• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi

(Analisis Semiotik pada Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh :

Anggoro Ragil Arianto 06220261

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Sholawat serta salam saya curahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, atas terselesaikannya tugas akhir ini. Dengan perjuangan keras dan dukungan dari banyak pihak, akhirnya saya dapat menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.

Dengan terselesaikannya Skripsi saya yang berjudul “Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan)”, maka selesai sudah masa studi Strata 1 saya di kampus tercinta ini. Walaupun mungkin masih banyak terdapat kelemahan pada penelitian yang saya lakukan, Insyaallah skripsi ini menjadikan acuan saya guna mengembangkan terus keilmuan saya di bidang Ilmu Komunikasi yang sudah saya dapatkan.

(4)

pesan fotografi, saya mencoba untuk mendalami salah satunya yaitu semiotika. Tanpa disadari atau tidak, fotografi tersurat banyak tanda untuk berkomunikasi dan dari tanda itu tersirat makna-makna yang mungkin dimaksud pembuat karya untuk menyampaikan pesannya. Aplikasi penggunaan semiotika kali ini diterapkan pada buku Ketika Indonesia Dipertanyakan karya dari rekan-rekan saya sendiri Atmajaya Photography Club (APC) Yogyakarta dimana saya pribadi mencoba menggali representasi sebuah karya foto dalam hal nasionalisme.

Semoga ulasan skripsi saya walaupun tidak begitu sempurna dapat menjadi wacana umum di kalangan pegiat ilmu komunikasi terutama pada fotografer-fotografer di tanah air. Paling tidak dengan menguasai fotografi secara teknis dan wacana keilmuannya, harapan saya pribadi hal ini dapat menambah daya saing fotografer-fotografer lokal maupun nasional dengan fotografer lainnya. Dan juga dengan kesederhanaan skripsi saya, semoga ini menjadi motivasi untuk semua pihak yang melakukan penelitian sejenis untuk menambah atau menyempurnakannya. Amin

Malang, 21 April 2011

(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ... v

ABSTRAKSI... vi

E.1. Kekuatan Fotografi Sebagai Media Komunikasi Efektif 9 E.1.1. Foto Dokumenter sebagai Suatu Kritik Sosial ... 13

E.1.2. Subjektifitas dan Objektifitas Fotografer dalam Sebuah Karya Foto... 15

E.2. Semiotika dan Fotografi... 18

E.2.1. Kesadaran Manusia akan Pemaknaan Tanda ... 18

E.2.2. Fungsi Fotografi dalam Kacamata Roland Barthes... 20

E.2.3. Membaca Perspektif Fotografer Dengan Semiotika ... 25

E.3. Nasionalisme dan Fotografi ... 27

E.3.1. Dinamika Nasionalisme di Nusantara ... 27

(6)

E.3.3. Fotografi Sebagai Media Nasionalisme ... 34

F. Definisi Konseptual ... 37

F.1. Representasi... 37

F.2. Nasionalisme ... 38

F.3. Fotografi ... 39

G. Metode Penelitian ... 39

G.1. Pendekatan Penelitian ... 39

G.2. Ruang Lingkup Penelitian... 40

G.3. Unit Analisis... 40

G.4. Teknik Pengumpulan Data ... 40

G.5. Teknik Analisis Data ... 40

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Sekilas Tentang Atmajaya Photography Club (APC)... 42

A.1 Pelatihan ... 43

A.2. Ekspedisi... 43

A.3. Pameran ... 44

A.4. Alumni ... 45

B. Tinjuan Tentang Buku Ketika Indonesia Dipertanyakan ... 45

B.1. Gambaran Umum ... 45

B.1.1. Data Buku ... 45

B.1.2.Hak Cipta dan Penerbit ... 47

B.2. Sinopsis... 47

B.3. Komentar ... 52

B.4. Biodata Fotografer... 54

BAB III PEMBAHASAN A. Proses Representasi Dalam Karya Fotografi ... 58

A.1 Budaya ... 68

A.2. Pendidikan ... 70

A.1.1. Siswa SD ... 70

(7)

A.3. Warisan Cara Hidup ... 75

B. Wujud Nasionalisme Melalui Karya Fotografi pada Buku Ketika Indonesia Dipertanyakan ... 77

B.1. Budaya Sebagai Warisan Kearifan Lokal ... 77

B.2. Semangat Pendidikan Anak Negeri ... 80

B.2.1. Anak-anak Sebagai Calon Penerus Bangsa ... 80

B.2.2.Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ... 83

B.3.Gemah Ripah Loh Jinawi... 87

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 91

B. Saran ... 94

(8)

Daftar Pustaka

Buku :

Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subyek: Perbincangan Tentang Ada. Gelang Press. Jakarta

Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik dan Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Al-Kitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. Jalasutra. Yogyakarta

Fasya, Teuku Kemal. 2005. Ritus Kekerasan dan Libido Nasionalisme. Penerbit Buku Baik. Yogyakarta

Hoed, Beny H. 2011. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya, Komunitas Bambu. Depok

Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. PT. Pembangunan dan PT. Erlangga. Jakarta

Knapp, Gerrit. 1999. Chepas, Yogyakarta, Photography in the service of the Sultan.KITLV Press. The Netherland

Mulyana, Dedy. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Nugroho. R. Amien. 2006. Kamus Fotografi.CV. Andi Offset. Yogyakarta

Photography Club, Atmajaya. 2009. Ketika Indonesia Dipertanyakan: Potrt Kehidupan Masyarakat Palapasang. Atmajaya Photography Club. Yogyakarta

(9)

Sugiarto, Atok. 2005. Paparazzi: Memahami Fotografi Kewartawanan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Perpustakaan Nasional RI.

Yogyakarta

Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Perpustakaan Nasional RI. Yogyakarta

Yatim, Dr. Badri. 1999. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. PT. Logos Wacana Ilmu. Ciputat

Zoelverdi, Ed. 1985. Mat Kodak: Melihat Untuk Sejuta Mata. PT. Grafitti Pers. Jakarta

Non Buku :

Majalah Jendela Bidik,Membidik Realita, Agustus 2010 Majalah Jendela Bidik,Membidik Realita, November 2010 Lecture Notes, Susan Sontaq,On (on) Photography

http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda(diakses pada tanggal 1 Januari 2011)

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial sudahlah menjadi kodrat yang

mewajibkan kita untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal dasar

untuk kita berinteraksi dengan orang lain. Fungsi komunikasi sebagai

komunikasi sosial, setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting

untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup,

untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara

lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan

dengan orang lain1. Manusia tak akan pernah terlepas akan namanya

komunikasi. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi sama saja akan

manusia yang hidup di “hutan”. Manusia yang tidak pernah tahu bagaimana

keadaan lingkungan di sekitarnya. Manusia yang hidup sendiri karena tidak

pernah adanya interaksi dengan individu yang lain.

Perkembangan dari tahun ke tahun jaman ke jaman menuntut komunikasi

berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Fotografi merupakan media

komunikasi visual yang tercipta dari hasil perkembangan bentuk komunikasi.

Fotografi menyampaikan sesuatu melalui pesan simbolik yang dimaknai

masing-masing personal yang melihatnya. Komunikasi sebagai suatu proses

simbolik menyatakan bahwa kebutuhan simbolisasi dan penggunaan lambang

1

(11)

2

adalah salah satu kebutuhan pokok manusia2. Manusia dan hewan adalah salah

satu makhluk yang menggunakan lambang dalam kehidupannya. Lambang

atau simbol sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk

sesuatu yang lainnya. Lambang muncul dari kesepakatan bersama tiap-tiap

individu. Lambang bisa muncul dimana-mana dalam kehidupan kita semua.

Rambu-rambu lalu lintas di jalan, warna dalam lampu mobil kita, di kantor, di

manapun kita bisa menemui lambang yang sudah dimaknai secara universal.

Namun ada juga sifat dari lambang yang bervariasi, tiap tempat maupun

negara punya kesepakatan sendiri terhadap lambang itu sendiri. Dari

kebiasaan kita melihat dan memaknai lambang itulah, secara tidak sengaja kita

telah melakukan suatu proses yang dinamakan komunikasi visual. Sejarah

telah membuktikan bahwa penglihatan manusia mempunyai dampak yang

besar terhadap pikiran manusia. Bagaimana dahulu kala manusia masih hidup

di dalam gua mencoba merealisasikan ide gambaran atau angan-angan dalam

pikiran mereka dengan membuat coretan-coretan sampai ke dalam bentuk

suatu simbol tertentu. Simbol-simbol itulah yang pada akhirnya menjadi suatu

bentuk visual yang kita lihat dan kita pahami pesan yang ada di dalamnya.

Fotografi bisa dikatakan sebagai produk dari perkembangan komunikasi

visual. Fotografi itu merupakan kata-kata yang diambil dari bahasa Yunani

yang terdiri dari dua kata yaitu: photos yang artinya cahaya dan graphos yang

artinya lukis. Secara sederhana fotografi bisa diartikan menggambar dengan

cahaya. Serta secara umum, fotografi bisa diartikan suatu proses atau metode

2

(12)

3

untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam

pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, berarti tidak ada foto yang

bisa dibuat. Alat paling populer untuk proses ini adalah kamera.

Pasca ditemukannya fotogafi seperti yang tertulis dalam buku The History

of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico

Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 sebelum Masehi, seorang

pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala. Apabila pada dinding

ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan

terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi3.

Perkembangan fotografi ini sendiri telah melewati beberapa fase mulai dari

era Pra Negatif dimana sebuah foto masih dibuat dari lempengan logam

dimana untuk membuat satu foto saja memerlukan waktu beberapa menit

sampai beberapa jam. Era negatif menjadi sangat populer saat George

Eastman menemukan roll film yang membuat proses fotografis ini menjadi

lebih mudah. Diciptakan juga kamera box pertama berlabel Kodak yang

mengawali kepraktisan dalam bentuk-bentuk kamera. Hingga sampai sekarang

mencapai fase fotografi digital yang membuat segalanya lebih mudah.

Tuntutan akan cepatnya perkembangan jaman dan informasi yang harus

segera tersebar ke seluruh belahan dunia. Saat itu, perkembangan fotografi

digital juga didorong oleh tuntutan para jurnalis saat meliput perang di

Vietnam untuk menyampaikan gambar ke redaksi surat kabar Amerika dan

3

(13)

4

Eropa dengan cepat. Berbicara tentang perkembangan fotografi yang

merambah ke seluruh dunia, Indonesia juga tidak luput dari imbas

perkembangan fotografi juga. Di indonesia, dunia fotografi masuk pertama

kali pada tahun 1841, saat seorang pegawai kesehatan Belanda bernama

Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat

di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas

mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia

sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Karena latar

inilah, fotografi mulai berkembang di Indonesia. Ialah Kasian Cephas, warga

lokal asli yang dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta.

Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak

oleh pasangan Frederick Bernard Franciscus Schalk dan Eta Philipina Kreeft,

lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan

dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah

Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang

berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak

dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 18754.

Dari sejarah singkat fotografi diatas dapat kita lihat, sampai sekarang

fotografi masih berkembang terus-menerus. Penggunaan dan penerapan

fotografi sebagai media komunikasi visual sudah ada dimana-mana.

Penggunakan foto sebagai media komersil untuk menawarkan sesuatu,

bingkai-bingkai foto dirumah sebagai hiasan seni dan pemanis ruangan dan

4

(14)

5

foto juga mendapatkan tempat spesial dalam media massa sebagai pasangan

dari sebuah teks. Dalam konteks media massa, foto adalah alat untuk

memperkuat penyampaian berita yang lebih dikenal sebagai foto jurnalistik.

Dari fungsinya itu tergambarkan alasan apa yang mendasari akhirnya foto

terpilih menjadi penguat berita dalam media massa, foto mempunyai

kelebihan mampu merekam peristiwa yang aktual dan membentuk sebuah

citra di dalamnya. Foto membuat kita berimajinasi bahwa kita sedang berada

dalam kondisi saat terjadinya berita tersebut terjadi. Kekuatan visual sebuah

foto teribaratkan pembaca sedang hadir dan melihat secara langsung apa yang

sedang diberitakan. Singkatnya, foto membuat imajinasi pembaca bisa lebih

nyata dan menjadi pembuktian akan fakta tentang peristiwa yang sedang

terjadi. Foto sebagai ungkapan berita sesungguhnya punya sifat yang sama

dengan berita tulis. Keduanya harus memuat unsur apa (what), siapa (who), di

mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya, dalam bentuk

visual/gambar, foto berita punya kelebihan dalam menyampaikan unsur how

-bagaimana kejadian tersebut berlangsung. Memang, unsur how dalam

peristiwa juga bisa dituangkan lewat tulisan (berita tulis), namun foto bisa

menjawab dan menguraikannya dengan lebih baik5.

Pada dasarnya, itulah perbedaan bahasa tulisan dan bahasa gambar.

Bahasa tulisan memerlukan proses pembacaan dan pemahaman, kemudian

menyentuh emosi. Bahasa gambar, di sisi lain, langsung memberi dampak.

Pemahamannya terjadi lewat penglihatan tanpa perlu diterjemahkan terlebih

5 Atok Sugiarto, Paparazzi; Memahami Fotografi Kewartawanan (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),

(15)

6

dulu dalam pengertian. Secara langsung gambar menciptakan persepsi

mengenai kejadian tertentu. Singkat kata, gambar menimbulkan respons

emosional lebih cepat daripada tulisan.

Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan” adalah suatu karya dokumentari

yang digali dari riset-riset sebelum akhirnya di”eksekusi” melalui media foto.

Kumpulan foto yang dikemas secara apik tersebut bercerita tentang kehidupan

sosial di daerah Palapasang, perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pengambilan

judul “Ketika Indonesia Dipertanyakan” mempunyai korelasi dengan

kehidupan sehari-hari rakyat di desa tersebut, bagaimana yang seharusnya

mereka adalah WNI yang mendapatkan fasilitas yang sama dengan WNI yang

hidup di daerah lain. Kenyataan yang terjadi adalah mereka lebih memilih

ketergantungan dengan negeri tetangga kita Malaysia. Sungguh ironi ketika

hal ini pada akhirnya bertolak-belakang dengan kenyataan yang terjadi perihal

hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Awal mula perseteruan

Indonesia dengan Malaysia, adalah sejak berdirinya Malaysia atas

persemakmuran dari Inggris, Malaysia sudah memulai hubungan buruk

dengan Indonesia. Saat itu, Inggris meminta Malaysia yang dulunya bernama

Semenanjung Malaya digabungkan dengan bagian Kalimantan Utara dengan

negara yang bernama Malaysia. Konflik perebutan territorial ini, membuat

Presiden Soekarno saat itu marah dengan alasan penyatuan wilayah

merupakan ancaman untuk Indonesia karena Inggris bisa saja menjajah

kembali Indonesia6. Ketidakharmonisan dilanjut ketika terjadi perebutan

6

(16)

7

pulau Sipadan dan Ligitan berlanjut ke Pulau Ambalat yang didalamnya

tersembunyi surga minyak bumi. Kegeraman Indonesia diperparah ketika

Malaysia membuat skenario cantik meng-klaim beberapa kebudayaan

Indonesia sebagai kebudayaan asli mereka. Reog Ponorogo, Tari Pendet,

Wayang, Batik sampai makanan Es Cendol pun tidak luput dari lirikan

Malaysia. Kondisi ini yang pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia

geram, berbagai kecaman muncul ditujukan ke Malaysia. Namun kondisi

tersebut tidak menggoyahkan niat Malaysia meng-klaim budaya Indonesia.

Tayangan “Enigmatic Malaysia” muncul di Discovery Channel membuat

klimaks kemarahan rakyat Indonesia semakin parah. Jalur diplomasi pun

akhirnya ditempuh Pemerintah Indonesia untuk mencari penyalesaian

masalah ini.

Kondisi inilah yang menjadikan bias antara kehidupan masyarakat

Indonesia di perbatasan dengan segala ketergantungannya dengan Malaysia

dengan masyarakat Indonesia ditempat lain yang begitu membenci negeri

Jiran tersebut. Mayoritas masyarakat berseru “Ganyang Malaysia”, tapi

minoritas masyarakat di daerah perbatasan tidak bisa menjaga kelangsungan

hidupnya tanpa Malaysia. Hal ini semacam bentuk ketidakadilan antara

perlakuan Pemerintah Indonesia terhadap beberapa masyarakatnya yang

hidup di daerah perbatasan. “Ketika Indonesia Dipertanyakan” bisa jadi

memang judul yang cocok, mengindikasikan apakah selama ini mereka

mempertahankan nasionalisme mereka dengan sia-sia. Realita yang tergambar

(17)

8

membaca buku tersebut terhadap tindakan simpati. Dan dilain sisi, kritik

mendalam juga tersampaikan kepada Pemerintah. Buku ini memaksa

pemerintah untuk membuka mata, menyadari dan kemudian menantikan

sebuah tindakan atas kondisi tersebut.

Untuk itu dengan bekal pemilihan penitian dengan metode Semiotika,

akan digali suatu bentuk representasi dari sisa-sisa Nasionalisme yang tersisa

diantara sekian banyak foto yang menyuguhkan pertanyaan tentang kehadiran

sebuah jiwa nasionalisme. Betapa pentingnya jiwa nasionalisme ini ketika

mereka sendiri mungkin saja sedang dilirik oleh negara tetangga.

Nasionalisme ini sendiri adalah dasar kecintaan yang harus mereka miliki.

Dasar agar mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh tertentu dari luar.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu

rumusan masalah yaitu bagaimana representasi nasionalisme yang ada

dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui representasi nasionalisme

(18)

9 D. Manfaat Penelitian

a. Kegunaan Akademis

Menambah wacana tentang studi semiotika khususnya pada bidang

fotografi dalam menganalisa setiap pesan-pesan sosial yang ada dalam

sebuah media foto terutama yang menyangkut dengan dinamika rakyat

Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Dapat bermanfaat bagi peneliti maupun pihak lain untuk memaknai

sebuah karya foto. Sebuah karya foto pasti dilengkapi dengan beberapa

elemen tanda atau simbol yang bisa diartikan untuk memperkuat isi

pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Kekuatan Fotografi Sebagai Media Komunikasi Efektif

Fotografi pada dasarnya adalah wujud suatu gambar/media

visual sama seperti media-media lainnya. Gambar (drawing) dalam

bahasa Jerman adalah zeichen yang berarti tanda. Kata ini kemudian

diturunkan menjadi kata kerja zeichnen yang berarti menggambar,

yaitu membuat tanda. Hubungan serupa juga ada di Italia dimana

segno (tanda) dirunkan menjadi disegno (gambar/design). Sedang di

Inggris yang asal kata sign (tanda) berhubungan dengan kata design

(19)

10

menggambar7. Dengan kata lain gambar itu sendiri adalah tanda.

Tanda yang sengaja dibuat untuk menyampaikan sesuatu. Gambar

itu sendiri terdiri dari beberapa elemen visual yaitu: Garis, Bidang,

Ruang, Warna, Bentuk dan Tekstur8. Setiap elemen yang dibuat pasti

ada tujuan kenapa itu dibuat. Semisal pasti ada alasan kenapa warna

gelap cenderung dipakai untuk menggambarkan kondisi yang suram

atau sedih. Bentuk garis yang tebal mengandung maksud ketegasan

dsb. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut jika dikemas secara

baik pada akhirnya memunculkan arti dan makna dari sebuah bentuk

visual.

Pasca Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), Louis Jacques

Mande Daguerre (1787-1851) dan William Henry Fox Talbot

(1800-1851) meletakkan batu pertama dalam pondasi fotografi di dunia9.

Foto-foto karya mereka bercerita bahwa fotografi merupakan

duplikasi dari apa yang dilihat oleh mata. Apa yang ingin kita

komunikasikan tentang apa yang kita lihat, bisa dibuktikan dengan

penciptaan sebuah foto. Keberadaan fotografi sebagai representasi

relitas seolah-olah mengancam posisi lukisan sebagai media visual

lainnya. Seorang pelukis bernama Delaroche berkata, ”mulai hari ini,

lukisan sudah mati”10. Lukisan yang dibuat dengan tingkat kesulitan

7

Program St udi Desain Kom unikasi Visual FSR ISI Yogyakart a dan St udio Diskom, Iram a Visual, Dari Toekang Reklame Sampai Komikat or Visual (Yogyakart a, Jalasut ra, 2009) p. 89

8

Sumbo Tinarbuko, Semiot ika Komunikasi Visual (Yogyakart a, Jalasut ra, 2008) p. xi

9

Handout mat eri ,Dunia Fot ografi Orient asi Dasar (ORDAS) JUFOC 2008

10

(20)

11

dari kolaborasi mata dan tangan, digeser dengan kemudahan dari

sebuah proses fotografi.

Bentuk media visual apapun pada akhirnya merujuk bahwa

itu adalah sebuah pesan. Pesan yang bisa terartikan dan termaknai.

Sebagai suatu alat komunikasi, fotografi tidak bisa berkata (karena

bukan suatu media audio visual), untuk itu kolaborasi tanda-tanda

yang terkandung dalam foto harus kita lihat, resapi dan kemudian

kita maknai barulah akan muncul apa informasi yang muncul

didalamnya.

Fotografi sebenarnya adalah suatu proses teknologi yang

memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang

terdapat dalam kenyataannya. Bisa juga diartikan fotografi inilah

suatu wujud yang sebenarnya ada dalam dunia 3 dimensi (yang

dilihat mata kita) menjadi 2 dimensi yang berupa satu atau

serangkaian moment11. Seno Gumira Ajidarma, seorang fotografer

professional di Indonesia mengemukakan beberapa teori tentang

fotografi, diantaranya adalah teori tentang “Fotografi Merupakaan

Kesaaksaraan Visual”12. Teori yang dikutip dari Paul Messaris itu

memaparkan bahwa gambar-gambar yang dihasilkan manusia

termasuk fotografi bisa dipandang sebagai suatu bentuk keaaksaraan

visual. Dengan kata lain gambar merupakan suatu obyek yang bisa

dibaca, gambar adalah salah satu cara manusia berkomunikasi

11

Ed Zoelverdi, M at KODAK, M elihat Unt uk Sejut a M at a (Jakart a, PT. Grafit t i Pers, 1985) p. 76

12

(21)

12

dengan individu lainnya. Hal ini diperkuat oleh Roland Barthez

dalam bukunya “The Photographic Message” (1961) disebutkan

bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi,

saluran transmisi, dan titik resepsi struktur sebuah foto bukanlah

sebuah struktur terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi

dengan struktur lain yakni teks tertulis, judul, keterangan atau artikel

yang selalu mengiringi foto13. Dengan demikian antara foto dan

pesan keseluruhannya merupakan suatu ko-operasi dua struktur yang

berbeda.

Sedangkan menurut Berger, foto dan makna adalah sesuatu

yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah foto menahan aliran waktu

dimana peristiwa yang dipotret pernah ada14. Semua foto adalah dari

masa lalu, dan masa lalu itu tertahan. Tak bisa melaju ke masa kini.

Setiap foto menyajikan dua pesan, pesan menyangkut peristiwa yang

dipotret dan menyangkut sentakan diskontinuitas. Dalam aliran

waktu, sebuah foto membekukan momen seolah-olah merupakan

imaji yang tersimpan. Foto merupakan kajian masa lalu yang

diwujudkan dalam suatu bentuk dokumentasi yang nantinya akan

menjadi bukti di masa depan bahwa di masa lalu pernah terjadi suatu

hal seperti dalam foto. Dengan demikian, foto adalah proses melihat

dan membaca. Mata bukan hanya berfungsi untuk melihat, mata

13

Ibid p. 27

14

(22)

13

melihat dalam arti mencari makna dalam dunia, karena tanpa makna

manusia tiada artinya.

E.1.1. Foto Dokumenter sebagai Suatu Kritik Sosial

Para sejarawan sering menganggap foto dokumenter

sebagai bukti atas cermin peristiwa masa lalu. Menurut James Curtis,

fotografi didasarkan pada keyakinan bahwa foto adalah reproduksi

mekanis realitas. Sedangkan Susan Sontag menangkap esensi

momentum pada fotografi, potongan gambar yang dihasilkan kamera

merupakan pernyataan tentang dunia. Potongan-potongan itu

membentuk mosaik sejarah.15

Fotografi dokumenter yang akhirnya berkembang

membawa kita pada dokumentasi sebuah realita sosial, dimana saat

itu foto dokumenter dimulai dari penggambaran sebuah realita sosial

suatu penduduk. Foto domumenter dikatakan sangat realis ketika

dapat mendokumentasikan secara faktual tentang kejadian, tempat,

momen, obyek dan manusia menjadi sebuah realitas yang

benar-benar menggambarkan sesuatu yang terjadi saat itu. Fotografi

dokumenter bisa dikatakan sebuah gambaran nyata dari apa yang

ingin disampaikan oleh seorang fotografer.

Fotografi dokumenter mulai dikenal sejak muncul

nama-nama seperti Eugene Smith, Jacob Riis, Lewis Hine dan Matthew

Brady yang membuat karya fotografinya memasuki ranah sosial

15

(23)

14

kehidupan masyarakat dimana sebelumnya fotografi hanya

merupakan sebuah alat untuk dokumentasi biasa16. Di awal tahun

1990an, Lewis Hine mencoba mengangkat suatu realita tentang

buruh pekerja di Amerika Serikat, realita pada hasil kamera Hine

saat itu foto yang berjudul ”Russian Steel Worker” mengungkap

realita tentang kehidupan buruh yang sebelumnya tidak banyak

orang tahu. Eugene Smith dengan kisah “Country Doctor” tentang

seorang dokter tunggal yang bekerja di daerah terpencil dimana dia

kerja secara total tanpa bantuan siapapun. Dari beberapa tokoh diatas

akhirnya fotografi berangkat menuju era baru. Fotografi menjadi

cara persuasif yang efektif untuk kita peka terhadap isu-isu sosial.

Foto dokumenter membawa kita kedalam suatu bentuk kritik sosial,

kritik-kritik yang menyadarkan kita akan sesuatu yang mungkin kita

tidak pernah tahu. Lewis Hine selaku tokoh dalam fotografi

dokumenter berpendapat,”If I could tell the story in words, I

wouldn’t need to lug my camera”17. Indikasinya adalah beberapa

fakta realita akan lebih tersampaikan ke khalayak andaikata tersaji

berupa suatu pesan fotografi.

Melihat adalah proses membaca. Mata kita melihat,

sedangkan pikiran kita membaca. Apa yang kita baca adalah apa

yang kita maknai. Ketika melihat sebuah karya dokumenter, sejenak

kita akan bertanya di batin ”ternyata ada hal seperti ini di dunia ini”.

16

Ibid, p. 41

17

(24)

15

Proses ini muncul karena kita sadar bahwa ada sesuatu yang perlu

kita maknai dari realitas yang ada/sedang terjadi. Sejatinya dunia

adalah sebuah buku, buku yang sangat besar. Buku yang tertulis

penuh dengan realita. Apa yang kita lihat saat itu, adalah apa yang

kita baca. Aktifitas membaca dunia melalui foto akan lebih

sempurna ketika terjadi proses pemaknaan.

E.1.3. Subjektifitas dan Objektifitas Fotografer dalam Sebuah

Karya Foto

Proses pembuatan sebuah karya foto tanpa disadari adalah

suatu proses representasi. Proses representasi pada sebuah karya

fotografi berawal dari sesuatu yang sebelumnya ada atau sedang

terjadi (obyek-realita), dipindahkan dalam suatu proses mekanik

dengan hasil dua dimensi yang disebut foto. Foto mempunyai presisi

yang kuat dalam merekam sesuatu. Sehingga pembawaan sebuah

proses representasi ini tertuang dalam suatu bentuk “rekonstruksi”

realita dari apa yang sedang terjadi menjadi apa yang direkam

sampai pada proses mengkomunikasikannya.

Representasi pada sebuah karya foto ini pada akhirnya

membawa kita mengenal bahwa foto tidak pernah lepas dari

subjektifitas dan objektifitas. Keberadaan sebuah foto tidak

tergantung utuh oleh apa dan siapa objeknya, tapi bagaimana subjek

memandang sesuatu dan memberikan makna. Dalam dunia fotografi,

(25)

16

berkenaan erat terhadap suatu subjektifitas dan perspektif seorang

fotografer. Secara sederhana ”make” berarti membuat dan ”take

berarti mengambil. ”Make” dalam fotografi dikenal sebagai suatu

cara kita merepresentasikan sesuatu. Cara ini sering dipakai karena

keterbatasan moment atau waktu yang menyebabkan kita

mengharuskan membuat suatu bentuk ilustrasi lain. Selain itu make

digunakan ketika memang fotografer menganggap suatu moment

perlu adanya proses penataan agar lebih rapi, berkesan dsb. Seperti

dalam proses pembuatan foto portraiture, fase making ini sering

dipakai Dalam suatu fungsi representasi, fase ini dapat memberikan

makna yang lebih kuat pada pesan fotonya. Yang terpenting dalam

fase ”make” ini adalah realitas tampil sebenarnya sesuai kejadian

aslinya, tambah penambahan atau pengurangan.

Sedangkan ”take” adalah cara kita mengambil apa adanya.

Kita tidak mengubah apapun karena ada disana (tempat terjadinya

moment) saat itu. Kita membuat salinan sesungguhnya dari sebuah

produk moment merubahnya menjadi pesan fotografi. Perhitungan

waktu dan ketepatan seorang fotografer sangat menentukan dalam

hal ini. Layaknya Henri Cartier-Bresson dengan Decisive Moment

-nya, dia mencoba menangkap informasi melalui karya-karya Street

Photography. Apa yang dia lihat adalah apa yang dia rekam secara

(26)

17

oleh siapapun. Tidak ada batasan mana yang harus dilakukan

terlebih dahulu.

Masih berkenaan dengan hal yang sama, subjektifitas

meliputi pilihan cara pandang seorang fotografer. Fotografer secara

”suka-suka” bebas memilih cara mereka membuat karya. Cara ini

meliputi angle, komposisi dan pemilihan simbol-simbol yang mereka

masukkan ke karya masing-masing hingga pada tahap pemilihan

tampilan single (tunggal) atau series (rangkaian). Hal ini dipengaruhi

oleh kapasitas masing-masing personal karena setiap orang

mempunyai cara tersendiri untuk mengkomunikasikan sebuah pesan.

Foto single (tunggal) terpilih karena memang dalam penyampaian

sebuah pesan hanya cukup tergambarkan dengan satu foto saja. Dan

penggunaan foto series (rangkaian) terpakai ketika dengan

menggunakan satu foto saja tidak cukup untuk menceritakan pesan

yang dimaksud. Penyampaian foto dalam bentuk rangkaian ini

menurut Roland Barthes disebut ”Sintaks”. Seiring perkembangan

jaman, metode pendekatan foto series (rangkaian) berkembang

menjadi beberapa bentuk seperti foto stories, essay dan dokumenter.

Seperti dalam buku ”Ketika Indonesia Dipertanyakan”, foto

tertampilkan secara berangkai dan saling melengkapi. Antara satu

foto dengan lainnya memiliki kaitan informasi.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, fotografi adalah

(27)

18

memotret sebuah gelas, maka yang tertampil adalah serupa bentuk

gelas seperti yang kita foto. Kemudahan ini yang akhirnya membuat

kemajuan teknologi fotografi dimanfaatkan secara baik oleh semua

orang. Dalam sebuah bidang sains, fungsi fotografi berperan besar.

Contoh-contoh penggunaannya bisa kita lihat sehari-hari, foto

hewan-hewan mamalia besar, seekor lalat sampai bentuk jelas

bakteri bisa terekam dengan medium foto. Anggap saja untuk

penikmat yang belum melihat bentuk bakteri, dengan ditunjukkan

foto orang akan berasumsi “inilah bentuk dari bakteri”. Apa

korelasinya? Ialah suatu cerminan sempurna yang dibawa oleh

fotografi untuk menunjukkan sebuah sarana yang tepat. Inilah yang

disebut sebagai kaitan objektifitas dalam sebuah karya foto.

Untuk itu sebabnya sebuah karya fotografi tidak pernah

jauh dari sebuah subjektifitas dan objektifitas pembuatnya. Foto

terlahir selalu merahimi kemauan fotografernya dalam mengolah

pesan dan bentara realita yang sedang disaksikan oleh fotografer itu

sendiri.

E.2. Semiotika dan Fotografi

E.2.1. Kesadaran Manusia akan Pemaknaan Tanda

Dimanapun kita akan bertemu dengan tanda. Dalam bentuk

apapun tanda selalu dibuat dan dimaknai oleh penikmatnya. Rujukan

itulah yang akhirnya mengantarkan akan pemahaman akan ilmu

(28)

semata-19

mata dilihat. Semiotika membawa kita ke bentuk suatu paradigma

kritis ketika melihat sebuah tanda. Untuk itu perlu adanya tindakan

setelahnya dimana kita harus membedah satu-persatu apa yang ada

dalam tanda tersebut. Setiap tanda yang dibuat pasti ada maksud dan

tujuan. Pantas jika akhirnya sebagai bidang keilmuan yang

mempelajari tentang tanda, semiotik ini perlu dipahami.

Strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan ”signified

dan signifier”nya. Dimana menurut Saussure sebuah tanda telah

tersusun dan terstruktur secara rapi. Pragmatisme Charles Sanders

Pierce dengan trikotomi ”icon, indeks dan symbol”, membawa kita

dalam suatu bentuk makna bahwa “sesuatu mewakili sesuatu”.

Roland Barthes meneruskan ke-Saussure-an dengan memasukkan

mythologi-nya dalam bentuk pengembangan dari fase konotasi.

Derrida dengan pendekatan “dekonstruksi” dimana dia menahan

kaitan antara penanda dan petanda untuk memperoleh makna lain

dan makna baru. Dan masih banyak lagi mengenalkan kita pada

suatu sistem yang sebenarnya ada selalu disekitar kita. Tergantung

kita saat itu melihat dan memaknainya atau tidak. Bangunan struktur

tanda dalam kehidupan sehari-hari tercipta sangat kaya. Untuk itu

kenapa manusia disebut juga sebagai Homo Semioticus18.

Sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kelima

indra dan akal pikiran, manusia mempunyai bekal yang lengkap.

18

(29)

20

Kebutuhan akan simbol manusia tidak terelakkan, tiap hari, tiap

waktu kita melihat atau bahkan menggunakan simbol itu sendiri.

Simbol seakan-akan meringkas bentuk komunikasi kita menjadi

sederhana tapi dengan maksud yang sama. Membuat suatu bentuk

komunikasi semakin sederhana dan efektif. Bunga mawar merah

untuk ungkapan rasa cinta, kenapa harus merah?, karena itu

melambangkan kekuatan cinta. Kita berhenti di lampu merah,

kenapa merah?, karena merah itu tegas (ungkapan perintah). Biarpun

berwarna sama, ”merah” diartikan berbeda, semua tergantung

konvensi dari budaya masyarakat itu sendiri. Manusia sudah ada

bekal keilmuan, pasti pula bisa juga memaknainya sendiri. Darimana

kita bisa memberi makna andaikata kita tidak membacanya terlebih

dahulu, disinilah peran semiotika perlu dihadirkan.

E.2.2. Fungsi Fotografi dalam Kacamata Roland Barthes

Mulai dari teks, musik, sastra dan film, fotografi adalah

salah satu sasaran penelitian yang ditelusuri oleh Roland Barthes.

Pasca fotografi berkembang di ranah sosial, fotografi menjadi mesin

yang cukup efektif untuk menyentuh perasaan orang lain. Fotografi

menyadarkan beberapa fakta yang memang harus diketahui oleh

masyarakat. Foto berita (press) atau foto jurnalistik lebih tepat

dikenal oleh masyarakat sebagai jendela fakta kehidupan sehari-hari.

Foto berita (press) adalah pesan. Pesan dibangun oleh beberapa

(30)

21

penerima19. Yang disebut sumber pemancar pesan adalah para insan

pers yang berkarya di surat kabar atau sekelompok teknisis yang

bertugas memfoto, memilah, menyusun dan mengotak-atik juga

memberikan judul dan keterangan singkat. Pihak penerima tidak lain

adalah penikmat surat kabar itu sendiri, sedang saluran tranmisinya

adalah surat kabar. Ketiganya adalah suatu sistem yang

berhubungan. Dimana mulai dari pesan itu dibuat, disunting dan

kemudian siap cetak dan dinikmati khalayak.

Roland Barthes sendiri sangat dikenal dengan penyatuan

myth (mitologi atau mitos) dengan sebuah sistem semiotik. Mitos

berasal berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita. Mitos biasa

diartikan sebagai cerita yang tidak benar, cerita yang tidak memiliki

kebenaran historis. Tapi dalam anggapan Barthes, mitos tidak hanya

sekedar sebuah cerita yang berasal dari orang-orang tua atau buku.

Manusia modern sekarang pun juga dikelilingi dengan sebuah mitos.

Manusia modern adalah konsumen juga produsen dari mitos itu

sendiri. Mitos sendiri dibagi dalam tiga tahap, signifier, signified dan

signification. Agar lebih mudah dipahami Barthes menggunakan

istilah yang berbeda yaitu form sejajar dengan signifier, concept

sejajar dengan signified dan signification dengan sign. Mitos ini

dalam tatanan struktur semiotika Barthes terletak pada tingakatan

kedua, dimana tingkatan pertama adalah sistem linguistik, sistem

19

(31)

22

kedua adalah sistem mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem

kedua memang mengambil model sistem pertama tapi tidak semua

prinsip berlaku jika berada di sistem kedua.

Penggunaan mitos ini juga dicontohkan oleh Barthes dalam

sebuah foto serdadu kulit hitam yang sedang memberikan hormat

pada tricolor (sebutan lain untuk bendera Prancis yang mempunyai

tiga warna) yang muncul di majalah Paris-Match. Sebagai system

semiotic tingkat pertama, gambar itu terdiri dari signifier (foto

serdadu yang member hormat) dan signified (serdadu “beneran”

yang memberikan hormat pada bendera Prancis) dan sign (kesatuan

antara foto dan serdadu). Bagi Barthes sebagai orang Prancis foto itu

tidak hanya tervisualisasikan sebagai foto serdadu yang sedang

hormat kepada bendera. Tapi itu tentang “Kebesaran Prancis”.

Proses keluarnya meaning tentang “Kebesaran Prancis” ini terletak

pada tingkat kedua dengan merujuk dari analisa di tingkat pertama.

Bahkan gambar itu bisa berarti, “Prancis merupakan imperium besar

sehingga seluruh anak-anaknya tanpa pembedaan warna kulit apapun

tetap setia menghormati benderanya”.20 Dengan kata lain ini adalah

salah satu contoh mitos imperialism, dimana tanpa disadari dapat

dipakai untuk mengkomunikasikan tentang kebesaran Prancis.

Contoh lain bisa berupa ketika Indonesia banyak orang suka untuk

meminum anggur. Anggur disini tidak sekedar sebagai minuman

20

(32)

23

beralkohol. Anggur berkonotasi sebagai minuman presticious bagi

kalangan Eropa khususnya di Prancis (Frenchness).21 Manakala

terjadi budaya minum Anggur di Indonesia, mitos terbawa ke budaya

ke-Timuran. Mitos gaya hidup kalangan atas rakyat Prancis.

Merujuk pada ”Photograph cannot say what it lets us see”,

salah satu ungkapan dari Roland Barthes dalam buku ”Camera

Lucida” yang sudah disebut diatas22. Indikasi dari kata-kata tersebut

adalah fotografi adalah semata-mata hanyalah benda 2 dimensi

(panjang dan lebar). Sekarang ini kita kaitkan dengan kajian

semiotika. Fotografi adalah struktur bangunan pesan dengan pondasi

batu bata tanda-tanda di dalamnya. Di semen dan di cat

menggunakan komposisi dan angle yang memukau sehingga jadilah

bangunan pesan yang statis tapi dinamis. Statis karena itu hanya

benda mati, dinamis karena foto merupakan media komunikasi.

Sekarang bangunan rumah foto sudah siap, dipandang pun enak

karena sudah cantik. Tinggal satu hal yang belum, yaitu masuk ke

dalamnya dan menikmati interior di dalamnya. Analogi sederhana ini

sama kaitannya dengan fotografi, foto tidak hanya tampak indah di

luar, tapi untuk menyempurnakan keindahannya kita perlu masuk ke

dalamnya. Kita buka pintu, dan temukan apa yang terkandung di

dalamnya. Dengan begitu kita tahu maksud pesannya.

21

Benny H. Hoed, Semiot ik & Dinamika Sosial Budaya, (Kom unit as Bam bu, Depok, 2011), p.14

22

(33)

24

Entah disadari atau tidak, suatu pesan fotografis adalah

analogon (turunan, salinan, kopian) yang menjadi sempurna dari

realitas dan justru kesempurnaan analosgis inilah yang diterima

umum sebagai sebagai kekhasan atau kekuatan foto. Saat terjadi

proses fotografi, dimana fotografer mengalami saat intim bersama

kameranya telah terjadi proses konversi realitas menjadi imaji 2

dimensi. Tentu saja, proses ini jauh dari sempurna karena sulit juga

merubah apa yang kita lihat dengan mata berwujud 3 dimensi

menjadi imaji. Untuk itu peran tanda didalamnya harus digali.

Fotografer harus memilah mana tanda yang harus masuk dan mana

yang tidak agar tidak terjadi mis-interpretasi pada penikmatnya.

Tidak jarang semua foto memang tidak lepas dari caption untuk

memperkuat pesan foto dan menjelaskan apa yang tidak bisa

tergambar oleh imaji. Dalam gambar imaji ada dua pesan, pesan

tertunjukkan (denoted message) yang merupakan analogon itu

sendiri dan pesan terartikan (connoted message) yang dipengaruhi

oleh konvensi komunikasi masyarakat. untuk lebih mudah dipahami,

pesan denotasi dan konotasi ibarat suatu pesan yang tersurat dan

tersirat. Ada yang bisa kita lihat dan ada yang kemudian harus kita

pahami. Denotasi membawa kita dalam sebuah salinan realita dan

konotasi membawa kita untuk memaknainya. Di level inilah mitos

berbicara, yaitu pada tingkatan kedua seperti yang sudah dijelaskan

(34)

25

Masih dalam pandangan Barthes, terdapat tiga aspek dalam

fotografi, Operator yakni fotografer itu sendiri, the image maker

yang tidak lain pembuat karya dan pencipta analogon (kopian)

peristiwanya. Spectator (pemandang), penikmat foto. Calon penelaah

foto itu sendiri, yang akhirnya memberikan pemaknaan. Dan yang

terakhir spektrum, yaitu apapun yang difoto, atau obyek dari foto

tersebut23.

E.2.3. Membaca Perspektif Fotografer Dengan Semiotika

Dalam ”The Photographic Message”, Roland Barthes

membagi 3 tahap dalam membaca foto. Tahap perspektif, kognitif

dan etis-ideologis24. Tahap perspektif terjadi ketika seseorang

mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal. Jadi

semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah

imajinasi sintakmatik yang pada dasarnya bersifat perspektif. Tahap

kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan

unsur-unsur ”historis” dari analogon ”denotasi”. Ini konotasi yang

dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Pengetahuan kultural

sangat menentukan. Tahap terakhir adalah tahap etis-ideologis, orang

mengumpulkan berbagai penanda (signifier) yang siap untuk

”dikalimatkan”. Ketiga tahap diatas adalah fase konseptual dimana

(35)

26

Dalam sebuah foto dikenal juga dengan istilah studium dan

punctum yang ingin dikenalkan juga oleh Roland Barthes. Studium

adalah kesan keseluruhan secara umum, yang akan mendorong

seorang pemandang untuk memutuskan baik tidaknya sebuah foto,

bermuatan politis atau historis, yang sekaligus mengarah pada

keputusan suka atau tidaknya sebuah foto. Dari kelima fungsi foto

dari Roland Barthes yaitu, to inform, to signify, to paint, to surprise

dan to waken desire25. Sebagai fotografer kita susah untuk

menemukan mana yang menonjol untuk mempercantik studium pada

foto kita. Untuk itu kita perlu mengenali karakter penikmat foto, kita

kaji dan kemudian kita gali kecocokan pilihan mereka yang pada

akhirnya membantu kekuatan pilihan pada karya kita.

Sebaliknya kalau punctum, adalah fase penikmat tertarik

pada sebuah foto. pemandang akan melakukan pengamatan secara

kritis pada fase ini tanpa peduli fase studium-nya. Dalam punctum

inilah terjadi gejala kenapa seseorang memilih untuk memandang

suatu foto secara terus-menerus. Berthes membagi punctum menjadi

dua bagian. Pertama, seperti sudah kita lihat adalah ”field of

unexpected flash which sometimes crosses this field”. Pengalaman

ini berkaitan dengan bentuk atau eksistensi. Kedua, pengalaman

bahwa apa yang saya lihat itu sudah terjadi (that-has-been). Kita

tidak mungkin mengatasi waktu kita sekarang. Kita merasa gamang

25

(36)

27

karena berdiri di tebing ”kini” sambil melihat tebing ”dulu” tanpa

bisa menyeberanginya. Inilah yang disebut ”vertigo of the time

defeated”-kegamangan oleh waktu yang tak berdaya. Waktu mitis

kita, yaitu waktu yang kita hayati, dikalahkan oleh waktu dalam

sebuah foto26.

E.3. Nasionalisme dan Fotografi

E.3.1. Dinamika Nasionalisme di Nusantara

Bagi masyarakat awam, nasionalisme biasa diartikan

sebagai suatu wujud/bentuk kesetiaan kita kepada negara. Kesetiaan

ini muncul dari kebanggaan kita akan apa yang dilakukan oleh

negara tersebut. Sebagai contoh karena kita bangga akan perjuangan

pahlawan-pahlawan kita di masa kemerdekaan, hal ini memberikan

efek nasionalisme masyarakat semakin besar. Bisa juga nasionalisme

itu muncul karena kesetiaan terhadap tanah air, tanah air ini

mempunyai maksud tempat dimana kita dilahirkan dan di negara

itulah kita sewajibnya setia

Nasionalisme bisa juga diartikan sebagai suatu paham, yang

berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan

kepada negara kebangsaan27. Hal ini berkaitan juga dengan perasaan

yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah

darahnya. Kita harus siap memberikan segala sesuatu yang kita

punya ketika memang negara sedang membutuhkannya.

26

Ibid, p.196

27

(37)

28

Jika digali dasarnya, Nasionalisme berasal dari kata

nation” yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian,

yaitu dalam antropologis serta sosiologis dan dalam pengertian

politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah

suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri

sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut

merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama sejarah, dan adat istiadat.

Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah

masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk

kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke

luar dan ke dalam28. Dua pengertian dari “bangsa” inilah yang

akhirnya saling membentuk suatu definisi nasionalisme itu sendiri,

dimana diawali dari sekelompok orang yang berkoloni sampai

kepatuhannya kepada kedaulatan negara dimana mereka tinggal.

Dari nasionalisme secara global, kita hijrah ke nasionalisme

secara Indonesia. Sejarah mencatat dengan seksama bagaimana

rakyat Indonesia ketika sebelum kemerdekaan Republik Indonesia

mempertaruhkan apapun demi tanah airnya. Beberapa tokoh

pahlawan Jendral Sudirman bertempur dengan medan perangnya.

Dan ada juga tokoh nasionalis seperti Bung Karno yang lebih

memilih jalan “perang” secara diplomatis tanpa senjata. Kesemuanya

adalah salah satu tonggak awal nasionalisme yang akhirnya

28

(38)

29

mengakar ke rakyatnya, bisa dikatakan wujud balas budi terhadap

jasa para pahlawan. Untuk lebih menguatkan jiwa nasionalisme,

beberapa lambang nasionalisme dibuat dan diakui diantaranya

Burung Garuda dan Bendera Merah Putih. Berikut penjelasannya:

a. Burung Garuda

Burung yang selalu kita agung-agungkan tersebut

hanya mitos belaka yang berasal dari mitologi

Hindu-Budha. Dalam mitos tersebut garuda merupakan wahana

(kendaraan) Dewa Wisnu, salah satu trimurti atau

manifestasi Tuhan dalam agama Hindu29.

Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah

putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang,

tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga

dapat menghalangi matahari. Garuda adalah seekor burung

mitologis, separuh manusia, separo burung. Ia adalah raja

burung-burung dan merupakan keturunan Kaśyapa dan

Winatā. Dan ternyata Garuda juga merupakan lambang suci

bagi orang-orang Hindu di Thailand.

14-07-45, tanggal kelahiran/kemerdekaan negara

Indonesia yang juga diwujudkan dalam bentuk bulu-bulu

Garuda. Perwujudan angka pada tubuh garuda sebagai

(39)

30

lambang Indonesia pastinya membuat angka itu akan

mudah untuk diingat sebagai suatu moment yang sakral.

b. Bendera

Sepanjang peradaban bangsa-bangsa, sejarah

bendera pada umumnya bersifat sakral. Diyakini bahwa

bangsa Cina atau India yang pertama kali menggunakan

bendera sebagai simbol yang agung. Penggunaan bendera

dan penghormatan atasnya sebagai simbol nasionalisme,

telah menjadi budaya bangsa di dunia. Bendera adalah salah

satu identitas bangsa yang paling mudah diingat. Kita ambil

contoh bendera Indonesia hanya Merah-Putih, bendera

Jepang hanya kotak Putih dengan lingkaran Merah

didalamnya, Belanda dengan Merah, Putih dan Biru-nya

dan masih banyak bendera-bendera lain yang mudah sekali

terhafalkan ketika kita menyebut namanya. Bendera

menjadi penting baik dalam suasana damai maupun perang.

Ketika kondisi damai, bendera menjadi simbol kebanggaan

dan peringatan keberbangsaan. Dan ketika kondisi perang,

keberadaan simboliknya menjadi semakin terasa, karena

eksistensi kebernegaraan atau keberbangsaan itu sendiri

(40)

31

Saat berada di medan perang, salah satu pemimpin

pastinya di depan mengangkat sebuah bendera dilengkapi

dengan sorak semangat motivatif untuk tentaranya.

Pengangkatan bendera ini yang akhirnya membuat

semacam memunculkan amarah yang besar terhadap apa

yang diperjuangkan dari sebuah bendera tersebut. Bendera

cenderung lebih mudah untuk dibawa dan difungsikan

dimanapun. Untuk itu kenapa beberapa moment tertentu,

wujud sebuah bendera adalah sebuah eksistensi yang

mutlak. Peristiwa 10 November yang pada akhirnya kita

peringati sebagai hari pahlawan, membuktikan peristiwa itu

bisa terakui secara nasional dari sebuah moment perobekan

“bendera”. Indikasi bahwa sebuah bendera adalah benda

yang sakral dan memang harus kita hargai. Di bangku

sekolah dahulu, kita selalu diajarkan dan diharuskan

mengingat bahwa Merah adalah berani, Putih adalah suci.

Berani dan suci adalah harga mati semangat perjuangan

Indonesia.

Selain terwujud dari sebuah lambang Garuda dan Bendera

Merah Putih, WR. Soepratman juga berhasil menggugah

nasionalisme kita dengan “Indonesia Raya”. Lagu yang selalu

(41)

32

air mata ketika diresapi. Kebanggan yang besar juga terjadi ketika

lagu ini berhasil kita nyanyikan di luar tanah Indonesia, dan

beberapa putra bangsa sering melakukan itu seperti di kejuaraan

Internasional. Sepak bola yang tidak pelak juga sebagai fenomena

nasionalisme kita. Seperti yang terjadi saat Timnas Indonesia

mengalahkan tim negara lain. Alangkah bahagianya kita dengan kata

“Indonesia”, dimana-mana kita memuja dan membicarakan

Indonesia, kemanapun pergi serasa sangat gagah sekali kita memakai

jersey (baju) Timnas Indonesia. Sungguh peristiwa sederhana tapi

sangat menyentuh bagi banyak pihak.

Dan untuk menjaga nasionalisme rakyatnya, Negara pun

akhirnya menetapkan beberapa hari bersejarah sebagai hari nasional

untuk mengingat apa yang terjadi ketika saat itu dan berharap itu

akan selalu diakui dan miresapi.

E.3.2. Problematika Nasionalisme Daerah Perbatasan

Secara geografis negara kita diapit oleh 2 Benua dan 2

Samudera, yaitu Benua Asia, Benua Australia, Samudera Hindia dan

Samudera Pasifik. Andaikata dikerucutkan lagi, Indonesia juga

dekat/berbatasan dengan Negara-negara lain seperti Papua Nugini,

Filipina, Timor Leste dan Malaysia. Indonesia juga dikenal sebagai

negara kepulauan (archipelago), dengan jumlah sekitar 17.000

pulau di antero nusantara baik yang sudah terdata maupun yang

(42)

33

Ke-maritim-an Indonesia ini ternyata tidak selalu

berdampak positif. Muncul berbagai problematika seperti

transnational criminal seperti terorisme, eksplorasi dan eksploitasi

illegal Sumber Daya Alam (SDA) seperti di Pulau Ambalat, kasus

serupa tentang penentuan batas territorial seperti di Sipadan dan

Ligitan, perdagangan manusia (trafficking) dan beberapa kasus-kasus

lainnya yang kesemuanya berawal dari kelemahan Pemerintah dalam

menjaga integritas bangsanya. Sebagai negara yang berdaulat, sudah

menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk memperhitung hal-hal

yang semestinya terjadi.

Jika kita tengok ke aspek sosial daerah perbatasan.

Kelemahan pemerintah kembali terbaca. Pendidikan, kesejahteraan

ekonomi, kesehatan semuanya dalam ambang “rendah” karena

ketidakaktifan Pemerintah dalam memberikan perhatian yang rata.

Seharusnya sudah menjadi hak yang sama untuk perlakuan WNI di

daerah perbatasan dengan WNI di daerah lain. Tetapi kenyataan

yang terjadi adalah terlantarnya WNI di daerah perbatasan, dengan

kondisi “abu-abu” antara “tinggal di atap sendiri tapi hidup dari atap

orang lain”. Apakah karena mereka-mereka yang tinggal di

perbatasan dianggap tidak penting karena tidak berkontribusi untuk

Pemerintah atau karena apa mereka tidak dianggap? Ini adalah

pertanyaan besar dari seluruh warga Nusantara Indonesia, terlebih

(43)

34

diharapkan adalah sebuah tindakan yang signifikan dan sedikit

penghargaan atas apa yang mereka perbuat. Sedikit perhatian karena

beberapa dari daerah perbatasan memang berada di daerah yang

terisolir dengan akses yang minim.

(44)

35

Foto Proklamasi Indonesia karya Frans Mendur

(sumber www.google.com)

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta”

Kalimat diatas adalah bunyi dari teks Proklamasi yang

dibaca oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Moment fenomenal

yang pada akhirnya dinyatakan sebagai kemerdekaan Indonesia ini,

berhasil membuat kita andai kita ada di jaman itu menangis karena

itu adalah puncak kejayaan negara kita. Klimaks dari perjuangan

para pahlawan yang tidak sedikit gugur hanya untuk

memperjuangkan kejadian pukul 10 pagi dan yang hanya beberapa

menit saja itu.

Tapi disamping itu apa yang kita kenang selain dari catatan

sejarah, adalah sebuah karya fotografi dari Frans Mendur

(1913-1971)30. Bersama-sama dengan kakaknya Alex Mendur (1907-1984)

mereka berdua berdiri, menyaksikan dan mengabadikan peristiwa

bersejarah itu. Sebagai jurnalis pendiri IPPHOS (Indonesian Press

30

(45)

36

Photo Service), keberadaan mereka tanpa kita sadari sangat

signifikan. Andai kata tidak ada Frans Mendur berdiri disana saat itu,

kita tidak akan punya satupun dokumentasi dari pembacaan

proklamasi. Kita tidak pernah tahu bagaimana kekhidmatan

Soekarno dalam membaca teks dan keseriusan Moh. Hatta

mendampingi disampingnya. Kita tidak pernah tahu juga suasana

pengibaran bendera pusaka merah putih pertama kali pasca

proklamasi. Sama juga kaitannya dengan Alex Mendur, beliau

jugalah yang berhasil mengabadikan sosok acungan tegas Bung

Tomo dalam pidatonya yang sesuai catatan sejarah begitu

menggebu-gebu dan membakar semangat para pejuang di

Surabaya31.

Sederhana tapi apa boleh buat ketika kita benar-benar tidak

punya salinan dokumentasi dari momen-momen diatas. Kita hanya

mengandalkan catatan sejarah semata, kita hanya membekali cerita

dongeng perjuangan ke anak-anak kita. Apakah efektif ketika hanya

mengandalkan itu, kenapa harus sebuah proses fotografi yang

mendukung sebuah cerita?. Sama kaitannya dengan fotografi yang

ada di media massa. Fotografi disini adalah ungkapan realita,

analogon kejadian yang akhirnya menguatkan keyakinan kita bahwa

peristiwa itu benar-benar terjadi. Kita akan lebih percaya begitu pula

dengan anak-anak bangsa ketika diajarkan sejarah Negara Indonesia

31

(46)

37

ini karena bisa merefleksikan langsung seperti apa kejadian aslinya.

Lantas kenapa fotografi juga menduduki fase dokumenter, karena

inilah fotografi adalah catatan sejarah dan menceritakan sejarah itu

kembali di lain kesempatan seperti saat sekarang ini dan nanti.

Foto Bung Tomo karya Alex Mendur

(sumber www.google.com)

F. Definisi Konseptual

F.1. Representasi

Kata representasi jika dipisah menjadi “re” dan “presentasi”.

Presentasi adalah suatu proses mengemukakan/menyajikan sesuatu.

Jika ditarik sama halnya dengan mengemukakan kembali atau

menceritakan kembali. Mewakili dari sebuah penyajian pandangan

(47)

38

akan bercerita atau men-deskripsikan ulang dengan kajian yang lebih

mendalam atau dari sebuah kajian baru dalam konteks yang sama.

Dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”, beberapa

kajian yang muncul dari buku tersebut adalah ke-sia-siaan

nasionalisme rakyat Indonesia yang hidup di daerah perbatasan.

Wujud diskriminasi sosial dari pemerintah tentang keberadaan

mereka. Tapi masih ada beberapa dari sekumpulan dari mereka yang

masih dengan kebanggan bangsanya, bentuk “representasi” inilah

yang akan digali oleh peneliti. Bagaimana mereka menjaga

nasionalisme di kala mereka hidup dari ketidak-nasionalisme-an.

F.2. Nasionalisme

Sebagai sebuah nation (bangsa) yang besar bernama

Indonesia, nasionalisme pastilah sudah menjadi bagian dari diri

semua Warga Negara Indonesia. Seperti definisi dari Encyclopaedia

Britannica, dimana nasionalisme merupakan keadaan jiwa dimana

individu merasa bahwa setiap orang memiliki kesetiaan dalam

keduniaan (sekuler) tertinggi kepada negara kebangsaan. Selain itu

definisi dari Huszer dan Stevenson, yaitu Nasionalisme adalah yang

menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah

airnya.

Kajian-kajian nasionalisme inilah yang nantinya akan digali

melalui beberapa simbolisasi nasionalisme yang tergambarkan dalam

(48)

39 F.3. Fotografi

Sebagai salah satu media komunikasi visual, fotografi

sudah mendapatkan tempat di media massa. Fotografi adalah cara

efektif untuk menyajikan realita dalam bentuk gambar 2 dimensi.

Lain dengan film yang merupakan media komunikasi audio visual,

fotografi dengan keterbatan dimensinya menuntut penikmat harus

memaknainya sendiri. Sebuah lukisan cahaya inilah yang nantinya

akan memberikan deskripsi-deskripsi tentang kenyataan yang

benar-benar ada terutama dalam kajian foto jurnalistik yang tidak

memungkinkan adanya tolerir atas manipulasi apapun. Dalam

sajian karya buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”, tergambar

jelas bagaimana dan seperti apa kehidupan disana. Dan pilihan

menu fotografi sangat tepat untuk gambaran tersebut.

G. Metode Penelitian

G.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah

kualitatif-intrepretatif menggunakan analisis semiotik. Mengacu pada teori

dari Roland Barthes, diharapkan dapat digali lebih dalam beberapa

kajian tanda yang mewakili tujuan penelitian. Berbekal struktur

(49)

40

dan akan ada beberapa pemaknaan dari tanda tersebut yang sama

halnya merujuk kembali pada tujuan penelitian ini.

G.2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah buku “Ketika Indonesia

Dipertanyakan” karya klub fotografi mahasiswa APC (Atmajaya

Photo Club) Yogyakarta.

G.3. Unit Analisis

Dari 78 foto yang termuat dalam buku “Ketika Indonesia

Dipertanyakan”, peneliti akan memilih 10 foto yang mewakili

batasan penelitian yang akan dianalisis.

G.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpuan data yang digunakan peneliti ada dua,

yaitu:

1. Data Primer dengan cara pengumpulan data dokumentasi

yaitu dengan melakukan pemilihan frame yang akan diteliti

sesuai kebutuhan penelitian.

2. Data Sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari

kepustakaan yang ada, baik berupa buku, jurnal, internet,

maupun bahan tertulis yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian

G.5. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan rumusan masalah dengan pendekatan

(50)

41

seleksi foto sesuai pembahasan. Berbekal struktur denoted

(denotasi) dan cannoted (konotasi) akan dimaknai tanda-tanda

yang ditemukan. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan

operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi

untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : REPRESENTASI PEREMPUAN PADA TOKOH AUNG SAN SUU KYI (Analisis Semiotik Pada Film “The Lady” Karya Luc

Ucap syukur kepada Allah Yang Maha Esa, dengan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konstruksi Nilai-nilai Nasionalisme, Kajian Analisis Semiotik

Tesis yang berjudul Makna Religi Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy: Analisis Semiotik dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Madrasah Aliyah

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Representasi Pendidikan Karakter Nasionalisme dan Kerja Keras pada Tokoh Martini-Kusnadi dalam

(Analisis Semiotik Foto dalam Buku Sex For Sale Karya Yuyung Abdi) adalah bukan karya ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna representasi potret kehidupan dalam karya buku foto dokumenter karya Boy

Menyatakan bahwa karya ilmiah (Skripsi) saya yang berjudul Perbandingan Pemaknaan Label Peringatan Kesehatan (Analisis Semiotik pada Kemasan Rokok di Kerajaan

Keluarga baru saya, yakni JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club), terima kasih atas ilmu pengetahuan serta pengalaman yang sudah saya dapatkan, dan menjadi gudang