SKRIPSI
Oleh :
AJENG ARIESTYANTI
NPM. 0743010177
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
Disusun Oleh :
AJENG ARIESTYANTI
NPM. 0743010177
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
PEMBIMBING
Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si
NPT. 3 7006 94 0035 1
Mengetahui
DEKAN
Dra.Ec.Hj. Suparwati, M.si
NIP. 195507181983022001
AJENG ARIESTYANTI NPM. 0743010177
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 29 Juli 2011
PEMBIMBING UTAMA TIM PENGUJI 1. Ketua
Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 7006 94 0035 1
2. Sekertaris
Dra. Diana Amalia, Msi NIP. 196 309 071 991 032 001
3. Anggota
Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225 199309 2001
Mengetahui, DEKAN
v
JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...v
ABSTRAKSI ...viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Perumusan Masalah...11
1.3 Tujuan Penelitian...11
1.4 Manfaat Penelitian...12
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13
2.1.1 Film ...13
2.1.2 Representasi...15
2.1.3 Perempuan Sebagai Feminisme...19
2.1.4 Feminisme...22
2.1.5 Feminisme Liberal...31
2.1.6 Respon Psikologi Warna ...41
2.1.7 Film”Toy Story 3”...42
vi
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ... 58
3.2 Subjek Penelitian ... 59
3.3 Kerangka Konseptual...59
3.3.1 Corpus ...59
3.4 Definisi Operasional...61
3.4.1 Representasi ...61
3.4.2 Film ...61
3.4.3 Feminisme Liberal …...64
3.5 Unit Analisis...68
3.6 Teknik Pengumpulan Data...69
3.7 Teknis Analisis Data ...69
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data...71
4.1.1 Gambaran Umum Obyek...71
4.1.2 Tokoh Film Toy Story 3...73
4.3 Analisis Data ...83
4.3.1 Analisis Tampilan Visual dalam Scene Feminisme Film Toy Story 3 dengan Pendekatan Semiotik John Fiske ……….83
vii
5.1. Kesimpulan………132
5.2 Saran ………..133
DAFTAR PUSTAKA ... 134
viii
Ajeng Ariestyanti, REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY
STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film “Toy
Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation)
Pixar Animation telah membuat film animasi yang menggebrakkan dunia perfilman, yaitu “Toy Story 3”. Film ini mengantongi 3 piala Oscar di Academy Award 2011. Film yang ceritanya berkisar tentang petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang. Pada film ini terjadi transisi (peerubahan) dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Sehingga terdapat kisah lucu, sedih, perjuangan, haru, menyenangkan yang dicampur menjadi satu. Tetapi didalamnya terdapat penindasan perempuan yang dapat dilihat oleh siapapun terutama anak-anak. Secara semberono film ini membeda-bedakan perempuan dan laki-laki, bahkan karakter perempuan didalamnya terlihat ‘emosional’. Gerakan feminisme liberal itu sangat jelas diperlihatkan di dalam film ini, terutama adalah perlawanan kekerasan fisik maupun moral yang dilakukan Losto (penguasa) kepada mainan Andy. Hal ini diperkuat juga dengan tokoh Ny Potato Head, Berbie dan Jessie raut muka yang emosional. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Deklarasi Universal mengenai penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yakni Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain yang tidak manusiawi, Hak persamaan, Hak atas kehidupan, dsb.
Maka tanda-tanda feminisme liberal dalam scene-scene film itu akan direpresentasikan oleh peneliti dengan memakai teori semiotik Jhon Fiske, dengan memakai pemilahan scene-scene yang menunjukkan tanda-tanda adanya feminisme liberal. Dengan menggunakan kode-kode yang diwakili atas tiga level. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks. Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu: Level Realitas (reality) seperti Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah Laku, Cara Bicara, Gerak Tubuh, Ekspresi, Suara, dll, Level Representasi (representation) seperti Kamera, Cahaya, editing, Musik, dan Level Ideologi (ideology) seperti dialog.
ix
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002:5). Metode penelitian kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang berupa teks, gambar, symbol dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks social tertentu.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotic, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jhon Fiske, untuk menginterpretasikan atau memaknai feminisme liberal dalam tokoh Jessie, Ny Potato Head, Berbie dalam film “Toy Story 3”.
1
1.1. Latar Belakang Masalah
Film merupakan media komunikasi massa (mass communication), yaitu
komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian
kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat
perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film
adalah sebauh seni yang sering dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi
dagang bagi para pelaku bisnis. Hal ini tentu sangat beralasan, karena film
dikemas untuk dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar. Karakter film
sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal
ini disebabkan karena isi film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat dan selera publik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
film merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap
pembuatan film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar,
Irawanto dalam (Alex Sobur 2002 : 127).
Film sebagai dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas, yang
mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam
bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan
pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi
filmnya. Sehingga pengambilan tema dari suatu film merupakan hal terpenting
yang tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa dan diterima begitu saja.
Banyak hal yang terlibat di dalamnya, diantaranya sudut pandang bagi para
pemuat film, serta realita yang dilihat oleh para pemain film terhadap nilai-nilai
masyarakat yang ada. Dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha
menampilkan "Citra Bergerak" (Moving Image) namun juga telah diikuti oleh
muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi
manusia atau gaya hidup.
Realitas yang ditampilkan dalam film merupakan sebuah realitas yang
sebenarnya, atau juga berupa realitas imajinasi. Setiap film yang dibuat atau
diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika
dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya
memiliki efek yang sesuai dengan keterkaitan pesan yang diharapkan, jangan
sampai inti pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Film menunjukkan kita
tentang perkembangan sejarah kehidupan pada masa lampau, cara menghadapi
masa kini dan harapan manusia di masa yang akan datang. Fenomena
perkembangan film yang begitu pesat membuat film kini disadari sebagai
fenomena budaya yang progresif. Bukan saja oleh Negara yang memiliki
industri film besar, tetapi juga oleh Negara yang baru menata industri filmnya.
Apa yang telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay, dan Hongkong dengan
bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal (Mambor,
2000 : 1).
Academy Awards atau disebut juga Piala Oscar adalah penghargaan film
paling terutama di Amerika Serikat. Piala Oscar pertama diberikan pada 16 Mei
1928, pada saat itu Pemenang Piala Oscar terbanyak adalah Ben-Hur, Titanic
dan The Lord of the Rings: The Return of the King, masing-masing yang
memenangkan 11 piala. Academy Award for Best Animated Feature (Film
Animasi Terbaik) diberikan untuk pertama kali pada tahun perfilman 2001.
Pixar sukses membuat film animasi dari tahun 2001, semua telah mendapatkan
nominasi dan memenangkan penghargaan animasi terbaik. Pada saat itu film
animasi yang sukses adalah finding Nemo, The Incredibles, Ratatouille,
WALL-E, dan UP.(http://id.wikipedia.org/wiki/Film_Animasi_Terbaik_%28Oscar%29,
diakses 5 Maret 2011, 10.32 WIB)
Di Indonesia akhirnya berhasil membuat film animasi 3D yang pertama
ditayangkan di layar lebar. Film tersebut berjudul Meraih Mimpi yang
diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam.
Film Meraih Mimpi sebenernya merupakan adaptasi dari karya buku Minfung
Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut menceritakan kakak beradik yang
berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor penipu. Setelah film
selesai pada tahun 2008, film Sing to The Dawn mulai didistribusikan ke
recognizition. Namun akhirnya gagal bersaing dengan film Homeland.
(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1936024-meraih-mimpi/#ixzz1IWvLmcyi, diakses 4 April 2011, 12.30 WIB)
Pixar Animation, film produksi salah satu unit Wall Disney itu telah
membuat film animasi yang telah menggebrakkan dunia perfilman di Amerika
Serikat. Film lanjutan dari petulangan Toys Story 1 dan Toys Story 2, muncul
Toys Story 3. Seperti prediksi para pengamat perfilman barat, Toys Story 3
menjadi film yang sangat bersinar sepanjang musim panas ini di tangga film box
office Amerika Serikat. Film Toys Story 3 menjadi film terlaris di tahun 2010
dengan meraup total pendapatan hingga 414 juta dollar AS hanya untuk
peredaran di kawasan domestic saja (Amerika Serikat). Film racikan sutradara
Lee Unkrich dan Guido Quaroni ini berhasil mengikuti kesuksesan Shrek 2,
dengan perolehan pendapatan mencapai 405 juta dollar AS. Bulan lalu, prestasi
serupa juga di capai Shrek 2, setelah menjadi film kartun yang paling sukses di
dunia dan menjadi blockbuster terbesar sepanjang musim panas.
Film-film sekuel memang menjadi bisnis terbesar di box office Amerika
sepanjang beberapa bulan terakhir ini. Hal ini terbukti dengan ditempatinya
posisi kedua oleh Iron Man 2, yang berhasil menghasilkan 312 juta dollar AS
dan disusul The Twilight Saga's Eclipse dengan penghasilan sebesar 298 juta
dollar. Lima besar untuk film musim panas ini juga diduduki Inception (267
Film ketiga yang juga akhir dari seri film produksi Pixar ini
mendapatkan 3 piala Oscar di Academy Awards 2011 yaitu film terlaris pada
pemutaran perdananya, film Toys Story 3 juga menjadi film terbaik animasi dan
the best picture. Dengan prestasi tersebut, menempatkan film Toys Story
sebagai film animasi paling sukses dalam tangga film box office di Inggris. Film
animasi garapan sutradara Lee Unkrich, berhasil membukukan rekor di tangga
film box office Inggris.
(http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/27/1822420/.Toy.Story.3.Buku
kan.Rekor.di.Inggris, diakses 5 Maret 2011, 10.41 WIB)
Film Toys Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom
Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen), tidak ketinggalan boneka Barbie
yang ikonik berserta Ken, dan segerombolan mainan plastik lainnya di layar
lebar dalam Toys Story 3. Sutradara Lee Unkrich berserta tim Toys Story 3
meneruskan tradisi Pixar yang menyatukan fun dan cerita dengan sebuah tema.
Film ini menceritakan tentang perubahan, menghadapi sebuah transisi dalam
hidup, karakter-karakter dihadapkan dengan perubahan besar dan bagaimana
karakter tersebut menanganinya. Masalah yang muncul ketika beranjak dewasa
dan memiliki seorang lelaki yang pergi kuliah, namun begitu emosionil dan
membuat penontonnya menitikkan air mata.
berarti, misalnya memperkaya wawasan atau pengetahuan yang baik bagi
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Film pendidikan, film dokumenter,
film religi atau film-film yang mengandung nilai-nilai sosial yang positif bagi
masyarakat agar dapat terbentuk moral dan kualitas hidup yang baik. Namun
film dapat pula menimbulkan efek negatif bagi khalayak. Efek yang dapat
ditimbulkan dari film yang hanya sebatas menampilkan adegan-adegan
kekerasan, sadisme, seksualitas yang tidak terlalu difilter (saring) secara jeli,
diskriminasi dan sejenisnya sangat jelas berbahaya jika diserap oleh khalayak
(penonton) film yang kurang memahami makna tersirat yang terkandung dalam
film.
Seperti dilaporkan Daily Mail, feminis di sebuah majalah berpengaruh
menuduh film itu "secara sembrono membeda-bedakan perempuan dan
laki-laki" dan mungkin merusak anak-anak.
Majalah terbitan AS, "Ms" mengklaim rasio karakter satu wanita dari
tujuh laki-laki adalah 'tidak adil' dan perempuan digambarkan negatif di dalam
film, itu, mulai dari omelan ibu pemilik boneka tokoh sentral, Andy, hingga ke
karakter Barbie yang 'terlalu emosional'. Boneka plastik itu juga disebut
'pengkhianat' di dalam film tersebut karena meninggalkan kelompok demi hidup
keluarga ini dapat merusak gender dan norma seksual. "Kelakar tentang Ken,
dengan memadukan homofobia dan kebencian terhadap wanita, menyampaikan
pesan bahwa seburuk-buruknya anak laki-laki adalah jadi perempuan atau
homoseks”.
Menurut penulis Natalie Wilson, “Anak-anak yang tumbuh besar dengan
menonton tayangan yang membeda-bedakan perempuan dengan laki-laki akan
tumbuh besar dengan ide stereotipe tentang sosok laki-laki dan perempuan.”
Namun film box office ini, film sangat lucu dan cerdas. Suasana yang
menyenangkan dan segar yaitu campuran dialog jenaka khas serta visual yang
memanjakan mata.
Tapi Pixar belum menanggalkan skenario tentang kehebatan laki-laki.
Mereka juga masih menganggap "setiap orang adalah kulit putih dan kelas
menengah".
(http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/30/1116014/Feminis.Awas.Pes
an.Terselubung.di.Toy.Story.3, diakses 5 Maret 2011, 10.40 WIB)
Perfilman anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau
kartun. Jenis film ini sangat popular di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit
orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang
dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan
Seiring dengan pertumbuhan film animasi yang kian pesat, ternyata
tidak semua film animasi yang ditayangkan di layar lebar tersebut aman untuk
ditonton oleh anak-anak. Meteri-meteri yang disajikan dalam film kartun
sekarang ini sangat banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan
fisik, adegan perkelahian pembunuhan, adegan yang terkait dengan seks,
kekuatan gaib atau mistik, serta penggambaran nilai moral yang tidak eksplisit.
Meteri-materi tayangan seperti ini sesungguhnya tidak lagi bersahabat dengan
anak-anak, karena sudah menjurus anti sosial.
Film Toy Story 3 layak menjadi pusat perhatian karena karakter Berbie,
Mrs.Pottato dan Jessie membawa pesan feminisme didalam ceritanya. Film
yang dikemas menarik ini mendapat apresiasi yang begitu besar dari berbagai
kalangan, khususnya anak-anak. Feminisme adalah gerakan perempuan yang
menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 5 Maret 2011, 10.44 WIB)
Banyak yang beranggapan bahwa perempuan feminis adalah perempuan
yang berusaha menentang kodratnya sendiri. Banyak juga yang menganggap
feminisme sebagai sebuah turunan dari kapitalisme dan sekulerisme budaya
barat, yang tidak sesuai untuk budaya orang timur. Perempuan hanya
menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan
mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang
Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa wanita tidak pantas
menjadi presiden, atau tidak pantas menjadi pembalap. Perempuan
menginginkan akses yang sama pada segala hal, berdasarkan kapasitasnya
masing-masing. Pada hakikatnya, perempuan bukan ingin dipandang sama
dengan lelaki tetapi ingin dipandang sebuah individu yang setara dengan lelaki,
sebagai manusia. Bukan sama melainkan setara. Karena perempuan dan
laki-laki memang telah dilahirkan berbeda, baik secara anatomi, maupun emosi,
maka kesamaan adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam sebuah kondisi
dualitas. Tetapi kesetaraan merupakan hal yang absolute, yang akan terus
diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter.
(www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com, diakses 4 April 2011, 12.33
WIB). Penggambaran karakter pada tokoh Barbie yang mengancam Ken untuk
membebaskan teman-teman boneka mainan lainnya yang terjebak diruang kelas
yang penuh dengan anak-anak nakal. Adapun sosok koboi perempuan yakni
Jessie, mempunyai karakter pemberani. Mrs.Pottato yang tidak terima karena
dihina oleh boneka lain.
Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian
ini karena pada film ini menceritakan tentang petualangan yang digambarkan
bisa hidup jika tidak ada orang. Namun ada pesan feminisme didalam ceritanya.
Hal ini, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana pesan
film, fotografi, dan sebagainya (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm,
diakses 4 April 2011, 12.31 WIB). Film terdiri atas kode-kode yang beraneka
ragam, meliputi verbal dan non verbal (visual). Karena itu, peneliti
menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan semiotika. Disini peneliti
ingin mengekplorasi makna dari bentuk-bentuk visual yang tampak dalam film
tersebut.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
dan makna (Sobur,2003 : 15). Sebuah tanda menunjukan pada sesuatu selain
dirinya sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah
makna merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda. Dengan
pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara
tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan film
serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual)
dengan tingkat kreativitas pembuatan film.
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan film,
disosialisasikan kepada sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan
didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan.
Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah
secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai film “Toy Story 3”,
oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotika yang
dikemukakan oleh John Fiske. Dengan menggunakan metode ini
memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana
sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.
Penelitian ini mengambil judul REPRESENTASI FEMINISME
LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik tentang
Representasi Feminisme Liberal dalam Film “Toy Story 3” karya Wall Disney
dan Pixar Animation).
1.2. Perumusan Masalah
Menindaklanjuti dari latar belakang permasalahan di atas, maka yang
menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah representasi feminisme
Liberal yang digambarkan dalam film “Toy Story 3”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain untuk mengetahui dan
menjelaskan bagaimanakah feminisme Liberal direpresentasikan dalam film
1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan
sumbagan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi
analisis semiotik John Fiske.
2. Pemahaman ilmiah bahwa film sebagai komunikasi akan dipahami secara
berbeda sesuai konteks budaya masing – masing individu.
3. Memperkaya wawasan tentang perspektif feminisme dalam tema perfilman
khususnya animasi.
1.4.2. Manfaat secara Praktis
1. Memberikan pemahaman tentang representasi feminisme Liberal dalam
film ”Toy Story 3”.
2. Sebagai masukan dan evaluasi bagi tim produksi film “Toy Story 3”, guna
13
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Film
Film juga dianggap sebagai media massa karena ia merupakan alat
yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai
kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa,
beragam dan luas.
Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring
dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian
dari budaya massa yang populer, film adalah sebauh seni yang sering
dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi dagang bagi para pelaku bisnis.
Hal ini tentu sangat beralasan, karena film dikemas untuk dikonsumsi dalam
jumlah yang sangat besar. Karakter film sebagai media massa mampu
membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi
film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat dan selera public. Sehingga dapat disimpulkan bahwa film
merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap pembuatan
film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar, Irawanto
Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia
mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan
lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar
yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya, film lebih
mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami
unsur teknik, politik, ekonomi, social, dan demografi yang merintangi
kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan
permulaan abad 19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I
dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan
munculnya medium televisi ( Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003:26 ).
Pengertian film menurut Undang - undang nomor 33 tahun 2009
tentang permasalahan, pasal I. Film adalah karya seni budaya yang
merupakan pranata social dan media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukkan.
Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal
jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film
juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau
sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi
kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas ( McQuail 1994:14 ).
Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan.
Salah satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain
sebagai pelengkap atau pengulang ( repetisi ).
dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu)
dengan kamera, dan/atau oleh animasi
(http://ayonana.tumblr.com/post/390644418/definisi-film diakses 18 April
2011, 14:28 WIB). Sejalan dengan perkembangan teknologi media, kini para
pembuat film telah berhasil membuat film animasi. Animasi berasal dari
animate yang berarti menghidupkan, memberikan jiwa dan menggerakan
benda yang mati. Jadi yang dimaksud film animasi adalah film yang berupa
gambar yang seolah-olah hidup dan bergerak
(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2074272-apa-beda-animasi-dan-kartun/ diakses 18 April 2011, 14:30 WIB).
2.1.2. Representasi
Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi adalah
sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan
dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004
: 28).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep
yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada
disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan
yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi
konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam
melakukan semua ini karena ia beoperasi sebagai system representasi. Lewat
bahasa (Simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita
mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna
sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan
mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan
dalam merepresentasi-kan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita
berikan pada sesuatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi
makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang
dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan : darimana suatu makna
berasal? Bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari
sesuatu atau imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di
sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang
sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan
intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan
sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang
ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya
bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai
(http://www.fathurin-zen.com, diakses 19 April 2011, 15:10 WIB).
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,
representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk
sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus
konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol
tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
system ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi anatara ‘peta konseptual’ dengan bahasa
atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang
sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’
adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa
(http://www.fathurin-zen.com, diakses 18 April 2011, pukul 14.35 WIB).
Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat
sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang,
Yasraf Amir, 2006 : 24).
Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi,
prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televise. Representasi
diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu
(Barker, Chris, 2004 : 9).
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari
pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan
konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret.
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan
melalui system penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,
fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi
makna melalui bahasa (http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya
(circuit of culture). Melalui representasi, maka makna ( meaning ) dapat
berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui
tanda – tanda ( signs ). Tanda – tanda ( signs ) tersebut sepert bunyi, kata –
kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari
dunia material kita ( Hall, 1997 ).
Tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna –
makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin
disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat
merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap
tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks social tertentu
(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view
&item.id=43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).
Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu obyek yang
ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian
tanda – tanda. Tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi
unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera
hingga music. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari
maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.
Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan
kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam
unsur yang akrab, seperti pemotongan ( cut ), pengambilan gambar jarak
dekat ( close up ), pengambilan gambar dari dua arah ( two shot ), dan lain –
lebih halus, yang tercakup dalam komplektivitas dari penggambaran visual
yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah
– ubah) ( Sardar, 2001:156 dalam sobur 2003:130 ).
.
2.1.3. Perempuan sebagai feminis
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA
Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan / The Englightenment, di Barat
oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condoret yang berjuang
untuk pendidikan perempuan.
Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan
menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama
(first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang
kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.
Istilah feminis kemudian berkembang secara negative ketika media lebih
menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan
secara vulgar (misalnya: membakar bra).
Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau
diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau
melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut,
pada dasarnya dapat disebut feminis (www.id.shvoong.com/humanities/
diakses 19 April 2011, 16:30 WIB)
Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah
Dengan kata lain, perempuan berperilaku feminin, patuh, tidak agresif dan
apa yang pantas menurut gender. Pola pengasuhan terhadap perempuan juga
masih didominasi dan penekanan pada peran dan pembagian kerja
berdasarkan gender. Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan tindakan
berbeda dengan apa yang diharapkan masyarakat, mereka dicap sebagai aneh,
abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan
yang biasa merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda
halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap simbol maskulinitas
( Romany Sihite, 2007:6 ).
Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya
yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan
pekerjaan yang dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti
mendidik anak, seperti ditulis oleh Sara Ahmed, “pengetahuan feminis adalah
persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang
located dan situated sedemikian sehingga cara saya menjadi feminis,
termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar
saya juga mengalami perubahan. (Aquarini, 2006:14)
Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini,
diyakini akibat hegemoni budaya patriaki dan struktur masyarakat yang
berkiblat pada sistem Patriakhi yang mendominasi semua lini kehidupan.
Secara kebahasaan, patriakhi berarti rule of the father, atau aturan dari Sang
Bapak. Dalam sistem patriakhi, laki-laki yang berusia lebih tua (atau “Sang
Bapak”) mengendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Dari
dengan persoalan politik. Maka berbagai upaya mencari (baca melawan)
sparing partner hegemoni budaya patriakhi inilah kira-kira yang diagungkan
oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum
perempuan selama ini adalah sebagai masyarakat kelas dua atau menduduki
posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana
‘kesetaraan gender’ dalam mensejahterakan kaum perempuan. Bahwa
munculnya budaya patriakhi dianggap menyengsarakan kehidupan kaum
perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan
sekarang ini akibat masih terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah
publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental
bawahan. Munculnya budaya patriakhi yang diklaim oleh feminis sebagai
akar keterkurungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya,
penderitaan yang diikut sertakan akibat dominasi ini tidak serta merta ada
begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan
(www.qiyanfikir.worspress.com/ diakses 19 April 2011, 16:20 WIB).
Feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan
seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk
menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh
garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut. ( Holidin, 2001:8 )
Deklarasi universal mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Pasal 3 secara tegas menyebutkan delapan butir hak perempuan
yang mesti diakui dan diimplementasikan yakni:
1. Hak atas kehidupan;
3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
4. Hak atas perlidungan yang sama di muka umum;
5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi;
6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang
sebaik-baiknya;
7. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik;
8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan
atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.
( Romany Sihite, 2007:49-50 )
Menurut Rieke diah Pitaloka seorang aktivis perempuan, dalam
budaya patriakhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi pada suami, kepala
rumah tangga, yang berhak menentukan aturan apa pun menyangkut
orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri.
Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem
tersebut dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyaratkan enyahnya
cara pandang patriakhi dari ruang privat sekaligus publik.
(www.kompas.com/ diakses 19 April 2011, 16:31 WIB)
2.1.4. Feminisme
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas
masalah kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara
konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
memiliki jakala (kala menjing) dan memiliki sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui.
Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalkan
bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari
sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga
ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
( Fakih, 1997:7-8 ).
Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Gender diartikannya
sebagai,”interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.
Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994 : 4-6),
Gender didefinisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada
perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil
perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun
dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia public bersifat
maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah
tangga bersifat feminine adalah milik perempuan ( Sumiarni, 2004:1-3 ).
Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi
bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha
untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut ( Fakih, 2001:99 ).
Sedang feminism menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, dalam keluarga maupun di tempat kerja, serta tindakan sadar
oleh perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut
definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism (diskriminasi atas dasar
jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu
tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis (
http://swaramuslim.co.id/feminis.html, diakses 19 Maret 2011, 16:24 WIB )
Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang
dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan
itu memunculkan apa yang disebut emansipasi atau feminisme. Dimana
emansipasi sendiri memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan
kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang
memperjuangkan keadilan bagi perempuan.
Karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan
gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat berubah. Apa yang dianggap
itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka ( Aquarini,
2006:22 ). Feminisme telah dibedakan dengan Feminin dalam pengertiannya,
Feminin berasal dari bahasa Perancis “Feminine” yang merupakan sebuah
kata sifat (adjektif) yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat
perempuan (http://.id.wikipedia.org/wiki/feminin, diakses 20 April 2011,
20:10 WIB). Sedangkan Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina
yang berarti memiliki sifat keperempuanan ( Hubies, 1997:19 dalam
Sumiarni, 2004:57 ).
Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi
perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya
untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan
menemukan formula kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala
bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi
upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan
perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminisme. Sebagai
suatu gerakan titik tolak feminisme mengacu pada definisi operasional dan
bukan dari definisi ideologis. Dengan demikian feminisme hendaknya dilihat
sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme
keyakinan.
Jadi makna feminis di sini adalah mencari peluang
kebebasan/kemerdekaan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian,
gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya
dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin
Soenyono, feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan
seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk
menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh
garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut ( Holidin dan
Soenyono, 2004:8 )
Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan
mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan
kemitraan universal dengan sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar
perbedaan jenis kelamin.
3. Menghapus semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan
tertentu atas dasar jenis kelamin.
4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh
tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan
tentang manusia dan kemanusiaan ( Hubies, 1997:20-21 ).
Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di
berbagai belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminism, diantaranya
feminism liberal, feminism radikal, feminism sosialis, feminism marxis,
feminism post modern, feminism psikoanalitik, dan feminism eksistansialis.
Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan
feminism, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham
1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan
yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian
menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan
keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan
perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka
bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa
mereka bukan golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di
sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan
menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat
Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita
tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi
pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias
gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan,
dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk
menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi,
maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang
berprespektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan
dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Freidrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuuh
karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian preprety. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan
mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat-bojuis dan proletar.
Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan
penindasan terhadap perempuan dihapus.
3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan
melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan
perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminisme radikal
mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian
Pada sisi lain, Shulamith Feristone dengan bukunya The Dialectic
of Sex (1972), membahas kelemahan perempuan dalam perspektif
struktur biologisnya. Perempuan sepanjang sejarah, mendapatkan haid,
menopause, dan macam-macam ‘penyakit perempuan’ lainnya, seperti
waktu melahirkan, semua itu membuat perempuan menjadi mempunyai
ketergantungan kepada laki-laki. Perbedaan fungsi reproduksi alamiah
ini, mengakibatkan timbulnya pembagian kerja secara seksual. ( Kasiyan,
2008:88 ).
4. Feminisme sosialis, pandangannya berusaha menggabungkan teori
feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi
umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang
perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis
sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih
berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status ( Fakih,
2001:93-95 ).
5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah
text / intertextual baik yang berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga
yang menjadi perhatian dari aliran feminisme postmodern adalah
penolakan cara berpikir laki yang diproduksi melalui bahasa
laki-laki dan cara berpikir feminisme yang fanatik / tradisional. Dalam teori
ini dikatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus
diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur
6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan
super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena
mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri
terhadap emosi mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka
terhadap keadilan, kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan
selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian.
Perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap.
7. Feminisme Eksistansialis, perempuan selalu menjadi objek dari laki-laki
dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Beauvoir
mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah
makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan
dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan
mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir
juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang
merenggut kebebasan perempuan (
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme, diakses 19
Maret 2011, 16:20 WIB ).
Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun
60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Muncul di Amerika sendiri
sebagai bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa,
Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan
menggoncang Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang
yang menyangkut nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB
mengumumkan International Decade of Women, terjadi beberapa peristiwa
penting bagi kaum perempuan. Kini, hampir setiap Negara memiliki
perundang-undangan anti diskriminasi, yang menguntungkan kaum
perempuan ( Fakih, 1997:106-107 ).
Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of all forms of
Discrimination Against Woman atau CEDAW, 1979 ) dan Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut mengutuk diskriminasi terhadap perempuan
dari segala bentuk ( Pasal 2 ). Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap
perempuan ( declaration on the elimination of violence against of women ).
Menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap
tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara fisik, psikologi, atau seksual. Termasuk
juga ancaman tindakan tertentu, seperti pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum/dalam kehidupan pribadi ( Romany Sihite, 2007:133 ).
2.1.5. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh
Mary Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women
(1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of
kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The
Second Stage.
Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal
yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai
hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia
berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan
rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat
keputusan yang otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri).
Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu
diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak
merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang
adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya
dalam memenuhi kebutuhannya.
Meskipun Wollstonecraft tidak mempergunakan istilah seperti “peran
gender yang dikonstruksi secara sosial”, ia menyangkal bahwa perempuan,
secara ilmiah, lebih cenderung untuk bersifat sebagai pemburu dan pemberi
kenikmatan daripada laki-laki. Wolls berargumentasi bahwa jika laki-laki
disimpan di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki
pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Karena
diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan kekuatan nalarnya, untuk
menjadi manusia bermoral dengan perhatian, motif, dan berkomitmen yang
lebih sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki, seperti juga perempuan, akan
Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil),
Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis
Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai
keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Oleh sebab itu negara
harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata.
Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan,
kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi
Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan
kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap
individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengakumulasi
keuntungannya.
Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan
sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan.
Akan tetapi dalam hal intervensi negara untuk menjamin hak individu, kaum
liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik
dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur. Tujuan
umum feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil
dan peduli tempat kebebasan berkembang”, maka perempuan dan juga
laki-laki dapat mengembangkan diri.
Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk
perempuan Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right
of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami
kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan
rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk
mengembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan
kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal
perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria.
Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques
Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan
laki-laki lebih menekankan rasionalitas & mempelajari ilmu alamiah, ilmu
sosial dan humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai
kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan
pada emosional, mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi
istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar
yang ditawarkan Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan
mendidik laki-laki dengan mengajarkan juga rasionalitas sehingga perempuan
mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki.
Wollstonecraft, bagi perempuan adalah personhood- manusia secara
utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki”
yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali
ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat”, atau
instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya
perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen nalar, yang harga dirinya ada
Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi
perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill
bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas
untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan
agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan
pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan
dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliput hak untuk
berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak
milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya. Tailor mengklaim cara yang biasa
untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan),
adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka
inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam
proses pencapaian tersebut.
Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya
menekakan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih
menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan
kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki,
menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari
perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang
ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena
perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang
Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis
oleh Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya
oleh Wollestone, J S Mills dan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut
Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa
hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk
berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan
keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi
dalam ekonomi keluarga dan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga
dengan tetap masih mencintai suami dan anak.
Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan
seiring. Baru dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The
Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit, karena
dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia
memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan
sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan
masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan
laki-laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan,
struktur institusi dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu
ekonomi, rumah, dan anak-anak secara bersama-sama.
Dalam beberapa hal, perbedaan antara Friedan dalam The Feminine
Mystique, Friedan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang
feminis yang percaya bahwa perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki
bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat
menghargai yang “feminin” dan “maskulin” ( Tong, 1998:16-44 )
Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari
peranan gender dan opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat
yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada
sifat feminine seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb.
Penentangan stereotype tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang
mempunyai dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun di
rumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan,
persamaan hak dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin
tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan
dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan
kekerasan.
Feminisme Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan
perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak,
penindasan diskiriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih
menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean
Bethke Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa
semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki
mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya
untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak
boleh mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempunyai cara berfikir
mengadopsi dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita
tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.
Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok
kecil. Kerena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan
kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa
(komunal), untuk itu penting sekali adanya commite organizer yang bisa
mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human
Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain
Jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi
nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak
boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan
perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar
juga mengkritik feminis Liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal
menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak
bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyalesaikan seluruh persoalan
perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.
Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik
ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal
perempuan tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas
menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada
perbedaan suku / budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan
perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun
berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah.
(http://www.asppuk.or.id)
Namun Mill dalam Sumiarni mengartikulasi teori feminis liberal awal
tidak dapat mengakomodir isteri dan ibu. Dalam bukunya The Subjection of
Women, Mill mengkritik bahwa pekerjaan perempuan di sektor domestic
sebagai pekerjaan irasioanal, emosional dan tiranis. Mill menyuruh wanita
untuk menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan
pekerjaan domestik agar kebahagiaan tertinggi menusia dapat tercapai. Hal
yang sama dikemukakan oleh Sarah Grimke (1970 : 85) bahwa wanita
menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran
(suami): “Man has exercised the most unlimited and brutal power over
women, in the peculiar character of husband, a woed in most countries
synonymous with tyrant”. (Pria telah melakukan kekerasan tidak terbatas dan
brutal terhadap wanita, dengan karakter unik dari suami, sebuah kata yang
identik dengan tiran di hampir seluruh dunia) ( Sumiarni, 2004:64-65 ).
Sementara itu menurut Taylor dalam tulisanya, “Bahkan jika setiap
perempuan, seperti yang terjadi saat itu, dapat bergantung kepada laki-laki
untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai jika sebagian dari
penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan
hanya sedikit bertambah oleh penghasil perempuan itu, daripada perempuan
diharuskan untuk meminggirkan diri agar laki-laki dapat menjadi penopang
hidup satu-satunya, dan menjadi satu-satunya yang berhak untuk
dan bukannya budak dari suaminya, istri harus mempunyai penghasilan dari
pekerjaannya di luar rumah. ( Tong, 1998:25 )
Pada feminisme liberal konsep yang digunakan peneliti antara lain seperti:
1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan
kesempatan,dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.
3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara
sosial.
4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau
tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang
dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan
perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki
dan perempuan.
6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu
peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk
memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat
2.1.6. Respon Psikologi Warna
Warna merupakan symbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna
juga dianggap sebagai satu fenomena psikologi. Respon psikologi dari
masing-masing warna (Deddy Mulyana, 2005:377) :
1. Merah : Power, Energi, Kehangatan, Cinta, Nafsu, Agresif, Bahaya.
Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’
dibudaya oriental.
2. Biru : Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Teknologi, Kebersihan,
Keteraturan.
3. Hijau : Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan.
4. Kuning : Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidakjujuran, Pengecut (untuk
budaya barat), Pengkhianat.
5. Ungu atau Jingga : Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi,
Kekasaran, Keangkuhan.
6. Orange : Energi, Keseimbangan, Kehangatan.
7. Coklat : Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.
8. Abu-abu : Intelek, Masa depan (kaya warna millennium), Kesederhanaan,
Kesedihan.
9. Putih : Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidakbersalahan, Kematian.
10.Hitam : Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan,
2.1.7. Film “Toy Story 3”
Toy Story adalah sebuah sebuah film animasi menggunakan gambar
yang dibuat oleh komputer (Computer-generated imagery/CGI). Film yang
dibuat oleh Pixar ini dirilis oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista
Distribution di Amerika Serikat pada 21 November 1995 serta di Britania
Raya pada 22 Maret 1996.
Toy Story adalah film panjang dengan gambar buatan komputer
pertama yang dirilis Disney, bahkan dikatakan sebagai yang paling pertama.
Film ini juga merupakan film Pixar pertama yang dirilis ke bioskop, meraup
pendapatan terbanyak di seluruh dunia. Ceritanya berkisar tentang
petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang.
Sekuel film ini, Toy Story 2, dan Toy Story 3, dirilis pada 1999 dan
2010. Video Buzz Lightyear of Star Command: The Adventure Begins dan
serial televisi Buzz Lightyear of Star Command yang dirilis pada 2000
menceritakan petualangan Buzz Lightyear, salah satu mainan dalam Toy
Story. (Wikipedia, Toy Story)
Toy Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom
Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen) dan segerombolan mainan lainnya
di layar lebar dalam Toy Story 3. Pada film ini terjadi transisi (perubahan)
dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Andy
bersiap-siap pergi dari rumah untuk kuliah, dan meletakkan mainan di atas
dipikirnya adalah sampah. Sangat kecewa segerombolan mainan milik Andy
yaitu Buzz, Jessie (koboi perempuan), Bullseye (kuda), Tn and Ny Potato
Head, Rex (dinasaurus), Slingky (anjing), Hamm (celengan babi), dan 3
sahabat kecil yang berasal dari dunia asing (pizza planet). Mereka akhirnya
masuk kedalam kardus yang akan disumbangkan oleh Ibu Andy ke penitipan
anak, tidak hanya mainan Andy saja yang ada didalamnya. Molly, adik
perempuan Andy juga menyumbangkan boneka kesayangannya yaitu Barbie.
Sunny Side adalah penitipan anak, namun tempat penitipan anak
menjadi neraka bagi Buzz dan teman-teman lainnya. Bertemunya Losto
Hugging Bear, Ken, Big Baby di Sunny Side, membuat segerombolan mainan
Andy terjebak di ruang ulat bulu tempat bermainnya para balita liar dan
tangan-tangan kecil mereka memainkan mainan dengan kasar. Buzz dan
teman-teman lainnya tidak percaya perkataan Woody, yang sebenarnya Andy
tidak membuang mainan-mainannya namun akan diletakkan di atas loteng.
Perjuangan untuk membebaskan diri telah direncanakan oleh segerombolan
mainan Andy.
Perjuangan terlihat pada saat Barbie mengancam Ken untuk
memberitahu bagaimana cara mengembalikan Buzz, kemudian Jessie sosok
koboi perempuan terlihat berani pada saat menentang Losto untuk kembali ke
ruang ulat bulu. Kekompakan dan kerja sama mereka akhirnya berhasil keluar
dari tempat penitipan anak. Sikap pemberani Barbie, Ny Potato Head, dan
Jessie mencerminkan gerakan feminisme. Dimana perempuan sudah saatnya