REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA”
(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)
SKRIPSI
Oleh :
R.NOVAYANA KHARISMA NPM. 0743010213
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Judul Penelitian :
REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAHDARA”(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam
Film “RUMAH DARA”)
Nama Mahasiswa : R.Novayana Kharisma
NPM : 0743010213
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti ujian / seminar proposal.
KETUA PROGRAM STUDI PEMBIMBING
JUWITO, S.Sos, M.Si. ZAINAL ABIDIN ACHMAD. S.Sos, M.Si. M. ED
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat, Nikmat, serta
Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang
berjudul REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA”
(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH
DARA”)
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si,
M.Ed sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam
penyusunan Skripsi ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak
yan telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini baik
moral maupun tenaga antara lain :
1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia
untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.
4. Untuk Mami dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,
5. Untuk “Cinta”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.
6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,
Pencenk, Cupank, Vermin, Hendry you’re the best guys.
Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam
penyusunan Proposal ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Proposal ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis
untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis
terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga Proposal ini dapat
memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima
kasih.
Surabaya, 6 Mei 2011
DAFTAR GAMBAR
4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi
Alam dengan pisau
4.2.2. Adam mematahkan tangan Alam tangan Alam
4.2.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam
4.2.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman
4.2.5. Leher Jimmy dipatahkan oleh Adam
4.2.6. Adjie mencekik ibu Dara
4.2.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman
4.2.8. Adam membacok tangan Petrus hingga putus
4.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya
4.2.10. Dara memukul syarief dengan senjata api milik syarief hingga
mati
4.2.11. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya
4.2.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan
clurit milik adam
4.2.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak
bisa bernapas
4.2.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya
4.2.15. Arman mencoba menjilati dan mencium bagian tubuh ladya
namun ladya berhasil meloloskan diri
ABSTRAKSI
R.NOVAYANA KHARISMA. REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Semiotik Terhadap Film “Rumah Dara”)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam film melalui tokoh-tokoh utama. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat.
Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera, pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media
Massa Dalam Kehidupan Masyarakat.
Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan verbal dan kekerasan psikologis. Kekerasan tersebut dilakukan karena ingin menyelamatkan diri dari serangan keluarga ibu dara yang dialami tokoh-tokoh utama, dan kekerasan yang dihadirkan merupakan bumbu untuk menimbulkan kengerian dan ketakutan bagi penontonnya.
Kata kunci :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi
fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini,
film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari
kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup
signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai
pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu
pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia
karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film
tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208).
Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam
media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya
memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak
sesuatu.
Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang
mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20
yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,
merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap
penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton
ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media
menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga
mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.
Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi
kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam
menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat
sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah
film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu,
dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu,
misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema sentral.
Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara
umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu
film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan
kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang
menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang
dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat
dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu
hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu
medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu
sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi
kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas,
yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat publik
terpesona, yang dapat membuat publik tertawa terbahak-bahak,
menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol, marah,
terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah dari
kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari,
atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film
(Effendy,2003:207)
Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam
banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,
hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier.
Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu
mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan
pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu,
kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,
lantas membuat para ahli film memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayaknya.
Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan
televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan
dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah
memahami apa yang disampaikan olehnya dari pada
menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara
drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita
dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi
massa, tanpa kita bertanya bagaimana cara mereka menyampaikan
komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka
sampaikan.
Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat
memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan
tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan
pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film.
Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia
dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat
dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu
menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.
“we understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories
(Metz, 1974 : 47)
Karakter film sebagai media massa mampu membentuk
semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi
film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum
pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam
Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas
sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film
menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau,
cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa
yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat
membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang
progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar,
tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi
juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang
telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan
menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di
negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran
tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau
identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk
komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor,
2000:1)
Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan
tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang
diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai
dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja,
serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan
terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada
penonton, terutama dalam pembentukan kepribadian dan watak
anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood
memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai
dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang
sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga
menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal.
“Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America,
film-film Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan.
Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total
recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan
sehari-hari” (Sumarno,1998:85).
Salah satu film yang bercerita tentang fenomena kekerasan
di Indonesia yaitu film yang berjudul “Rumah Dara” Film yang
bersemboyan "Horor menemukan seorang ibu" ini disutradarai
oleh Mo Brothers yaitu duet sutadara, yakni Kimo Stamboel dan
Timothy Tjahjanto dan dibintangi oleh Shareefa Daanish dan Julie
Estelle sebagai tokoh utama. Film Rumah Dara berkisah mengenai
sekelompok pemuda-pemudi yang terjebak di rumah milik seorang
pembunuh misterius yang bernama "Dara". Dan setiap tamu yang
datang kerumahnya akan dibunuh dan dibantai secara sadis seperti
kepala di penggal dengan gergaji mesin lalu di mutilasi, mata
ditusuk dengan stileto, tangan di bacok dengan clurit hingga putus,
dibakar dengan lighter dan masi banyak adegan lainnya yang lebih
faktor –faktor pendukung lain yang ditampilkan dalam film ini
yaitu simbol-simbol hiasan dinding seperti kepala-kepala hewan,
senjata tajam seperti pedang samurai dan pisau serta simbol
pentagram yang sangat sarat dengan tanda atau lambang pemujaan
setan.
Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam
kategori film yang mengekspos kekerasan secara berlebihan.
Hampir semua bentuk kekerasan tergambar dan terwakili dalam
ini, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal dan nonverbal,
kekerasan agresif-defensif, kekerasan individu-kolektif maupun
kekerasan semoitik atau simbolis.
Rumah Dara adalah film horor jagal dari Indonesia yang
dirilis pada tanggal 22 Januari 2010. Sebelum ditayangkan di
Indonesia, karakter Dara telah lebih dahulu dipopulerkan lewat
segmen film pendek "Dara" dalam film horor antologi "Takut:
Faces of Fear" yang juga disutradarai Mo Brothers dan dirilis pada
tahun 2008 di festival-festival film di seluruh dunia. Segmen film
pendek Dara mendapat begitu banyak tanggapan positif sehingga
akhirnya Rumah Dara mendapat harapan besar dari para
penggemar film Dara. Pada tahun 2008-2009, Rumah Dara juga
telah dilayarkan lebih dahulu di berbagai festival film internasional
dan banyak meraih penghargaan. Pada akhir 2009, film ini
ditayangkan di Singapura terlebih dahulu dan mendapatkan rating
M18 (untuk adegan sadis dan kekerasan).Rumah Dara lalu dirilis
secara serempak di seluruh Indonesia pada tanggal 22 Januari
2010. Distribusi film ini ke Amerika Utara dan Eropa telah dibeli
oleh Overlook Entertainment. Film ini sangatlah bertolak belakang
dengan apa yang diinginkan padap RUU perfilman Indonesia yang
tepat pada bulan maret 1992 RUU tersebut di sahkan menjadi
Undang-Undang. Pada pasal 36 ayat b: menonjolkan unsur
kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang; dan pasal 48 f mengenai pembatasan adegan seks,
kekerasan, dan sadisme. Terkait dengan pasal 33 ayat 1 “ barang
siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor,
mempertunjukkan dan menayangkan film yang tidak di sensor
akan dikenai pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp.40.000.000 (empat puluh juta rupiah).
(http//www.google.co.id/RUU perfilman). Tetapi mengapa di
Indonesia malah film ini ditayangkan di bioskop-bioskop dan
diedarkan secara resmi? Dalam twitter resmi Rumah dara,
diumumkan bahwa film ini dicekal dan dilarang untuk tayang di
Malaysia karena tema yang dianggap bertentangan dengan hukum
yang dicekal dan dilarang untuk tayang di Malaysia.
(ESQmagazine. 24 Februari 2011)
Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung
kekerasan, maka akan berdampak negative bagi penonotonnya,
karena bukan tidak mungkin lagi bagi mereka meniru apa yang
sudah mereka lihat dari film, oleh karena itu, menurut
Eigynysebroto (1977:78) kekerasan adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat
(atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi lebih lemah (atau yang dipandang berada
dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang
superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa
derita dipihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu.
Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai
alat analisis. Sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan
lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa
film adalah suatu bentuk pesan komunikasi. Komunikasi sendiri
adalah suatu proses simbolik yakni penggunaan lambing-lambang
yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah suatu yang
digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu lainnya
berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi lambang pada dasarnya
tidak mempunyai suatu makna pada satu lambang. Sedangkan
semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan
sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil
sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau
tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada suatu waktu tertentu
(Berger, 2000:11-12 dalam Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika
yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya
tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda-tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para
semiolog memandang film, program televisi, poster, iklan, dan
bentuk lainnya sebagai teks semacam dalam linguistic. Dalam hal
ini film dapat bertugas untuk memperluaskan bahasa (Barthes,
2001:53)
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin
meneliti “Bagaimanakah Representasi kekerasan dalam film
“Rumah Dara” ? ”
1.3. Tujuan Peneliti
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini
adalah untuk mengetahui representasi kekerasan dalam film
11
1.4. Manfaat Penelitian
Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah
wawasan dan pengetahuan bagi peneliti untuk mengetahui
representasi kekerasan pada film, yang ingin menganalisa
kajian kekerasan dengan menggunakan metode semiotika.
2. Secara Praktis
Analisis semiotik kekerasan di film “Rumah Dara” dapat
digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian
selanjutnya. Dan menjadi kerangka acuan bagi film maker
Indonesia agar lebih hati-hati dalam menampilkan
adegan-adegan kekerasan dalam film, karena sangat berdampak
negatif bagi penontonnya
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa
Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun
1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang :
Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita,
video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,
jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan atau lainnya.
Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media
massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai
sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan
kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.
Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap
menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan
semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi,
sehingga senantiasa melakukan pengkajian yang seksama
(Effendy,2003:79).
Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai
sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non
elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif
persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi
khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena
medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya
untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan
suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana
penonton mencekam.
Seorang komunikator melalui media massa dikatakan
mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk
menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai
jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak
komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi
Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang
diulangi ribuan kali secara serentak.
“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator,
harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari
komunikasi massa adalah :
a. Komunikator melembaga
b. Pesan bersifat umum
c. Media menimbulkan keserempakan
d. Komunikan bersifat heterogen
e. Proses berlangsung satu arah
Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat
macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :
a. Surveillance, menunjuk pada fungsi pengumpulan dan
penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam
lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi
ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.
b. Correlation, meliputi fungsi interpretasi pesan yang
menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam
mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai
fungsi editorial dan propaganda.
c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan
informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu
masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini di
identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.
d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif
yang dimaksudkan untuk memberi hiburan tanpa
mengaharapkan efek-efek tertentu.
Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal
ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk
menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang
menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Mira Lesmana :
“Film adalah pilihan hidup saya dan medium ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia adalah rekaman pikiran manusia-manusia Indonesia pada jamannya “Extremely Important To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu,
serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis
lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)
` 2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam
Alex sobur.2002:127).
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas.
Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu.
Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti
sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang
ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga
dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha
menampilkan “citra bergerak”(moving image) namun juga telah di
ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik,
kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah
dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu.
Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang
universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan
dampak negatif (Victor
C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)
Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L
Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas
Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social
Construction of Reality (1996). Menurut Berger realitas sosial
eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial
realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal
oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif.
(Poloma,2000:299)
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan
menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui
realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang
berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar
kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari
pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya
dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita
sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa
terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal.
Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas
kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan
realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas
yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non
problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified)
realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda
dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan
sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif
manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial
yang obyektif melalui proses internalisasi (yang mencerminkan
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk
masyarakat. (Poloma,2000:13)
Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas
sosial mempunyai tiga tahap :
Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau
ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental
maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan
selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia
tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari
dunia luarnya.
Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu
sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan
dari manusia yang menghasilkannya.
Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.
Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan
tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar
Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari
masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).
Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi
dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.
Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat,
diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk
individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya.
Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang
mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas
obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi
bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini
diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat
dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang
mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak
seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses
sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas
manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara
kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi
mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan
demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya
dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah
2.1.3. Representasi
Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi
adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas
disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau
kombinasinya (Fiske, 2004:282).
Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang
berupa simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti,
sehingga kita dapat mengetahui hasil yang didapat setelah
melakukan representasi terhadap film yang diteliti.
Chris Barker menyebutkan bahwa representasi
merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi
sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara
sosialn dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam
pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada
bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Chris
Barker, 2004:8)
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu
praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari
kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling
berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)
representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk
media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau
kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas
budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan
bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.
(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).
Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama
representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada
dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi
mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan
penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim,
supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang
sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia
dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua,
kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta
konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam
bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara
bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti,
2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada
pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi
yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam
suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses
representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang
membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada
pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau
sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa
(Eriyanto,2001:113).
Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar,
cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain
didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film
sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film
sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas,
film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu.
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).
2.1.4. Pengertian Kekerasan
2.1.4.1. Definisi Kekerasan
Kekerasan atau bahasa Inggris: Violence berasal dari
bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti
kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum
publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik
yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang
mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada
kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh
perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan
kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat
diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan
keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu
dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini. Kekerasan
antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan,
pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan
untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya
tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang
mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak
terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak,
seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan
antar-masyarakat) dan terorisme. (Bourdieu, Pierre, 1977:248)
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan
sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan.
Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi
kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.
(Poerwadarminta, 1999:102).
Sedangkan dalam bahasa inggris, kekerasan (violence)
berarti suatu serangan / invasi fisik ataupun integritas mental
psikologis seseorang. (Englander dalam Saraswati,2006:13).
Ada dua jenis kekerasan menurut kompas (1993) dalam
penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) yaitu kekerasan verbal dan
non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk
kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi: umpatan, olok-olok,
hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara
adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan
kecepatan suara.
2.1.4.2 Kategori Kekerasan
Ada empat jenis kekerasan yang diidentifikasi (Santoso,
2002:11):
1. Kekerasan Terbuka
Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.
2. Kekerasan Tertutup
Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti
perilaku mengancam.
3. Kekerasan Agresif
Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu seperti penjabalan.
4. Kekerasan Difensif
Kekerasan bisa merupakan suatu aktivitas kelompok atau
individu yang disebut :
1. Kekerasan individu, seperti bunuh diri.
2. Kekerasan kolektif, kekerasan yang dilakukan oleh suatu massa
atau orang yang berkumpul bersama, orang yang membagi
hartanya secara sosial tidak terorganisasi dalam kaitannya
dengan nilai atau tujuan politik tertentu.
3. Kekerasan Gang, melibatkan suatu kelompok yang bertindak
bersama, adanya pandangan bahwa kekerasan merupakan
perilaku inovatif, mundur atau perilaku memberontak.
(Santoso, 2002:41).
Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk
kekerasan antara lain (Sunarto, 2009:123) :
a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar,
mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak,
melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata,
menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang
relevan.
b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara
membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan,
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk
yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya
keluarga, anak, suami, istri, teman atau orang tua).
c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan
seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau
melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki
korban, memaksa korban menonton produk pornografi,
gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,
ucapan-ucapan merendahkan dan melecehkan dengan
mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban memaksa
hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa
melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai,
pornografi, kawin paksa.
d. Kekerasan financial adalah tindakan mengambil, mencuri uang
korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan
kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi
pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.
e. Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan
kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal
yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual
f. Kekerasan fungsional adalah tindakan memaksa melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, meghalangi atau
menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa
kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan
lain-lain yang relevan.
2.1.4.3 Kekerasan dalam Media
Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan
sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan
gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun
didalamnya ada tersaji nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat
mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka
etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan,
mendefinisikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan
dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam
latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang
sifatnya simbol, kekerasan berupa sikap tidak saling peduli
masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar
dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan
media, tanpa terjebak bersikap represif. (http://id.shvoong.com).
Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan social riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa
representif masyarakat, alat penggerak hokum. (Haryatmoko,
2007:124).
Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga
berdasarkan tiga tipe dunia dalam media, yaitu : (Nel dalam buku
Haryatmoko, 2007:127)
1. Kekerasan – dokumen – Merupakan bagian dari dunia riil atau
factual. Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar
yang dapat mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan
gambar tersebut dipahami pemira sebagai dokumen atau
rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media dapat di
representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan
(pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan) bisa juga
dengan situasi (konflik, luka, tangisan) sehingga timbul emosi
yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri
manusia tersebut.
2. Kekerasan – fiksi – menunjuk kepada kepemilikan dunia yang
mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan
iklan. Kekerasan yang terdapat dalam kisah fiksi dapat
menyebabkan pemirsa terutama pada anak bisa meninggalkan
traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi menjadi
berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada
3. Kekerasan – simulasi – Berasal dari dunia virtual, misal : dalam
permainan video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi
memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak-anak yaitu
dapat melhirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan,
kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan video.
Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai
kekerasn simbolik (Haryatmoko, 2007:127). Kekerasan simbolik
berlangsung karena system informasi dan media besar berjalan
mengikuti aturan tertentu dalam bentuk keseragaman, tuntutan
reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan
penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan
(Haryatmoko, 2007: 128).
2.1.5. Respon Psikologi Warna
Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam
suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena
psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:
1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu,
agresif, bahaya. Merah jika
mempunyai arti “Bahagia” di budaya
Oriental.
2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan,
teknologi, kebersihan, keteraturan.
3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan
pembaharuan.
4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran,
pengecut (untuk budaya barat),
pengkhianat.
5. Ungu/Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan,
tranformasi, kekerasan, keangkuhan
6. Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan.
7. Coklat : Tanah/Bumi, reability, comfort, daya
tahan.
8. Abu-abu : Intelektual, masa depan (kaya warna
millenium), kesederhanaan, kesedihan.
9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan,
ketidakbersalahan,
kematian,ketakutan,kesedihan,keanggunan
.
2.1.6. Semiotika
Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata
Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95)
Menurut John Fiske (2004:282), semiotika adalah studi
tentang pertandaan dan makna dari sitem tanda, ilmu tentang tanda,
tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media, atau studi
tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat
yang mengkomunikasikan makna.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, dalam Alex
Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van
Zoest, dalam Alex Sobur 2002:96) mengartikan semiotik sebagai
ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini
menganngap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti.
Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua
induk yang memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama,
Charles Sanders Pierce, seorang filsuf Amerika yang hidup
diperalihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan
ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan
bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda
dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan
apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak
bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005:33)
Logika, secara umum adalah (…) sekedar nama lain dari
semiotika (..), suatu doktrin formal atau Quasinecessary tentang
tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini
sebagai “Quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita
mengamati karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu,
dan dari pengamatan tadi (..) kita diarahkan kepada pernyataan
yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu
sama sekali niscaya. (Pierce, 1986:4 dalam Budiman, 2005:34)
Disisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotik yang
dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure
ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat.
Akan menjadi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya,
psikologi general. Dan diberi nama semiologi (dari bahasa Yunani
“Semeon” “tanda”). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa
yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang
mengendalikannya. (Saussure, 1966:16 dalam Budiman, 2005:35).
2.1.7. Teori Semiotika – John Fiske
Teori yang dikemukakan John Fiske adalah tentang “The
Codes of Television” (Fiske, 1987:4), dipakai oleh peneliti untuk
menganalisis film “Rumah Dara”. Peneliti menggunakan teori
semiotika John Fiske karena semiotika John Fiske mampu
memaknai obyek yang termasuk dalam gambar gerak (moving
image).
Kode adalah suatu tanda yang sudah ditetapkan dimana
peraturan dan konvensi telah dibagi dalam suatu sosial budaya,
yang digunakan untuk mengeneralisasikan dan mensirkulasikan
arti dalam dan untuk budaya itu sendiri. Kode adalah links diantara
produser, teks, penonton dan agen intertekstual melalui teks yang
berhubungan di dalam suatu netwrok yang telah menetapkan dalam
hirarki yang terlalu sederhana untuk suatu kejelasan. Teori ini
menyatakan bahwa peristiwa yang dinyatakan telah dienkode oleh
kode-kode sosial adalah sebagai berikut:
1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan
yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan
kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance
(penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment
(lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture
(gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara).
2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode
sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah
ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di
ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting
(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound
(suara).
3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak
hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah
pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam
dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara
lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter),
36
2.1.9. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik,
mengingat film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek,
baik verbal maupun non verbal. Menurut pendekatan semiotik John
Fiske analisis isi terbagi atas tiga level yaitu level realitas, level
representasi dan level ideology. Sehingga akhirnya diperoleh hasil
dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan film ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan
dan Taylor dalam (Moleong, 2002:3) menyatakan bahwa metode
penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta
gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara utuh. Alasan penggunaan metode kualitatif
ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih
mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu
metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai
yang dihadapi. (Moleong, 2002:5).
Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk
memberikan gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait
dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang
terkonstruksi dalam film “Rumah Dara”.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode
semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode
semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan
melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang
ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus
penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian
analisis yang dikemukakan John Fiske untuk merepresentasikan
atau memaknai kekerasan dalam film “Rumah Dara” melalui
aktor-aktor utama.
3.2. Kerangka Konseptual
3.2.1.Corpus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu
pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah
sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada
perkembangannya oleh analisis kesewenangan. Corpus haruslah
cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa
unsur-unsur akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan
yang lengkap, Corpus juga bersifat homogen mungkin, baik
Keseluruhan scene dalam film ini adalah 134 dan yang
menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 18 adegan
(selengkapnya ada pada lampiran) dan dialog yang merujuk pada
kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dalam
film “Rumah Dara” yang ditonton dalam versi DVD. Corpus dalam
penelitian ini sebagai berikut :
Kekerasan Fisik:
3.2.1.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam dengan pisau
3.2.1.2. Adam mematahkan tangan Alam tangan Alam
3.2.1.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam
3.2.1.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman
3.2.1.6. Adjie mencekik ibu Dara
3.2.1.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman
3.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya
3.2.1.10. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya
3.2.1.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan clurit milik adam
3.2.1.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak bisa bernapas
Kekerasan Psikologis :
3.2.1.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya
Kekerasan Seksual :
3.2.1.16. Arman memergoki ladya lalu membawanya kekamar untuk melakukan adegan seksual dengan cara paksaan
3.2.2. Definisi Operasional
3.2.2.1. Representasi
Representasi berasal dari kata dasar Bahasa Inggris
represent yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.
Representasi juga berarti sebagai proses dan hasil memberi makna
khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
representasi kekerasan yaitu kekerasan itu sendiri yang dihadirkan
atau diperlihatkan melalui tanda-tanda melalui aktor-aktor utama
dalam film “Rumah Dara” berarti.
3.2.2.2.Kekerasan
Kekerasan dalam film ini adalah kegiatan atau hal yang
keras, kekuatan dan paksaan , dan tekanan suatu serangan/invasi
fisik atau integritas mental psikologis yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.
3.2.2.3.Kategori Kekerasan
Kategori kekerasan dalam film “Rumah Dara” ini adalah :
a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar,
mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak,
melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata,
menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang
relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film
“Rumah Dara”.
b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak,
menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan,
menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang
menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada
orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, istri, teman
atau orang tua) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film
c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan
seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan
tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa
korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual
yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan merendahkan dan
melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks
korban memaksa hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan
korban, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak
disukai, pornografi, kawin paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
utama dalam film “Rumah Dara”.
d. Kekerasan Verbal : kekerasan yang berbentuk kata-kata, umpatan,
hinaan dan menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan
marah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah
Dara”.
3.3. Unit Analisis
Unit analisis pada film ini adalah keseluruhan tanda dan
lambing yang menunjukkan kekerasan berdasarkan pembagian
level analisis John Fiske, yang terdapat pada aktor-aktor utama
dalam film “Rumah Dara”. Pembagian level tanda lambing
menurut John Fiske yaitu :
1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan
yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan
kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance
(penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment
(lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture
(gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara) yang terdapat
pada film “Rumah Dara”.
2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode
sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah
ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di
ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting
(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound
(suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.
3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak
hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah
pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam
dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara
lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter),
action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran) yang
3.4. Jenis Sumber Data
3.4.1.1. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD
“Rumah Dara”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah
terbagi kedalam 12 chapter. Pembagian chapter-chapter ini
membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data
berupa gamabar-gambar dalam film tersebut yang digunakan dalam
penelitian ini.
3.4.2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan
tambahan dari sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti
buku, majalah, internet. Sumber bahan ini dapat melengkapi
informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap,
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan
teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak
pada film “Rumah Dara” dan melakukan studi kepustakaan untuk
melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.
3.6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan
berdasarkan sistem tanda yang tampak pada cerita “Rumah Dara”
yang dapat digolongkan sebagai kekerasan. Kemudian tanda
tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik
John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :
1. Level Reality (realitas),
Kode sosialnya yang termasuk dalam level pertama ini yaitu
meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make up
(riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech
(dialog), gesture (gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara)
yang terdapat pada film “Rumah Dara”.
2. Level representation
Dalam level kedua ini, kode-kode yang termasuk didalamnya
antara lain berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera
(kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music
51
3. Level Ideology (ideologi),
Kode-kode yang termasuk dalam level ketiga yaitu, narrative
(narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi),
dialogue (dialog), casting (pemeran) yang terdapat pada film
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data
4.1.1. Gambaran Umum Film Rumah Dara
Film Rumah Dara di produksi Merah Production yang disutradarai
oleh Duo sutradara bertalenta besar Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto
atau lebih dikenal dengan Mo Brothers, telah berhasil membesut film yang
“thanks to them” memberikan sedikit nafas lega akan sebuah film yang
berbeda. Ketika atmosfir genre di perfilman Indonesia didominasi hanya
yang “itu-itu” saja, Macabre atau Rumah Dara hadir dengan genre yang
tidak poluler di negeri kita, yakni film slasher.
Bagi yang tidak tahu jenis film apakah slasher itu, mungkin jika
menyebut judul SAW akan ada gambaran seperti apa genre ini. Mo
Brothers seakan tidak peduli filmnya akan laku atau tidak nantinya, karena
mereka toh tahu dan yakin, film jenis ini ada penggemarnya dan penonton
kita sudah gerah dengan film yang hanya menjual kebodohan, seksualitas,
dan horor tong kosong nyaring bunyinya. Dari sudut pandang penggemar
film dan pecinta film tanah air, film ini telah menyelamatkan kita dari
ketololan abadi yang berasal dari film-film yang tidak lebih dari sampah,
Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir
tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan
berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari
separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam. Bagi
penggemar film slasher, sudah barang tentu akan menyukai setiap adegan
dalam film ini. mata yang tertusuk stiletto, kepala yang terpenggal, kaki
patah, tangan terpotong, hingga jari-jari tertusuk pisau disajikan dengan
nyata
Tidak ada kata sia-sia atau menyesal dengan film berdurasi hampir
100 menit ini. Selepas menonton ini yang tersisa adalah sebuah kepuasan,
mulut ini pun tak berhenti memuja keseluruhan isi film, yah tentu saja
dengan sedikit kekurangannya juga. Film yang juga memenangkan
penghargaan untuk kategori aktris terbaik di Puchon Film Festival di
Korea Selatan ini, merupakan sebuah paket slasher yang dikemas sangat
menggemaskan dengan darah yang mengalir tak ada hentinya, di balut
dengan teror ketika sang Ibu Dara mulai memburu dengan atau tanpa
senjata di tangan, dengan “finishing touch” seluruh isi perut dan daging
manusia, Macabre adalah hadiah akhir tahun terbaik khususnya untuk
penggemar film horor dan perfilman Indonesia pada umumnya.
Film ini memang tidak menonjolkan kelebihannya dari segi cerita,
karena apa yang ditawarkan dari cerita hanya layaknya dongeng sebelum
mimpi buruk lewat adegan-adegan sadis yang cukup membuat ngilu.
Penonton dipaksa dengan lembut untuk sesekali berteriak dan menutup
mata, ketika Mo Brothers mulai menaikkan intensitas ketegangan di film
ini. Perkenalan belasan menit kepada masing-masing karakter dalam film
ini dirasa telah cukup, untuk nantinya mempersilahkan para penonton
untuk memilih siapa yang seharusnya hidup dan siapa yang harus mati
terlebih dahulu. Di lain sisi, kemisteriusan Dara dan keluarganya tetap
terjaga dan makin membuat penasaraan dari awal kemunculan mereka
sampai film ini bergulir dari adegan demi adegan.
Lewat cerita yang lurus-lurus saja, justru membuat Mo Brothers
dapat dengan leluasa mengeksplorasi tingkat kesadisan yang bisa
ditampilkan film ini. Terbukti, film ini dengan baik dapat mengirimkan
pesan berdarahnya sampai dengan selamat kepada penonton-penontonya
yang sedang menanti adegan selanjutnya sambil menutup mata mereka.
Walau cukup berbasa-basi diawal, pada kenyataannya film ini tidak
berbasa-basi soal menampilkan sosok-sosok jahat yang siap sedia
memotong bagian tubuh manusia sepotong demi sepotong. Tatapan dingin
nan haus darah Ibu Dara dan anak-anaknya berhasil menyeret kita ke level
ketegangan yang makin lama-makin meninggi, layaknya menaiki sebuah
rollercoaster, kita diajak naik sampai tingkat yang paling tinggi lalu terjun
Macabre adalah obat penenang bagi yang sakit jiwa, jika dosisnya
terlalu banyak, maka sang pasien akan menjerit-jerit histeris dan lompat
dari bangku penonton. Kitalah pasiennya, kitalah yang sakit jiwa karena
telah menonton film yang sakit pula, dan kita bertepuk tangan untuk film
ini layaknya sebuah drama shakespeare, apakah bukan sakit itu namanya.
Mungkin juga tidak, kita tidak sakit, tapi puas akan apa yang dicapai oleh
perfilman tanah air. Lewat Mo Brothers, kita telah disuguhkan dengan
tontonan alternatif yang berkualitas dan salut untuk mereka yang telah
berjalan di jalur berbeda tersebut sendiri dan berani mengambil resikonya.
ENAK KAN!!
4.1.2. Penyajian Data
Cerita film “Rumah Dara” diawali dari Adjie dan Astrid, pasangan
suami istri yang akan diberkati kehadiran anak pertama, pergi bersama 3
temannya ke Bandung pada suatu malam. Perjalanan ini merupakan usaha
terakhir Adjie untuk berpamitan dengan adiknya, Ladya. Kedua
kakak-beradik ini sudah tak akur lagi, dan besok Adjie harus berangkat ke
Australia untuk menempuh hidup baru, Pertemuan mereka tidak berjalan
mulus pada mulanya.
Ladya yang seorang pemberontak menyalahkan Adjie atas tragedi
sungkan ikut mengantar ke bandara, Perjalanan terhenti ketika seorang
perempuan cantik menghampiri mereka dengan cemas dan lingkung.
“Nama saya Maya. Saya baru saja dirampok,” ujarnya.
Berniat menolong, mereka pun mengantar perempuan ini pulang
Sesampainya di rumah Maya, mereka diperkenalkan kepada seorang
perempuan anggun dan misterius bernama Dara. Disinilah niat tulus dan
maksud baik menjadi awal bencana.
Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir
tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan
berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari
separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam.
Kekerasan dalam film ini kemudian dijabarkan lagi menjadi Kekerasan
4.2. ANALISIS DATA
Penggalan Scene 1
4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam
dengan pisau
Level Realitas :
Penampilan (kostum dan make up) :
Alam menggunakan kaos dan celana jeans dan make up
terlihat dengan bekas luka yang ada dikepalanya,
Maya menggunakan short dress berwarna merah, make up
Maya terlihat pucat dengan rambut yang terurai.
Setting :
Suasana ruang makan rumah maya, yang sebelumnya Alam,
jimmy, Eko, Ladya sedang menyantap hidangan makan malam yang
Level Representasi
Camera : Close Up (CU),
teknik pengambilan gambar ini menciptakan ketegangan dan
menambah kengerian, karena gambar terlihat sangat detail, seperti
percikan darah dalam adegan scene ini.
Lighting :
lighting yang digunakan lighting tungsten /blonde 2000w yang
menampilkan cahaya yang kuning, pada scene ini terlihat terang,
karena ingin memperlihatkan ekspresi Alam dan goresan luka yang ada
pada tangan Alam
Level Ideologi
Dialog :
Maya : Kamu sudah bangun…???
Alam : Temen gue kemana yah??
Maya : Teman-teman kamu…mereka ada diatas
Alam : Gua ke atas dulu ya…
Maya : Hey…Alam, tunggu aja
Kamu dari tadi tidak mau berbicara dengan saya kenapa??
Alam : Si Ladya diatas..??
Maya` : Memangnya ada apa sih??
Temani saya sebentar saja..kedapur…kamu tidak suka
Alam : Ok…gua Cuma mau tahu temen-temen gua & ladya
dimana…
Maya : Teman-teman kamu diatas…masak kamu tidak mau
temenin saya yang lagi sendirian???
Alam : Gue Cuma pengen cari temen-temen gue…
Ah…eko kemana sih,,,, Apa lagi sih may….????
Maya : Memangnya kenapa sih….??
Memangnya kenapa….???
Kenapa……???hah….
Analisis :
Pada adegan ini, Maya mengahampiri Alam yang baru tersadar dari
pingsan, Alam kebingungan mencari teman-temannya lalu maya mencoba
menghalangi Alam untuk mencari temannya dengan merayu alam secara
sensual, namun alam tetap pada pendiriannya bahwa ia cuma ingin
mencari temannya dan tidak terjebak rayuan dari maya, lalu alam
mendorong maya, dan seketika itu maya marah, lalu maya memegang
tangan alam dan melukai tangan alam dengan pisau. Alam terkejut dengan
ekpresi ketakutan, alam perlahan-lahan mundur, dan alam melakukan
perlawanan dengan menendang maya hingga terjatuh, maya pun semakin
emosi, lalu maya juga berhasil melukai pipi alam dengan pisaunya itu.
Pada scene ini, adalah pembukaan dari mulainya perguliran darah,