurnal cetak maupun online baru
ditemukan satu hasil penelitian tentang
pelatihan yang menggunakan model CEM; 4)
CEM dilaksanakan sesuai dengan bekal
pengetahuan awal peserta pelatihan, pada
hakikatnya pelatihan CEM cocok untuk
meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia yang sudah mempunyai pekerjaan.
Pelatihan CEM mempunyai dampak
terhadap kinerja sumber daya manusia. Hal ini
telah ditegaskan oleh Nadler bahwa
keampuhan pelatihan CEM telah dibuktikan
oleh siswa dan kliennya yang kemudian
diselaraskan sebagai sebuah model. It is one
with which I have had success that my student
have found useful and that my client have been
able to relate to so offer it as one model (Nadler,
Mulastin (2016) melalui penelitian dan
pengembangan yang dilakukan telah
membuktikan keberhasilan pelatihan CEM
untuk meningkatkan sumber daya manusia.
c. Desain Pelatihan menggunakan CEM
Pelaksanaan suatu program tidak dapat
terlepas dari suatu rancangan atau desain.
Desain dapat diartikan sebagai peta jalan atau
kerangka kerja sebagai pedoman bagi
pelaksana program mencapai tujuan yang
ditetapkan. Tanpa adanya desain, maka
pelaksanaan suatu program tidak dapat
mencapai tujuan. Begitu pula dalam
pelaksanaan program pelatihan bagi guru
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif, harus didesain sedemikian rupa agar
tujuan pelatihan dapat tercapai.
Desain pelatihan merupakan proses
sistematis dalam mencapai tujuan pelatihan
secara efektif dan efisien melalui
pengidentifikasian masalah, pengembangan
strategi dan bahan pelatihan, serta
pengevaluasian terhadap strategi dan bahan
harus direvisi. Hasil akhir dari desain
pelatihan adalah satu set produk pelatihan
yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
pelatihan. Proses desain pelatihan dimulai dari
mengidentifikasi masalah, mengembangkan
strategi dan bahan pelatihan, diakhiri dengan
mengevaluasi efektifitas dan efisiensi produk
(Suparman, 2012: 99). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa desain pelatihan merupakan
blue print untuk mengembangkan bahan dan
media untuk mencapai tujuan pelatihan.
Mendesain pelatihan adalah kegiatan
merancang penyajian bahan pelatihan dalam
bentuk lesson plan yang dapat digunakan oleh
instruktur. Secara garis besar lesson plan
pelatihan harus memuat topik, masalah pokok,
tujuan, materi, alokasi waktu, metode, media,
dan instrumen evaluasi (Mudjiman, 2011: 73).
2.1.4 Hasil Penelitian Relevan
Penelitian dan pengembangan tentang
desain pelatihan CEM untuk meningkatkan
kompetensi guru mengembangkan
pembelajaran tematik integratif ini didukung
oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya.
pelatihan guru secara umum, penelitian model
CEM secara khusus, dan penelitian tentang
peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif SD.
Pertama, penelitian relevan terkait
pelatihan guru dilakukan oleh Kazu, H. &
Demiralp, D. (2016) tentang Faculty Members’
Views on the Effectiveness of Teacher Training
Programs to Upskill Life-Long Learning
Competence. Pada akhir penelitiannya
diperoleh data bahwa guru kekurangan
kompetensi life-long learning seperti rasa ingin
tahu, melek informasi, terbuka untuk belajar,
semangat meneliti bahkan guru tidak dapat
memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh
bidang keahliannya. Teacher Training Programs
(TTP) yang dilakukan ternyata tidak sesuai
untuk meningkatkan kompetensi life-long
learning dan tidak memadai dalam
pengembangan personal guru pra-jabatan. Hal
ini disebabkan karena guru telah lulus dari
fakultas pendidikan sebelum mendapatkan
kompetensi life-long learning dan juga belum
oleh bidang keahliannya. Hal ini
mengindikasikan bahwa diperlukan
pengaturan kurikulum yang mendorong
pembelajaran life-long learning. Kazu &
Demiralp menyarankan pada kagiatan
pelatihan selanjutnya diharapkan program
pelatihan dilengkapi dengan proyek yang
berorientasi praktik, memungkinkan
pembelajaran berbasis reflektif dan berbasis
kompetensi. Penelitian dan pengembangan ini
berusaha menjawab temuan Kazu & Demiralp,
dengan menyelenggarakan pelatihan dilengkapi
dengan praktik dan memungkinkan
pembelajaran berbasis kompetensi yang
dibutuhkan.
Selain Kazu, Jalmo dan Rustaman (2010)
juga melakukan penelitian pengembangan
tentang Program Pelatihan Peningkatan
Kompetensi Guru IPA menemukan hasil
berikut: 1) Program Pelatihan Guru dengan
strategi Scaffolding (PPGS) merupakan program
yang efektif dalam meningkatkan kompetensi
peserta; 2) terdapat enam karakteristik PPGS;
3) kelemahan PPGS adalah tidak efisien waktu;
centered dan memotivasi peserta bekerja keras
untuk meningkatkan kompetensinya. Temuan
ini mendukung R&D yang dilakukan oleh
peneliti yaitu melakukan pelatihan untuk
meningkatkan kompetensi guru. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa program
pelatihan mampu meningkatkan kompetensi
guru. Bedanya pada temuan Jalmo dan
Rustaman menggunakan strategi Scaffolding,
sedangkan pada R&D yang dilakukan peneliti
menggunakan desain CEM.
Selanjutnya, Tuginem dan Muhyadi
(2014) meneliti tentang keefektifan pelatihan
penyusunan bahan ajar berbasis Lectora,
menunjukkan hasil bahwa melalui program
pelatihan penyusunan bahan ajar, standar
kompetensi pedagogik guru terpenuhi dalam
kategori sangat efektif (>22,75). Temuan ini
mendukung R&D yang dilakukan oleh peneliti,
bahwa melalui program pelatihan dapat
meningkatkan kompetensi pedagogik guru
secara efektif.
Yoto (2015) melakukan penelitian kajian
literatur pengembangan pendidikan melalui
guru perlu melakukan pelatihan secara
terus-menerus agar mengetahui dan memahami
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Melalui pelatihan, guru mampu dan
terampil dalam memainkan peran di hadapan
peserta didik, sehingga mutu pendidikan akan
menjadi baik dan lulusannya mampu bersaing
dalam mencari pekerjaan. Hasil penelitian
literatur yang dilakukan oleh Yoto sangat
mendukung penelitian dan pengembangan
yang dilakukan oleh peneliti, bahwa kegiatan
pelatihan guru penting dilakukan bahkan
secara continew agar mengetahui kebutuhan
yang harus dipenuhi dan bagaimana
meningkatkan kompetensinya. Hasil penelitian
Wangid, Mustadi, dan Astuti (2013)
menunjukkan bahwa Pelatihan Pembelajaran
Tematik Integratif Bagi Guru Sekolah Dasar
dapat membantu upaya pemerintah dalam
memberikan pelatihan terhadap guru-guru
dalam implementasi kurikulum 2013.
Keberhasilan penelitian tersebut dibuktikan
dengan dua indikator: 1) adanya peningkatan
peningkatan nilai rata-rata RPP yang dibuat
sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan.
Secara garis besar, beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan pentingnya program pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Meskipun dari kajian tersebut belum ditemukan hasil penelitian tentang pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya dengan menggunakan desain pelatihan CEM
sebagaimana yang dilakukan peneliti pada R&D ini.
Kedua, penelitian relevan terkait
pelatihan CEM. Penelitian R&D tentang keefektifan pelatihan penelitian bagi dosen STIKes Jawa Tengah menggunakan model integratif CEM dilakukan oleh Mulastin, Samsudi, Rusdarti (2016). Hasil penelitian menunjukankan: 1). Hasil analisis pelatihan yang ada selama ini berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pelatihan penelitian bagi dosen masih kurang efektif dan
2). Integrated Critical Event Model (ICEM)
kelembagaan, spesifikasi tugas yang harus dijalankan, tujuan, kurikulum, memilih strategi pembelajaran, hingga mendapatkan sumber pembelajaran.
Model pelatihan ICEM yang dikembangkan oleh Mulastin mempunyai kesamaan dengan model pelatihan CEM
sebagaimana yang dilakukan dalam R&D ini, hanya saja pada model ICEM peneliti mengkombinasikannya dengan strategi mentoring sehingga program pelatihan dapat terlaksana secara efektif.
Barger (2008) melakukan penelitian literatur tentang keampuhan model pelatihan
CEM. Barger menyimpulkan bahwa model CEM
Ketiga, penelitian relevan terkait peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif SD. Rahayu, Pujianto dan Purwaningsih (2014) melakukan R&D tentang Pelatihan Pengembangan Model Pembelajaran Tematik dan Terintegrasi ‘Webbed’ Bermuatan Kearifan Lokal bagi Guru-Guru SD untuk Meningkatkan Kompetensi Guru sebagai Penunjang Kesiapan Implementasi Kurikulum 2013. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan dan pemahaman guru-guru terhadap pengembangan perangkat pembelajaran tematik dan produk berupa tujuh tema pembelajaran. Temuan ini mendukung penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh peneliti, khususnya pada penggunaan model pembelajaran tematik integratif ‘Webbed’ untuk mengembangkan pembelajaran berbasis tema.
Selanjutnya, Yama dan Setiyani (2016)
melakukan penelitian mengenai pengaruh
pelatihan guru, kompetensi guru, dan
pemanfaatan sarana prasarana terhadap
kesiapan guru dalam implementasi kurikulum
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pelatihan guru dalam implementasi kurikulum
2013. Artinya pemberian treatmen berupa
pelatihan kepada guru dapat menunjang
kesuksesan implementasi kurikulum 2013.
Temuan ini juga mendukung R&D ini bahwa
kegiatan pelatihan guru dalam rangka
menyukseskan implementasi kurikulum 2013
adalah hal yang penting untuk dilakukan.
Kasmad (2015) melakukan penelitian
tindakan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran tematik terpadu melalui kegiatan
In House Training (IHT) bagi guru kelas 1 SD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui
kegiatan IHT, kreativitas guru dan kualitas
pembelajaran tematik integratif pada kelas 1
menjadi meningkat. Tindakan yang diberikan
pada kegiatan IHT ini adalah workshop tentang
pembelajaran tematik integratif dan
pembahasan instrumen pengamatan
pembelajaran tematik. Keberhasilan penelitian
ini dapat dilihat dari capaian nilai guru pada
pelaksanaan pembelajaran tematik melalui
peer teaching. Pada siklus 1 terdapat 2 guru
B, dan 1 guru mendapat nilai A. Pada siklus 2,
sudah tidak ada guru yang memperoleh nilai
C, 1 diantaranya mendapat nilai B, 5 lainnya
mendapatkan nilai A. Artinya, temuan ini
mendukung penelitian R&D yang dilakukan
oleh peneliti, bahwa melalui sebuah treatmen
pelatihan dapat meningkatkan kompetensi
guru dalam melaksanakan pembelajaran
tematik integratif.
Berdasarkan kajian hasil penelitian di
atas tampak bahwa program pelatihan bagi
guru telah sering dilakukan dengan tujuan
meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan
sesuai bidang yang diampu. Dari beberapa
literatur yang dikaji, diperoleh hasil yang relatif
sama yaitu program pelatihan terbukti efektif
dalam memperbaiki dan meningkatkan
kompetensi guru mengembangkan perangkat
dan melaksanakan pembelajaran tematik
integratif. Hasil penelitian Sari (2014: 47)
menunjukan bahwa kompetensi pedagogik
memberikan konstribusi terhadap kinerja
mengajar guru. Lebih lanjut hasil penelitian
Sari menunjukkan bahwa semakin tinggi
tinggi pula kinerja mengajar guru dan
sebaliknya semakin rendah kompetensi
pedagogik yang dimiliki guru maka semakin
rendah pula kinerja mengajarnya. Meskipun
terdapat hasil penelitian yang kontradiktif,
bahwa kegiatan pelatihan guru belum mampu
memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh
bidang keahliannya; disarankan untuk
program pelatihan berikutnya dilengkapi
dengan praktik dan memungkinkan
pembelajaran berbasis kompetensi yang
dibutuhkan guru.
Penelitian ini berfokus pada
pengembangan desain pelatihan CEM untuk
meningkatkan kompetensi guru
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif. Hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya terletak pada
desain pelatihan. Sepanjang pencarian literatur
mengenai program pelatihan menggunakan
CEM, baru ditemukan satu literatur hasil
penelitian mengenai efektifitas desain pelatihan
CEM. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa desain program pelatihan CEM terbukti
bagi dosen. Dalam penelitian ini akan
menggunakan desain pelatihan CEM untuk
meningkatkan kompetensi guru SD
mengembangkan pembelajaran tematik
integratif.
2.1.5 Kerangka Pikir
Selanjutnya ditentukan tujuan pelatihan, kurikulum pelatihan, strategi pelatihan, sumber materi dan kemudian dilaksanakan pelatihan. Pelatihan yang dirancang secara sistematis dengan menganalisis kebutuhan seperti ini akan berdampak pada meningkatnya kompetensi pedagogik guru SD dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif alternatif (tidak cukup hanya panduan yang dikembangkan oleh Kemendikbud). Akhirnya pembelajaran tematik integratif yang dilakukan di SD akan lebih bermutu. Seiring dengan perubahan, maka kompetensi pedagogik guru ini harus selalu dikembangkan terus-menerus. Bisa saja kompetensi guru tidak lagi mencukupi kebutuhan sekolah, sehingga perlu dilakukan pelatihan kembali, demikian proses ini akan berulang secara siklus.
Secara teoritis, desain pelatihan CEM
kebutuhan guru. Agar kerangka pikir ini lebih jelas, pada gambar 2.3 berikut dipaparkan bagan yang menggambarkan kerangka pikir penelitian ini.
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian