REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS”
(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)
SKRIPSI
Oleh :
DWI APRILIA KRESNAWATI NPM. 0743010105
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA 2011
Kekerasan Pada Wanita Dalam Film ”Perempuan Berkalung Sorban”
(Studi Semiotik Kekerasan Pada Wanita Dalam Film
“Perempuan Berkalung Sorban”)
Disusun Oleh :
SUKMA SEJATI NPM. 074 301 0132
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, PEMBIMBING
Ir. H. DIDIEK TRANGGONO, M.Si. NIP. 19580801 198402 1001
Mengetahui, DEKAN
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirramanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Dengan mengucap “Alhamdulillahirabbil Alamin”, syukur sebesar-besarnya
kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan
Skripsi dengan judul “Representasi Imomoral Pada Film “suster keramas” (Studi
Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui Film “Suster
Keramas”)”. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad
SAW yang telah menyampaikan Alqur’an sebagai petunjuk dan aturan kepada umat
manusia.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT, untuk semua kemudahan yang telah diberikan kepada hamba-Nya
ini.
2. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Jawa Timur.
3. Dra. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
iv
4. Bapak Juwito S. Sos. Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
5. Bapak Ir. Didiek Tranggono, Msi, Selaku Dosen pembimbing yang selalu
memberikan bimbingan dan dorongan demi terselesaikannya penyusunan skripsi
ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur atas
segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
7. Papa Subandono dan Mama Amin Sri Wahjuni yang selalu memberikan
kesabaran yang luar biasa untuk kebaikan masa depan penulis. Membangun
karakter penulis untuk tidak menyerah pada keadaan dan dengan penuh kasih
sayang memberikan dorongan motivasi hingga detik terakhir penulis
menyelesaikan penulisan skripsi ini “Jazakumullah Khairun Katsira”.
8. Buat kakakKu Dory Yuniarti, yang udah bantuin aku ngerjain skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatKu Apik, Kiky, Desy, Icha, Sukma, dan Hette yang selalu
mendukung dan memberi masukan semangat untuk mengerjakan skripsi ini .
10. PacarKu Lukman Wahyudi yang tidak bosan mendengarkan keluhan dan
memberikan dukungan bagi penulis.
11. Semua pihak yang memberikan kontribusi dan bantuan langsung maupun tidak
Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dari yang semua anda
v
kesalahan yang diperbuat dan insya allah itu semua merupakan khilaf dari penulis
sendiri serta tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyajian skripsi ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karenanya diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi hasil yang lebih baik lagi.
Besar harapan penulis, semoga penulisan laporan magang ini bermanfaat bagi
penulis dan semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surabaya, Juni 2011
Penulis
v DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...ii
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR LAMPIRAN...vii
ABSTRAKSI………...……….viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Perumusan Masalah...11
1.3 Tujuan Penelitian...11
1.4 Manfaat Penelitian...11
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13
2.1.1 Film Sebagai Media Massa...13
2.1.2 Representasi...15
2.1.3 Social Construction of Reality...17
2.1.4 Imoral...18
2.1.5 Film Suster Keramas...20
vi
2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske...25
2.2 Kerangka Berpikir...32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...33
3.1 Metodologi Penelitian ... 33
3.2 Definisi Operasional ... 34
3.2.1 Film ... 34
3.2.2 Representasi ... 34
3.2.3 Imoral...35
3.3 Korpus...37
3.4 Unit Analisis...37
3.5 Teknik Pengumpulan Data...41
3.6 Teknik Analisis Data...41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...44
4.1 Gambaran Umum dan Objek Penyajian Data……….44
4.1.1 Gambaran Umum Objek……….44
4.1.2 Penyajian Data……….46
4.1.2.1 Tokoh Kayla……….48
4.1.2.2 Tokoh Mitchiko………...48
4.1.2.3 Tokoh Barry dan Ariel……….48
4.2 Analisis Data……….49
4.2.1 Pada Level Realitas………..49
4.2.1.1 Kostum dan Make Up………..49
4.2.1.2 Setting atau Latar……….52
vii
4.2.1.3 Dialog………...54
4.2.2 Dalam Level Representasi………...56
4.2.2.1 Teknik Kamera……….56
4.3 Dalam Level Ideology...59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...61
5.1 Kesimpulan...61
5.2 Saran...62
DAFTAR PUSTAKA ...64
LAMPIRAN...65
ABSTRAKSI
DWI APRILIA KRESNAWATI. 0743010105. Representasi Immoral Dalam Film “Suster Keramas” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)
Permasalahan dari judul adalah bagaimana perkembangan perfilman di Indonesia
yang semakin lama tidak mementingkan nilai edukasi tetapi hanya mementingkan nilai
komersial yang digunakan untuk memperbanyak untuk dari produsen itu sendiri. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai immoral dalam film Suster
Keramas yang mendatangkan artis porno dari Jepang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif,
yang menggunakan analisis semiotik tenteng representasi immoral pada film Suster
Keramas. Teori yang digunakan adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level
realitas, representasi, dan ideology.
