BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.8 Semiotik
Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain ( Eco, 1979:16 dalam Alex Sobur, 2002:95 ).
Secara terminologis, semiotic dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco, 1976:6 dalam Alex Sobur, 2002:95 ). Pengertian lain yang dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotic sebagai “ilmu tanda ( sign ) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Semiotika, yang biasanya di definisikan sebagai pengkajian tanda-tanda ( the study of signs) pada dasarnya merupakan sebuah study atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memunkinkan kita bmemandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna ( scholes, 1982 : ix dan budiman , 2004:3 ).
Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles Sandera Pierce (1839 – 1914) dan Ferdinand De Saussure (1857 – 1913). Terdapat perbedaan antara Pierce dan Saussure. Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistic umum
( Sobur, 2004:110 ).
Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang
tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika ( Budiman, 2005 : 33 ).
Logika, secara umum, adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (…), suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (…) kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya (Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34).
Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure (1857-1913), sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis.
Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1996 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35)
2.1.9. Model Semiotika John Fiske
John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural and Communication Studies. Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) ( Fiske, 2006:9 ).
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.
Analisis semiotik menurut John Fiske dibagi menjadi tiga level, yaitu: 1. Level Realitas (reality)
Pada level ini, realitas dapt berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan
sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis ( Fiske, 1990:40 ).
Kode – kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :
a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh
pemain utama dalam film ”Toy Story 3”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Jessie, Ny Potato head dan Barbie. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan cultural.
b. Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas
yang dilakukan oleh suatu organisme.
c. Conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau
lebih dorongan perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.
d. Expression atau ekspresi adalah merupakan pesan yang
menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna. Yakni : Kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan , kesedihan, kekesalan, pengecaman, minat ketakjuban, dan tekat.
e. Gasture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang
dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gasture atau
gerakan berhubungan dengan ekspresi seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi. Meski lebih cair dan kontinyu, gesture menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati ( Fiske, 1990:97 ).
2. Level Representasi (representation)
Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :
a. Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan
Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :
1. Long Shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah
manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak cara barjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan tersebut.
2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium Shot (WMS), gambar medium shot tetapi agak melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan dengan long shot.
3. Close-Up (CU), yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.
4. Eksterm Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi pemain
dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya.
5. Estabilishing Shot , Biasanya digunakan untuk membuka suatu
b. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan ( Biran,2006:43 ).
c. Penata Suara
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film ”Toy Story 3”. Voice Over (VO) adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh ( Effendy, 2002 : 155 ). Voice Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.
d. Teknik Editing
a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.
b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin
e. Penataan Musik
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas labih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi feminisme Liberal dalam film ”Toy Story 3”.
3. Level Ideologi (ideology)
Level ideologi diorganisasikan ke dalam kesatuan (coherens) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualism, kelas patriarki, gender, ras, materialism, capitalism dan sebagainya.
2.1.10. Film Dalam Pendekatan Semiotika
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut, bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode ( Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk ).
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang ke dua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (Fiske, 2006 : 9).
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagi sistem Tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128). Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar) dan music film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi
dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur,2004 : 128).
Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada film ke dalam tiga kategori, yakni kode sosial (social codes), dan kode-kode teknis (technical codes), dan kode-kode-kode-kode representasi (representational codes). Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks (Fiske, 1990 : 40, dalam Mawardhani, 2006 : 39). Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu :
1. Level pertama adalah realitas (reality), kode sosialnya antara lain penampilan (appearance), kostum (dress), riasan (make-up), lingkungan (setting), kelakuan (behavior), dialog (speech), gerakan (gesture), expresi (expression), suara (sound).
2. Level kedua adalah representasi (representation), kode sosialnya antara lain kamera (camera), pencahayaan (lighting), editing (perevisian), dialog (dialogue), pemeran (casting), dll.
3. Level ketiga adalah ideologi (ideology), kode sosialnya antara lain narasi (narrative), konflik (conflict), karakter (character), aksi (action), dialog (dialogue), latar (setting), pemeran (casting), dll. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan? Ditambah dengan suara-suara lain
yang serentak mengiringi gambar-gambar. Dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2004 : 128).
2.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa untuk mengerti dan memahami beberapa bentuk visual yang merepresentasikan feminisme terhadap anak – anak dalam film ”Toy Story 3”, peneliti menggunakan teori analisis semiotik film oleh John Fiske, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi yang dikemukakan oleh John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas, level representasi dan level ideology.
Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukkan karakteristik feminisme Liberal, dalam hal ini lebih khusus kepada perjuangan perempuan. Pertama Film akan di pilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film animasi ”Toy Story” scene – scene yang sudah dipilah tersebut akan dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan feminisme Liberal, menurut level realitas dan representasi menurut John Fiske.
Fenomena perihal feminisme dan efeknya pada generasi penerus sangat menarik untuk diangkat ke sebuah film. Mengingat pada era
globalisasi seperti saat ini dimana faktor eksternal dalam lingkungan semakin banyak terdapat hal negatif, peran perempuan sangatlah penting. Penelitian ini menggunakan studi semiotik John Fiske, mengingat film ini terdiri dari mitos yang mendasari tanda-tanda yang perlu dimaknai. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi feminisme Liberal dalam film ini.
58