• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske

Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide

analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level yaitu:

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias, lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:

a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada

film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural. b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,

bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam

dialog.

2. Level Representasi

Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi melalui:

1)Shot

Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak, focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.

Teknik pada shot meliputi :

1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan

a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai

dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu sebagai fokusnya.

b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.

c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk

memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini

memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan sebagaimya).

f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam objek.

g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam

objek.

h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal

untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.

2. Teknik kamera perpindahan

a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan

untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan

kepada penonton.

b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.

Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.

c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan

penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan

ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television and film).

2)Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai ”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatic adegan.

3. Penataan Suara/Musik

a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.

c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional atau adegan.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi dalam film suster keramas.

4). Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

3. Level Ideologi

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film suster keramas.

Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology, kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan untuk memperbaruhi, meriviewnya, ia juga diproduksi oleh system-system makna itu.

32

Dokumen terkait