Hasil penelitian bahwa nilai immoral dalam film suster keramas adalah
banyaknya anak muda di Indonesia saat ini semakin tergerus nilai immoralnya. Berbagai
tayangan yang menyuguhkan pornografi dan seksualitas semakin marak diproduksi di
Indonesia. Dengan menyuguhkan artis porno dari Jepang seharusnya film ini tidak perna
diproduksi di Indonesia yang sarat akan adat ketimuran. Oleh karena itu dapat
disumpulkan bahwa film ini penuh dengan adegan yang vulgar. Adegan yang disajikan
justru cenderung berbau immoral yang dibangun melalui level realitas maupun
representasi.
Kata kunci : Film Suster Keramas, John Fiske, Immoral.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No. 8 th
1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, yang
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik. (Dewan Film Nasional,
1994 : 15)
Film adalah salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu
komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian kebudayaan
massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri,
sebagai bagian dari budaya massa yang popular. Sebagai media, film tidak bersifat
netral, pasti ada pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam
film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komoditi dagang,
karna film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi
masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi
kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan
ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara
kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi
berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideology dari kebudayaannya.
(Sobur, 2003 : 128)
Film juga dianggap sebagai mirror of reality. Yang menurut Victor C.
Mambor film merupakan dokumen kehidupan socialbsebuah komunitas. Film
menunjukkan kepada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara
menghadapi masa kini, dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang.
Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ”citra
bergerak” (moving images), namun juga telah diikuti muatan-muatan kepentingan
tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau gaya hidup.
(http://kunci.or.id/teks/victor2.html)
Sebagai bagian dari media massa, film sering kali dicurigai sebagai agen
perubahan sosial. Akibat dampak pemutaran sebuah film menyebabkan perubahan
dalam masyarakat misalnya, secara serentak masyarakat mengikuti gaya berpakain
atau dandanan aktor dan aktris yang ada dalam sebuah film usai menontonnya,
sehingga terjadi sebuah trend baru karena digemari banyak orang pada waktu
tertentu.
Perubahan tersebut tidak hanya sebatas pada munculnya trend baru dalam
berpakaian, namun juga pada cara pandang terhadap suatu budaya. Budaya yang
dahulu dianggap tabu untuk ditampilkan secara jelas, namun karena ditampilkan
dalam sebuah film dan diikuti oleh film-film lain maka nilai tabu itu bisa saja
bergeser menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Misalnya, budaya berciuman, life
style seks bebas, dan lain-lain.
Keberadaan film ditengah-tengah masyarakat mempunyai makna yang unik
diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi
yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media
ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya
yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua
hal tersebut menjadkan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di
masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan
hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan
masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan
merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang
menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti
kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap
oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupan sebenarnya.
Film Indonesia dilihat dari berbagai segi belum mampu menghasilkan
keseluruhan nilai yang ada. Film nasional cenderung terbatas, mengacu pada selera
pasar, dan belum mampu menghadirkan nilai perenungan dan pembelajaran bagi
penikmatnya. Film nasional cenderung mengarah pada mengejar keuntungan
financial daripada tanggung jawab moral. Kondisi ini dapat saja terjadi karena
orientasi film Indonesia masih mengarah pada selera rendah pasar, daripada
menggugah kesadaran atau pencerahan batin. Memang sebuah film bersifat
menghibur namun tentu lebih baik apabila sifat hiburan itu mengarah pada rekreatif
Untuk menumbuh kembangkan budaya intelektual dalam film, memerlukan
proses. Proses itu melibatkan sumber daya manusia, sumber dana dan penguasaan
teknologi diluar proses pembuatan film itu sendiri. Hal ini bisa terwujud dalam
sebuah tema yang diangkat oleh para insan film dan bagaimana mewujudkan tema itu
sebagai sebuah film yang bermutu, sehingga penikmat film bisa mendapatkan nilai
budaya dan sosial yang tersirat didalamnya.
Industri film Indonesia sering mengalami masa jatuh bangun. Terlepas dari
masalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia, minat penonton terhadap
film karya sineas negeri sendiri juga kurang disukai. Banyaknya film negeri sendiri
yang kurang mempertimbangkan isi film dan mutunya membuat penonton lebih
tertarik pada film barat.
Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada
para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang
ditawarkan seharusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang
diharapkan, jangan sampai inti pesan tidaka tersampaikan tapi sebaliknya efek
negative dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya.
(Http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html)
Perfilman Indonesia mulai bangun dari kerterpurukannya sekitar tahun 2000
dengan munculnya film Petualangan Sherina., yang disambut antusias oleh
masyarakat. Kemudian disusul dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta yang
bergenre percintaan remaja yang mampu menyedot animo masyarakat. Sebagai
tonggak kebangkitan perfilman Indonesa yang sedang lesu ini, AADC mampu
memberikan nafas baru pada insan film untuk membuat film yang lebih baik, terbukti
dengan kemunculan film-film seperti: Andai Ia Tahu, Rumah Ketujuh, Jelangkung,
Ca-Bau-Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, Berbagi Suami, dan lain-lain.
Setelah mengenal sosok Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, saat
ini geliat film Indonesia mulai terlihat keeksistensinya. Dengan generasi-generasi
baru seperti Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Rizal Mantovani, Jose Poernomo, Dimas
Jayadiningrat, Hanung Bramantyo hingga deretan para pekerja film perempuan, yang
mampu memberi sentuhan baru dalam produksi film di Indonesia belakangan ini
seperti Mira Lesmana, Sekar Ayu Asmara, Nan T. Achnas dan Nia Dinata. Mereka
membuktikan bahwa prempuan mempunyai sisi lain yang patut untuk dibanggakan
dan tidak kalah dengan kaum lelaki. Sederet nama itu turut membangkitkan dan
menyumbangkan kemajuan perfilman di Indonesia. Berbagai prestasi juga telah
mereka berikan bagi perkembangan perfilman Indonesia saat ini.
Dari banyaknya film yang muncul, sebagian besar mengangkat gaya hidup
anak muda masa kini, mengingat remaja sebagai konsumen terbesar dalam industri
perfilman di Indonesia. Hal ini ditengarai sebagai usaha untuk mendongkrak minat
penonton Indonesia untuk mencintai produk lokal.
Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual
public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera public. Singkatnya, film merangkum
pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya. (Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex
Film Indonesia mengalami banyak revolusi, terkadang banyak film Indonesi
yang mengacu pada film tertentu yang cenderung sukses contohnya film horor yang
mulai ada pada tahun 2004 yaitu film Suster Ngesot. Kemudian banyak film horor
yang mulai bermunculan, karena terlalu banyak film horor yang ada akhirnya film
hororpun semakin tahun semakin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Contohnya,
menyuguhkan adegan panas yang akhirnya mulai diikuti oleh film horor lainnya.
Menurut Lesmana (1997 : 139) rangsangan imoral yang ditimbulkan oleh
gambar imoral pada film jauh lebih tinggi dibandinngkan dengan gambar imoral pada
media cetak. Pada film gambar imoral bersifat hidup dan lengkap dengan
gerakan-gerakan tubuh yang bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut
bersifat statis. Lebih lanjut dikatakan bahwa :
”Gambar yang bergerak tertanam dibenak penonton dalam tempo yang lama
sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam
pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya
karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”
Gambar dan adegan yang berbau imoral bukan merupakan hal baru. Keduanya
mudah ditemukan di berbagai macam media, baik di media cetak (Surat Kabar,
tabloid, majalah, dan lain-lain) meupun media elektronik (televisi ataupun layar
bioskop yang memutarkan film) di Indonesia sendiri kebanyakan film yang
dihasilkan tidak jauh temanya dari seks yang bertujuan mengeksploitasi kebutuhan
biologis masyarakat. (Mambor,2000:8)
Salah satu dari film Indonesia yang menampilkan imoral tetapi berhasil lolos
dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia ini pemutaran perdananya pada 31
Desember 2009 di layar bioskop tanah air adalah : SUSTER KERAMAS.
Film Suster Keramas ini adalah film yang mempunyai certa bergenre horor
yang dibalut dengan komedi porno, bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang
yang dilakoni oleh bintang porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia
mencari saudaranya yang berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya
tersebut telah meninggal. Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar
meninggalnya saudaranya itu, ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia
pun bertemu dengan Zidni Adam dan Rizki Mocil yang ikut membintangi film itu.
Dalam film ini, wisatawan asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu
banyak menyajikan adegan porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di
depan Zidni Adam dan Rizky mocil, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya
ditutupi dengan tangannya, memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan
telanjang dan lain sebagainya. Film ini berbau komedi karena ulah si Rizky mocil dan
Zidni Abad, berbagai ulah mereka lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur
bersama dengan bintang porno itu tanpa memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam
videonya, film ini menayangkan adegan lesbian. Adapun kandungan film horornya
hanya sedikit saja, lebih banyak adegan pornonya daripada horornya.
Salah satu hal yang membuat peneliti tertarik adalah representasi imoral yang
ditampilkan pada film ini, hampir disetiap adegan yang membuat film ini tidak hanya
hidup masyarakat Indonesia terutama remajanya cenderung melakukan hubungan
diluar batas norma-norma agama.
Representasi itu sendiri adalah konsep yang digunakan dalam proposal sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang terdiri dari : dialog, tulisan, video, film,
fotografi, dsb. ( Http://kunci.or.id/esai/04.represetasi.htm)
Aspek psikologis dalam film garapan Helfi Kardit ini adalah karena adanya
dorongan imoral seseorang yang cenderung melakukan hal-hal yang walaupun tidak
terpuji untuk memenuhi hasrat imoralnya,.
Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal.
Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah
seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau
tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta
tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan
posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.
Film ini dianggap mengkampanyekan seks bebas. Banyak orang bilang bahwa
film Suster Keramas untuk adegan vulgarnya (bukan genre horornya). Karena protes
dan keberatan itu, LSF menunda izin penayangan film ini dan memotong lebih
banyak lagi adegan yang melanggar norma susila walaupun masih banyak adegan
vulgar yang lolos sensor.
Keindahan format penyajian yang sarat kreativitas dan inovasi dari segi teknis
adalah factor yang dielu-elukan oleh insan perfilman saat ini. Namun sayangnya,
dalam hal tematis dan isi film, masih sangat jauh dan kurang memadai. Bagi sebagian
pecinta film yang menikmati wajah baru film nasional merasakan ada sesuatu yang
hilang dari film nasional dewasa kini. Yakni hilangnya jati diri film nasional yang
sesungguhnya. Banyak film nasional saat ini kurang mendidik dan sangat vulgar
dalam penyampaian, terutama bagi remaja.
Fenomena film nasional yang mengumbar imoral tampaknya mengalahkan
film-film bermutu dan mendidik yang hanya segelintir, bahkan bisa dihitung jari
seperti film Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Rumah Tanpa Jendela, Ketika Cinta
Bertasbih. Namun, deretan film komedi dan horor yang terus dikeluarkan para
produser yang mencari keuntungan semata menambah daftar panjang film tak
berkualitas yang hanya mengumbar imoral.
Masyarakat terus dicekoki film-film berbau seks. Masyarakat dijajah dengan
film-film seks yang meruntuhkan moralitas generasi bangsa. Ini babak baru
penjajahan dalam menghegemoni masyarakat. Tentu saja bukan lagi penjajahan
dalam arti kolonialisme, namun secara halus namun mematikan moral, imperialism
memasuki sendi-sendi kreativitas seperti film yang seharusnya memberikan
pendidikan berharga bagi masyarakat. Artis Jepang melakukan invasi ke arena film
nasional, bintang film asal Jepang ini sengaja didatangkan oleh produser Maxima
Pictures dan K2K Production. Lebih memprihatinkan lagi, bintang film tersebut
bukanlah berkualitas dalam akting, melainkan bintang film porno
Sebuah film seharusnya merupakan potret kehidupan di tengah masyarakat.
Film-film imoral seperti yang disebutkan di atas tidaklah mewakili kehidupan di
menyajikan tayangan seronok yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang dianut
oleh masyarakat kita. Undang-undang no 3 thn 1992 tentang perfilman pasal 29
menyatakan: ”pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam pasl 28 ayat 1 dan ayat
2, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolangan usia penonton yang
telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan, hal ini bertolak belakang dengan apa
yang diinginkan pada RUU perfilman tepat pada bulan Maret 1992. RUU tersebut
disahkan menjadi undang-undang, pada pasal 36 menonjolkan unsur cabul, imoral,
perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang dan pada pasal 33 ayat 1
”Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan
menayangkan film yang tidak disensor akan dikenai denda paling banyak Rp
40.000.000. (Http://www.google.co.id/RUU.perfilman)
Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjukkan atau
mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada
dasarnya tidak mempunyai suatu makna bersama pada satu lambang. Sedangkan
semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda.
Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai
arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu tidak perlu
harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.
(Berger, 200:11-12 dalam Bhirowo,2004:18)
Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya
tanda-tanda ikon, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog
memandang film, program televisi, poster, iklan dan bentuk lainnya sebagai teks
semacam dan linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas untuk mempeluas bahasa
(Barthes,2001:53)
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan analisis
semiotik pada layar lebar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi,
yang dikemukakan oleh John Fiske. Mempresentasikan imoral dalam film ”suster
keramas” dengan menggunakan level realitas dan representasi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Bagaimana representasi imoral pada film ”Suster
Keramas?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi imoral pada
film ”suster keramas”.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Kegunaan teoritis
Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang
adanya imoral dalam kehidupan bermasyarakat yang dipresentasikan melalui
12
merupakan cerminan penyimpangan dari moral serta terjadinya pergeseran
nilai dari budaya dan moral.
2. Kegunaan praktis
Analisis semiotik imoralitas di film ”suster keramas” ini dapat digunakan
sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Dan menjadikan
kerangka bagi pembiuat film di Indonesia agar semakin kreatif dalam
menyampaikan isi pesan film, tidak menoton serta dapat membuat film yang
lebih berbobot.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Film sebagai media massa
Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film
cerita yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan di produksi secara khusus untuk
pertunjukan di gedung-gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan
film TV atau sinetron (sinema elektronik) yang khusus dibuat untuk siaran itu. Film
teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film TV dibuat secara elektronik.
(Efefendy,1993:201). Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk
seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis.
(Http://www.theceli.com/dokumen/produk/UU8-1992.htm )
Pengertian film UU No.8 tahun 1992, tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang
perfilman, pasal 1 Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan atau bukan hasil penemuan
lainnya dalam bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik,
atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau
Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan
hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa,
musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.
Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat
memandang sebuah film sebagai media massa. Prespektif yang pertama memandang
bahwa apabila dilihat dai isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan
(refleksi) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri,
dalam arti tempat sineas, pendukung dan awak produksi yang ada di dalamnya
(Jowett,1971:74)
Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat,
demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat
berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya., tanpa pernah berlaku sebaliknya.
Kritik yang muncul terhadap prespektif ini didasarkan atas argumen bahwa film
adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam
realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian
memproyeksikannya ke atas layar. (Irwanto, 1999 dalam Sobur, 2003:127).
Berdasarkan penelitian yang berjudul pengaruh erotika media massa dan
peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja perkotaan. Menyatakan bahwa
media massa elektronik lebih besar pengaruhnya terhadap sikap seks remaja daripada
pengaruh media cetak dan peer group (Bungin, 2005:199). Sedangkan menurut
Lesmana (1997:139), rangsangan seksual yang ditimbulkan oleh gambar seksual pada
film jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gambar seksual pada media cetak. Pada
film gambar seksual bersifat hidup dan lengkap dengan gerakan-gerakan tubuh yang
bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut bersifat statis. Lebih
lanjut dikatakan bahwa: ”Gambar yang tertanam dibenak penonton dalam tempo yang
lama sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam
pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya
karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”
2.1.2 Representasi
Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu
yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang, Yasraf
Amir,2006:24)
Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda
(Http://kunci.co.id/esai/nws/04/representasi.htm). Melalui representasi, ide0ide
ideologis dan abstrak mendapat bentuk konkretnya. Representasi juga berarti konsep
yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
(Http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan
tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab,
seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close-up), pengambilan
kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompplektitas dari
penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan
arbitrer (berubah-ubah). (Sardar,2001:156 dalam Sobur 2003:130).
Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang
ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian
tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film.
Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan
unsur-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik
tanda tersebuut dapat diungkap.
Stuart Hall membagi proses representasi menjadi dua. Pertama, representasi
mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing.
Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang
berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam
kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan
simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta
konseptual kita. Proses kedua, mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi
antara peta konseptual dengan bahasa (simbol) yang berfungsi mempresentasikan
konsep-konsep kita tentang sesuatu.
2.1.3 Social Construction of Reality
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film ini menunjukkan
pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa
kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak
(moving image) namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik,
kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga dianggap bisa mewakili
citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri,
komunikasi sifatnya yang universal meskipun demikian film juga bukan tidak
menimbulkan dampak negatif. (Mambor,2000:117)
Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi dan eksternalisasi
merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini merupakan perubahan dialektis
yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk
individu-individu, dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa
dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan
norma-norma sosial. Teori konstruksi sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang
sosiologi interpretatif bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalah teoritis
utamanya ”the socialconstruction of reality” (1996). Menurut Berger, realitas sosial
eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial bergantung pada
memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan
dunia obyektif (Poloma, 200:299)
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengn menyatakan realitas
terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif dengan membatasi realitas
sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar
kemampuan kita, menurut Berger kita semua mencari pengetahuan atau kepastian
bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam
kehidupan kita sehari-hari, berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa
terhadap realitas berganda hanya suatu realitas tunggal.
2.1.4 Imoral
Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat
moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak
tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah
yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral,
untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang
berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.
Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan
sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly
opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality
plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya
tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih
mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:
Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)
Tidak berkaitan dengan masalah moral
Bebas moral
Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang,
walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap
melakukannya. Pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Contoh dari tindakan
yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang
menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:
Tidak etis
Jahat
Tidak bermoral
Tidak berakhlak
Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai
orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang
bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut
hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik
baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik
pula.
Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral
Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual
seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda
visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta tinggi
rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi
yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.
2.1.5 Film Suster Keramas 1. Kronologi
Bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang yang dilakoni oleh bintang
porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia mencari saudaranya yang
berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya tersebut telah meninggal.
Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar meninggalnya saudaranya itu,
ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia pun bertemu dengan Zidni
Adam dan Alex Abad yang ikut membintangi film itu. Dalam film ini, wisatawan
asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu banyak menyajikan adegan
porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di depan Zidni Adam dan Alex
Abad, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya ditutupi dengan tangannya,
memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan telanjang dan lain sebagainya.
Film ini berbau komedi karena ulah si Mocil dan Zidni Adam, berbagai ulah mereka
lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur bersama dengan bintang porno itu tanpa
memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam videonya, film ini menayangkan adegan
lesbian. Adapun kandungan film horornya hanya sedikit saja, lebih banyak adegan
pornonya daripada horornya.
2.Masyarakat Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat
budaya ketimuran, yaitu tidak pernah memperlihatkan adegan-adegan yang tidak
sepantasnya untuk diperlihatkan. Film ini termasuk film yang seharusnya tidak boleh
tayang di Indonesia, karena film tersebut masi dianggap tabu oleh masyarakat
Indonesia. Dalam film Suster keramas ini banyak sekali adegan-adegan yang berbau
porno alias tidak pantas untuk ditayangkan.
3.Pengaruh masyarakat Indonesia
Apabila film sudah masuk ke dalam bioskop (sudah lolos dari Lembaga
Sensor Film) pasti akan ditonton oleh masyarakat luas dan segi umur yang tidak
ditentukan, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa bioskop yang menjual tiket tanpa
menonton adalah anak dibawah umur. Sedangkan banyak sekali tanda, simbol, dan
indeks yang bisa merepresentasikan kegiatan seksual dalam film Suster Keramas ini.
4. Fenomena perfilman horor Indonesia
Kehadiran bintang porno itu adalah sebuah paradoks bagi bangsa ini. Sekian
puluh tahun kita selalu dijejali dengan retorika sebagai negeri yang
menjunjung tinggi nilai serta mengajarkannya dalam semua level pendidikan
nasional, ternyata di abad ini bangsa kita pada kedatangan bintang film porno.
Sebagai bangsa yang berbudaya, kita mesti menata ulang image yang terlanjur
hadir seiring dengan kehadiran para bintang film tersebut. Kita tak bisa lagi
bersembunyi di balik retorika sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar
di dunia, retorika tentang negeri yang berbudaya dan paling banyak jumlah
haji dan ulamanya. Kehadiran para bintang itu justru menunjukkan sisi lain
bangsa kita.
Kehadiran bintang porno tersebut menunjukkan pasar yang amat besar pada
penonton film genre horor sensual di negeri ini. Kehadran bintang porno
tersebut menunjukkan bahwa yang sebenarnya diincar sebagai pasar adalah
generasi muda yang melek internet dan terbiasa mengunduh video para artis
tersebut. Selain factor pasar, kehadiran bintang tersebut menunjukkan
tingginya persaingan dalam dunia film nasional membuat rumah-rumah
produksi memutar otak bagaimana filmnya laris di pasaran tanpa
memerhatikan pesan moral atau nilai dalam film itu. Segala cara ditempuh
demi melariskan film yang dibuatnya.
Kehadiran Rin Sakuragi dkk memancing atensi yang berkembang serupa bola
salju. Para produser bisa saja berlindung di balik pernyataan bahwa film yang
dibintangi bintang tersebut bukan jenis film porno melainkan horor, namun
tetap saja tidak bisa menahan image yang tumbuh dan bersarang di kepala
benak setiap orang bahwa yang dipamerkan dalam film itu adalah sensualitas
semata. Para bintang itu tidak membintangi film porno di sini, tapi keingin
tahuan tentang bintang tersebut tumbuh bak jamur di dunia maya sehingga
video mereka laris manis diunduh anak bangsa. Tampaknya, agen dan
produser sama-sama paham bahwa kedatangan artis itu telah memicu rasa
penasaran yang kemudian berujung pada larisnya video mereka diunduh yang
kemudian memperbanyak kas masuk kocek. Inilah paradoksnya negeri kita.
2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Film
Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai
hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film
memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat
hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan
budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan
Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana
gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol
yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut
film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain :
mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan
kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang
kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler,
2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut.
Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.
Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan
tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih
sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah
makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul
antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda
tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).
Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske,
2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun
hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat
membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan
pertukaran makna.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan
Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek
medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini
jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera
work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan
bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher
ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan
sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu
bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak
kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan
ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil
(Berger,1982:37).
2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske
Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide
analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level
yaitu:
1. Level Realitas (Reality)
Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,
lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai
kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.
Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat
didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:
a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada
film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi
objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka
gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut
memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.
b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,
bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna
didalamnya.
c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam
dialog.
2. Level Representasi
Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan
casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Level representasi melalui:
1)Shot
Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di
monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm
kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang
berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak,
focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full
shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot
memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus
menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan
potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan
dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa
berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun
yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.
Teknik pada shot meliputi :
1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan
a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan
dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu
sebagai fokusnya.
b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.
c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan
lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk
memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.
d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda
dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi
layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini
memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala
digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.
e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu
peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan
sebagaimya).
f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam
objek.
g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam
objek.
h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal
untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.
2. Teknik kamera perpindahan
a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan
untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan
kepada penonton.
b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.
Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang
menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.
c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi
objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan
penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan
ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television
and film).
2)Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya
informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang
membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai
”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur
dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu
menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang
3. Penataan Suara/Musik
a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan
bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada
dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu
sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara
bersamaan.
b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu
adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional
atau adegan.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada
teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi
dalam film suster keramas.
4). Teknik Editing
a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau
lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk
merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau
membentuk kesan terhadap image atau ide.
b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan
selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
3. Level Ideologi
Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam
suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti:
kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,
status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film
suster keramas.
Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,
kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi
dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh
dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film
suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta
budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan
32
2.2 Kerangka Berpikir
Sebuah film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Pada sinema atau film layar disertakan dengan analisis film yang
ditayangkan di televisi, sehingga analisis yang dilakukan pada film suster keramas
terbagi menjadi Level realitas yang mendefinisikan melalui ekspresi dari penampilan
kostum dan make up yang digunakan oleh para pemain dalam film ”suster keramas”,
latar belakang atau setting yang ditampilkan dimana lokasi dalam pembuatan film
tersebut, dan dialog dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para pemain.
Melalui level representasi menjabarkan tentang gambaran atau aspek visual
dari suatu program televisi/video yang tampak dimonitor/layar adalah hasil dari
serangkaian pengambilan gambar atau shooting dalam kegiatan produksi, teknik
dalam pengambilan gambar, teknik dari perpindahan kamera, efek dari pencahayaan,
penataan suara dan musik dan teknik editing untuk mendapatkan hasil yang dramatis.
Dan yang terakhir adalah level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode
tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social
acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme,
kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan analisis
semiotik. Semiotik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari teori
sign and meaning, yang mana penggunaan pendekatan tersebut didasarkan pada
tulisan Aart Van Zoest yang menyatakan: ”Semiotik adalah ilmu tanda, studi tentang
tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannya (Zoest, 1996:4).
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor (1975)
mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati (Moelang, 1998;3).
Penelitian yang menggunakan semiotik merupakan penelitian pesan
komunikasi yang bersifat eksploratif dengan metode kualitatif. Dengan menggunakan
semiotik, penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana immoral
direpresentasikan melalui system tanda pda tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin
3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Film
Film yang dimaksud dalam peneltian ini adalah film tetrikal (Layar lebar)
jenis film cerita, yaitu menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop/cinema (Effendy, 1986:222). Film jenis ini
berbeda dengan film televise atau sinetron (sinema elektronika) yang khusus dibuat
untuk siaran televise. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi
dibuat secara elektronik (Effendy, 1993:201). Berkaitan dengan penelitian ini, yang
ingin diteliti ialah tentang penokohan dalam sebuah film layar lebar, yaitu penokohan
Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi dalam film Suster Keramas mempresentasikan
immoral.
3.2.2 Representasi
Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris “represent” yang
bermakna “stand for” artinya yang berarti atau juga act as delegate for yang berarti
bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Reprresentasi juga dapat diartikan sebagai
proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan representasi immoral melalui tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin
Sakuragi dalam film ”Suster Keramas” berarti dalam film ini terdapat sistem tanda
baca. Pada tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi yang memiliki makna tentang
perilaku dan sikap yang mengarah kearah immoral.
3.2.3 Imoral
Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat
moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak
tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah
yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral,
untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang
berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.
Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan
sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly
opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality
plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya
tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih
mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:
Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)
Tidak berkaitan dengan masalah moral
Bebas moral
Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang,
walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap
yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang
menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:
Tidak etis
Jahat
Tidak bermoral
Tidak berakhlak
Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai
orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang
bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi
lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut
hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik
baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik
pula.
Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal.
Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah
seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau
tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta
tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan
posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.
3.3 Korpus
Dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah
yang disebut korpus. Korpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada
perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Korpus juga besifat sehomogen
mungkin, baik homogen pada taraf waktu (sinkroni).(Kurniawan, 2000:70)
Korpus penelitian ini adalah potongan gambar dari film ”Suster Keramas”
yang menunjukkan sikap imoral dari tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi.
Film yang mangangkat tema horor yang dibungkus dengan adegan-adegan imoral,
film ini dianggap mampu merepresentasikan adanya immoral dalam hubungan
percintaan yang merupakan suatu hal tabu sosial dimasyarakat. Tetapi dalam film
Suster Keramas immoral tidak digambarkan secara gamblang, namun dengan
berbagai adegan yang mewakilinya. Adapun korpus dalam penelitian ini mengacu
pada 11 scene dalam 250 frame yang menggambarkan immoral pada tokoh Zidni
Adam, Mocil, dan Rin Sakuragi. Tiap-tiap scene yang ada dianggap sudah mampu
mempresentasikan immoral pada film ”suster keramas”.
3.4 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah paradigma-paradigma yang terdapat
dalam scene pada level realitas, representasi, dan ideologi. Menurut Anton Kaes
(Kaes, 1994: www.artalpha.anu.edu.au) dalam penelitian representasi imoral dalam
Level realitas sebagai berikut:
1. Latar (setting)
Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya
paradigma dari setting terdiri dari :
a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out
door/eksternal). Pada film Suster keramas ini bertempat lokasi pada daerah
pegunungan / villa puncak.
b. Penggambaran setting.
c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:
2. Kostum dan Make up (costume dan make up)
Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:
a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi
3. Dialog/Diam (dialogue/silence)
Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa
kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam
medium melalui ekspresi seperti
a. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi
b. Karakter yang berbeda mempengaruhi bahasa yang digunakan
c. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu
(kiasan)
d. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam
Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis
beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat
didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian,
ekspresi wajah, perilaku, dsb.
Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Teknik kamera
Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:
a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka
dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis
shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari
sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan
gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language,
ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai
kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang
sedang terjadi pada adegan itu.
b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,
maka dapat diatur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari
medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS)
gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan
penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan
long shot.
c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu
peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan
sebagainya)
2. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya
informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis
yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya
disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam
perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang
semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau
atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).
Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh
television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera,
pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai
kode-kode representasi yang bersifat konvensional.
Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana
penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan,
musik, casting, editing dan narasi.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut
teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan
representasi imoral dam film suster keramas.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Teknik dokumentasi, yaitu melalui VCD film ”Suster Keramas” dengan
mengamati simbol-simbol yang ditampakkan, dialog yang diucapkan oleh
tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi.
2. Studi kepustakaan, sebagai acuan dalam menganalisa tanda yang
ditampilkan pada tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi untuk
melengkapi data-data atau bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai
referensi.
3.6 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, sesuai dengan pendapat Fiske, analisis semiotika pada
film dibagi menjadi beberapa elemen yaitu level realitas, level representasi, dan level
Pada studi semiotik, terdapat tiga elemen sebagai wilayah studinya
(Fiske,1996:40):
1. The signs, wilayah ini terdiri atas studi yang mempelajari tentang
tanda-tanda (signs) yang sangat beragam, cara-cara signs tersebut memberikan
makna, serta cara-cara signs berhubungan dengan orang-oranng yang
menggunakan signs tersebut. Dalam hal ini signs merupakan konstruksi
manusia dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang
menciptakannya.
2. The codes, wilayah ini mempelajari tentang cara-cara yang ditempuh untuk mengembangkan kode-kode yang beraneka ragam agar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat atau budaya, atau untuk mengeksploitasi
media komunikasi yang sesuai untuk transmisi pesan-pesan mereka.
3. The culturue (budaya), wilayah ini merupakan ”lingkungan” dimana signs dan codes digunakan.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka yang digunakan sebagai wilayah studi
adalah elemen the sign, karena didalam penelitian ini nantinya hanya akan mengalisis
signs/system tanda yang derepresentasikan melalui tokoh Zidni adam, Mocil, dan Rin
sakuragi dalam film ”suster keramas”.
43
Untuk menganalisis film dengan metode semiotik maka Fiske (1987)
menyodorkan analisis tiga levelnya:
1. Level realitas (reality)
Pada level ini, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas.
Dalam bahasa tulis seperti dokomen, wawancara, transkrip, dan
sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar ini umumnya berhubungan
dengan aspek seperti pakaian yang dikenakan oleh pemain, make up,
lingkungan, perilaku gesture, ekspresi, suara, ucapan, dan sebagainya.
2. Level representasi (representation)
Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi,
foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar alat itu
berupa kamera, pencahayaan editing, musiik, dan sebagainya.
3. Level Ideologi
Level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat
dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social
acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas,
matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti
hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film suster
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Objek
Film Suster Keramas diproduksi oleh Maxima Pictures, suatu perusahaan yang
awalnya dikembangkan dengan core bisnis di perdagangan perangkat telekomunikasi.
Berdiri sejak Agustus 2002, dan memiliki akte pendirian CV pada awal tahun 2003. pada
perkembangan selanjutnya, perusahaan ini mengepakkan sayapnya untuk memperluas
bidang layanan yang lebih memfokuskan diri pada berbagai layanan bisnis yang
utamanya berbasis multimedia/ videografi/ cinematografi, serta software development.
Pada bidang ini, unit akivitas usaha yang ditangani adalah jasa pembuatan video/
cd profil/ dokumentasi, spot iklan, cd multimedia (profil lembaga/ perusahaan,cd
[resentasi, pustaka elektronik, tutorial pendidikan, katalog produk), multi zone window
tv. Selain unit aktifitas usaha sebagaimana terpaparkan diatas, maxima juga aktif dalam
pengerjaan project-project yang sifatnya costum, khususnya yang terkait dengan bidang
usaha yang dijalankan, yakni telekomunikasi dan multimedia service, seperti misalnya
aplikasi sistem informasi multimedia, jasa pembuatan berbagai program/ software dan
sebagainya.
Suster keramas merupakan film kesekian kalinya dari Maxima Pictures. Film
yang bergenre horor ini diawali disebuah hutan. Tiba-tiba ada kegaduhan, ternyata ada
seorang perawat yang dituduh telah berselingkuh dengan pasien yang sedang dirawatnya.
Scene berikutnya menceritakan tentang 3 orang anak remaja yang sedang dalam
perjalanan menuju ke sebuah villa untuk mengerjakan suatu tugas kampus. Adapun 3
orang tersebut adalah 1 perempuan yaitu Harfiza Nofianti yang berpera menjadi Kayla.
Dan 2 orang temannya yaitu Rizky Mocil (Barry) dan Zidni Adam (Ariel). Sebelum
sampai ke villa tersebut mereka mampir ke sebuah pemakaman untuk berdoa disalah satu
kerabat dari Kayla. Di saat Kayla sudah selesai berdoa ada seorang nenek-nenek yang
menghampirinya dan berkata,” sudah menjelang maghrib, dilarang berada
ditengah-tengah kuburan”. Setelah beberapa saat kemudian Kayla menoleh ke arah nenek tersebut,
dan tiba-tiba nenek tersebut hilang. Selang berapa lama ada beberapa rombongan yang
akan memakamkan seorang nenek tua, dan Kayla melihat foto yang dibawa oleh seorang
kerabat, dan ternyata adalah nenek-nenek tadi yang mengajaknya mengobrol. Selang
berapa lama kemudian Kayla dan kawan-kawan pergi untuk meninggalkan pemakaman
tersebut untuk menuju ke villa. Disepanjang perjalanan yang dibicarakan oleh Barry dan
Ariel adalah tentang sex.
Sesampainya di villa tersebut semua teman-teman Kayla menurunkan barang, ada
beberapa barang yang belum terambil oleh Barry dan Ariel, akhirnya Kayla lah yang
mengambil barang tersebut di mobil, saat Kayla membuka bagasi ada seorang suster yang
muncul dan ada seorang nenek tua yang tadi ditemuinya saat di pemakama