BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN
2. Model Pembelajaran Kooperatif
a) Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif telah diajarkan secara informal pada zaman Rasulullah. Nata menjelaskan bahwa prinsip Learning To Cooperative sendiri telah diterapkan pada zaman Rasulullah.26 Contohnya pada masa perang, Rasulullah selalu meminta pendapat dan bermusyawarah/berdiskusi dengan para sahabat tentang strategi perang yang hendak diterapkan. Sejatinya, pembelajaran kooperatif ini telah diserukan Allah kepada umat manusia dalam Al-Qur’an yaitu Q.S. Al- Maidah ayat 2 : ...
...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Selanjutnya, para pakar pendidikan meneliti tentang efektifitas pembelajaran kooperatif. Para ahli telah menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik, membantu siswa memahami konsep yang sulit, membantu siswa menumbuhkan kemampuan berfikir dan berkomunikasi matematik. Para pakar pendidikan yang telah meneliti pembelajaran kooperatif diantaranya adalah Slavin, Sharan, Kagan, Anita Lee, Johnson & Johnson dan lain-lain. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kemampuan bekerja sama & saling membantu dalam mengkomunikasikan dan mendalami materi pelajaran.
26
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana, 2008), h.278
Seperti halnya yang diutarakan Slavin pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu dalam memahami suatu pelajaran. Siswa dalam kelompoknya memiliki peranan untuk berdiskusi, saling membantu, berargumen demi mengasah pengetahuan yang mereka miliki.27 Sharan menambahkan bahwa didalam pembelajaran kooperatif terdapat partisipasi tingkat tinggi antar anggota kelompok dalam mengambil keputusan. Partisipasi tingkat tinggi adalah tiap anggota dalam kelompoknya ikut memberikan kontribusi tidak sekedar mengandalkan teman sejawatnya saja, melainkan tiap anggota memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelompoknya.
Demi tercapainya tujuan pendidikan, Unesco mengungkapkan empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Impelementasinya dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics).
Spencer Kagan & Miguel Kagan menjelaskan bahwa terdapat 4 prinsip mendasar dalam pembelajaran kooperatif yang biasa disingkat dengan PIES. Prinsip-prinsip dasar tersebut yaitu :28
1) Positive Interdependence; dalam pembelajaran kooperatif guru menciptakan suasana yang mendorong siswa merasa saling membutuhkan. Siswa merasa kemampuan yang dimilikinya berkembang bersama dengan teman sebayanya. Hal inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif.
27
Robert Slavin, Cooperative Learning : Research, Theory and Practice, alih bahasa Nurulita, (Bandung : Nusa Media, 2008), Cet.II, h.4
28
Shlomo Sharan, Handbook of Cooperative Learning Methods, alih bahasa Sigit Prawoto (Yogyakarta : Imperium, 2009), h.182-186
2) Individual Accountability; tiap-tiap siswa memiliki tanggung jawab kepada guru dan teman sekelasnya untuk berbagi gagasan dan jawaban.
3) Equal Participation (Partisipasi sejajar); Setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengungkapkan ide-ide, gagasan, berpartisipasi secara aktif didalam proses pembelajaran.
4) Simultaneous Interaction (interaksi serentak); interaksi serentak lebih dipilih daripada interaksi berurutan karena interaksi serentak bisa menjadikan siswa lebih banyak yang ikut berpartisipasi. Interaksi serentak terjadi jika dalam satu waktu terdapat peserta yang aktif lebih dari satu. Sedangkan interaksi berurutan terjadi dalam satu waktu dan hanya satu siswa yang ikut berpartisipasi.
b) Pembelajaran Kooperatif Tipe Match Mine
Match mine dalam pembelajaran kooperatif di gagas oleh Spencer Kagan dalam karyanya Structural Approach to Cooperative Learning tahun 1989. Ia menegaskan bahwa match mine merupakan pembelajaran yang dapat membangun keterampilan berkomunikasi atau “communication building”. Secara sederhana, match mine dapat diartikan bahwa siswa mencoba menyesuaikan/menyamakan susunan objek pada kisi-kisi siswa lain dengan menggunakan komunikasi lisan.29 Match mine ini dapat membantu siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide dan gagasan-gagasan matematika bersama dengan pasangannya. Model pembelajaran kooperatif tipe match mine memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide-idenya, merefleksikan gagasan yang diberikan temannya dan berdiskusi menyamakan ide dengan temannya.
29
Griffin menjelaskan langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif tipe match mine, yaitu :30
1) Bentuklah siswa menjadi grup-grup yang berpasangan
2) Tiap grup terdapat penghalang diantara keduanya sehingga mereka tidak dapat melihat meja tulis mereka.
3) Tiap siswa dalam grup menerima lembar diskusi
4) Orang pertama sebagai “penyampai”. Mengacu pada lembar diskusi, ia menjelaskan sebuah gambar kepada “penerima”, sehingga si “penerima” dapat menggambarkannya (dalam bentuk diagram, tabel dll) sama dengan gambar “penyampai” tanpa melihat lembar diskusi milik “penyampai”.
5) Setelah selesai sebuah gambar, mereka secara bergantian bertukar posisi. Orang pertama yang pada awal sebagai “penyampai” menjadi “penerima”, dan sebaliknya.
6) Mereka mendiskusikan hasilnya
Gambar 2.1 Aktifitas Match Mine Siswa tingkat TK atau SD
Sumber: http://www.smithsroom.com/cl.htm
30
Gina Griffin dan Evans, Kids Say-I Wanna talk About Me, [online],
Pada gambar 2.1 aktifitas match mine yang dilakukan dikelas. Siswa secara berpasangan mencocokkan clue yang diberikan oleh pasangannya. Kagan menjelaskan “Give a handful of objects to both partners. Partner 1 puts up a partition and creates something with the objects. When done, partner 1 gives verbal clues to partner 2--trying to help them recreate the same design.”31
Miguel Kagan menjelaskan match mine yang diterapkan untuk tingkat pendidikan dasar yaitu “penyampai” meletakkan objek pada papan yang telah disediakan, kemudian ia memberikan clue kepada “penerima”. “Penerima” berusaha meletakkan objek pada papan yang serupa dengan “penyampai.32
Gambar 2.2 Aktifitas Match Mine Siswa tingkat SMP atau SMA
Sumber: http://www.smithsroom.com/cl.htm
Pada gambar 2.2 aktifitas match mine yang dilakukan dikelas tingkat SMP atau SMA. Siswa secara berpasangan mencocokkan clue yang diberikan oleh pasangannya. Siswa pertama membuat suatu
31
Cooperative Learning, [Online], http://www.smithsroom.com/cl.htm, tgl pada 4 Oktober 2010 pkl. 11.40
32
Miguel Kagan, Match Mine Mathematics, (Australia : Hawker Brownlow Education, 2009), h.6
gambar kemudian siswa kedua membuat gambar yang sama seperti clue yang diberikan oleh siswa 1. “I also did this in 7th grade--with partner 1 drawing a picture and giving verbal clues to partner 2 in order to recreate the same drawing.”33
Dengan model pembelajaran kooperatif tipe match mine ini siswa secara aktif mengungkapkan ide-idenya, menjelaskan gagasan yang diberikan temannya dan berdiskusi untuk menyamakan idenya tersebut. Kagan menjelaskan lebih lanjut definisi dari pembelajaran kooperatif tipe match mine itu sendiri. Terdapat 2 aktifitas pembelajaran match mine, yaitu :34
1) Draw What I Say; Siswa memberi suatu perintah kepada siswa lainnya untuk menggambar apa yang dijelaskan olehnya. Siswa menyajikan matematika dengan gambar/diagram berdasarkan clue yang diberikan pasangannya. Dalam proses ini, sebelum siswa pertama menyampaikan ide atau gagasannnya, ia terlebih dahulu menggambarkan idenya atau gagasannya. Kemudian ia sampaikan atau merefleksikan gambar (ide) nya secara lisan sehingga siswa kedua dapat membuat suatu gambar yang sama atau memiliki satu gagasan yang sama dengan teman pertama. Setelah selesai, keduanya mendiskusikan hasilnya. Sedangkan Gina Griffin menjelaskan pengertian dari Draw What I Say “Describe to them the picture that will be shown, so they can create one to match”35 2) Build What I Write; Didalam proses ini siswa memberikan ide-
idenya secara tertulis. Ide-ide tersebut dapat berupa gambar, grafik, tabel, permasalahan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan
33
Cooperative Learning, [Online], http://www.smithsroom.com/cl.htm, ... 34
Kagan, Cooperative Learning : Strategies and Structures, [Online],
http://www.google.co.id/search?client=firefox-
a&rls=org.mozilla%3Aid%3Aofficial&channel=s&hl=id&source=hp&q=doc+cooperative+learning+ strategies+and+structures+summary&meta=&btnG=Penelusuran+Google, tgl 4 September 2010 pkl 11.00
35
Gina Griffin dan Evans, Kids Say-I Wanna talk About Me, [online],
sebagainya. Misalnya siswa pertama memberikan suatu gambar kepada pasangannya kemudian teman pasangannya atau siswa kedua membangun ide yang diberikan oleh temannya kemudian menjelaskannya secara rinci maksud dari ide yang diberikan oleh temannya dengan bahasa lisan atau tertulis kepada siswa pertama. Siswa mengkomunikasikan secara matematik berdasarkan apa yang di gambar oleh pasangannya (dalam bentuk tabel, diagram dll). Setelah selesai, keduanya berdiskusi untuk menyamakan ide yang dimaksud tersebut.
Proses pembelajaran kooperatif tipe match mine dengan cara menyamakan suatu gambar, grafik ataupun tabel ini erat kaitannya dengan kemampuan komunikasi matematik. Siswa dapat menjelaskan ide atau konsep yang erat kaitannya dengan permasalahan matematik dengan menggunakan gambar, grafik, tabel ataupun sebaliknya. Siswa dapat merefleksikan gambar, tabel dan grafik kedalam ide-ide matematik. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe match mine merupakan pembelajaran matematika dengan siswa berpasangan dan mencocokkan apa yang ada dalam fikiran mereka dengan bahasa matematis, baik secara lisan maupun secara tulisan. Model pembelajaran kooperatif tipe match mine ini dapat membantu siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide matematik. Komunikasi matematik sendiri bisa diterapkan dengan tulis maupun dengan lisan.
3. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran yang paling sering diterapkan disekolah-sekolah adalah pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional dianggap sebagai pembelajaran yang praktis dan tidak memerlukan banyak fasilitas pendukung sumber belajar. Pembelajaran konvensional disebut juga
pembelajaran ekspositori.36 Dalam pembelajaran ekspositori siswa tidak dituntut untuk menemukan konsep sendiri namun guru menyampaikan materi kepada siswa dengan tujuan siswa dapat menguasai materi secara penuh.
Pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang berorientasi pada guru.37 Guru memiliki peranan dominan terhadap penyampaian materi sehingga siswa diharapkan mampu menguasai materi dengan baik. Materi pelajaran yang disampaikan berupa materi yang sudah jadi seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berfikir ulang.
Ciri-ciri pembelajaran konvensional menurut Philip R. Wallace adalah :38
a) Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b) Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c) Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini. d) Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap
oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Prinsip komunikasi yang dilakukan dalam pembelajaran ini adalah komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian materi yang dilakukan dari guru kepada siswanya dengan harapan siswa dapat menangkap dan mengingat materi yang telah diberikan guru dan dapat mengungkapkannya kembali dengan respon terhadap pertanyaan guru.39 Kegiatan belajar siswa mengandalkan informasi yang disampaikan
36
Saiful Sagala, Konsep dan ..., h.79 37
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta, Kencana, 2009), Cet. VI, h.179
38
Sunartombs, Pembelajarana Konvensional Banyak Dikritik Namun Paling Disukai, [online] : http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/pembelajaran-konvensional-banyak- dikritik-namun-paling-disukai/, tgl 12 Desember 2010 pkl 12.03
39
guru dan siswa hanya mendengarkan, mencatat dan sekali-kali bertanya jika ada materi pelajaran yang belum dimengertinya.
B.
Penelitian yang Relevan
a. Penelitian yang dilakukan oleh Riesky Murniyati dengan judul “Pengaruh Strategi Think Talk Write Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa”. Penelitian ini diadakan pada tahun ajaran 2009/2010 di SMPN 9 Jakarta. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa 58,85% siswa kelas eksperimen telah memiliki kemampuan komunikasi matematika sesuai dengan standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sedangkan yang diajar dengan model pembelajaran konvensional hanya terdapat 20,51% siswa
b. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Nopriana dengan judul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa”. Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2010/2011 di SMAN 2 Cirebon. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan pembelajaran group investigasi rata- rata kemampuan siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari pada rata-rata kelas kontrol