• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Model Pengelolaan Sampah

2.6.1. Model Pengelolaan Sampah di Indonesia

Model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urungan atau model buang dan pergi ini bisa saja dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman dibawahnya, tidak

menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor tau estetika. Model ini umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.

Pengelolaan sampah yang kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengelolaan air buangan (leachate) dan pembakaran ekses gas metan (flare). Model yang lengkap ini telah memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan dikota-kota besar. Namun, sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengelolaan air buangan. Meskipun demikian ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif. Berikut ini beberapa model pengelolaan sampah di beberapa kota di jawa (Sudradjat,2008;10-15)

a. DKI Jakarta (Bantar Gebang)

Pengelolaan sampah DKI Jakarta di Bantar Gebang telah didirikan sejak tahun 1986. Lokasi lahan di Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membayar tipping fee kepada Pemda Bekasi sebesar Rp 60 juta per ton sampah. TPA Bantar Gebang dikelola dengan penerapan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS (Intalasi Pengelolaan Air Sampah) dan sistem drainage. Sistem drainage ini untuk menampung air buangan atau lindi hitam (leachate) ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat.

Sistem IPAS menggunakan activated sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agiator (pengaduk bertenaga besar). Operasional IPAS dan kebersihan drainage perlu dikontrol dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat tentang kualitar air bangunan. Demikian juga jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihan dari tetesan air yang

keluar dari truk dan sampah yang berserakan sepanjang jalan tersebut. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta munculnya penyakit yang berhubungan dengan kesehatan kulit dan paru-paru. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2005 penduduk disekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang.

Pembakaran gas metan juga dilakukan pada beberapa timbunan meskipun tidak tertata baik. Pemisahan material anorganik dilakukan oleh pemulung yang jumlahnya puluhan orang serta sudah merupakan kegitan social-ekonomi tersendiri dan melibatkan bisnis yang nilainya cukup besar. Meskipun model ini sangat minimal, tetapi terbukti efektif dan telah menolong masyarakat DKI Jakarta dalam mengatsi masalah sampah.

Permasalahan sampah di DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas provinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi hanya akan memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan aka nada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.

b. Surabaya (Sukolilo)

Model TPA di Surabaya persis sama dengan DKI Jakarta, sekitar tahun 1980-an TPA Sukolilo diprotes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan beberapa tahun. Namun, hal ini tidak bisa diabaikan karena masalah social bagian dari masalah sampah kota. Sebagai jalan keluar, Pemerintah Kota Surabaya selanjutnya mengimpor 1 (satu) unit incinerator (pembakar) dari Inggris. Ternyata, alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat.

Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi (>80 %) sehingga sebagian energi yang digunakan untuk membakar (minyak residu)

adalah untuk menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi. Solusinya adalah TPA dipindahkan lokasinya ke daerah pantai di wilayah kabupaten Sidoarjo. Masalah yang mungkin timbul di TPA baru ini adalah salinitas yang bisa menghambat efektivitas kerja mikroba. Selain itu, air buangan dari sampah akan mengotori perairan/perikanan karena jaraknya yang terlalu dekat. Semua kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan teknologi asal memungkinkan biayanya. Aplikasi Incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi.

c. Solo (Mojosongo)

Model pengelolaan sampah di kota Solo sama dengan daerah lain yaitu dengan cara tumpukan. Kelebihannya adalah sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian di jual. Dengan cara ini ada sistem input dan sistem output sehingga luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena output berupa kompos selalu keluar dari areal tersebut.

Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan, yang cukup besar. Selain itu, system tersebut berhasil memacu tumbuh kembangnya pertanian organic di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas secara liar diareal TPA untuk mencari makanan sendiri. Berdasarkan penelitian dari WHO, ternyata susu tidak tercemar oleh kotoran yang berasal dari sampah.

Pada awal pembangunan TPA, penduduk yang tinggal di pinggir sebelah kiri dan kanan jalan menuju TPA adalah pemulung yang di impor dari daerah lain. Pemulung tersebut diberikan gubuk sederhana oleh Pemda setempat. Kini gubuk-gubuk tersebut telah berubah menjadi rumah bata dan hampir setiap rumah memiliki motor. Setiap pagi hari, berpuluh-puluh truk parker disepanjang jalan menuju TPA melakukan transaksi bisnis jual-beli material selain sampah, seperti kertas/karton, besi, plastic, kaleng dan aluminium. Model ini ternyata bisa dijadikan contoh cara pengelolaan sampah yang berhasil karena terasa manfaatnya bagi masyarakat tingkat rendah, disamping juga dapat mengatasi masalah lingkungan.

d. Medan ( Namo Bintang dan Terjun)

Selama ini sistem pembuangan sampah di Medan masih berkiblat pada sistem open dumping. Sebuah sistem pembuangan sampah yang dilakukan di lahan terbuka. Truk yang mengangkut sampah dari seluruh penjuru kota ditimbang untuk mengetahui volume sampah, kemudian sampah yang masuk ke TPA diratakan dengan alat berat supaya tidak menggunung. Tidak haren jika, dua TPA saat ini, TPA Namobintang seluas 17 Hektar dan TPA Terjun seluas 14 Hektar cepat penuh. Selain makan tempat, sistem open dumping juga menyebabkan pulusi. Sistem ini menimbulkan pemanasan yang mengakibatkan gas metana naik sehingga bisa menimbulkan polusi yang berpengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan.

Metana dapat juga menjadi suatu bahan yang mudah meledak jika konsentrasinya berlebihan. Gas sampah TPA mempunyai potensi meledak oleh perpindahan dari sampah dan berakumulasi di tempat tertentu.Pemerintah Sumatera Utara akan menerapkan sistemm baru yaitu sanitary landfill dan juga giat menggarap proyek TPA tepadu di STM Hilir. Semua

daerah sesuai amanat undang-undang akan segera meninggalkan sisitem pengelolaan sampah sistem terbuka. Tak terkecuali Medan.

Pemerintah kota Medan telah mengeluarkan beberapa peraturan yang dijadikan dasar dalam melaksanakanpengelolaan sampah di kota medan yaitu :

a. Peraturan Daerah kota Medan no. 4 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata kerja Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Kota Medan

b. Peraturan Daerah Kota Medan No.8 tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan yang sekaligus mencabut SK Walikotamadya KDH Tingkat II Medan No. 970/301/1993 tanggal 30 Desember 1993 tentang Tarip Pelayanan Kebersihan.

c. Surat keputusan Walikota Medan Nomor 24 tahun 2001 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan.

d. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2002 tentang Tugas dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan.

e. Surat Keputusan walikota Medan Nomor 539/1306/K/2002 tanggal 1 Juli 2002 tentang Pembekuan Pelayanan Umum Kebersihan Kota Medan ole PD Kebersihan,yang sepenuhnya dialihkan menjadi tanggungjawab Dinas Kebersihan Kota Medan (Dinas Kebersihan Kota Medan,2008)

e. Daerah lainnya

Dibeberapa kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan memilki topografi lembah dan pengunungan seperti di kota Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis dan Tasikmalaya sampahnya dibuang ke lembah. Cara tersebut juga dianut pada kota lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup efektif dan murah. Di Jogyakarta, pengelolaan sampah dilakukan dengan cara tumpukan dan dilengkapi dengan unit pengelolaan sampah masinal (mesin) yang dikelola leh Pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara professional. Di Malang, TPA cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang secara modern dengan mengambil lokasi disuatu lembah. Di Bogor terutama TPA

didaerah Gunung Galuga, Leuwiliang, juga menggunakan cara tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukanwaktu cukup lama untuk pembusukannya. Di Bandung kasusnya sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar, disamping cuaca yang sangat dingin sehingga pembusukan berjalan sangat lamban.

Dokumen terkait