• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)

SKRIPSI

Oleh :

DWI APRILIA KRESNAWATI NPM. 0743010105

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011

(2)

Kekerasan Pada Wanita Dalam Film ”Perempuan Berkalung Sorban”

(Studi Semiotik Kekerasan Pada Wanita Dalam Film

“Perempuan Berkalung Sorban”)

Disusun Oleh :

SUKMA SEJATI NPM. 074 301 0132

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, PEMBIMBING

Ir. H. DIDIEK TRANGGONO, M.Si. NIP. 19580801 198402 1001

Mengetahui, DEKAN

(3)

iii   

KATA PENGANTAR

Bismillahirramanirrahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Dengan mengucap “Alhamdulillahirabbil Alamin”, syukur sebesar-besarnya

kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan

Skripsi dengan judul “Representasi Imomoral Pada Film “suster keramas” (Studi

Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui Film “Suster

Keramas”)”. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad

SAW yang telah menyampaikan Alqur’an sebagai petunjuk dan aturan kepada umat

manusia.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT, untuk semua kemudahan yang telah diberikan kepada hamba-Nya

ini.

2. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan

Nasional Veteran Jawa Timur.

3. Dra. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

(4)

iv 

4. Bapak Juwito S. Sos. Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur.

5. Bapak Ir. Didiek Tranggono, Msi, Selaku Dosen pembimbing yang selalu

memberikan bimbingan dan dorongan demi terselesaikannya penyusunan skripsi

ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur atas

segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

7. Papa Subandono dan Mama Amin Sri Wahjuni yang selalu memberikan

kesabaran yang luar biasa untuk kebaikan masa depan penulis. Membangun

karakter penulis untuk tidak menyerah pada keadaan dan dengan penuh kasih

sayang memberikan dorongan motivasi hingga detik terakhir penulis

menyelesaikan penulisan skripsi ini “Jazakumullah Khairun Katsira”.

8. Buat kakakKu Dory Yuniarti, yang udah bantuin aku ngerjain skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatKu Apik, Kiky, Desy, Icha, Sukma, dan Hette yang selalu

mendukung dan memberi masukan semangat untuk mengerjakan skripsi ini .

10. PacarKu Lukman Wahyudi yang tidak bosan mendengarkan keluhan dan

memberikan dukungan bagi penulis.

11. Semua pihak yang memberikan kontribusi dan bantuan langsung maupun tidak

Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dari yang semua anda

(5)

v   

kesalahan yang diperbuat dan insya allah itu semua merupakan khilaf dari penulis

sendiri serta tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian skripsi ini jauh dari

kesempurnaan, oleh karenanya diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

demi hasil yang lebih baik lagi.

Besar harapan penulis, semoga penulisan laporan magang ini bermanfaat bagi

penulis dan semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Surabaya, Juni 2011

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR LAMPIRAN...vii

ABSTRAKSI………...……….viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah...11

1.3 Tujuan Penelitian...11

1.4 Manfaat Penelitian...11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13

2.1.1 Film Sebagai Media Massa...13

2.1.2 Representasi...15

2.1.3 Social Construction of Reality...17

2.1.4 Imoral...18

2.1.5 Film Suster Keramas...20

(7)

vi 

 

2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske...25

2.2 Kerangka Berpikir...32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...33

3.1 Metodologi Penelitian ... 33

3.2 Definisi Operasional ... 34

3.2.1 Film ... 34

3.2.2 Representasi ... 34

3.2.3 Imoral...35

3.3 Korpus...37

3.4 Unit Analisis...37

3.5 Teknik Pengumpulan Data...41

3.6 Teknik Analisis Data...41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...44

4.1 Gambaran Umum dan Objek Penyajian Data……….44

4.1.1 Gambaran Umum Objek……….44

4.1.2 Penyajian Data……….46

4.1.2.1 Tokoh Kayla……….48

4.1.2.2 Tokoh Mitchiko………...48

4.1.2.3 Tokoh Barry dan Ariel……….48

4.2 Analisis Data……….49

4.2.1 Pada Level Realitas………..49

4.2.1.1 Kostum dan Make Up………..49

4.2.1.2 Setting atau Latar……….52

(8)

vii 

4.2.1.3 Dialog………...54

4.2.2 Dalam Level Representasi………...56

4.2.2.1 Teknik Kamera……….56

4.3 Dalam Level Ideology...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...61

5.1 Kesimpulan...61

5.2 Saran...62

DAFTAR PUSTAKA ...64

LAMPIRAN...65

(9)

ABSTRAKSI

DWI APRILIA KRESNAWATI. 0743010105. Representasi Immoral Dalam Film “Suster Keramas” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)

Permasalahan dari judul adalah bagaimana perkembangan perfilman di Indonesia

yang semakin lama tidak mementingkan nilai edukasi tetapi hanya mementingkan nilai

komersial yang digunakan untuk memperbanyak untuk dari produsen itu sendiri. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai immoral dalam film Suster

Keramas yang mendatangkan artis porno dari Jepang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif,

yang menggunakan analisis semiotik tenteng representasi immoral pada film Suster

Keramas. Teori yang digunakan adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level

realitas, representasi, dan ideology.

