• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film ”Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film ”Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation)."

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

 

   

 

     

 

 

 

Oleh :

AJENG ARIESTYANTI

NPM. 0743010177

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

(2)

Disusun Oleh :

AJENG ARIESTYANTI

NPM. 0743010177

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

PEMBIMBING

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si

NPT. 3 7006 94 0035 1

Mengetahui

DEKAN

Dra.Ec.Hj. Suparwati, M.si

NIP. 195507181983022001

(3)

AJENG ARIESTYANTI NPM. 0743010177

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 29 Juli 2011

PEMBIMBING UTAMA TIM PENGUJI 1. Ketua

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 7006 94 0035 1

2. Sekertaris

Dra. Diana Amalia, Msi NIP. 196 309 071 991 032 001

3. Anggota

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225 199309 2001

Mengetahui, DEKAN

(4)

 

JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAKSI ...viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah...11

1.3 Tujuan Penelitian...11

1.4 Manfaat Penelitian...12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13

2.1.1 Film ...13

2.1.2 Representasi...15

2.1.3 Perempuan Sebagai Feminisme...19

2.1.4 Feminisme...22

2.1.5 Feminisme Liberal...31

2.1.6 Respon Psikologi Warna ...41

2.1.7 Film”Toy Story 3”...42

(5)

vi 

 

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ... 58

3.2 Subjek Penelitian ... 59

3.3 Kerangka Konseptual...59

3.3.1 Corpus ...59

3.4 Definisi Operasional...61

3.4.1 Representasi ...61

3.4.2 Film ...61

3.4.3 Feminisme Liberal …...64

3.5 Unit Analisis...68

3.6 Teknik Pengumpulan Data...69

3.7 Teknis Analisis Data ...69

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data...71

4.1.1 Gambaran Umum Obyek...71

4.1.2 Tokoh Film Toy Story 3...73

4.3 Analisis Data ...83

4.3.1 Analisis Tampilan Visual dalam Scene Feminisme Film Toy Story 3 dengan Pendekatan Semiotik John Fiske ……….83

(6)

vii 

 

5.1. Kesimpulan………132

5.2 Saran ………..133

DAFTAR PUSTAKA ... 134

(7)

viii

Ajeng Ariestyanti, REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY

STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film “Toy

Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation)

Pixar Animation telah membuat film animasi yang menggebrakkan dunia perfilman, yaitu “Toy Story 3”. Film ini mengantongi 3 piala Oscar di Academy Award 2011. Film yang ceritanya berkisar tentang petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang. Pada film ini terjadi transisi (peerubahan) dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Sehingga terdapat kisah lucu, sedih, perjuangan, haru, menyenangkan yang dicampur menjadi satu. Tetapi didalamnya terdapat penindasan perempuan yang dapat dilihat oleh siapapun terutama anak-anak. Secara semberono film ini membeda-bedakan perempuan dan laki-laki, bahkan karakter perempuan didalamnya terlihat ‘emosional’. Gerakan feminisme liberal itu sangat jelas diperlihatkan di dalam film ini, terutama adalah perlawanan kekerasan fisik maupun moral yang dilakukan Losto (penguasa) kepada mainan Andy. Hal ini diperkuat juga dengan tokoh Ny Potato Head, Berbie dan Jessie raut muka yang emosional. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Deklarasi Universal mengenai penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yakni Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain yang tidak manusiawi, Hak persamaan, Hak atas kehidupan, dsb.

Maka tanda-tanda feminisme liberal dalam scene-scene film itu akan direpresentasikan oleh peneliti dengan memakai teori semiotik Jhon Fiske, dengan memakai pemilahan scene-scene yang menunjukkan tanda-tanda adanya feminisme liberal. Dengan menggunakan kode-kode yang diwakili atas tiga level. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks. Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu: Level Realitas (reality) seperti Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah Laku, Cara Bicara, Gerak Tubuh, Ekspresi, Suara, dll, Level Representasi (representation) seperti Kamera, Cahaya, editing, Musik, dan Level Ideologi (ideology) seperti dialog.

(8)

ix

menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002:5). Metode penelitian kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang berupa teks, gambar, symbol dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks social tertentu.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotic, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jhon Fiske, untuk menginterpretasikan atau memaknai feminisme liberal dalam tokoh Jessie, Ny Potato Head, Berbie dalam film “Toy Story 3”.

(9)

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Film merupakan media komunikasi massa (mass communication), yaitu

komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian

kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat

perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film

adalah sebauh seni yang sering dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi

dagang bagi para pelaku bisnis. Hal ini tentu sangat beralasan, karena film

dikemas untuk dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar. Karakter film

sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal

ini disebabkan karena isi film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai

yang hidup di masyarakat dan selera publik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

film merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap

pembuatan film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar,

Irawanto dalam (Alex Sobur 2002 : 127).

Film sebagai dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas, yang

mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam

bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan

pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi

(10)

filmnya. Sehingga pengambilan tema dari suatu film merupakan hal terpenting

yang tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa dan diterima begitu saja.

Banyak hal yang terlibat di dalamnya, diantaranya sudut pandang bagi para

pemuat film, serta realita yang dilihat oleh para pemain film terhadap nilai-nilai

masyarakat yang ada. Dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha

menampilkan "Citra Bergerak" (Moving Image) namun juga telah diikuti oleh

muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi

manusia atau gaya hidup.

Realitas yang ditampilkan dalam film merupakan sebuah realitas yang

sebenarnya, atau juga berupa realitas imajinasi. Setiap film yang dibuat atau

diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika

dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya

memiliki efek yang sesuai dengan keterkaitan pesan yang diharapkan, jangan

sampai inti pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Film menunjukkan kita

tentang perkembangan sejarah kehidupan pada masa lampau, cara menghadapi

masa kini dan harapan manusia di masa yang akan datang. Fenomena

perkembangan film yang begitu pesat membuat film kini disadari sebagai

fenomena budaya yang progresif. Bukan saja oleh Negara yang memiliki

industri film besar, tetapi juga oleh Negara yang baru menata industri filmnya.

Apa yang telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay, dan Hongkong dengan

(11)

bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal (Mambor,

2000 : 1).

Academy Awards atau disebut juga Piala Oscar adalah penghargaan film

paling terutama di Amerika Serikat. Piala Oscar pertama diberikan pada 16 Mei

1928, pada saat itu Pemenang Piala Oscar terbanyak adalah Ben-Hur, Titanic

dan The Lord of the Rings: The Return of the King, masing-masing yang

memenangkan 11 piala. Academy Award for Best Animated Feature (Film

Animasi Terbaik) diberikan untuk pertama kali pada tahun perfilman 2001.

Pixar sukses membuat film animasi dari tahun 2001, semua telah mendapatkan

nominasi dan memenangkan penghargaan animasi terbaik. Pada saat itu film

animasi yang sukses adalah finding Nemo, The Incredibles, Ratatouille,

WALL-E, dan UP.(http://id.wikipedia.org/wiki/Film_Animasi_Terbaik_%28Oscar%29,

diakses 5 Maret 2011, 10.32 WIB)

Di Indonesia akhirnya berhasil membuat film animasi 3D yang pertama

ditayangkan di layar lebar. Film tersebut berjudul Meraih Mimpi yang

diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam.

Film Meraih Mimpi sebenernya merupakan adaptasi dari karya buku Minfung

Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut menceritakan kakak beradik yang

berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor penipu. Setelah film

selesai pada tahun 2008, film Sing to The Dawn mulai didistribusikan ke

(12)

recognizition. Namun akhirnya gagal bersaing dengan film Homeland.

(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1936024-meraih-mimpi/#ixzz1IWvLmcyi, diakses 4 April 2011, 12.30 WIB)

Pixar Animation, film produksi salah satu unit Wall Disney itu telah

membuat film animasi yang telah menggebrakkan dunia perfilman di Amerika

Serikat. Film lanjutan dari petulangan Toys Story 1 dan Toys Story 2, muncul

Toys Story 3. Seperti prediksi para pengamat perfilman barat, Toys Story 3

menjadi film yang sangat bersinar sepanjang musim panas ini di tangga film box

office Amerika Serikat. Film Toys Story 3 menjadi film terlaris di tahun 2010

dengan meraup total pendapatan hingga 414 juta dollar AS hanya untuk

peredaran di kawasan domestic saja (Amerika Serikat). Film racikan sutradara

Lee Unkrich dan Guido Quaroni ini berhasil mengikuti kesuksesan Shrek 2,

dengan perolehan pendapatan mencapai 405 juta dollar AS. Bulan lalu, prestasi

serupa juga di capai Shrek 2, setelah menjadi film kartun yang paling sukses di

dunia dan menjadi blockbuster terbesar sepanjang musim panas.

Film-film sekuel memang menjadi bisnis terbesar di box office Amerika

sepanjang beberapa bulan terakhir ini. Hal ini terbukti dengan ditempatinya

posisi kedua oleh Iron Man 2, yang berhasil menghasilkan 312 juta dollar AS

dan disusul The Twilight Saga's Eclipse dengan penghasilan sebesar 298 juta

dollar. Lima besar untuk film musim panas ini juga diduduki Inception (267

(13)

Film ketiga yang juga akhir dari seri film produksi Pixar ini

mendapatkan 3 piala Oscar di Academy Awards 2011 yaitu film terlaris pada

pemutaran perdananya, film Toys Story 3 juga menjadi film terbaik animasi dan

the best picture. Dengan prestasi tersebut, menempatkan film Toys Story

sebagai film animasi paling sukses dalam tangga film box office di Inggris. Film

animasi garapan sutradara Lee Unkrich, berhasil membukukan rekor di tangga

film box office Inggris.

(http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/27/1822420/.Toy.Story.3.Buku

kan.Rekor.di.Inggris, diakses 5 Maret 2011, 10.41 WIB)

Film Toys Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom

Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen), tidak ketinggalan boneka Barbie

yang ikonik berserta Ken, dan segerombolan mainan plastik lainnya di layar

lebar dalam Toys Story 3. Sutradara Lee Unkrich berserta tim Toys Story 3

meneruskan tradisi Pixar yang menyatukan fun dan cerita dengan sebuah tema.

Film ini menceritakan tentang perubahan, menghadapi sebuah transisi dalam

hidup, karakter-karakter dihadapkan dengan perubahan besar dan bagaimana

karakter tersebut menanganinya. Masalah yang muncul ketika beranjak dewasa

dan memiliki seorang lelaki yang pergi kuliah, namun begitu emosionil dan

membuat penontonnya menitikkan air mata.

(14)

berarti, misalnya memperkaya wawasan atau pengetahuan yang baik bagi

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Film pendidikan, film dokumenter,

film religi atau film-film yang mengandung nilai-nilai sosial yang positif bagi

masyarakat agar dapat terbentuk moral dan kualitas hidup yang baik. Namun

film dapat pula menimbulkan efek negatif bagi khalayak. Efek yang dapat

ditimbulkan dari film yang hanya sebatas menampilkan adegan-adegan

kekerasan, sadisme, seksualitas yang tidak terlalu difilter (saring) secara jeli,

diskriminasi dan sejenisnya sangat jelas berbahaya jika diserap oleh khalayak

(penonton) film yang kurang memahami makna tersirat yang terkandung dalam

film.

Seperti dilaporkan Daily Mail, feminis di sebuah majalah berpengaruh

menuduh film itu "secara sembrono membeda-bedakan perempuan dan

laki-laki" dan mungkin merusak anak-anak.

Majalah terbitan AS, "Ms" mengklaim rasio karakter satu wanita dari

tujuh laki-laki adalah 'tidak adil' dan perempuan digambarkan negatif di dalam

film, itu, mulai dari omelan ibu pemilik boneka tokoh sentral, Andy, hingga ke

karakter Barbie yang 'terlalu emosional'. Boneka plastik itu juga disebut

'pengkhianat' di dalam film tersebut karena meninggalkan kelompok demi hidup

(15)

keluarga ini dapat merusak gender dan norma seksual. "Kelakar tentang Ken,

dengan memadukan homofobia dan kebencian terhadap wanita, menyampaikan

pesan bahwa seburuk-buruknya anak laki-laki adalah jadi perempuan atau

homoseks”.

Menurut penulis Natalie Wilson, “Anak-anak yang tumbuh besar dengan

menonton tayangan yang membeda-bedakan perempuan dengan laki-laki akan

tumbuh besar dengan ide stereotipe tentang sosok laki-laki dan perempuan.”

Namun film box office ini, film sangat lucu dan cerdas. Suasana yang

menyenangkan dan segar yaitu campuran dialog jenaka khas serta visual yang

memanjakan mata.

Tapi Pixar belum menanggalkan skenario tentang kehebatan laki-laki.

Mereka juga masih menganggap "setiap orang adalah kulit putih dan kelas

menengah".

(http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/30/1116014/Feminis.Awas.Pes

an.Terselubung.di.Toy.Story.3, diakses 5 Maret 2011, 10.40 WIB)

Perfilman anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau

kartun. Jenis film ini sangat popular di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit

orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang

dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan

(16)

Seiring dengan pertumbuhan film animasi yang kian pesat, ternyata

tidak semua film animasi yang ditayangkan di layar lebar tersebut aman untuk

ditonton oleh anak-anak. Meteri-meteri yang disajikan dalam film kartun

sekarang ini sangat banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan

fisik, adegan perkelahian pembunuhan, adegan yang terkait dengan seks,

kekuatan gaib atau mistik, serta penggambaran nilai moral yang tidak eksplisit.

Meteri-materi tayangan seperti ini sesungguhnya tidak lagi bersahabat dengan

anak-anak, karena sudah menjurus anti sosial.

Film Toy Story 3 layak menjadi pusat perhatian karena karakter Berbie,

Mrs.Pottato dan Jessie membawa pesan feminisme didalam ceritanya. Film

yang dikemas menarik ini mendapat apresiasi yang begitu besar dari berbagai

kalangan, khususnya anak-anak. Feminisme adalah gerakan perempuan yang

menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 5 Maret 2011, 10.44 WIB)

Banyak yang beranggapan bahwa perempuan feminis adalah perempuan

yang berusaha menentang kodratnya sendiri. Banyak juga yang menganggap

feminisme sebagai sebuah turunan dari kapitalisme dan sekulerisme budaya

barat, yang tidak sesuai untuk budaya orang timur. Perempuan hanya

menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan

mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang

(17)

Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa wanita tidak pantas

menjadi presiden, atau tidak pantas menjadi pembalap. Perempuan

menginginkan akses yang sama pada segala hal, berdasarkan kapasitasnya

masing-masing. Pada hakikatnya, perempuan bukan ingin dipandang sama

dengan lelaki tetapi ingin dipandang sebuah individu yang setara dengan lelaki,

sebagai manusia. Bukan sama melainkan setara. Karena perempuan dan

laki-laki memang telah dilahirkan berbeda, baik secara anatomi, maupun emosi,

maka kesamaan adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam sebuah kondisi

dualitas. Tetapi kesetaraan merupakan hal yang absolute, yang akan terus

diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter.

(www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com, diakses 4 April 2011, 12.33

WIB). Penggambaran karakter pada tokoh Barbie yang mengancam Ken untuk

membebaskan teman-teman boneka mainan lainnya yang terjebak diruang kelas

yang penuh dengan anak-anak nakal. Adapun sosok koboi perempuan yakni

Jessie, mempunyai karakter pemberani. Mrs.Pottato yang tidak terima karena

dihina oleh boneka lain.

Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian

ini karena pada film ini menceritakan tentang petualangan yang digambarkan

bisa hidup jika tidak ada orang. Namun ada pesan feminisme didalam ceritanya.

Hal ini, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana pesan

(18)

film, fotografi, dan sebagainya (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm,

diakses 4 April 2011, 12.31 WIB). Film terdiri atas kode-kode yang beraneka

ragam, meliputi verbal dan non verbal (visual). Karena itu, peneliti

menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan semiotika. Disini peneliti

ingin mengekplorasi makna dari bentuk-bentuk visual yang tampak dalam film

tersebut.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda

dan makna (Sobur,2003 : 15). Sebuah tanda menunjukan pada sesuatu selain

dirinya sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah

makna merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda. Dengan

pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara

tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan film

serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual)

dengan tingkat kreativitas pembuatan film.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan film,

disosialisasikan kepada sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat

dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan

didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan.

Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah

secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan

(19)

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai film “Toy Story 3”,

oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotika yang

dikemukakan oleh John Fiske. Dengan menggunakan metode ini

memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana

sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

Penelitian ini mengambil judul REPRESENTASI FEMINISME

LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik tentang

Representasi Feminisme Liberal dalam Film “Toy Story 3” karya Wall Disney

dan Pixar Animation).

1.2. Perumusan Masalah

Menindaklanjuti dari latar belakang permasalahan di atas, maka yang

menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah representasi feminisme

Liberal yang digambarkan dalam film “Toy Story 3”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain untuk mengetahui dan

menjelaskan bagaimanakah feminisme Liberal direpresentasikan dalam film

(20)

1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan

sumbagan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi

analisis semiotik John Fiske.

2. Pemahaman ilmiah bahwa film sebagai komunikasi akan dipahami secara

berbeda sesuai konteks budaya masing – masing individu.

3. Memperkaya wawasan tentang perspektif feminisme dalam tema perfilman

khususnya animasi.

1.4.2. Manfaat secara Praktis

1. Memberikan pemahaman tentang representasi feminisme Liberal dalam

film ”Toy Story 3”.

2. Sebagai masukan dan evaluasi bagi tim produksi film “Toy Story 3”, guna

(21)

13

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film

Film juga dianggap sebagai media massa karena ia merupakan alat

yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai

kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa,

beragam dan luas.

Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring

dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian

dari budaya massa yang populer, film adalah sebauh seni yang sering

dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi dagang bagi para pelaku bisnis.

Hal ini tentu sangat beralasan, karena film dikemas untuk dikonsumsi dalam

jumlah yang sangat besar. Karakter film sebagai media massa mampu

membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi

film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai yang hidup di

masyarakat dan selera public. Sehingga dapat disimpulkan bahwa film

merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap pembuatan

film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar, Irawanto

(22)

Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia

mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan

lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar

yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya, film lebih

mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami

unsur teknik, politik, ekonomi, social, dan demografi yang merintangi

kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan

permulaan abad 19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I

dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan

munculnya medium televisi ( Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003:26 ).

Pengertian film menurut Undang - undang nomor 33 tahun 2009

tentang permasalahan, pasal I. Film adalah karya seni budaya yang

merupakan pranata social dan media komunikasi massa yang dibuat

berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat

dipertunjukkan.

Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal

jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film

juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau

sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi

kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas ( McQuail 1994:14 ).

Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan.

Salah satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain

sebagai pelengkap atau pengulang ( repetisi ).

(23)

dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu)

dengan kamera, dan/atau oleh animasi

(http://ayonana.tumblr.com/post/390644418/definisi-film diakses 18 April

2011, 14:28 WIB). Sejalan dengan perkembangan teknologi media, kini para

pembuat film telah berhasil membuat film animasi. Animasi berasal dari

animate yang berarti menghidupkan, memberikan jiwa dan menggerakan

benda yang mati. Jadi yang dimaksud film animasi adalah film yang berupa

gambar yang seolah-olah hidup dan bergerak

(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2074272-apa-beda-animasi-dan-kartun/ diakses 18 April 2011, 14:30 WIB).

2.1.2. Representasi

Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi adalah

sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan

dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004

: 28).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek

penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep

yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang

dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada

disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi

konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam

(24)

melakukan semua ini karena ia beoperasi sebagai system representasi. Lewat

bahasa (Simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita

mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna

sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan

mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan

dalam merepresentasi-kan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita

berikan pada sesuatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi

makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang

dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan : darimana suatu makna

berasal? Bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari

sesuatu atau imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di

sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang

sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan

intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan

sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang

ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya

bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai

(http://www.fathurin-zen.com, diakses 19 April 2011, 15:10 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,

representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita

masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk

sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses

konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus

(25)

konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol

tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan

mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan

system ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi

seperangkat rantai korespondensi anatara ‘peta konseptual’ dengan bahasa

atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang

sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’

adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa

(http://www.fathurin-zen.com, diakses 18 April 2011, pukul 14.35 WIB).

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat

sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang,

Yasraf Amir, 2006 : 24).

Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi,

prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televise. Representasi

diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu

(Barker, Chris, 2004 : 9).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari

pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan

konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret.

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan

melalui system penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,

fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi

makna melalui bahasa (http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses

(26)

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya

(circuit of culture). Melalui representasi, maka makna ( meaning ) dapat

berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui

tanda – tanda ( signs ). Tanda – tanda ( signs ) tersebut sepert bunyi, kata –

kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari

dunia material kita ( Hall, 1997 ).

Tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna –

makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin

disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat

merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap

tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks social tertentu

(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view

&item.id=43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu obyek yang

ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian

tanda – tanda. Tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi

unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera

hingga music. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari

maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan

kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam

unsur yang akrab, seperti pemotongan ( cut ), pengambilan gambar jarak

dekat ( close up ), pengambilan gambar dari dua arah ( two shot ), dan lain –

(27)

lebih halus, yang tercakup dalam komplektivitas dari penggambaran visual

yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah

– ubah) ( Sardar, 2001:156 dalam sobur 2003:130 ).

.

2.1.3. Perempuan sebagai feminis

Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA

Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan / The Englightenment, di Barat

oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condoret yang berjuang

untuk pendidikan perempuan.

Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan

menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama

(first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang

kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.

Istilah feminis kemudian berkembang secara negative ketika media lebih

menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan

secara vulgar (misalnya: membakar bra).

Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau

diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau

melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut,

pada dasarnya dapat disebut feminis (www.id.shvoong.com/humanities/

diakses 19 April 2011, 16:30 WIB)

Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah

(28)

Dengan kata lain, perempuan berperilaku feminin, patuh, tidak agresif dan

apa yang pantas menurut gender. Pola pengasuhan terhadap perempuan juga

masih didominasi dan penekanan pada peran dan pembagian kerja

berdasarkan gender. Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan tindakan

berbeda dengan apa yang diharapkan masyarakat, mereka dicap sebagai aneh,

abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan

yang biasa merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda

halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap simbol maskulinitas

( Romany Sihite, 2007:6 ).

Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya

yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan

pekerjaan yang dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti

mendidik anak, seperti ditulis oleh Sara Ahmed, “pengetahuan feminis adalah

persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang

located dan situated sedemikian sehingga cara saya menjadi feminis,

termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar

saya juga mengalami perubahan. (Aquarini, 2006:14)

Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini,

diyakini akibat hegemoni budaya patriaki dan struktur masyarakat yang

berkiblat pada sistem Patriakhi yang mendominasi semua lini kehidupan.

Secara kebahasaan, patriakhi berarti rule of the father, atau aturan dari Sang

Bapak. Dalam sistem patriakhi, laki-laki yang berusia lebih tua (atau “Sang

Bapak”) mengendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Dari

(29)

dengan persoalan politik. Maka berbagai upaya mencari (baca melawan)

sparing partner hegemoni budaya patriakhi inilah kira-kira yang diagungkan

oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum

perempuan selama ini adalah sebagai masyarakat kelas dua atau menduduki

posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana

‘kesetaraan gender’ dalam mensejahterakan kaum perempuan. Bahwa

munculnya budaya patriakhi dianggap menyengsarakan kehidupan kaum

perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan

sekarang ini akibat masih terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah

publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental

bawahan. Munculnya budaya patriakhi yang diklaim oleh feminis sebagai

akar keterkurungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya,

penderitaan yang diikut sertakan akibat dominasi ini tidak serta merta ada

begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan

(www.qiyanfikir.worspress.com/ diakses 19 April 2011, 16:20 WIB).

Feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan

seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk

menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh

garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut. ( Holidin, 2001:8 )

Deklarasi universal mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap

Perempuan. Pasal 3 secara tegas menyebutkan delapan butir hak perempuan

yang mesti diakui dan diimplementasikan yakni:

1. Hak atas kehidupan;

(30)

3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;

4. Hak atas perlidungan yang sama di muka umum;

5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi;

6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang

sebaik-baiknya;

7. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik;

8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan

atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.

( Romany Sihite, 2007:49-50 )

Menurut Rieke diah Pitaloka seorang aktivis perempuan, dalam

budaya patriakhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi pada suami, kepala

rumah tangga, yang berhak menentukan aturan apa pun menyangkut

orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri.

Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem

tersebut dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyaratkan enyahnya

cara pandang patriakhi dari ruang privat sekaligus publik.

(www.kompas.com/ diakses 19 April 2011, 16:31 WIB)

2.1.4. Feminisme

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas

masalah kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara

konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin

(31)

ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,

memiliki jakala (kala menjing) dan memiliki sperma. Sedangkan perempuan

memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,

memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui.

Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki

dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalkan

bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.

Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari

sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa dipertukarkan.

Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga

ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu

dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain

( Fakih, 1997:7-8 ).

Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri

Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Gender diartikannya

sebagai,”interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni

laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan

pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.

Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994 : 4-6),

Gender didefinisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada

perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil

perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun

(32)

dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia public bersifat

maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah

tangga bersifat feminine adalah milik perempuan ( Sumiarni, 2004:1-3 ).

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi

bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha

untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut ( Fakih, 2001:99 ).

Sedang feminism menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu

kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat, dalam keluarga maupun di tempat kerja, serta tindakan sadar

oleh perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut

definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism (diskriminasi atas dasar

jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu

tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis (

http://swaramuslim.co.id/feminis.html, diakses 19 Maret 2011, 16:24 WIB )

Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang

dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk

mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan

itu memunculkan apa yang disebut emansipasi atau feminisme. Dimana

emansipasi sendiri memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan

kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang

memperjuangkan keadilan bagi perempuan.

Karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan

gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat berubah. Apa yang dianggap

(33)

itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka ( Aquarini,

2006:22 ). Feminisme telah dibedakan dengan Feminin dalam pengertiannya,

Feminin berasal dari bahasa Perancis “Feminine” yang merupakan sebuah

kata sifat (adjektif) yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat

perempuan (http://.id.wikipedia.org/wiki/feminin, diakses 20 April 2011,

20:10 WIB). Sedangkan Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina

yang berarti memiliki sifat keperempuanan ( Hubies, 1997:19 dalam

Sumiarni, 2004:57 ).

Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi

perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya

untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan

menemukan formula kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala

bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi

upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan

perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminisme. Sebagai

suatu gerakan titik tolak feminisme mengacu pada definisi operasional dan

bukan dari definisi ideologis. Dengan demikian feminisme hendaknya dilihat

sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme

keyakinan.

Jadi makna feminis di sini adalah mencari peluang

kebebasan/kemerdekaan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian,

gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya

dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin

(34)

Soenyono, feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan

seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk

menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh

garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut ( Holidin dan

Soenyono, 2004:8 )

Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan

mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan

kemitraan universal dengan sesama manusia.

2. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar

perbedaan jenis kelamin.

3. Menghapus semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan

tertentu atas dasar jenis kelamin.

4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh

tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan

tentang manusia dan kemanusiaan ( Hubies, 1997:20-21 ).

Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di

berbagai belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminism, diantaranya

feminism liberal, feminism radikal, feminism sosialis, feminism marxis,

feminism post modern, feminism psikoanalitik, dan feminism eksistansialis.

Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan

feminism, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham

(35)

1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan

yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini

menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas

dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian

menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara

rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan

keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan

perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka

bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya

kedudukan setara dengan lelaki.

Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa

mereka bukan golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di

sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan

menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat

Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan

individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita

tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi

pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional.

Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan

laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.

Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias

gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar

(36)

memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan,

dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk

menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi,

maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang

berprespektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan

dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam

kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan

berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Freidrich Engels

dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuuh

karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan

produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri

berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol

produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka

mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi

bagian preprety. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan

mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat-bojuis dan proletar.

Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan

penindasan terhadap perempuan dihapus.

3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan

melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan

perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminisme radikal

mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian

(37)

Pada sisi lain, Shulamith Feristone dengan bukunya The Dialectic

of Sex (1972), membahas kelemahan perempuan dalam perspektif

struktur biologisnya. Perempuan sepanjang sejarah, mendapatkan haid,

menopause, dan macam-macam ‘penyakit perempuan’ lainnya, seperti

waktu melahirkan, semua itu membuat perempuan menjadi mempunyai

ketergantungan kepada laki-laki. Perbedaan fungsi reproduksi alamiah

ini, mengakibatkan timbulnya pembagian kerja secara seksual. ( Kasiyan,

2008:88 ).

4. Feminisme sosialis, pandangannya berusaha menggabungkan teori

feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi

umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang

perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis

sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih

berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status ( Fakih,

2001:93-95 ).

5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah

text / intertextual baik yang berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga

yang menjadi perhatian dari aliran feminisme postmodern adalah

penolakan cara berpikir laki yang diproduksi melalui bahasa

laki-laki dan cara berpikir feminisme yang fanatik / tradisional. Dalam teori

ini dikatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus

diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur

(38)

6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan

super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena

mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri

terhadap emosi mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka

terhadap keadilan, kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan

selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian.

Perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap.

7. Feminisme Eksistansialis, perempuan selalu menjadi objek dari laki-laki

dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Beauvoir

mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah

makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan

dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan

mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir

juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang

merenggut kebebasan perempuan (

http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme, diakses 19

Maret 2011, 16:20 WIB ).

Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun

60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Muncul di Amerika sendiri

sebagai bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa,

Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan

menggoncang Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang

(39)

yang menyangkut nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB

mengumumkan International Decade of Women, terjadi beberapa peristiwa

penting bagi kaum perempuan. Kini, hampir setiap Negara memiliki

perundang-undangan anti diskriminasi, yang menguntungkan kaum

perempuan ( Fakih, 1997:106-107 ).

Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of all forms of

Discrimination Against Woman atau CEDAW, 1979 ) dan Indonesia telah

meratifikasi konvensi tersebut mengutuk diskriminasi terhadap perempuan

dari segala bentuk ( Pasal 2 ). Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap

perempuan ( declaration on the elimination of violence against of women ).

Menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap

tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan

atau penderitaan perempuan secara fisik, psikologi, atau seksual. Termasuk

juga ancaman tindakan tertentu, seperti pemaksaan atau perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan

umum/dalam kehidupan pribadi ( Romany Sihite, 2007:133 ).

2.1.5. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh

Mary Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women

(1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of

(40)

kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The

Second Stage.

Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal

yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai

hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia

berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan

rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat

keputusan yang otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri).

Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu

diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak

merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang

adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya

dalam memenuhi kebutuhannya.

Meskipun Wollstonecraft tidak mempergunakan istilah seperti “peran

gender yang dikonstruksi secara sosial”, ia menyangkal bahwa perempuan,

secara ilmiah, lebih cenderung untuk bersifat sebagai pemburu dan pemberi

kenikmatan daripada laki-laki. Wolls berargumentasi bahwa jika laki-laki

disimpan di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki

pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Karena

diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan kekuatan nalarnya, untuk

menjadi manusia bermoral dengan perhatian, motif, dan berkomitmen yang

lebih sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki, seperti juga perempuan, akan

(41)

Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil),

Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis

Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai

keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Oleh sebab itu negara

harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata.

Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan,

kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi

Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan

kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap

individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengakumulasi

keuntungannya.

Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan

sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan.

Akan tetapi dalam hal intervensi negara untuk menjamin hak individu, kaum

liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik

dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur. Tujuan

umum feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil

dan peduli tempat kebebasan berkembang”, maka perempuan dan juga

laki-laki dapat mengembangkan diri.

Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk

perempuan Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right

of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami

(42)

kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan

rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk

mengembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan

kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal

perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria.

Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques

Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan

laki-laki lebih menekankan rasionalitas & mempelajari ilmu alamiah, ilmu

sosial dan humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai

kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan

pada emosional, mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi

istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar

yang ditawarkan Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan

mendidik laki-laki dengan mengajarkan juga rasionalitas sehingga perempuan

mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki.

Wollstonecraft, bagi perempuan adalah personhood- manusia secara

utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki”

yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali

ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat”, atau

instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya

perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen nalar, yang harga dirinya ada

(43)

Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi

perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill

bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas

untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan

agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan

pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan

dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliput hak untuk

berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak

milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya. Tailor mengklaim cara yang biasa

untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan),

adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka

inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam

proses pencapaian tersebut.

Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya

menekakan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih

menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan

kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki,

menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari

perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang

ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena

perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang

(44)

Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis

oleh Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya

oleh Wollestone, J S Mills dan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut

Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa

hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk

berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan

keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi

dalam ekonomi keluarga dan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga

dengan tetap masih mencintai suami dan anak.

Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan

seiring. Baru dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The

Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit, karena

dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia

memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan

sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan

masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan

laki-laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan,

struktur institusi dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu

ekonomi, rumah, dan anak-anak secara bersama-sama.

Dalam beberapa hal, perbedaan antara Friedan dalam The Feminine

Mystique, Friedan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang

feminis yang percaya bahwa perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki

(45)

bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat

menghargai yang “feminin” dan “maskulin” ( Tong, 1998:16-44 )

Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari

peranan gender dan opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat

yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada

sifat feminine seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb.

Penentangan stereotype tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang

mempunyai dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun di

rumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan,

persamaan hak dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin

tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan

dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan

kekerasan.

Feminisme Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan

perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak,

penindasan diskiriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih

menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean

Bethke Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa

semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki

mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya

untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak

boleh mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempunyai cara berfikir

(46)

mengadopsi dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita

tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.

Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok

kecil. Kerena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan

kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa

(komunal), untuk itu penting sekali adanya commite organizer yang bisa

mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human

Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain

Jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi

nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak

boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan

perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar

juga mengkritik feminis Liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal

menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak

bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyalesaikan seluruh persoalan

perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.

Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik

ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal

perempuan tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas

menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada

perbedaan suku / budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan

perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun

(47)

berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah.

(http://www.asppuk.or.id)

Namun Mill dalam Sumiarni mengartikulasi teori feminis liberal awal

tidak dapat mengakomodir isteri dan ibu. Dalam bukunya The Subjection of

Women, Mill mengkritik bahwa pekerjaan perempuan di sektor domestic

sebagai pekerjaan irasioanal, emosional dan tiranis. Mill menyuruh wanita

untuk menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan

pekerjaan domestik agar kebahagiaan tertinggi menusia dapat tercapai. Hal

yang sama dikemukakan oleh Sarah Grimke (1970 : 85) bahwa wanita

menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran

(suami): “Man has exercised the most unlimited and brutal power over

women, in the peculiar character of husband, a woed in most countries

synonymous with tyrant”. (Pria telah melakukan kekerasan tidak terbatas dan

brutal terhadap wanita, dengan karakter unik dari suami, sebuah kata yang

identik dengan tiran di hampir seluruh dunia) ( Sumiarni, 2004:64-65 ).

Sementara itu menurut Taylor dalam tulisanya, “Bahkan jika setiap

perempuan, seperti yang terjadi saat itu, dapat bergantung kepada laki-laki

untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai jika sebagian dari

penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan

hanya sedikit bertambah oleh penghasil perempuan itu, daripada perempuan

diharuskan untuk meminggirkan diri agar laki-laki dapat menjadi penopang

hidup satu-satunya, dan menjadi satu-satunya yang berhak untuk

(48)

dan bukannya budak dari suaminya, istri harus mempunyai penghasilan dari

pekerjaannya di luar rumah. ( Tong, 1998:25 )

Pada feminisme liberal konsep yang digunakan peneliti antara lain seperti:

1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan

kesempatan,dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.

2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.

3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara

sosial.

4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau

tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang

dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan

perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.

5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki

dan perempuan.

6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu

peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk

memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat

(49)

2.1.6. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan symbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna

juga dianggap sebagai satu fenomena psikologi. Respon psikologi dari

masing-masing warna (Deddy Mulyana, 2005:377) :

1. Merah : Power, Energi, Kehangatan, Cinta, Nafsu, Agresif, Bahaya.

Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’

dibudaya oriental.

2. Biru : Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Teknologi, Kebersihan,

Keteraturan.

3. Hijau : Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidakjujuran, Pengecut (untuk

budaya barat), Pengkhianat.

5. Ungu atau Jingga : Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi,

Kekasaran, Keangkuhan.

6. Orange : Energi, Keseimbangan, Kehangatan.

7. Coklat : Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.

8. Abu-abu : Intelek, Masa depan (kaya warna millennium), Kesederhanaan,

Kesedihan.

9. Putih : Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidakbersalahan, Kematian.

10.Hitam : Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan,

(50)

2.1.7. Film “Toy Story 3”

Toy Story adalah sebuah sebuah film animasi menggunakan gambar

yang dibuat oleh komputer (Computer-generated imagery/CGI). Film yang

dibuat oleh Pixar ini dirilis oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista

Distribution di Amerika Serikat pada 21 November 1995 serta di Britania

Raya pada 22 Maret 1996.

Toy Story adalah film panjang dengan gambar buatan komputer

pertama yang dirilis Disney, bahkan dikatakan sebagai yang paling pertama.

Film ini juga merupakan film Pixar pertama yang dirilis ke bioskop, meraup

pendapatan terbanyak di seluruh dunia. Ceritanya berkisar tentang

petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang.

Sekuel film ini, Toy Story 2, dan Toy Story 3, dirilis pada 1999 dan

2010. Video Buzz Lightyear of Star Command: The Adventure Begins dan

serial televisi Buzz Lightyear of Star Command yang dirilis pada 2000

menceritakan petualangan Buzz Lightyear, salah satu mainan dalam Toy

Story. (Wikipedia, Toy Story)

Toy Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom

Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen) dan segerombolan mainan lainnya

di layar lebar dalam Toy Story 3. Pada film ini terjadi transisi (perubahan)

dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Andy

bersiap-siap pergi dari rumah untuk kuliah, dan meletakkan mainan di atas

(51)

dipikirnya adalah sampah. Sangat kecewa segerombolan mainan milik Andy

yaitu Buzz, Jessie (koboi perempuan), Bullseye (kuda), Tn and Ny Potato

Head, Rex (dinasaurus), Slingky (anjing), Hamm (celengan babi), dan 3

sahabat kecil yang berasal dari dunia asing (pizza planet). Mereka akhirnya

masuk kedalam kardus yang akan disumbangkan oleh Ibu Andy ke penitipan

anak, tidak hanya mainan Andy saja yang ada didalamnya. Molly, adik

perempuan Andy juga menyumbangkan boneka kesayangannya yaitu Barbie.

Sunny Side adalah penitipan anak, namun tempat penitipan anak

menjadi neraka bagi Buzz dan teman-teman lainnya. Bertemunya Losto

Hugging Bear, Ken, Big Baby di Sunny Side, membuat segerombolan mainan

Andy terjebak di ruang ulat bulu tempat bermainnya para balita liar dan

tangan-tangan kecil mereka memainkan mainan dengan kasar. Buzz dan

teman-teman lainnya tidak percaya perkataan Woody, yang sebenarnya Andy

tidak membuang mainan-mainannya namun akan diletakkan di atas loteng.

Perjuangan untuk membebaskan diri telah direncanakan oleh segerombolan

mainan Andy.

Perjuangan terlihat pada saat Barbie mengancam Ken untuk

memberitahu bagaimana cara mengembalikan Buzz, kemudian Jessie sosok

koboi perempuan terlihat berani pada saat menentang Losto untuk kembali ke

ruang ulat bulu. Kekompakan dan kerja sama mereka akhirnya berhasil keluar

dari tempat penitipan anak. Sikap pemberani Barbie, Ny Potato Head, dan

Jessie mencerminkan gerakan feminisme. Dimana perempuan sudah saatnya

Gambar

gambar yang
Gambar 1. Perlawanan perempuan  dalam Scene 2 dan Scene 3
Gambar 4.2
Gambar 4.3 Kentang merupakan ubi yang bentuknya bulat-bulat, termasuk tumbuhan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: ROA berpengaruh negatif terhadap Pengungkapan modal intelektual, Leverage

Jika dilihat dari tabel 3.4 bahwa capaian indikator ini pada tahun 2014 sebesar 0 orang, bila dibandingkan dengan capaian tahun 2013 sebesar 18 orang dan target renstra

Akan tetapi komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemenRobin dan

Berdasarkan hasil jawaban responden pada kuesioner variabel Kepercayaan Merek menyatakan setuju bahwa karakteristik konsumen PHD Delta Sari Waru, Sidoarjo mudah

Animasi shape tween merupakan animasi yang digunakan untuk mengubah sebuah objek dari satu bentuk ke bentuk yang lain atau mengubah pewarnaan sebuah objek dari

Pasien dengan karsinoma invasif yang lebih kecil dari 1 cm memiliki harapan hidup yang sangat baik jika tidak terdapat keterlibatan kelenjar getah bening dan mungkin tidak

Safilu, M.Si Perwakilan Jurusan Pendidikan Anggota Biologi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal, jumlah hari kerja (HOK), luas lahan, pelatihan dan teknologi berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan petani di Kecamatan