• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)

SKRIPSI

Oleh :

R.NOVAYANA KHARISMA NPM. 0743010213

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Judul Penelitian :

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAHDARA”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam

Film “RUMAH DARA”)

Nama Mahasiswa : R.Novayana Kharisma

NPM : 0743010213

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti ujian / seminar proposal.

KETUA PROGRAM STUDI PEMBIMBING

JUWITO, S.Sos, M.Si. ZAINAL ABIDIN ACHMAD. S.Sos, M.Si. M. ED

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat, Nikmat, serta

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang

berjudul REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH

DARA”)

Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si,

M.Ed sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam

penyusunan Skripsi ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan

menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak

yan telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini baik

moral maupun tenaga antara lain :

1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia

untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.

4. Untuk Mami dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,

(4)

5. Untuk “Cinta”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.

6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,

Pencenk, Cupank, Vermin, Hendry you’re the best guys.

Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam

penyusunan Proposal ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang

membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Proposal ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis

untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis

terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga Proposal ini dapat

memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima

kasih.

Surabaya, 6 Mei 2011

(5)
(6)
(7)

DAFTAR GAMBAR

4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi

Alam dengan pisau

4.2.2. Adam mematahkan tangan Alam tangan Alam

4.2.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam

4.2.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman

4.2.5. Leher Jimmy dipatahkan oleh Adam

4.2.6. Adjie mencekik ibu Dara

4.2.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman

4.2.8. Adam membacok tangan Petrus hingga putus

4.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya

4.2.10. Dara memukul syarief dengan senjata api milik syarief hingga

mati

4.2.11. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya

4.2.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan

clurit milik adam

4.2.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak

bisa bernapas

4.2.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya

4.2.15. Arman mencoba menjilati dan mencium bagian tubuh ladya

namun ladya berhasil meloloskan diri

(8)

ABSTRAKSI

R.NOVAYANA KHARISMA. REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Semiotik Terhadap Film “Rumah Dara”)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam film melalui tokoh-tokoh utama. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat.

Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera, pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media

Massa Dalam Kehidupan Masyarakat. 

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan verbal dan kekerasan psikologis. Kekerasan tersebut dilakukan karena ingin menyelamatkan diri dari serangan keluarga ibu dara yang dialami tokoh-tokoh utama, dan kekerasan yang dihadirkan merupakan bumbu untuk menimbulkan kengerian dan ketakutan bagi penontonnya.

Kata kunci :

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi

fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini,

film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari

kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup

signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai

pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu

pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia

karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film

tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208).

Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam

media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya

memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak

sesuatu.

Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang

mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20

yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,

merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap

(10)

penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton

ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media

menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga

mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.

Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi

kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam

menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat

sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah

film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu,

dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu,

misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema sentral.

Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara

umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu

film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan

kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang

menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang

dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat

dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu

hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu

medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu

sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi

kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas,

(11)

yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat publik

terpesona, yang dapat membuat publik tertawa terbahak-bahak,

menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol, marah,

terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah dari

kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari,

atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film

(Effendy,2003:207)

Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam

banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,

hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier.

Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu

mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan

pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu,

kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,

lantas membuat para ahli film memiliki potensi untuk

mempengaruhi khalayaknya.

Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan

televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan

dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah

memahami apa yang disampaikan olehnya dari pada

menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara

drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita

(12)

dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi

massa, tanpa kita bertanya bagaimana cara mereka menyampaikan

komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka

sampaikan.

Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat

memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan

tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan

pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film.

Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia

dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat

dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu

menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.

“we understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories

(Metz, 1974 : 47)

Karakter film sebagai media massa mampu membentuk

semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi

film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum

pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam

(13)

Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas

sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film

menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau,

cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa

yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat

membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang

progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar,

tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi

juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang

telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan

menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di

negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran

tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau

identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk

komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor,

2000:1)

Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan

tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang

diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai

dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja,

serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan

terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada

penonton, terutama dalam pembentukan kepribadian dan watak

(14)

anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood

memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai

dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang

sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga

menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal.

“Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America,

film-film Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan.

Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total

recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan

sehari-hari” (Sumarno,1998:85).

Salah satu film yang bercerita tentang fenomena kekerasan

di Indonesia yaitu film yang berjudul “Rumah Dara” Film yang

bersemboyan "Horor menemukan seorang ibu" ini disutradarai

oleh Mo Brothers yaitu duet sutadara, yakni Kimo Stamboel dan

Timothy Tjahjanto dan dibintangi oleh Shareefa Daanish dan Julie

Estelle sebagai tokoh utama. Film Rumah Dara berkisah mengenai

sekelompok pemuda-pemudi yang terjebak di rumah milik seorang

pembunuh misterius yang bernama "Dara". Dan setiap tamu yang

datang kerumahnya akan dibunuh dan dibantai secara sadis seperti

kepala di penggal dengan gergaji mesin lalu di mutilasi, mata

ditusuk dengan stileto, tangan di bacok dengan clurit hingga putus,

dibakar dengan lighter dan masi banyak adegan lainnya yang lebih

(15)

faktor –faktor pendukung lain yang ditampilkan dalam film ini

yaitu simbol-simbol hiasan dinding seperti kepala-kepala hewan,

senjata tajam seperti pedang samurai dan pisau serta simbol

pentagram yang sangat sarat dengan tanda atau lambang pemujaan

setan.

Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan

oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam

kategori film yang mengekspos kekerasan secara berlebihan.

Hampir semua bentuk kekerasan tergambar dan terwakili dalam

ini, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal dan nonverbal,

kekerasan agresif-defensif, kekerasan individu-kolektif maupun

kekerasan semoitik atau simbolis.

Rumah Dara adalah film horor jagal dari Indonesia yang

dirilis pada tanggal 22 Januari 2010. Sebelum ditayangkan di

Indonesia, karakter Dara telah lebih dahulu dipopulerkan lewat

segmen film pendek "Dara" dalam film horor antologi "Takut:

Faces of Fear" yang juga disutradarai Mo Brothers dan dirilis pada

tahun 2008 di festival-festival film di seluruh dunia. Segmen film

pendek Dara mendapat begitu banyak tanggapan positif sehingga

akhirnya Rumah Dara mendapat harapan besar dari para

penggemar film Dara. Pada tahun 2008-2009, Rumah Dara juga

telah dilayarkan lebih dahulu di berbagai festival film internasional

(16)

dan banyak meraih penghargaan. Pada akhir 2009, film ini

ditayangkan di Singapura terlebih dahulu dan mendapatkan rating

M18 (untuk adegan sadis dan kekerasan).Rumah Dara lalu dirilis

secara serempak di seluruh Indonesia pada tanggal 22 Januari

2010. Distribusi film ini ke Amerika Utara dan Eropa telah dibeli

oleh Overlook Entertainment. Film ini sangatlah bertolak belakang

dengan apa yang diinginkan padap RUU perfilman Indonesia yang

tepat pada bulan maret 1992 RUU tersebut di sahkan menjadi

Undang-Undang. Pada pasal 36 ayat b: menonjolkan unsur

kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat

terlarang; dan pasal 48 f mengenai pembatasan adegan seks,

kekerasan, dan sadisme. Terkait dengan pasal 33 ayat 1 “ barang

siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor,

mempertunjukkan dan menayangkan film yang tidak di sensor

akan dikenai pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda

paling banyak Rp.40.000.000 (empat puluh juta rupiah).

(http//www.google.co.id/RUU perfilman). Tetapi mengapa di

Indonesia malah film ini ditayangkan di bioskop-bioskop dan

diedarkan secara resmi? Dalam twitter resmi Rumah dara,

diumumkan bahwa film ini dicekal dan dilarang untuk tayang di

Malaysia karena tema yang dianggap bertentangan dengan hukum

(17)

yang dicekal dan dilarang untuk tayang di Malaysia.

(ESQmagazine. 24 Februari 2011)

Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung

kekerasan, maka akan berdampak negative bagi penonotonnya,

karena bukan tidak mungkin lagi bagi mereka meniru apa yang

sudah mereka lihat dari film, oleh karena itu, menurut

Eigynysebroto (1977:78) kekerasan adalah suatu tindakan yang

dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat

(atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah

orang yang berposisi lebih lemah (atau yang dipandang berada

dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang

superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa

derita dipihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu.

Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai

alat analisis. Sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan

lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa

film adalah suatu bentuk pesan komunikasi. Komunikasi sendiri

adalah suatu proses simbolik yakni penggunaan lambing-lambang

yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah suatu yang

digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu lainnya

berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi lambang pada dasarnya

tidak mempunyai suatu makna pada satu lambang. Sedangkan

(18)

semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan

sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil

sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan

sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau

tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada suatu waktu tertentu

(Berger, 2000:11-12 dalam Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika

yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya

tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda-tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para

semiolog memandang film, program televisi, poster, iklan, dan

bentuk lainnya sebagai teks semacam dalam linguistic. Dalam hal

ini film dapat bertugas untuk memperluaskan bahasa (Barthes,

2001:53)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin

meneliti “Bagaimanakah Representasi kekerasan dalam film

“Rumah Dara” ? ”

1.3. Tujuan Peneliti

Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini

adalah untuk mengetahui representasi kekerasan dalam film

(19)

11 

 

 

1.4. Manfaat Penelitian

Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah

wawasan dan pengetahuan bagi peneliti untuk mengetahui

representasi kekerasan pada film, yang ingin menganalisa

kajian kekerasan dengan menggunakan metode semiotika.

2. Secara Praktis

Analisis semiotik kekerasan di film “Rumah Dara” dapat

digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian

selanjutnya. Dan menjadi kerangka acuan bagi film maker

Indonesia agar lebih hati-hati dalam menampilkan

adegan-adegan kekerasan dalam film, karena sangat berdampak

negatif bagi penontonnya

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun

1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang :

Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang

merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat

berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita,

video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,

jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau

proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan

dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,

dan atau lainnya.

Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media

massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai

sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan

kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.

Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap

(21)

menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan

semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi,

sehingga senantiasa melakukan pengkajian yang seksama

(Effendy,2003:79).

Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai

sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non

elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif

persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi

khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena

medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya

untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan

suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana

penonton mencekam.

Seorang komunikator melalui media massa dikatakan

mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk

menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai

jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak

komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi

Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang

diulangi ribuan kali secara serentak.

“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator,

(22)

harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari

komunikasi massa adalah :

a. Komunikator melembaga

b. Pesan bersifat umum

c. Media menimbulkan keserempakan

d. Komunikan bersifat heterogen

e. Proses berlangsung satu arah

Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat

macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :

a. Surveillance, menunjuk pada fungsi pengumpulan dan

penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam

lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi

ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.

b. Correlation, meliputi fungsi interpretasi pesan yang

menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam

mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai

fungsi editorial dan propaganda.

c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan

informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu

(23)

masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini di

identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif

yang dimaksudkan untuk memberi hiburan tanpa

mengaharapkan efek-efek tertentu.

Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal

ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk

menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang

menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan

oleh Mira Lesmana :

“Film adalah pilihan hidup saya dan medium ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia adalah rekaman pikiran manusia-manusia Indonesia pada jamannya “Extremely Important To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk

menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu,

serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis

lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)

` 2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.

(24)

masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam

Alex sobur.2002:127).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas.

Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu.

Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti

sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang

ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan

keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga

dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha

menampilkan “citra bergerak”(moving image) namun juga telah di

ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik,

kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah

dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu.

Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang

universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan

dampak negatif (Victor

C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L

Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas

Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social

Construction of Reality (1996). Menurut Berger realitas sosial

eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial

(25)

realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal

oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif.

(Poloma,2000:299)

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan

menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui

realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang

berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar

kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari

pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya

dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita

sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa

terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal.

Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas

kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan

realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas

yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non

problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified)

realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda

dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan

sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif

manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial

yang obyektif melalui proses internalisasi (yang mencerminkan

(26)

masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk

masyarakat. (Poloma,2000:13)

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas

sosial mempunyai tiga tahap :

Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau

ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental

maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan

selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia

tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari

dunia luarnya.

Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental

maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan

realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu

sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan

dari manusia yang menghasilkannya.

Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan

kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa

sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.

Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan

tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar

(27)

Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari

masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).

Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi

dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.

Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat,

diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk

individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya.

Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang

mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas

obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi

bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini

diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat

dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang

mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak

seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses

sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas

manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara

kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi

mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan

demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya

dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah

(28)

2.1.3. Representasi

Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi

adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas

disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau

kombinasinya (Fiske, 2004:282).

Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang

berupa simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti,

sehingga kita dapat mengetahui hasil yang didapat setelah

melakukan representasi terhadap film yang diteliti.

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi

merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi

sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara

sosialn dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam

pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada

bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.  (Chris

Barker, 2004:8)

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu

praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan

merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut

‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari

kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu

(29)

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling

berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)

representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk

media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau

kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas

budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan

bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. 

(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama

representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada

dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi

mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan

penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada

didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim,

supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang

sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia

dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara

sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua,

kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta

konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam

(30)

bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara

bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti,

2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada

pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi

yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam

suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses

representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang

membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada

pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau

sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa

(Eriyanto,2001:113).

Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar,

cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain

didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film

sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film

sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas,

film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu.

(31)

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,

konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).

2.1.4. Pengertian Kekerasan

2.1.4.1. Definisi Kekerasan

Kekerasan atau bahasa Inggris: Violence berasal dari

bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti

kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum

publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik

yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang

mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada

kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh

perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan

kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat

diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan

keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu

dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini. Kekerasan

antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan,

pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau

dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti

orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan

(32)

untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya

tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang

mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak

terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan

oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak,

seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan

antar-masyarakat) dan terorisme. (Bourdieu, Pierre, 1977:248)

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan

sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan.

Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi

kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.

(Poerwadarminta, 1999:102).

Sedangkan dalam bahasa inggris, kekerasan (violence)

berarti suatu serangan / invasi fisik ataupun integritas mental

psikologis seseorang. (Englander dalam Saraswati,2006:13).

Ada dua jenis kekerasan menurut kompas (1993) dalam

penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) yaitu kekerasan verbal dan

non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk

kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi: umpatan, olok-olok,

hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara

(33)

adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan

kecepatan suara.

2.1.4.2 Kategori Kekerasan

Ada empat jenis kekerasan yang diidentifikasi (Santoso,

2002:11):

1. Kekerasan Terbuka

Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.

2. Kekerasan Tertutup

Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti

perilaku mengancam.

3. Kekerasan Agresif

Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi

untuk mendapatkan sesuatu seperti penjabalan.

4. Kekerasan Difensif

(34)

Kekerasan bisa merupakan suatu aktivitas kelompok atau

individu yang disebut :

1. Kekerasan individu, seperti bunuh diri.

2. Kekerasan kolektif, kekerasan yang dilakukan oleh suatu massa

atau orang yang berkumpul bersama, orang yang membagi

hartanya secara sosial tidak terorganisasi dalam kaitannya

dengan nilai atau tujuan politik tertentu.

3. Kekerasan Gang, melibatkan suatu kelompok yang bertindak

bersama, adanya pandangan bahwa kekerasan merupakan

perilaku inovatif, mundur atau perilaku memberontak.

(Santoso, 2002:41).

Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk

kekerasan antara lain (Sunarto, 2009:123) :

a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar,

mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak,

melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata,

menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang

relevan.

b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara

membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan,

(35)

tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk

yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya

keluarga, anak, suami, istri, teman atau orang tua).

c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan

seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau

melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki

korban, memaksa korban menonton produk pornografi,

gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,

ucapan-ucapan merendahkan dan melecehkan dengan

mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban memaksa

hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa

melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai,

pornografi, kawin paksa.

d. Kekerasan financial adalah tindakan mengambil, mencuri uang

korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan

kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi

pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.

e. Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan

kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal

yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual

(36)

f. Kekerasan fungsional adalah tindakan memaksa melakukan

sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, meghalangi atau

menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa

kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan

lain-lain yang relevan.

2.1.4.3 Kekerasan dalam Media

Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan

sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan

gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun

didalamnya ada tersaji nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat

mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka

etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan,

mendefinisikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan

dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam

latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang

sifatnya simbol, kekerasan berupa sikap tidak saling peduli

masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar

dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan

media, tanpa terjebak bersikap represif. (http://id.shvoong.com).

Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya

kekerasan social riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa

(37)

representif masyarakat, alat penggerak hokum. (Haryatmoko,

2007:124).

Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga

berdasarkan tiga tipe dunia dalam media, yaitu : (Nel dalam buku

Haryatmoko, 2007:127)

1. Kekerasan – dokumen – Merupakan bagian dari dunia riil atau

factual. Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar

yang dapat mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan

gambar tersebut dipahami pemira sebagai dokumen atau

rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media dapat di

representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan

(pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan) bisa juga

dengan situasi (konflik, luka, tangisan) sehingga timbul emosi

yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri

manusia tersebut.

2. Kekerasan – fiksi – menunjuk kepada kepemilikan dunia yang

mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan

iklan. Kekerasan yang terdapat dalam kisah fiksi dapat

menyebabkan pemirsa terutama pada anak bisa meninggalkan

traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi menjadi

berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada

(38)

3. Kekerasan – simulasi – Berasal dari dunia virtual, misal : dalam

permainan video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi

memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak-anak yaitu

dapat melhirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan,

kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan video.

Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai

kekerasn simbolik (Haryatmoko, 2007:127). Kekerasan simbolik

berlangsung karena system informasi dan media besar berjalan

mengikuti aturan tertentu dalam bentuk keseragaman, tuntutan

reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan

penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan

(Haryatmoko, 2007: 128).

2.1.5. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam

suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena

psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu,

agresif, bahaya. Merah jika

(39)

mempunyai arti “Bahagia” di budaya

Oriental.

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan,

teknologi, kebersihan, keteraturan.

3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan

pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran,

pengecut (untuk budaya barat),

pengkhianat.

5. Ungu/Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan,

tranformasi, kekerasan, keangkuhan

6. Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan.

7. Coklat : Tanah/Bumi, reability, comfort, daya

tahan.

8. Abu-abu : Intelektual, masa depan (kaya warna

millenium), kesederhanaan, kesedihan.

9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan,

ketidakbersalahan,

kematian,ketakutan,kesedihan,keanggunan

.

(40)

2.1.6. Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata

Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri

didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang

terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95)

Menurut John Fiske (2004:282), semiotika adalah studi

tentang pertandaan dan makna dari sitem tanda, ilmu tentang tanda,

tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media, atau studi

tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat

yang mengkomunikasikan makna.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,

peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, dalam Alex

Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van

Zoest, dalam Alex Sobur 2002:96) mengartikan semiotik sebagai

ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara

berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,

pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang

mempergunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini

menganngap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan

(41)

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai arti.

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua

induk yang memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama,

Charles Sanders Pierce, seorang filsuf Amerika yang hidup

diperalihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan

ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan

bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda

dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan

apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak

bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005:33)

Logika, secara umum adalah (…) sekedar nama lain dari

semiotika (..), suatu doktrin formal atau Quasinecessary tentang

tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini

sebagai “Quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita

mengamati karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu,

dan dari pengamatan tadi (..) kita diarahkan kepada pernyataan

yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu

sama sekali niscaya. (Pierce, 1986:4 dalam Budiman, 2005:34)

Disisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotik yang

dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure

(42)

ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat.

Akan menjadi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya,

psikologi general. Dan diberi nama semiologi (dari bahasa Yunani

“Semeon” “tanda”). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa

yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang

mengendalikannya. (Saussure, 1966:16 dalam Budiman, 2005:35).

2.1.7. Teori Semiotika – John Fiske

Teori yang dikemukakan John Fiske adalah tentang “The

Codes of Television” (Fiske, 1987:4), dipakai oleh peneliti untuk

menganalisis film “Rumah Dara”. Peneliti menggunakan teori

semiotika John Fiske karena semiotika John Fiske mampu

memaknai obyek yang termasuk dalam gambar gerak (moving

image).

Kode adalah suatu tanda yang sudah ditetapkan dimana

peraturan dan konvensi telah dibagi dalam suatu sosial budaya,

yang digunakan untuk mengeneralisasikan dan mensirkulasikan

arti dalam dan untuk budaya itu sendiri. Kode adalah links diantara

produser, teks, penonton dan agen intertekstual melalui teks yang

berhubungan di dalam suatu netwrok yang telah menetapkan dalam

(43)

hirarki yang terlalu sederhana untuk suatu kejelasan. Teori ini

menyatakan bahwa peristiwa yang dinyatakan telah dienkode oleh

kode-kode sosial adalah sebagai berikut:

1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan

yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan

kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance

(penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment

(lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture

(gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara).

2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode

sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah

ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di

ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting

(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound

(suara).

3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak

hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah

pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam

dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara

lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter),

(44)

  36

2.1.9. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik,

mengingat film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek,

baik verbal maupun non verbal. Menurut pendekatan semiotik John

Fiske analisis isi terbagi atas tiga level yaitu level realitas, level

representasi dan level ideology. Sehingga akhirnya diperoleh hasil

dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan film ini.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan

dan Taylor dalam (Moleong, 2002:3) menyatakan bahwa metode

penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta

gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu tersebut secara utuh. Alasan penggunaan metode kualitatif

ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih

mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu

metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan

banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai

yang dihadapi. (Moleong, 2002:5).

Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk

memberikan gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait

dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang

terkonstruksi dalam film “Rumah Dara”.

(46)

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode

semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode

semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan

melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang

ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus

penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian

analisis yang dikemukakan John Fiske untuk merepresentasikan

atau memaknai kekerasan dalam film “Rumah Dara” melalui

aktor-aktor utama.

3.2. Kerangka Konseptual

3.2.1.Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu

pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah

sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada

perkembangannya oleh analisis kesewenangan. Corpus haruslah

cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa

unsur-unsur akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan

yang lengkap, Corpus juga bersifat homogen mungkin, baik

(47)

Keseluruhan scene dalam film ini adalah 134 dan yang

menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 18 adegan

(selengkapnya ada pada lampiran) dan dialog yang merujuk pada

kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dalam

film “Rumah Dara” yang ditonton dalam versi DVD. Corpus dalam

penelitian ini sebagai berikut :

Kekerasan Fisik:

3.2.1.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam dengan pisau

3.2.1.2. Adam mematahkan tangan Alam tangan Alam

(48)

3.2.1.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam

3.2.1.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman

(49)

 

3.2.1.6. Adjie mencekik ibu Dara

3.2.1.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman

(50)

3.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya

3.2.1.10. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya

(51)

3.2.1.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan clurit milik adam

3.2.1.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak bisa bernapas

(52)

Kekerasan Psikologis :

3.2.1.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya

Kekerasan Seksual :

(53)

3.2.1.16. Arman memergoki ladya lalu membawanya kekamar untuk melakukan adegan seksual dengan cara paksaan

3.2.2. Definisi Operasional

3.2.2.1. Representasi

Representasi berasal dari kata dasar Bahasa Inggris

represent yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.

Representasi juga berarti sebagai proses dan hasil memberi makna

khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan

representasi kekerasan yaitu kekerasan itu sendiri yang dihadirkan

atau diperlihatkan melalui tanda-tanda melalui aktor-aktor utama

dalam film “Rumah Dara” berarti.

(54)

3.2.2.2.Kekerasan

Kekerasan dalam film ini adalah kegiatan atau hal yang

keras, kekuatan dan paksaan , dan tekanan suatu serangan/invasi

fisik atau integritas mental psikologis yang dilakukan oleh

tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.

3.2.2.3.Kategori Kekerasan

Kategori kekerasan dalam film “Rumah Dara” ini adalah :

a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar,

mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak,

melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata,

menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang

relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film

“Rumah Dara”.

b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak,

menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan,

menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang

menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada

orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, istri, teman

atau orang tua) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film

(55)

c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan

seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan

tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa

korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual

yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan merendahkan dan

melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks

korban memaksa hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan

korban, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak

disukai, pornografi, kawin paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh

utama dalam film “Rumah Dara”.

d. Kekerasan Verbal : kekerasan yang berbentuk kata-kata, umpatan,

hinaan dan menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan

marah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah

Dara”.

3.3. Unit Analisis

Unit analisis pada film ini adalah keseluruhan tanda dan

lambing yang menunjukkan kekerasan berdasarkan pembagian

level analisis John Fiske, yang terdapat pada aktor-aktor utama

dalam film “Rumah Dara”. Pembagian level tanda lambing

menurut John Fiske yaitu :

(56)

1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan

yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan

kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance

(penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment

(lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture

(gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara) yang terdapat

pada film “Rumah Dara”.

2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode

sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah

ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di

ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting

(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound

(suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.

3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak

hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah

pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam

dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara

lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter),

action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran) yang

(57)

3.4. Jenis Sumber Data

3.4.1.1. Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD

“Rumah Dara”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah

terbagi kedalam 12 chapter. Pembagian chapter-chapter ini

membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data

berupa gamabar-gambar dalam film tersebut yang digunakan dalam

penelitian ini.

3.4.2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan

tambahan dari sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti

buku, majalah, internet. Sumber bahan ini dapat melengkapi

informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap,

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan

teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak

pada film “Rumah Dara” dan melakukan studi kepustakaan untuk

melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.

(58)

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan

berdasarkan sistem tanda yang tampak pada cerita “Rumah Dara”

yang dapat digolongkan sebagai kekerasan. Kemudian tanda

tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik

John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :

1. Level Reality (realitas),

Kode sosialnya yang termasuk dalam level pertama ini yaitu

meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make up

(riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech

(dialog), gesture (gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara)

yang terdapat pada film “Rumah Dara”.

2. Level representation

Dalam level kedua ini, kode-kode yang termasuk didalamnya

antara lain berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera

(kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music

(59)

51 

 

  3. Level Ideology (ideologi),

Kode-kode yang termasuk dalam level ketiga yaitu, narrative

(narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi),

dialogue (dialog), casting (pemeran) yang terdapat pada film

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data

4.1.1. Gambaran Umum Film Rumah Dara

Film Rumah Dara di produksi Merah Production yang disutradarai

oleh Duo sutradara bertalenta besar Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto

atau lebih dikenal dengan Mo Brothers, telah berhasil membesut film yang

“thanks to them” memberikan sedikit nafas lega akan sebuah film yang

berbeda. Ketika atmosfir genre di perfilman Indonesia didominasi hanya

yang “itu-itu” saja, Macabre atau Rumah Dara hadir dengan genre yang

tidak poluler di negeri kita, yakni film slasher.

Bagi yang tidak tahu jenis film apakah slasher itu, mungkin jika

menyebut judul SAW akan ada gambaran seperti apa genre ini. Mo

Brothers seakan tidak peduli filmnya akan laku atau tidak nantinya, karena

mereka toh tahu dan yakin, film jenis ini ada penggemarnya dan penonton

kita sudah gerah dengan film yang hanya menjual kebodohan, seksualitas,

dan horor tong kosong nyaring bunyinya. Dari sudut pandang penggemar

film dan pecinta film tanah air, film ini telah menyelamatkan kita dari

ketololan abadi yang berasal dari film-film yang tidak lebih dari sampah,

(61)

Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir

tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan

berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari

separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam. Bagi

penggemar film slasher, sudah barang tentu akan menyukai setiap adegan

dalam film ini. mata yang tertusuk stiletto, kepala yang terpenggal, kaki

patah, tangan terpotong, hingga jari-jari tertusuk pisau disajikan dengan

nyata

Tidak ada kata sia-sia atau menyesal dengan film berdurasi hampir

100 menit ini. Selepas menonton ini yang tersisa adalah sebuah kepuasan,

mulut ini pun tak berhenti memuja keseluruhan isi film, yah tentu saja

dengan sedikit kekurangannya juga. Film yang juga memenangkan

penghargaan untuk kategori aktris terbaik di Puchon Film Festival di

Korea Selatan ini, merupakan sebuah paket slasher yang dikemas sangat

menggemaskan dengan darah yang mengalir tak ada hentinya, di balut

dengan teror ketika sang Ibu Dara mulai memburu dengan atau tanpa

senjata di tangan, dengan “finishing touch” seluruh isi perut dan daging

manusia, Macabre adalah hadiah akhir tahun terbaik khususnya untuk

penggemar film horor dan perfilman Indonesia pada umumnya.

Film ini memang tidak menonjolkan kelebihannya dari segi cerita,

karena apa yang ditawarkan dari cerita hanya layaknya dongeng sebelum

(62)

mimpi buruk lewat adegan-adegan sadis yang cukup membuat ngilu.

Penonton dipaksa dengan lembut untuk sesekali berteriak dan menutup

mata, ketika Mo Brothers mulai menaikkan intensitas ketegangan di film

ini. Perkenalan belasan menit kepada masing-masing karakter dalam film

ini dirasa telah cukup, untuk nantinya mempersilahkan para penonton

untuk memilih siapa yang seharusnya hidup dan siapa yang harus mati

terlebih dahulu. Di lain sisi, kemisteriusan Dara dan keluarganya tetap

terjaga dan makin membuat penasaraan dari awal kemunculan mereka

sampai film ini bergulir dari adegan demi adegan.

Lewat cerita yang lurus-lurus saja, justru membuat Mo Brothers

dapat dengan leluasa mengeksplorasi tingkat kesadisan yang bisa

ditampilkan film ini. Terbukti, film ini dengan baik dapat mengirimkan

pesan berdarahnya sampai dengan selamat kepada penonton-penontonya

yang sedang menanti adegan selanjutnya sambil menutup mata mereka.

Walau cukup berbasa-basi diawal, pada kenyataannya film ini tidak

berbasa-basi soal menampilkan sosok-sosok jahat yang siap sedia

memotong bagian tubuh manusia sepotong demi sepotong. Tatapan dingin

nan haus darah Ibu Dara dan anak-anaknya berhasil menyeret kita ke level

ketegangan yang makin lama-makin meninggi, layaknya menaiki sebuah

rollercoaster, kita diajak naik sampai tingkat yang paling tinggi lalu terjun

(63)

Macabre adalah obat penenang bagi yang sakit jiwa, jika dosisnya

terlalu banyak, maka sang pasien akan menjerit-jerit histeris dan lompat

dari bangku penonton. Kitalah pasiennya, kitalah yang sakit jiwa karena

telah menonton film yang sakit pula, dan kita bertepuk tangan untuk film

ini layaknya sebuah drama shakespeare, apakah bukan sakit itu namanya.

Mungkin juga tidak, kita tidak sakit, tapi puas akan apa yang dicapai oleh

perfilman tanah air. Lewat Mo Brothers, kita telah disuguhkan dengan

tontonan alternatif yang berkualitas dan salut untuk mereka yang telah

berjalan di jalur berbeda tersebut sendiri dan berani mengambil resikonya.

ENAK KAN!!

4.1.2. Penyajian Data

Cerita film “Rumah Dara” diawali dari Adjie dan Astrid, pasangan

suami istri yang akan diberkati kehadiran anak pertama, pergi bersama 3

temannya ke Bandung pada suatu malam. Perjalanan ini merupakan usaha

terakhir Adjie untuk berpamitan dengan adiknya, Ladya. Kedua

kakak-beradik ini sudah tak akur lagi, dan besok Adjie harus berangkat ke

Australia untuk menempuh hidup baru, Pertemuan mereka tidak berjalan

mulus pada mulanya.

Ladya yang seorang pemberontak menyalahkan Adjie atas tragedi

(64)

sungkan ikut mengantar ke bandara, Perjalanan terhenti ketika seorang

perempuan cantik menghampiri mereka dengan cemas dan lingkung.

“Nama saya Maya. Saya baru saja dirampok,” ujarnya.

Berniat menolong, mereka pun mengantar perempuan ini pulang

Sesampainya di rumah Maya, mereka diperkenalkan kepada seorang

perempuan anggun dan misterius bernama Dara. Disinilah niat tulus dan

maksud baik menjadi awal bencana.

Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir

tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan

berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari

separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam.

Kekerasan dalam film ini kemudian dijabarkan lagi menjadi Kekerasan

(65)

4.2. ANALISIS DATA

Penggalan Scene 1

4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam

dengan pisau

Level Realitas :

 Penampilan (kostum dan make up) :

Alam menggunakan kaos dan celana jeans dan make up

terlihat dengan bekas luka yang ada dikepalanya,

Maya menggunakan short dress berwarna merah, make up

Maya terlihat pucat dengan rambut yang terurai.

 Setting :

Suasana ruang makan rumah maya, yang sebelumnya Alam,

jimmy, Eko, Ladya sedang menyantap hidangan makan malam yang

(66)

Level Representasi

 Camera : Close Up (CU),

teknik pengambilan gambar ini menciptakan ketegangan dan

menambah kengerian, karena gambar terlihat sangat detail, seperti

percikan darah dalam adegan scene ini.

 Lighting :

lighting yang digunakan lighting tungsten /blonde 2000w yang

menampilkan cahaya yang kuning, pada scene ini terlihat terang,

karena ingin memperlihatkan ekspresi Alam dan goresan luka yang ada

pada tangan Alam

Level Ideologi

 Dialog :

Maya : Kamu sudah bangun…???

Alam : Temen gue kemana yah??

Maya : Teman-teman kamu…mereka ada diatas

Alam : Gua ke atas dulu ya…

Maya : Hey…Alam, tunggu aja

Kamu dari tadi tidak mau berbicara dengan saya kenapa??

Alam : Si Ladya diatas..??

Maya` : Memangnya ada apa sih??

Temani saya sebentar saja..kedapur…kamu tidak suka

(67)

Alam : Ok…gua Cuma mau tahu temen-temen gua & ladya

dimana…

Maya : Teman-teman kamu diatas…masak kamu tidak mau

temenin saya yang lagi sendirian???

Alam : Gue Cuma pengen cari temen-temen gue…

Ah…eko kemana sih,,,, Apa lagi sih may….????

Maya : Memangnya kenapa sih….??

Memangnya kenapa….???

Kenapa……???hah….

Analisis :

Pada adegan ini, Maya mengahampiri Alam yang baru tersadar dari

pingsan, Alam kebingungan mencari teman-temannya lalu maya mencoba

menghalangi Alam untuk mencari temannya dengan merayu alam secara

sensual, namun alam tetap pada pendiriannya bahwa ia cuma ingin

mencari temannya dan tidak terjebak rayuan dari maya, lalu alam

mendorong maya, dan seketika itu maya marah, lalu maya memegang

tangan alam dan melukai tangan alam dengan pisau. Alam terkejut dengan

ekpresi ketakutan, alam perlahan-lahan mundur, dan alam melakukan

perlawanan dengan menendang maya hingga terjatuh, maya pun semakin

emosi, lalu maya juga berhasil melukai pipi alam dengan pisaunya itu.

Pada scene ini, adalah pembukaan dari mulainya perguliran darah,

Gambar

gambar tersebut dipahami pemira sebagai dokumen atau
gambar secara close up to close up, hanya terlihat penimbulan penggunaan
gambar ini juga memberikan informasi tentang suasana di sekitar scene
gambar Long

Referensi

Dokumen terkait

Kekerasan fisik ada yang menggunakan alat atau senjata, ada juga yang tidak. menggunakan senjata

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dalam film ini digambarkan adanya kekerasan terhadap anak-anak gelandangan di India yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga

”Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai bentuknya : fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi kekerasan seksual terutama bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang terdapat dalam film “Perempuan

Film ini termasuk salah satu film yang bermasalah karena dalam penayangan nya melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia

Melalui analisis terhadap 11 adegan dari film Pintu Terlarang berdasarkan aspek egoisme di atas, dapat disimpulkan jika makna dari egoisme dapat

Hasil dari penelitian ini ditemukan banyak macam representasi kekerasan yang direpresentasikan oleh Bang jarot terhadap anak-anak copet didikannya dalam film

Film ini termasuk salah satu film yang bermasalah karena dalam penayangan nya melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia