• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pembelajaran Pedagogi Reflektif

Pedagogi Reflektif adalah model pembelajaran yang menekankan

peran guru untuk mendampingi siswa dalam pertumbuhan dan perkembangan

akademik maupun kepribadian dengan memberikan kesempatan kepada siswa

untuk merefleksikan pengetahuan dan pengalaman yang telah ia peroleh, yang

bertujuan untuk membentuk siswa menjadi manusia yang kompeten,

bertanggung jawab, dan berkepedulian12.

Penerapan Pedagogi Reflektif dilakukan melalui 5 langkah sebagai

berikut 13:

1) Konteks Belajar

Guru dituntut untuk memahami konteks kehidupan dari siswanya

supaya bisa memilih kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan situasi

siswa dan untuk menciptakan hubungan yang otentik keterbukaan antara

guru dan siswa dituntu sikap saling mempercayai dan saling menghargai.

Baik guru atau anggota lain dari komunitas sekolah harus

memperhatikan:

a. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup keluarga, kelompok

baya, keadaan sosial, lembaga pendidikan dan pengajaran, politik,

ekonomi, suasana kebudayaan, media, musik, dan kenyataan-kenyataan

hidup lain. Ada baiknya siswa didorong untuk berefleksi atas faktor-faktor

kontekstual yang mereka alami dan bagaimana hal-hal itu mempengaruhi

12

Subagya (penerj.), Paradigma Pedagogi Reflektif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 22-29.

13

sikap-sikap, tanggapan-tanggapan, penilaian-penilaian, pilihan-pilihan

mereka.

b. Konteks sosio-ekonomik politis, dan kebudayaan yang merupakan

lingkungan hidup pelajar dapat amat mempengaruhi perkembangan pelajar

sebagai orang yang peduli terhadap situasi orang lain di sekitarnya.

Konteks yang negatif bisa mempengaruhi cara pandang siswa terhadap

kehidupan menjadi negatif juga, dan sebaliknya konteks yang positif bisa

membuat siswa memiliki cara pandang dan keterlibatan positif di

lingkungan masyarakatnya.

c. Suasana kelembagaan sekolah, yaitu jaringan kompleks yang terdiri dari

norma-norma, harapan-harapan, dan lebih-lebih hubungan-hubungan yang

menciptakan suasana kehidupan sekolah. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa suasana atau iklim sekolah merupakan prasyarat yang harus

dipenuhi sebelum pendidikan nilai dapat dimulai. Unsur-unsur suasana

sekolah diwujudkan dalam: perhatian kepada mutu akademik sekolah,

kepercayaan, penghargaan, akan orang lain kendati berbeda pendapat,

perhatian satu sama lain, saling mengampuni, usaha membantu para

pelajar menjadi pribadi dewasa, suatu ungkapan iman yang jelas di

sekolah terhadap Tuhan.

d. Pengertian-pengertian yang dibawa seorang pelajar ketika memulai proses

belajar, berupa pendapat-pendapat dan pemahaman-pemahaman yang

mereka peroleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka

perasaan mereka, sikap, dan nilai-nilai mereka mengenai bidang studi

yang akan dipelajari merupakan konteks nyata proses belajar mereka.

2) Pengalaman

Istilah pengalaman merujuk pada setiap kegiatan yang memuat

pemahaman kognitif bahan yang disimak yang juga memuat unsur afektif

yang juga dihayati oleh pelajar. Pada setiap pengalaman ada data yang

diserap secara kognitif. Lewat menanyakan, membayangkan, menyelidiki

unsur-unsurnya dan hubungan-hubungan antara data tersebut, pelajar

menyusun data membentuk gambaran mengenai yang disimak atau suatu

hipotesis.

Pengalaman dapat berupa pengalaman langsung atau tidak langsung.

Pengalaman langsung diperoleh melalui proses yang dijalani sendiri oleh

siswa, dalam situasi akademiki bisa melalui pengalaman interpersonal

seperti diskusi, penelitian, proyek pelayanan, dan sebagainya. Sementara

pengalaman tidak langsung biasanya berlangsung lewat pengalaman

pengganti melalui membaca atau mendengarkan, yang menantang siswa

untuk menggunakan imajinasi dan inderanya sehingga seolah dapat

langsung memasuki kenyataan yang sedang dipelajari.

3) Refleksi

Refleksi merupakan proses menyimak kembali dengan penuh

perhatian bahan studi tertentu, pengalaman, ide, usul, atau reaksi spontan

suatu proses yang memunculkan makna dalam pengalaman manusiawi

dengan:

a. memahami kebenaran yang dipelajari secara lebih baik;

b. mengerti sumber-sumber perasaan dan reaksi yang dialami dalam

menelaah sesuatu;

c. memperdalam pemahaman tentang implikasi yang telah dimengerti

bagi diri sendiri dan bagi orang lain;

d. berusaha menemukan makna bagi diri pribadi tentang kejadian-

kejadian, ide-ide, kebenaran atau pemutarbalikan dari kebenaran dan

sebagainya; dan

e. mulai memahami siapa dirinya dan bagaimana seharusnya sikapnya

terhadap orang lain.

4) Aksi

Aksi merujuk pada pertumbuhan batin seseorang yang didasarkan pada

pengalaman yang telah direfleksikan dan juga pada manifestasi

lahiriahnya. Istilah ini mencakup dua langkah, yaitu:

a. Pilihan-pilihan batin

Setelah berefleksi, siswa mempertimbangkan pengalamannya dari sudut

pandang pribadi dan manusiawi. Kemauan baru akan tergerakkan, setelah

terjadi pemahaman kognitif mengenai pengalaman tersebut yang disertai

perasaan-perasaan afektif, baik positif maupun negatif. Makna yang

tertangkap dan dinilai akan menyajikan pilihan yang harus diambil, yang

menjadi pegangan yang akan mempengaruhi semua keputusan lebih lanjut.

Ini bisa dalam bentuk makin jelasnya prioritas hidup siswa. Inilah saat

memilih kebenaran itu sebagai miliknya, sambil tetap membiarkan diri ke

arah mana ia akan digiring oleh kebenaran itu.

b. Pilihan yang dinyatakan secara lahiriah

Pada satu saat ketika makna hidup, sikap, dan nilai terlah menjadi bagian

dari diri siswa, ia akan terdorong untuk berbuat sesuatu yang konsisten

dengan keyakinannya yang baru. Kalau makna itu positif, si pelajar akan

meningkatkan keadaan yang menimbulkan pengalaman yang bermakna

positif tersebut. Misalnya, kalau ia beranggapan bahwa membantu sesama

teman adalah hal yang baik, ia akan menawarkan diri untuk ikut dalam

program membantu siswa lain yang membutuhkan. Sebaliknya jika ia

mengalami pengalaman negatif, ia akan berusaha memperbaiki,

mengubah, mengurangi, atau menghindari apa yang menimbulkan

pengalaman negatif itu.

5) Evaluasi

Semua guru menyadari bahwa kadang-kadang mengevaluasi

kemajuan akademik pelajar memang penting. Tes, ulangan, ujian

merupakan alat evaluasi untuk menilai seberapa jauh pengetahuan sudah

dikuasai dan keterampilan sudah diperoleh. Evaluasi berkala juga

mendorong guru maupun siswa untuk memperhatikan pertumbuhan

intelektual dan juga apakah ada kekurangan yang perlu ditangani. Umpan

mencari cara atau metode mengajar yang lain. Selain itu membantu juga

untuk lebih memperhatikan tiap pelajar apakah memerlukan perbaikan

dalam cara belajar mereka.

Pedagogi Reflektif berusaha mendorong tidak hanya kemajuan

akademik tetapi juga pertumbuhan siswa secara menyeluruh menjadi

pribadi bagi sesamanya. Ada banyak cara untuk menilai perkembangan

menyeluruh tersebut, dengan memperhitungkan umur, bakat, kemampuan,

dan tingkat perkembangan masing-masing siswa. Pedagogi Reflektif

memiliki tiga aspek khas dalam konteks evaluasinya yang sering disingkat

menjadi 3C yaitu competence, conscience, dan compassion14.

Competence (kompetensi) mencakup spektrum dari berbagai jenis

kemampuan akademis, keterampilan teknis, apresiasi seni, olahraga,

hiburan, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif. Dalam konteks

Pedagogi Reflektif, competence secara khusus merujuk pada aspek

pengetahuan dan keterampilan siswa (kognitif dan psikomotorik).

Penilaian aspek ini dilakukan melalui tes tertulis maupun tidak tertulis,

yang menguji pemahaman dan keterampilan siswa.

Conscience (suara hati) adalah kemampuan menggunakan kesadaran

moral untuk membedakan mana yang benar dan baik, serta keberanian

untuk melakukan hal yang berintegritas. Evaluasi aspek ini dapat

dilakukan dengan merumuskan perilaku siswa yang dapat diobservasi dan

diukur, misalnya menggunakan skala Likert. Perilaku yang menunjukkan

14

P3MP LPM USD, Pedoman Model Pembelajaran Berbasis Pedagogi Ignasian, Pusat Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pembelajaran, Yogyakarta, 2012, hlm. 38-42, 52-53.

kualitas conscience adalah perilaku yang sifatnya intrapersonal, antara lain

seperti kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keberanian

mengambil risiko, dan ketekunan.

Compassion (bela rasa) adalah kemampuan untuk berbela rasa

kepada orang lain dan lingkungan sekitar. Sama dengan conscience,

penilaian aspek compassion juga dilakukan dengan dilakukan dengan

merumuskan perilaku siswa yang dapat diobservasi dan diukur dengan

skala Likert. Yang membedakan adalah perilaku yang diobservasi, yaitu

perilaku yang sifatnya interpersonal. Contoh perilaku interpersonal

tersebut antara lain kerja sama, kepedulian terhadap orang lain,

keterlibatan dalam kelompok, dan penghargaan terhadap sesama.

Dokumen terkait