Hasil penelitian bahwa nilai immoral dalam film suster keramas adalah

banyaknya anak muda di Indonesia saat ini semakin tergerus nilai immoralnya. Berbagai

tayangan yang menyuguhkan pornografi dan seksualitas semakin marak diproduksi di

Indonesia. Dengan menyuguhkan artis porno dari Jepang seharusnya film ini tidak perna

diproduksi di Indonesia yang sarat akan adat ketimuran. Oleh karena itu dapat

disumpulkan bahwa film ini penuh dengan adegan yang vulgar. Adegan yang disajikan

justru cenderung berbau immoral yang dibangun melalui level realitas maupun

representasi.

Kata kunci : Film Suster Keramas, John Fiske, Immoral.

(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No. 8 th

1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan

budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, yang

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik. (Dewan Film Nasional,

1994 : 15)

Film adalah salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu

komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian kebudayaan

massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri,

sebagai bagian dari budaya massa yang popular. Sebagai media, film tidak bersifat

netral, pasti ada pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam

film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komoditi dagang,

karna film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.

Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi

masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi

kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan

ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara

kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi

(11)

berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideology dari kebudayaannya.

(Sobur, 2003 : 128)

Film juga dianggap sebagai mirror of reality. Yang menurut Victor C.

Mambor film merupakan dokumen kehidupan socialbsebuah komunitas. Film

menunjukkan kepada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara

menghadapi masa kini, dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang.

Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ”citra

bergerak” (moving images), namun juga telah diikuti muatan-muatan kepentingan

tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau gaya hidup.

(http://kunci.or.id/teks/victor2.html)

Sebagai bagian dari media massa, film sering kali dicurigai sebagai agen

perubahan sosial. Akibat dampak pemutaran sebuah film menyebabkan perubahan

dalam masyarakat misalnya, secara serentak masyarakat mengikuti gaya berpakain

atau dandanan aktor dan aktris yang ada dalam sebuah film usai menontonnya,

sehingga terjadi sebuah trend baru karena digemari banyak orang pada waktu

tertentu.

Perubahan tersebut tidak hanya sebatas pada munculnya trend baru dalam

berpakaian, namun juga pada cara pandang terhadap suatu budaya. Budaya yang

dahulu dianggap tabu untuk ditampilkan secara jelas, namun karena ditampilkan

dalam sebuah film dan diikuti oleh film-film lain maka nilai tabu itu bisa saja

bergeser menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Misalnya, budaya berciuman, life

style seks bebas, dan lain-lain.

(12)

Keberadaan film ditengah-tengah masyarakat mempunyai makna yang unik

diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi

yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media

ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya

yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua

hal tersebut menjadkan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di

masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan

hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan

masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan

merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang

menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti

kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap

oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupan sebenarnya.

Film Indonesia dilihat dari berbagai segi belum mampu menghasilkan

keseluruhan nilai yang ada. Film nasional cenderung terbatas, mengacu pada selera

pasar, dan belum mampu menghadirkan nilai perenungan dan pembelajaran bagi

penikmatnya. Film nasional cenderung mengarah pada mengejar keuntungan

financial daripada tanggung jawab moral. Kondisi ini dapat saja terjadi karena

orientasi film Indonesia masih mengarah pada selera rendah pasar, daripada

menggugah kesadaran atau pencerahan batin. Memang sebuah film bersifat

menghibur namun tentu lebih baik apabila sifat hiburan itu mengarah pada rekreatif

(13)

Untuk menumbuh kembangkan budaya intelektual dalam film, memerlukan

proses. Proses itu melibatkan sumber daya manusia, sumber dana dan penguasaan

teknologi diluar proses pembuatan film itu sendiri. Hal ini bisa terwujud dalam

sebuah tema yang diangkat oleh para insan film dan bagaimana mewujudkan tema itu

sebagai sebuah film yang bermutu, sehingga penikmat film bisa mendapatkan nilai

budaya dan sosial yang tersirat didalamnya.

Industri film Indonesia sering mengalami masa jatuh bangun. Terlepas dari

masalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia, minat penonton terhadap

film karya sineas negeri sendiri juga kurang disukai. Banyaknya film negeri sendiri

yang kurang mempertimbangkan isi film dan mutunya membuat penonton lebih

tertarik pada film barat.

Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada

para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang

ditawarkan seharusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang

diharapkan, jangan sampai inti pesan tidaka tersampaikan tapi sebaliknya efek

negative dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya.

(Http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html)

Perfilman Indonesia mulai bangun dari kerterpurukannya sekitar tahun 2000

dengan munculnya film Petualangan Sherina., yang disambut antusias oleh

masyarakat. Kemudian disusul dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta yang

bergenre percintaan remaja yang mampu menyedot animo masyarakat. Sebagai

tonggak kebangkitan perfilman Indonesa yang sedang lesu ini, AADC mampu

(14)

memberikan nafas baru pada insan film untuk membuat film yang lebih baik, terbukti

dengan kemunculan film-film seperti: Andai Ia Tahu, Rumah Ketujuh, Jelangkung,

Ca-Bau-Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, Berbagi Suami, dan lain-lain.

Setelah mengenal sosok Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, saat

ini geliat film Indonesia mulai terlihat keeksistensinya. Dengan generasi-generasi

baru seperti Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Rizal Mantovani, Jose Poernomo, Dimas

Jayadiningrat, Hanung Bramantyo hingga deretan para pekerja film perempuan, yang

mampu memberi sentuhan baru dalam produksi film di Indonesia belakangan ini

seperti Mira Lesmana, Sekar Ayu Asmara, Nan T. Achnas dan Nia Dinata. Mereka

membuktikan bahwa prempuan mempunyai sisi lain yang patut untuk dibanggakan

dan tidak kalah dengan kaum lelaki. Sederet nama itu turut membangkitkan dan

menyumbangkan kemajuan perfilman di Indonesia. Berbagai prestasi juga telah

mereka berikan bagi perkembangan perfilman Indonesia saat ini.

Dari banyaknya film yang muncul, sebagian besar mengangkat gaya hidup

anak muda masa kini, mengingat remaja sebagai konsumen terbesar dalam industri

perfilman di Indonesia. Hal ini ditengarai sebagai usaha untuk mendongkrak minat

penonton Indonesia untuk mencintai produk lokal.

Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual

public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera public. Singkatnya, film merangkum

pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya. (Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex

(15)

Film Indonesia mengalami banyak revolusi, terkadang banyak film Indonesi

yang mengacu pada film tertentu yang cenderung sukses contohnya film horor yang

mulai ada pada tahun 2004 yaitu film Suster Ngesot. Kemudian banyak film horor

yang mulai bermunculan, karena terlalu banyak film horor yang ada akhirnya film

hororpun semakin tahun semakin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Contohnya,

menyuguhkan adegan panas yang akhirnya mulai diikuti oleh film horor lainnya.

Menurut Lesmana (1997 : 139) rangsangan imoral yang ditimbulkan oleh

gambar imoral pada film jauh lebih tinggi dibandinngkan dengan gambar imoral pada

media cetak. Pada film gambar imoral bersifat hidup dan lengkap dengan

gerakan-gerakan tubuh yang bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut

bersifat statis. Lebih lanjut dikatakan bahwa :

”Gambar yang bergerak tertanam dibenak penonton dalam tempo yang lama

sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam

pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya

karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”

Gambar dan adegan yang berbau imoral bukan merupakan hal baru. Keduanya

mudah ditemukan di berbagai macam media, baik di media cetak (Surat Kabar,

tabloid, majalah, dan lain-lain) meupun media elektronik (televisi ataupun layar

bioskop yang memutarkan film) di Indonesia sendiri kebanyakan film yang

dihasilkan tidak jauh temanya dari seks yang bertujuan mengeksploitasi kebutuhan

biologis masyarakat. (Mambor,2000:8)

(16)

Salah satu dari film Indonesia yang menampilkan imoral tetapi berhasil lolos

dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia ini pemutaran perdananya pada 31

Desember 2009 di layar bioskop tanah air adalah : SUSTER KERAMAS.

Film Suster Keramas ini adalah film yang mempunyai certa bergenre horor

yang dibalut dengan komedi porno, bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang

yang dilakoni oleh bintang porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia

mencari saudaranya yang berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya

tersebut telah meninggal. Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar

meninggalnya saudaranya itu, ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia

pun bertemu dengan Zidni Adam dan Rizki Mocil yang ikut membintangi film itu.

Dalam film ini, wisatawan asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu

banyak menyajikan adegan porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di

depan Zidni Adam dan Rizky mocil, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya

ditutupi dengan tangannya, memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan

telanjang dan lain sebagainya. Film ini berbau komedi karena ulah si Rizky mocil dan

Zidni Abad, berbagai ulah mereka lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur

bersama dengan bintang porno itu tanpa memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam

videonya, film ini menayangkan adegan lesbian. Adapun kandungan film horornya

hanya sedikit saja, lebih banyak adegan pornonya daripada horornya.

Salah satu hal yang membuat peneliti tertarik adalah representasi imoral yang

ditampilkan pada film ini, hampir disetiap adegan yang membuat film ini tidak hanya

(17)

hidup masyarakat Indonesia terutama remajanya cenderung melakukan hubungan

diluar batas norma-norma agama.

Representasi itu sendiri adalah konsep yang digunakan dalam proposal sosial

pemaknaan melalui sistem penandaan yang terdiri dari : dialog, tulisan, video, film,

fotografi, dsb. ( Http://kunci.or.id/esai/04.represetasi.htm)

Aspek psikologis dalam film garapan Helfi Kardit ini adalah karena adanya

dorongan imoral seseorang yang cenderung melakukan hal-hal yang walaupun tidak

terpuji untuk memenuhi hasrat imoralnya,.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal.

Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah

seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau

tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta

tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan

posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.

Film ini dianggap mengkampanyekan seks bebas. Banyak orang bilang bahwa

film Suster Keramas untuk adegan vulgarnya (bukan genre horornya). Karena protes

dan keberatan itu, LSF menunda izin penayangan film ini dan memotong lebih

banyak lagi adegan yang melanggar norma susila walaupun masih banyak adegan

vulgar yang lolos sensor.

Keindahan format penyajian yang sarat kreativitas dan inovasi dari segi teknis

adalah factor yang dielu-elukan oleh insan perfilman saat ini. Namun sayangnya,

dalam hal tematis dan isi film, masih sangat jauh dan kurang memadai. Bagi sebagian

(18)

pecinta film yang menikmati wajah baru film nasional merasakan ada sesuatu yang

hilang dari film nasional dewasa kini. Yakni hilangnya jati diri film nasional yang

sesungguhnya. Banyak film nasional saat ini kurang mendidik dan sangat vulgar

dalam penyampaian, terutama bagi remaja.

Fenomena film nasional yang mengumbar imoral tampaknya mengalahkan

film-film bermutu dan mendidik yang hanya segelintir, bahkan bisa dihitung jari

seperti film Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Rumah Tanpa Jendela, Ketika Cinta

Bertasbih. Namun, deretan film komedi dan horor yang terus dikeluarkan para

produser yang mencari keuntungan semata menambah daftar panjang film tak

berkualitas yang hanya mengumbar imoral.

Masyarakat terus dicekoki film-film berbau seks. Masyarakat dijajah dengan

film-film seks yang meruntuhkan moralitas generasi bangsa. Ini babak baru

penjajahan dalam menghegemoni masyarakat. Tentu saja bukan lagi penjajahan

dalam arti kolonialisme, namun secara halus namun mematikan moral, imperialism

memasuki sendi-sendi kreativitas seperti film yang seharusnya memberikan

pendidikan berharga bagi masyarakat. Artis Jepang melakukan invasi ke arena film

nasional, bintang film asal Jepang ini sengaja didatangkan oleh produser Maxima

Pictures dan K2K Production. Lebih memprihatinkan lagi, bintang film tersebut

bukanlah berkualitas dalam akting, melainkan bintang film porno

Sebuah film seharusnya merupakan potret kehidupan di tengah masyarakat.

Film-film imoral seperti yang disebutkan di atas tidaklah mewakili kehidupan di

(19)

menyajikan tayangan seronok yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang dianut

oleh masyarakat kita. Undang-undang no 3 thn 1992 tentang perfilman pasal 29

menyatakan: ”pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam pasl 28 ayat 1 dan ayat

2, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolangan usia penonton yang

telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan, hal ini bertolak belakang dengan apa

yang diinginkan pada RUU perfilman tepat pada bulan Maret 1992. RUU tersebut

disahkan menjadi undang-undang, pada pasal 36 menonjolkan unsur cabul, imoral,

perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang dan pada pasal 33 ayat 1

”Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan

menayangkan film yang tidak disensor akan dikenai denda paling banyak Rp

40.000.000. (Http://www.google.co.id/RUU.perfilman)

Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjukkan atau

mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada

dasarnya tidak mempunyai suatu makna bersama pada satu lambang. Sedangkan

semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda.

Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai

arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu tidak perlu

harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.

(Berger, 200:11-12 dalam Bhirowo,2004:18)

Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya

tanda-tanda ikon, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog

memandang film, program televisi, poster, iklan dan bentuk lainnya sebagai teks

(20)

semacam dan linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas untuk mempeluas bahasa

(Barthes,2001:53)

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan analisis

semiotik pada layar lebar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi,

yang dikemukakan oleh John Fiske. Mempresentasikan imoral dalam film ”suster

keramas” dengan menggunakan level realitas dan representasi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimana representasi imoral pada film ”Suster

Keramas?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi imoral pada

film ”suster keramas”.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Kegunaan teoritis

Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang

adanya imoral dalam kehidupan bermasyarakat yang dipresentasikan melalui

(21)

12

merupakan cerminan penyimpangan dari moral serta terjadinya pergeseran

nilai dari budaya dan moral.

2. Kegunaan praktis

Analisis semiotik imoralitas di film ”suster keramas” ini dapat digunakan

sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Dan menjadikan

kerangka bagi pembiuat film di Indonesia agar semakin kreatif dalam

menyampaikan isi pesan film, tidak menoton serta dapat membuat film yang

lebih berbobot.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film sebagai media massa

Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film

cerita yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan di produksi secara khusus untuk

pertunjukan di gedung-gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan

film TV atau sinetron (sinema elektronik) yang khusus dibuat untuk siaran itu. Film

teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film TV dibuat secara elektronik.

(Efefendy,1993:201). Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk

seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis.

(Http://www.theceli.com/dokumen/produk/UU8-1992.htm )

Pengertian film UU No.8 tahun 1992, tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang

perfilman, pasal 1 Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media

komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi

dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan atau bukan hasil penemuan

lainnya dalam bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik,

atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau

(23)

Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan

hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa,

musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.

Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat

memandang sebuah film sebagai media massa. Prespektif yang pertama memandang

bahwa apabila dilihat dai isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan

(refleksi) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri,

dalam arti tempat sineas, pendukung dan awak produksi yang ada di dalamnya

(Jowett,1971:74)

Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat,

demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat

berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya., tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Kritik yang muncul terhadap prespektif ini didasarkan atas argumen bahwa film

adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam

realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian

memproyeksikannya ke atas layar. (Irwanto, 1999 dalam Sobur, 2003:127).

Berdasarkan penelitian yang berjudul pengaruh erotika media massa dan

peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja perkotaan. Menyatakan bahwa

media massa elektronik lebih besar pengaruhnya terhadap sikap seks remaja daripada

pengaruh media cetak dan peer group (Bungin, 2005:199). Sedangkan menurut

Lesmana (1997:139), rangsangan seksual yang ditimbulkan oleh gambar seksual pada

film jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gambar seksual pada media cetak. Pada

(24)

film gambar seksual bersifat hidup dan lengkap dengan gerakan-gerakan tubuh yang

bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut bersifat statis. Lebih

lanjut dikatakan bahwa: ”Gambar yang tertanam dibenak penonton dalam tempo yang

lama sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam

pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya

karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”

2.1.2 Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu

yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang, Yasraf

Amir,2006:24)

Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda

(Http://kunci.co.id/esai/nws/04/representasi.htm). Melalui representasi, ide0ide

ideologis dan abstrak mendapat bentuk konkretnya. Representasi juga berarti konsep

yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang

tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, secara ringkas,

representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

(Http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan

tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab,

seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close-up), pengambilan

(25)

kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompplektitas dari

penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan

arbitrer (berubah-ubah). (Sardar,2001:156 dalam Sobur 2003:130).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang

ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian

tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film.

Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan

unsur-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik

tanda tersebuut dapat diungkap.

Stuart Hall membagi proses representasi menjadi dua. Pertama, representasi

mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing.

Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang

berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam

kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat

menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan

simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan

mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta

konseptual kita. Proses kedua, mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi

antara peta konseptual dengan bahasa (simbol) yang berfungsi mempresentasikan

konsep-konsep kita tentang sesuatu.

(26)

2.1.3 Social Construction of Reality

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili

realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk

imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film ini menunjukkan

pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa

kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam

perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak

(moving image) namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik,

kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga dianggap bisa mewakili

citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri,

komunikasi sifatnya yang universal meskipun demikian film juga bukan tidak

menimbulkan dampak negatif. (Mambor,2000:117)

Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi dan eksternalisasi

merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini merupakan perubahan dialektis

yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk

individu-individu, dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa

dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan

norma-norma sosial. Teori konstruksi sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang

sosiologi interpretatif bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalah teoritis

utamanya ”the socialconstruction of reality” (1996). Menurut Berger, realitas sosial

eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial bergantung pada

(27)

memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan

dunia obyektif (Poloma, 200:299)

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengn menyatakan realitas

terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif dengan membatasi realitas

sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar

kemampuan kita, menurut Berger kita semua mencari pengetahuan atau kepastian

bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam

kehidupan kita sehari-hari, berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa

terhadap realitas berganda hanya suatu realitas tunggal.

2.1.4 Imoral

Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat

moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak

tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah

yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral,

untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang

berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.

Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan

sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly

opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality

(28)

plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya

tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih

mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:

 Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)

 Tidak berkaitan dengan masalah moral

 Bebas moral

Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang,

walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap

melakukannya. Pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Contoh dari tindakan

yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang

menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:

 Tidak etis

 Jahat

 Tidak bermoral

 Tidak berakhlak

Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai

orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang

bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi

(29)

melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut

hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik

baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik

pula.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral

Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual

seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda

visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta tinggi

rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi

yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.

2.1.5 Film Suster Keramas 1. Kronologi

Bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang yang dilakoni oleh bintang

porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia mencari saudaranya yang

berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya tersebut telah meninggal.

Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar meninggalnya saudaranya itu,

ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia pun bertemu dengan Zidni

Adam dan Alex Abad yang ikut membintangi film itu. Dalam film ini, wisatawan

asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu banyak menyajikan adegan

(30)

porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di depan Zidni Adam dan Alex

Abad, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya ditutupi dengan tangannya,

memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan telanjang dan lain sebagainya.

Film ini berbau komedi karena ulah si Mocil dan Zidni Adam, berbagai ulah mereka

lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur bersama dengan bintang porno itu tanpa

memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam videonya, film ini menayangkan adegan

lesbian. Adapun kandungan film horornya hanya sedikit saja, lebih banyak adegan

pornonya daripada horornya.

2.Masyarakat Indonesia

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat

budaya ketimuran, yaitu tidak pernah memperlihatkan adegan-adegan yang tidak

sepantasnya untuk diperlihatkan. Film ini termasuk film yang seharusnya tidak boleh

tayang di Indonesia, karena film tersebut masi dianggap tabu oleh masyarakat

Indonesia. Dalam film Suster keramas ini banyak sekali adegan-adegan yang berbau

porno alias tidak pantas untuk ditayangkan.

3.Pengaruh masyarakat Indonesia

Apabila film sudah masuk ke dalam bioskop (sudah lolos dari Lembaga

Sensor Film) pasti akan ditonton oleh masyarakat luas dan segi umur yang tidak

ditentukan, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa bioskop yang menjual tiket tanpa

(31)

menonton adalah anak dibawah umur. Sedangkan banyak sekali tanda, simbol, dan

indeks yang bisa merepresentasikan kegiatan seksual dalam film Suster Keramas ini.

4. Fenomena perfilman horor Indonesia

 Kehadiran bintang porno itu adalah sebuah paradoks bagi bangsa ini. Sekian

puluh tahun kita selalu dijejali dengan retorika sebagai negeri yang

menjunjung tinggi nilai serta mengajarkannya dalam semua level pendidikan

nasional, ternyata di abad ini bangsa kita pada kedatangan bintang film porno.

Sebagai bangsa yang berbudaya, kita mesti menata ulang image yang terlanjur

hadir seiring dengan kehadiran para bintang film tersebut. Kita tak bisa lagi

bersembunyi di balik retorika sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar

di dunia, retorika tentang negeri yang berbudaya dan paling banyak jumlah

haji dan ulamanya. Kehadiran para bintang itu justru menunjukkan sisi lain

bangsa kita.

 Kehadiran bintang porno tersebut menunjukkan pasar yang amat besar pada

penonton film genre horor sensual di negeri ini. Kehadran bintang porno

tersebut menunjukkan bahwa yang sebenarnya diincar sebagai pasar adalah

generasi muda yang melek internet dan terbiasa mengunduh video para artis

tersebut. Selain factor pasar, kehadiran bintang tersebut menunjukkan

tingginya persaingan dalam dunia film nasional membuat rumah-rumah

produksi memutar otak bagaimana filmnya laris di pasaran tanpa

(32)

memerhatikan pesan moral atau nilai dalam film itu. Segala cara ditempuh

demi melariskan film yang dibuatnya.

 Kehadiran Rin Sakuragi dkk memancing atensi yang berkembang serupa bola

salju. Para produser bisa saja berlindung di balik pernyataan bahwa film yang

dibintangi bintang tersebut bukan jenis film porno melainkan horor, namun

tetap saja tidak bisa menahan image yang tumbuh dan bersarang di kepala

benak setiap orang bahwa yang dipamerkan dalam film itu adalah sensualitas

semata. Para bintang itu tidak membintangi film porno di sini, tapi keingin

tahuan tentang bintang tersebut tumbuh bak jamur di dunia maya sehingga

video mereka laris manis diunduh anak bangsa. Tampaknya, agen dan

produser sama-sama paham bahwa kedatangan artis itu telah memicu rasa

penasaran yang kemudian berujung pada larisnya video mereka diunduh yang

kemudian memperbanyak kas masuk kocek. Inilah paradoksnya negeri kita.

2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Film

Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai

hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film

memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat

hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan

budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan

(33)

Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana

gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol

yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut

film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain :

mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan

kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang

kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler,

2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam

kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut.

Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.

Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan

tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih

sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah

makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul

antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda

tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).

Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske,

2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun

hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat

membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan

pertukaran makna.

(34)

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan

Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang

berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek

medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini

jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera

work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan

bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher

ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan

sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu

bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak

kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan

ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil

(Berger,1982:37).

2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske

Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide

(35)

analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level

yaitu:

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,

lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai

kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat

didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:

a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada

film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi

objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka

gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut

memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,

bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna

didalamnya.

c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam

dialog.

(36)

2. Level Representasi

Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan

casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat

konvensional. Level representasi melalui:

1)Shot

Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di

monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm

kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang

berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak,

focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full

shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot

memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus

menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan

potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan

dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa

berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun

yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.

Teknik pada shot meliputi :

1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan

a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan

(37)

dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu

sebagai fokusnya.

b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.

c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan

lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk

memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda

dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi

layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini

memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala

digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan

sebagaimya).

f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam

objek.

g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam

objek.

h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal

untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.

(38)

2. Teknik kamera perpindahan

a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan

untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan

kepada penonton.

b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.

Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang

menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.

c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi

objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan

penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan

ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television

and film).

2)Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya

informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang

membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai

”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur

dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu

menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang

(39)

3. Penataan Suara/Musik

a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan

bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada

dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu

sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara

bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.

c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu

adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional

atau adegan.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada

teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena

keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi

dalam film suster keramas.

4). Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau

lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk

merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau

membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

(40)

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan

selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

3. Level Ideologi

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam

suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti:

kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,

status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film

suster keramas.

Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,

kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi

dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh

dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film

suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta

budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan

(41)

32

2.2 Kerangka Berpikir

Sebuah film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk

berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang

diharapkan. Pada sinema atau film layar disertakan dengan analisis film yang

ditayangkan di televisi, sehingga analisis yang dilakukan pada film suster keramas

terbagi menjadi Level realitas yang mendefinisikan melalui ekspresi dari penampilan

kostum dan make up yang digunakan oleh para pemain dalam film ”suster keramas”,

latar belakang atau setting yang ditampilkan dimana lokasi dalam pembuatan film

tersebut, dan dialog dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para pemain.

Melalui level representasi menjabarkan tentang gambaran atau aspek visual

dari suatu program televisi/video yang tampak dimonitor/layar adalah hasil dari

serangkaian pengambilan gambar atau shooting dalam kegiatan produksi, teknik

dalam pengambilan gambar, teknik dari perpindahan kamera, efek dari pencahayaan,

penataan suara dan musik dan teknik editing untuk mendapatkan hasil yang dramatis.

Dan yang terakhir adalah level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode

tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social

acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme,

kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya.

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan analisis

semiotik. Semiotik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari teori

sign and meaning, yang mana penggunaan pendekatan tersebut didasarkan pada

tulisan Aart Van Zoest yang menyatakan: ”Semiotik adalah ilmu tanda, studi tentang

tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya

dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannya (Zoest, 1996:4).

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor (1975)

mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang diamati (Moelang, 1998;3).

Penelitian yang menggunakan semiotik merupakan penelitian pesan

komunikasi yang bersifat eksploratif dengan metode kualitatif. Dengan menggunakan

semiotik, penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana immoral

direpresentasikan melalui system tanda pda tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin

(43)

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Film

Film yang dimaksud dalam peneltian ini adalah film tetrikal (Layar lebar)

jenis film cerita, yaitu menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk

dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop/cinema (Effendy, 1986:222). Film jenis ini

berbeda dengan film televise atau sinetron (sinema elektronika) yang khusus dibuat

untuk siaran televise. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi

dibuat secara elektronik (Effendy, 1993:201). Berkaitan dengan penelitian ini, yang

ingin diteliti ialah tentang penokohan dalam sebuah film layar lebar, yaitu penokohan

Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi dalam film Suster Keramas mempresentasikan

immoral.

3.2.2 Representasi

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris “represent” yang

bermakna “stand for” artinya yang berarti atau juga act as delegate for yang berarti

bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Reprresentasi juga dapat diartikan sebagai

proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang

dimaksud dengan representasi immoral melalui tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin

Sakuragi dalam film ”Suster Keramas” berarti dalam film ini terdapat sistem tanda

baca. Pada tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi yang memiliki makna tentang

perilaku dan sikap yang mengarah kearah immoral.

(44)

3.2.3 Imoral

Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat

moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak

tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah

yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral,

untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang

berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.

Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan

sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly

opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality

plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya

tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih

mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:

 Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)

 Tidak berkaitan dengan masalah moral

 Bebas moral

Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang,

walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap

(45)

yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang

menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:

 Tidak etis

 Jahat

 Tidak bermoral

 Tidak berakhlak

Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai

orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang

bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi

lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan

melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut

hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik

baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik

pula.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal.

Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah

seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau

tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta

tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan

posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.

(46)

3.3 Korpus

Dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah

yang disebut korpus. Korpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada

perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Korpus juga besifat sehomogen

mungkin, baik homogen pada taraf waktu (sinkroni).(Kurniawan, 2000:70)

Korpus penelitian ini adalah potongan gambar dari film ”Suster Keramas”

yang menunjukkan sikap imoral dari tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi.

Film yang mangangkat tema horor yang dibungkus dengan adegan-adegan imoral,

film ini dianggap mampu merepresentasikan adanya immoral dalam hubungan

percintaan yang merupakan suatu hal tabu sosial dimasyarakat. Tetapi dalam film

Suster Keramas immoral tidak digambarkan secara gamblang, namun dengan

berbagai adegan yang mewakilinya. Adapun korpus dalam penelitian ini mengacu

pada 11 scene dalam 250 frame yang menggambarkan immoral pada tokoh Zidni

Adam, Mocil, dan Rin Sakuragi. Tiap-tiap scene yang ada dianggap sudah mampu

mempresentasikan immoral pada film ”suster keramas”.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah paradigma-paradigma yang terdapat

dalam scene pada level realitas, representasi, dan ideologi. Menurut Anton Kaes

(Kaes, 1994: www.artalpha.anu.edu.au) dalam penelitian representasi imoral dalam

(47)

Level realitas sebagai berikut:

1. Latar (setting)

Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya

paradigma dari setting terdiri dari :

a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out

door/eksternal). Pada film Suster keramas ini bertempat lokasi pada daerah

pegunungan / villa puncak.

b. Penggambaran setting.

c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:

2. Kostum dan Make up (costume dan make up)

Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:

a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi

3. Dialog/Diam (dialogue/silence)

Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa

kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam

medium melalui ekspresi seperti

a. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi

b. Karakter yang berbeda mempengaruhi bahasa yang digunakan

c. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu

(kiasan)

d. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam

(48)

Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis

beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat

didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian,

ekspresi wajah, perilaku, dsb.

Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Teknik kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka

dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis

shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari

sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan

gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada

penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language,

ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai

kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang

sedang terjadi pada adegan itu.

b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,

maka dapat diatur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari

medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS)

gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan

(49)

penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan

long shot.

c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan

sebagainya)

2. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya

informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis

yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya

disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam

perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang

semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau

atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).

Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh

television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera,

pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai

kode-kode representasi yang bersifat konvensional.

Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana

penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan,

musik, casting, editing dan narasi.

(50)

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut

teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena

keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan

representasi imoral dam film suster keramas.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu:

1. Teknik dokumentasi, yaitu melalui VCD film ”Suster Keramas” dengan

mengamati simbol-simbol yang ditampakkan, dialog yang diucapkan oleh

tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi.

2. Studi kepustakaan, sebagai acuan dalam menganalisa tanda yang

ditampilkan pada tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi untuk

melengkapi data-data atau bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai

referensi.

3.6 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, sesuai dengan pendapat Fiske, analisis semiotika pada

film dibagi menjadi beberapa elemen yaitu level realitas, level representasi, dan level

(51)

Pada studi semiotik, terdapat tiga elemen sebagai wilayah studinya

(Fiske,1996:40):

1. The signs, wilayah ini terdiri atas studi yang mempelajari tentang

tanda-tanda (signs) yang sangat beragam, cara-cara signs tersebut memberikan

makna, serta cara-cara signs berhubungan dengan orang-oranng yang

menggunakan signs tersebut. Dalam hal ini signs merupakan konstruksi

manusia dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang

menciptakannya.

2. The codes, wilayah ini mempelajari tentang cara-cara yang ditempuh untuk mengembangkan kode-kode yang beraneka ragam agar sesuai

dengan kebutuhan masyarakat atau budaya, atau untuk mengeksploitasi

media komunikasi yang sesuai untuk transmisi pesan-pesan mereka.

3. The culturue (budaya), wilayah ini merupakan ”lingkungan” dimana signs dan codes digunakan.

Berkaitan dengan penelitian ini, maka yang digunakan sebagai wilayah studi

adalah elemen the sign, karena didalam penelitian ini nantinya hanya akan mengalisis

signs/system tanda yang derepresentasikan melalui tokoh Zidni adam, Mocil, dan Rin

sakuragi dalam film ”suster keramas”.

(52)

43

Untuk menganalisis film dengan metode semiotik maka Fiske (1987)

menyodorkan analisis tiga levelnya:

1. Level realitas (reality)

Pada level ini, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas.

Dalam bahasa tulis seperti dokomen, wawancara, transkrip, dan

sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar ini umumnya berhubungan

dengan aspek seperti pakaian yang dikenakan oleh pemain, make up,

lingkungan, perilaku gesture, ekspresi, suara, ucapan, dan sebagainya.

2. Level representasi (representation)

Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi,

foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar alat itu

berupa kamera, pencahayaan editing, musiik, dan sebagainya.

3. Level Ideologi

Level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat

dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social

acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas,

matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan

dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti

hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film suster

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Objek

Film Suster Keramas diproduksi oleh Maxima Pictures, suatu perusahaan yang

awalnya dikembangkan dengan core bisnis di perdagangan perangkat telekomunikasi.

Berdiri sejak Agustus 2002, dan memiliki akte pendirian CV pada awal tahun 2003. pada

perkembangan selanjutnya, perusahaan ini mengepakkan sayapnya untuk memperluas

bidang layanan yang lebih memfokuskan diri pada berbagai layanan bisnis yang

utamanya berbasis multimedia/ videografi/ cinematografi, serta software development.

Pada bidang ini, unit akivitas usaha yang ditangani adalah jasa pembuatan video/

cd profil/ dokumentasi, spot iklan, cd multimedia (profil lembaga/ perusahaan,cd

[resentasi, pustaka elektronik, tutorial pendidikan, katalog produk), multi zone window

tv. Selain unit aktifitas usaha sebagaimana terpaparkan diatas, maxima juga aktif dalam

pengerjaan project-project yang sifatnya costum, khususnya yang terkait dengan bidang

usaha yang dijalankan, yakni telekomunikasi dan multimedia service, seperti misalnya

aplikasi sistem informasi multimedia, jasa pembuatan berbagai program/ software dan

sebagainya.

Suster keramas merupakan film kesekian kalinya dari Maxima Pictures. Film

yang bergenre horor ini diawali disebuah hutan. Tiba-tiba ada kegaduhan, ternyata ada

seorang perawat yang dituduh telah berselingkuh dengan pasien yang sedang dirawatnya.

Scene berikutnya menceritakan tentang 3 orang anak remaja yang sedang dalam

(54)

perjalanan menuju ke sebuah villa untuk mengerjakan suatu tugas kampus. Adapun 3

orang tersebut adalah 1 perempuan yaitu Harfiza Nofianti yang berpera menjadi Kayla.

Dan 2 orang temannya yaitu Rizky Mocil (Barry) dan Zidni Adam (Ariel). Sebelum

sampai ke villa tersebut mereka mampir ke sebuah pemakaman untuk berdoa disalah satu

kerabat dari Kayla. Di saat Kayla sudah selesai berdoa ada seorang nenek-nenek yang

menghampirinya dan berkata,” sudah menjelang maghrib, dilarang berada

ditengah-tengah kuburan”. Setelah beberapa saat kemudian Kayla menoleh ke arah nenek tersebut,

dan tiba-tiba nenek tersebut hilang. Selang berapa lama ada beberapa rombongan yang

akan memakamkan seorang nenek tua, dan Kayla melihat foto yang dibawa oleh seorang

kerabat, dan ternyata adalah nenek-nenek tadi yang mengajaknya mengobrol. Selang

berapa lama kemudian Kayla dan kawan-kawan pergi untuk meninggalkan pemakaman

tersebut untuk menuju ke villa. Disepanjang perjalanan yang dibicarakan oleh Barry dan

Ariel adalah tentang sex.

Sesampainya di villa tersebut semua teman-teman Kayla menurunkan barang, ada

beberapa barang yang belum terambil oleh Barry dan Ariel, akhirnya Kayla lah yang

mengambil barang tersebut di mobil, saat Kayla membuka bagasi ada seorang suster yang

muncul dan ada seorang nenek tua yang tadi ditemuinya saat di pemakama

Gambar

gambar dua arah (two shot), dan lain-lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup
Gambar 4.1 Jeng Dolly di depan teras villa.
Gambar 4.2 Michiko sedang mandi.
Gambar 4.3 Michiko sedang memperlihatkan bagian tubuh.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : REPRESENTASI PEREMPUAN PADA TOKOH AUNG SAN SUU KYI (Analisis Semiotik Pada Film “The Lady” Karya Luc

ini ke dalam bentuk penelitian yang berjudul : REPRESENTASI PLURALISME DALAM FILM TANDA TANYA “.. ” ( Sebuah Analisis

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan verbal

Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu: Level Realitas (reality) seperti Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah

Representasi Feminisme Pada Film Minggu Pagi di Victoria Park (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Representasi Feminisme Dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park). Film

Dengan terselesaikannya Skripsi saya yang berjudul “Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan)”, maka selesai

Judul Skripsi : REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM REMAJA INDONESIA (Analisis Semiotik Pada Film “Satu Jam Saja” Karya Ario

Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi,