• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

(Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)

SKRIPSI

Oleh:

SUKMA SEJATI 0743010132

YAYASAN KESEJAHTERAAN DAN PENDIDIKAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLOTIK SURABAYA

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat

serta Hidayahnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

“REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN dalam FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN” (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Wanita dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)”. Tugas ini dibuat dalam rangka

memenuhi salah satu persyaratan kurikulum wajib bagi mahasiswa Jurusan Ilmu

Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam tersusunnya tugas ini penulis mengucapakn terima kasih

sebesar-besarnya kepada Bapak Didik. S,sos sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingankepada penulis, disamping itu penulis jga ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, karena dengan rahmatnya dan karunianya saya dapat menyelesaikan

laporan ini.

2. Prof Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP,Selaku Rektor Universitas Pembangunan

Veteran Jawa Timur

3. Ibu Dra. Hj Suparwati, M. Si, Selaku Dekan Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Veteran Jawa Timur

4. Pak Juwito, D. Sos, M.si. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas

(3)

5. Pak Ir. H. Didiek Tranggono M.si. Selaku dosen pembimbing yang memberikan

bimbingan dan dorongan demi terselesainya skripsi ini.

6. Orang Tua saya yang tercinta yang telah membimbing dan mendidik buah hatinya

dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

7. Serta teman – teman yang selalu menemani dikala bahagia dan sedih,

Dalam penyusunan Skripsi ini penulis sangat menyadari sepenuhnya

keterbatasan kemampuan atas penulis Skripsi ini sehingga hasilnya masih jauh dari

kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Akhir kata dari penulis mengharapkan semoga dengan terselesainya laporan

Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

(4)

 

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI……….. ii

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI……….……… v

DAFTAR LAMPIRAN………...…………viii

ABSTRAKSI……….………...ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Rumusan Masalah……….………...8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori………...9

(5)

2.1.3 Pengertian Kekerasan…………..………...13

2.1.4 Kekerasan terhadap Perempuan……….15

2.1.5 Teori Kekerasan……….17

2.2 Semiotika Komunikasi………...22

2.2.1 Pendekatan Semiotik dengan film……….………22

2.2.2 Model Semiotik John Fiske………..24

2.3 Kerangka Berpikir………..…...31

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian………32

3.1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian………...…….32

3.2 Kerangka Konseptual………34

3.2.1 Korpus……….………..…34

3.2.2 Definisi Operasional Konsep………35

3.2.2.1 Representasi……….35

3.2.3 Unit Analisis………36

3.3 Tehnik Pengumpuln Data……….36

(6)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data……….41

4.1.1 Gambaran Umum Obyek……….41

4.1.2 Penyajian Data……….44

4.1.2.1Tokoh Anisa ………46

4.1.2.2Tokoh Kyai Hanan………47

4.1.2.3Tokoh Nyai Mutmainah………47

4.1.2.4Tokoh Khudori……….47

4.1.2.5Tokoh Syamsudin……….47

4.2 Analisis Data………48

4.2.1 Pada Level Realitas……….48

4.2.1.1Setting………..48

4.2.1.2Kostum dan Make up………..56

4.2.1.3Dialog………..58

4.2.2 Pada Level Representasi……….60

4.2.2.1Tehnik Kamera………60

4.2.2.2Pencahayaan………63

(7)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………..67

5.2 Saran……….69

DAFTAR PUSTAKA………..70

LAMPIRAN……….71  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(8)

LAMPIRAN Potongan scene dalam film Perempuan Berkalung Sorban…………71

 

 

 

 

 

(9)

ABSTRAKSI

SUKMA SEJATI, 0743010132, Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)

Permasalahan dari judul adalah bagaiman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengakibatkan pengaruh terhadap sisi psikologis perempuan. Film yang yang disetting pada tahun 1970-an ini mengangkat tema kekerasan yang dialami oleh perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap tentang kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan yang tidak seimbang dan menyebabkan kekerasan yang sering dialami oleh perempuan.

Metode penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yang menggunakan analisis semiotic tentang representasi kekerasan pada perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level realitas, representasi, dan ideology.

Hasil penelitian ini berisi bahwa nilai kekerasan pada perempuan dalam film perempuan berkalung sorban adalah bentuk kekerasan dalam film ini terbagi menjadi dua yaitu, kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis. Penulis menyimpulkan bahwa tidak seharusnya perempuan menerima kekerasan yangn dilakukan oleh laki-laki karena hal itu dapat berdampak pada sisi mental psikologis yang dialami oleh perempuan.

Kata Kunci: Film Perempuan Berkalung Sorban, John Fiske, Kekerasan

     

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang kini semakin maju, menjadikan setiap orang dan siapapun mudah dan cepat mendapatkan informasi dari manapun. Siapapun dapat menambah pengetahuan, pendidikan dan hiburan dengan mudah. Media yang digunakan kini semakin variatif dari manual hingga yang elektronik digital. Salah satu media yang saat ini marak digunakan adalah film.

Film tidak hanya menyampaikan kisah atau informasi tentang kehidupan manusia tetapi juga mampu melibatkan penonton kedalam kejadian itu. Film mampu melibatkan penonton kedalam kejadian atau peristiwa yang terjadi disana. Karena itu, selama menonton film, penonton, betul – betul diletakkan pada pusat segala kejadian dan peristiwa yang disuguhkannya, penonton pun akan merasa dibawa kedalam dunianya.

(11)

Alat Hiburan, Sumber Informasi, Alat pendidikan, dan juga merupakan pencerminan nilai – nilai sosial budaya suatu bangsa.

Dari beberapa fungsi diatas, film dapat dimanfaatkan untuk mengapresiasikan pencerminan nilai – nilai social suatu bangsa misalnya tentang pengobaran semangat perjuangan gender dimana, perempuan berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan hak. Kontroversi tentang hak dan kesetaraan atas gender di Indonesia hingga saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang hangat. Karena sejauh ini diskriminasi gender terhadap perempuan masih sangat marak terjadi khususnya di Indonesia.Hingga kini perjuangan kesetaraan gender masih berkobar kuat khususnya di Indonesia, nilai – nilai kebudyaan yang sangat kuat membuat para perempuan masih dianggap berbeda dengan kaum pria baik dalam berpolotik dan mengenyam pendidikan. Kesadaran akan hal itulah maka para perempuan di Indonesia masih harus berjuang untuk menyatarakan hak tersebut.

(12)

memiliki jodoh atau pasangan hidup pun mereka tidak bisa menentukan sendiri, segalanya ditentukan oleh orang tua mereka.

Istilah gender saat itu mungkin belum dikenal oleh Kartini, karena pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau setara dengan tingkat sekolah dasar. Setamatnya E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana adat – istiadat yang berlaku ditempat kelahirannya. Sepengetahuanya tentang gerakan gender, lebih banyak didapat dari pergaulannya dengan orang – orang terpelajar. Dia mempunyai banyak teman, baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari Belanda, yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kartini sering mencurahkan isi hatinya untuk memajukan perempuan negerinya, kepada teman – teman Belandanya. Kartini juga gemar membaca buku, khususnya buku – buku mengenai kemajuan perempuan seperti karya – karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh – tokoh pejuang perempuan di Eropa. Kartini mulai menyadari betapa tertinggalnya perempuan sebangsanya bila dibandingkan dengan perempuan bangsa lain terutama perempuan Eropa. Sejak itulah, Kartini memulai keinginanya untuk memajukan kaumnya.

(13)

senantiasa dilalui manusia (Freire, 2003:24). Jika mengacu pada pandangan Freire tersebut, pendidkan memang tepat digunakan sebagai media pembebasan dengan menggarap realitas serta jati diri manusia secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi. Prinsip ini merupakan kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat.

Rekonstruksi budaya melalui pendidikan yang dilakukan Kartini ini membuahkan hasil yang gemilang. Kedua, membekali kompetensi hidup (life skill) dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Kartini juga mengajarkan berbagai macam ketrampilan untuk hidup lain yang sangat dibutuhkan kaumnya saat itu.

Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias Cuma – Cuma. Ketiga, mencari beasiswa untuk meningkatkan kemampuannya maupun kaum sebangsanya. Demi melaksanakn cita – cita mulianya itu, Kartini berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik.

(14)

Kekaguman kepada Kartini, sejatinya tidak perlu diwujutkan dengan jalan memitoskannya sebagaimana ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam kata penggantar buku Panggil Aku Kartini Saja, “Sampai sedemikan jauh, Kartini disebut – sebut diberbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai media biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dengan dunia dewa – dewa.”

Sejatinya, semakin kurang pengetahuan orang tentangnya, semakin kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal, Kartini sebenarnya jauh lebih agung melebihi mitos – mitos tentangnya. (Penulis Pemerhati Gender, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)

Fenomena kesetaraan gender ini kemudian dipilih oleh Abidah Al- Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban untuk menjadikan perempuan sebagai “subyek” (pencipta) bukan sekedar penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi pencipta menimbulkan masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan islam sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup.

Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Wordview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika

(15)

Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan kekerasan tokoh – tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.

Dalam buku Glosarium Seks dan Gender yang dimaksud kesetaraan gender (gender equality) ialah kesetaraan dan kesempatan perempuan dan laki –

laki,termasuk penghapusan diskriminasi gender dan tidak kesetaraan structural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa – jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.

Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi gender pada undang – undang tentang hak asasi manusia menunjukkan hubungan yang erat diantara keduanya atau dengan kata lain, perilaku diskriminatif merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, kekerasan dalam berbagai bentuk harus dihapuskan.

Pada dasarnya kesadaran untuk menghapuskan kekerasan dalam berbagai bentuk telah terjadi sejak lama, tetapi tindakan yang diambil, baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat operasional, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

(16)

masyarakat kurang mamou untuk memperoleh pelayanan public hampir pada semua bidang.

Hal itu antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran perkara perdata pada pengadilan tingkat pertam, sehingga menyulitkan kelompok masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan public di bidang hukum atau memperoleh keadilan. Kendala yang sama juga dialami oleh kelompok masyarakat kurang mampu dalam memperoleh pelayanan public pada bidang kehidupan lainnya.

Dibeberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering terjadi, antara lain dengan dibentuknya Peraturan Daerah (PERDA) yang menggatur

tentang tata cara berpakaina dan batas ruang gerak perempuan di ruang public serta melarangperempuan keluar malam tanpa muhrim.

(17)

1.2 Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana representasi kekerasan yang ditampilkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban??

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana bentuk kekerasan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan konstribusi terhadap kajian studi tentang analisis isi yang menganalisis tentang film.

1.3.3 Manfaat Praktis

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Film

Film adalah gambar hidup yang sering juga disebut movie. Film secara

kolektif, sering juga disebut sinema. Sinema itu itu sendiri bersumber dari kata

kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan

selulosa, biasa di kenal di Dunia para sineas sebagai seluloit.

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang

berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar =

citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat

melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang bisa kita

sebut dengan kamera.

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang lain dan benda (termasuk fantasi

dan figure palsu) dengan kamera, dan / oleh animasi. Kamera film menggunakan pita

seluloit (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halide yang

menempel pada pita ini sangat sensitive terhadap cahaya. Saat proses cuci film,

silver halide yang telah terespon cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam,

sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terespon akan tinggal dan larut

(19)

Definisi film menurut UU 8/ 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang

merupakan media komunikasi masa pandang dengan yang dibuat berdasarkan asas

sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, pinggiran video, dan

atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran

melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa

suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,

dan elektronik.

Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plasyik yang

dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.

Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominant digunakan untuk

menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya

fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan

gambar. Dalam bidang sinemafotografi perihal media penyimpan ini telah mengalami

perkembangan yang pesat. Berturut=turut dikenal media penyimpan selluloid (film),

pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Sejalan

dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi,maka

pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa

menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang

menggunakan media selluloid pasa tahap penggambilan gambar. Pada tahap pasca

produksi gambar yang telah disdit dari media analog maupundiital dapat disimpan

pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan pada

(20)

Perkembangan teknologi media penyimpanan ini telah mengubah pengertian

film dari istilah yang mengacu pada bahan keistilah yang mengacu pada bentuk karya

seni audio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre(cabang) seni

yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya. Istilah film

pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastic yang dilapisi dengan zat

peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi

film ini menjadi media yang dominandigunakan untuk menyimpan pantulan cahaya

yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan

media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.

Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami

perkembangan yang pesat. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam

bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat

diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin

sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.

Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital

dapat disimpan dalam media fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat

disimpan dalam media selluloid, analog maupun digital.

Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah menggubah pengertian

film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk

karya seniaudio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang)

seni yang menggunakan audio(suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.

(21)

2.1.2 Film sebagai salah satu alat komunikasi massa

Dalam pengertian umum, media massa adalah sarana informasi untuk

menyampaikanberita kepada masyarakat luas, baik yang menggunakan alat cetak

(surat kabar, majalah, bulletin, dan sebagainya) maupun elektronik (televise, radio,

internet, dan sebagainya). Sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat

elektronik dipadukan dengan hasil ekspresi seni dan budaya, film memiliki peranan

penting dalam masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya nuansa kehidupan

manusia dengan hal-hal yang bermanfaat dari berbagai dimensi. Penafsran tentang

makna bergantung dari sisi mana kita memandangnya. Film yang kita tonton

merupakan salah satu representasi dari realitas yang ada dalam masyarakat.

Walaupun kadang-kadang penuh imajinasi dan fiksi, tetapi tetap saja film itu

mengambil tema dari realitas social yang ada dalam masyarakat.

Menurut Tuner, film bukan hanya refleksi dari realitas tapi makna film

sebagai representasi realitas masyarakat. Film membentuk dan menghadirkan kembali

realitas berdasarkan kode-kode, konveksi-konveksi, dan ideology dari kebudayaan.

Menurut McQuail tugas film adalah menghibur, memberikan informasi dan

mendidik. “Media massa dalam menjalankan fungsinya menyajikan hiburan yang

dapat menyenangkan hati pembaca, pendengar, penonton. Hiburan itu dapat saja

muncul dalam bentuk musik, cerita maupun berita-berita ringan yang terjadi di sekitar

(22)

2.1.3 Pengertian Kekerasan

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau

hal yang keras. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras, jadi

kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999

:102). Sedangkan dalam bahasa Inggris, kekerasan (Violence) berarti sebagai suatu

serangan atau invasi fisik integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam

Saraswati, 2003 : 13).

Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi

sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi

potensialnya. Kata-kata kunci yang perlu diterapkan yaitu actual (nyata) dan potensial

(mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan kekerasan sering dilakukan

oleh seseorang atau lembaga yang dianggap kuat atau lebih dominant memiliki

otoritas tertentu. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan

melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak

dipatuhi. Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu potensial dilakukan oleh

siapapun dan sudah melekat didalam suatu pola relasi yang diantara kedua belah

pihak merupakan adanya ketidakseimbangan yang satu memiliki otoritas yang

lebih besar dari pada yang lainnya.

Kekerasan pada dasarnya tergolong kedalam dua bentuk kekerasan yang

mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan

(23)

maupun yang tidak, seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar

masyarakat) dan terorisme.

Kekerasan domestic adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga,

dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal, fisik, dan

psikologis. Kekerasan secara verbal seperti berkata-kata yang tidak semestinya,

kekerasan fisik misalnya, meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka atau

bekas luka ditubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan atau kematian. Kekerasan

psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri,

kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan atau

penderitaan jiwa serius kepada jenis kelamin perempuan (Avivia, 2006 : 179-180)

Menurut pasal 5 Undang-undang nomer 23 Tahun 2004 tentang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa jenis

(Fokusmedia, 2004 :5-6), diantaranya:

1. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat.

2. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan

hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya, malu, tersinggung dan penderita psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan Seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk

paksaan atau mengancam untuk melakuakn hubungan seksual,

(24)

4. Kekerasan Ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan

kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok

dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi

dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan diluar rumah

sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) ada dua

jenis kekerasan yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah

kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi, umpatan

olok-olok, hinaandan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara merasa

tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal adalah melalui

bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.

Kekerasan sangat sering kita jumpai yang kita tahu secara langsung hanyalah

sebagian dari kekerasan itu sendiri.

2.1.4 Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat

kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan yang dialami pada perempuan secara

fisik., seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi didepan umum

(25)

Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena adanya ketimpangan

dan tidak keadilan gender. Ketimpangan gender adalah peran dan hak perempuan

dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih

rendah dari laki-laki. “Hak Istimewa” yang dimiliki laki-laki seolah-olah menjadikan

perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan

semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Kekerasan pada perempuan dapat terjadi

dalam bentuk:

1. Tindakan kekerasan fisik

Tindakan kekererasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa

atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan menggunakan

anggota tubuk pelaku (tangan dan kaki) atau dengan alat-alat lainnya.

Misalnya seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan.

2. Tindakan kekerasan Non fisik

Tindakan kekerasan non fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk

merendahkan citra dan kepercayaan diri seseorang perempuan, baik melalui

kata-kata maupun perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki

korbannya.

3. Tindakan kekerasan psikologis atau Jiwa

Tindakan kekerasan psikologis atau jiwa adalah tindakan yang bertujuan

mengganggu dan menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi

tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu

(26)

Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik secara domestic maupun public

secara individu maupun kelompok, seperti: inimidasi, pelecehan seksual,

penghinaan moral, pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, perzinaan,

kekejaman, pembunuhan dan eksploitasi tenaga kerja (migrant)perempuan tidak

pernah mendapatkan pelanggaran hak asasi perempuan sebagai manusia, tidak

pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius. Aturan hukum yang melindungi

kaum perempuan masih sangat lemah. (www.//suaramerdeka.co.id)

2.1.5 Teori-Teori Kekerasan

1.Teori Katharsis

Katharsis dalam Yunani berarti “pencucian” atau “pembersihan”. Para

pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan

(meskipun hanya tipuan kamera/fiksi) atau tindakan brutal dalam acara TV

atau film memberikan efek positif bagi penonton. Ketiak penonton melihat

tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan

yang dialami para tokoh di dalam TV/film, penonton juga ikut terlibat

berjuang. Dengan “happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada

dibawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian

kekerasan yang ditayangkan dalam TV/film memberikan efek positif pada

(27)

TV/film tidak membawa efek negative (merusak) sebaliknya justru membawa

efek positif bagi penonton.

2. Teori Imitasi

Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film

mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru, Bantingan tipuan seperti

dalam Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dan

lain-lain akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan

tindakan yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Padahal didalam film

adalah fiksi. Sebagai contoh, apabila apabila para actor Smack Down menjadi

idola anak/remaja ada kecenderungan anak/remaja terdorong untuk

mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermain Smack Down

meniru gerakan para actor tersebut. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu.

Dan permainan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut imitasi

adalah, bahwa sering kali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan

pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Happy endingnya

adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah berjuang

sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah

dengan kekerasan ala para tokoh idoal itu menjadi mosel bagi anak remaja

(tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar

pelajar bukan tidak mungkin dipicu oleh keinginan tampil sebagai hero

membela almamater teman, seperti tindakan heroic para tokoh film yang

(28)

3. Teori Kekerasan Struktural

Teori kekerasan structural dari Johann Galtung, seseorang kriminolog

dari Norwegia dan seorang polemolog adalah teori yang bertalian dengan

kekerasan yang paling menarik. Teori kekerasan structural pada hakekatnya

adalah teori kekerasan “sobursi”. Dengan “sobural” berarti suatu akronim dari

(nilai-nilai) social, (aspek) budaya, dan (factor) structural (masyarakat).

Teori ”kekerasan struktural” jika diimplementasikan seacar empiric

realistik,telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde baru)

melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi poloitik yang berkuasa yang

berbaju kultur jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibandingkan dengan Ken

Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda, (dalam buku

PramoedyaAnanta Toer, Arok Dedes Hasta Mitra, Jakarta, 2002). Kekerasan

structural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abat ke 21 dan

bukan pula solusi baru melalui kekerasan structural terhadap kekerasan.

Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan perbuatan

(fisik), sesungguhnya tidak selalu berarti demikian. Perbuatan kekerasan

apalagi yang structural bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis,

sampai pada bersifat naratifseperti berita-berita pers mengenai Sadam dan

Khadafi. (Turpin dan Kurtz, 1997 :91). Bahkan secara logika mungkin sulit

diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata

(29)

kekerasan. Suatu kekerasan structural yang sangat “naïf” dan terselubung

dengan maksud-maksud yang tidak etis.

Paling tidak ada empat pendekatan yang biasanyadigunakan baik oleh

peneliti Indonesia maupun peneliti dari luar, yaitu:

a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh

adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini

menegaskan adanya perbedaan esensial diantara kelompok-kelompok

etnik. Biasanya, peneliti ini menggunakan pendekatan ini cenderung

mencari kekuatan instristik dari kelompok-kelompok yang berbeda.

b. Kedua, Intrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada

peranaan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan

keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha

mencari actor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinay suatu konflik

kekerasan. Konflik denagn demikian dipandang dari sebuah produk dari

konflik anta relit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilitasi

dukungan dari kepentingannya.

c. Ketiga, Konstrukvitisme, yaitu anggapan bahwa mobilitas telah merubah

identitas dengan membawa massa kedalam kerangka kesadaran yang lebih

luas dan ekstra local. Hal ini membuat identitas dan komunitas menjadi

lebih luas dan terinstitusional. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa

konflik yang yang terjadi dinegara berkembang merupakan akibat dari

(30)

mengapa beberaqpa system politik justru menimbulkan konflik

sedangakan system yang lainnya tidak.

d. Keempat, Institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik telah terjadi

karena tidak adanya lemabaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja

secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan anta relit

atau kelompok.

Akiko menggunakan berbagai pendekatan, yaitu:

1. Psychological theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang

didiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relativedeprivation, dan social

identity theory, Sebagian peneliti menggangap bahwa konflik kekerasan

merupakan respon dari kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi), baik yang

absolute (alasan material) maupun relative (alas an psikologis). Karena itu

beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas

kelompok.

2. Human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk

melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja,

termasuk apakah ada perlindungan antara individu, kelompok dan komunitas

daria ancaman luar. Pendekatan ini lebih menfokuskan pada kehidupan

masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan

(31)

3. Social movement theory yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa

dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu

collective behavior dari Durkheim, grievance and frustration model yang

dikembangkan dari teori deprivasinyaTed Gurr, rational choice dari olson, dan

resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori digunakan untuk

melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi.

(http/www.google.co.id/kekerasan)

2.2 Semiotika Komunikasi

2.2.1 Pendekatan Semiotik dalam Film

Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai

hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film

memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat

hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan

budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan

menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna (Sobur,1993:127).

Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana

gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol

yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut

film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain :

(32)

kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang

kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler,

2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam

kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut.

Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.

Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan

tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih

sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah

makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul

antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda

tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).

Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske,

2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun

hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat

membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan

pertukaran makna.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan

(33)

berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek

medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini

jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera

work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan

bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher

ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan

sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu

bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak

kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan

ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil

(Berger,1982:37).

2.2.2 Model Semiotik John Fiske

Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide

screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise, sehingga

analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level

(34)

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,

lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai

kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat

didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:

a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada

film ”Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam penelitian ini, tokoh yang

menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang

mereka gunakan, serta apakah kostum dan make up yang

ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode

sosial dan kultural.

b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,

bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna

didalamnya.

c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam

dialog.

2. Level Representasi

Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan

casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat

(35)

1) Shot

Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di

monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm

kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang

berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak,

focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full

shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot

memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus

menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan

potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan

dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa

berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun

yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.

Teknik pada shot meliputi :

1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan

a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan

gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai

dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu

sebagai fokusnya.

(36)

c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan

lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk

memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda

dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi

layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini

memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala

digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan

sebagaimya).

f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam

objek.

g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam

objek.

h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal

untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.

2. Teknik kamera perpindahan

a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan

untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan

(37)

b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.

Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang

menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.

c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi

objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan

penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan

ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television

and film).

2)Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya

informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang

membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai

painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur

dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu

menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang

dramatic adegan.

3. Penataan Suara/Musik

a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan

bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada

(38)

sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara

bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.

c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu

adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional

atau adegan.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada

teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena

keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi

dalam film Perempuan Berkalung Sorban

4). Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau

lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk

merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau

membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan

(39)

3. Level Ideologi

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam

suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti:

kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,

status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film

Perempuan Berkalung Sorban.

Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,

kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi

dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh

dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film

suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta

budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan

(40)

2.3. Kerangka berpikir

Kekerasan yang ada dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini merupakan

kekerasan yang dialami oleh perempuan berupa kekerasan fisik maupun kekerasan

psikologis yang ditayangkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

Teori yang digunakan adalah teori analisis isi Film Perempuan Berkalung

Sorban merupakan media yang digunakan oleh Hanung Bramantyo untuk

menyampaikan pesan yang berisikan “Kekerasan” kepada khalayak luas yang

berperan sebagai komunikan.

Film “Perempuan Berkalung Sorban” di analisis sesuai dengan kekerasan

yang muncul dalam setiap adegan difilm tersebut. Bentuk yang tampak dalam

kekerasan dan diskriminasi gender terdapat pada dialog dan visual di setiap scene

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisis isi bentuk kekerasan dan

diskriminasi gender pada salah satu film karya sutradara muda Hanung Bramantyo

yang berjudul Perempuan Berkalung Sorban. Metodologi yang digunakan adalah

deskriptif kuantitatif. Sedangkan metode penelitian dalam penelitian ini

menggunakan metode analisis isi.

Analisis deskriptif kuantitatif yaitu melukiskan secara sistematik fakta atau

karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu atau secara factual dan cermat.

Sedangkan kuantitatif dapat diartikan dengan mencatat nilai – nilai bilangan atau

frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis hal yang didefinisikan.

Menurut Berelson & Kerlinger, analisis isi merupakan suatu metode untuk

mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif

terhadap pesan yang tampak (Wimmer & Dominick, 2000:135). Analisis isi adalah

suatu tehnik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengelola pesan atau suatu

alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari

(42)

Isi film yang akan diteliti lebih mengarah pada kekerasan dan diskriminasi

gender. Film Perempuan Berkalung Sorban ini berkaitan dengan isu yang beberapa

waktu terakhir ini di berbagai media massa maupun buku-buku, atau

kegiatan-kegiatan seperti seminar, diskusi, dan sejenisnya yang banyak membahas tentang

protes dan gugatan yang terkait dengan ketidak adilan dan diskriminasi gender

terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi gender tersebut terdapat

hampir di semua tingkatan dan sektor, mulai dari tingkat internasional, Negara,

Keagamaan, Sosial (kemasyarakatan), Budaya, Ekonomi sampai rumah tangga.

Dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini diceritakan bahwa pesantren

Salafiah putri Al-Huda tempat Annisa dibesarkan, mengajarkan bagaimana menjadi

seseorang perempuan muslim. Dimana pelajaran itu membuat Annisa beranggapan

bahwa islam membela laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan tidak

seimbang. Dengan munculnya ini maka para penikmat film Indonesia disuguhkan

dengan kisah berbeda, isu tentang gender yang semakin marak akhir-akhir ini

membuat film tersebut menjadi kontroversi karena dianggap melecehkan syariat

islam.

Film yang meraih 7 Nominasi Festival Bandung ini dibintangi antara lain oleh

Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Nasya Abigail, Widyawati, Oka Antara, Reza

Rahadian, dan Ida Leman. Film ini didistibusikan oleh Kharisma Starvision Plus

dan mulai diputar secara perdana di Bioskop Indonesia pada tanggal 15 Januari 2009.

Pembuatan film ini didasari oleh novel yang berjudul sama tahun 2001 yang menulis

(43)

diadaptasikan menjadi sebuah naskah film oleh Ginatri S. Noer dan Hanung

Bramantyo. Film ini menyajikan latar tradisi sebuah sekolah pesantren di Jawa Timur

yang cenderung mempraktikan tradisi konservatif terhadap perempuan dan kehidupan

modern. Dialog film ini dibawakan dalam bahasa Indonesia, bahasa jawa, dan juga

terkadang bahasa arab yang sering digunakan di sekolah pesantren.

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1 Korpus

Didalam penelitian Kualitatif diperluhkan adanya suatu pembahasan masalah

yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada

perkembangannya oleh analisis kesewanangan. Corpus haruslah cukup luas untuk

memberi harapan yang beralasan bahwa unsure-unsur akan memelihara sebuah sistem

kemiripan dan perbedaan yang lengkap, corpus juga bersifat homogen mungkin, baik

homogeny pada taraf waktu (sinkroni). (Kurniawan, 2000:70). Keseluruhan scene

dalam film ini adalah 191 scene dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah

9 adegan baik kekerasan fisik maupun psikologis (selengkapnya ada pada lampiran)

dan dialog yang merujuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis dalam film

(44)

3.2.2 Definisi Operasional Konsep 3.2.2.1 Representasi

Representasi berasal dari kata “Represent” yang bermakna stand for artinya

berarti atau juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atau

sesuatu (Kerbs, 2001 : 456). Representasi juga dapat sebagai suatu tindakan yang

menghadirkan dan mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya,

biasanya berupa tanda atau symbol. (Piliang, 2003:21)

Representasi adalah konsep yang diguanakan dalam proses sosial pemaknaan

melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan

sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Lewat bahasa symbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut itulah

seseorang dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu.

(Juliastuti, 2000)

Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita,

sceneraio, penokohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya. Menurut Graeme

Tuner (1991:128), maka film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda

dengan film sekedar sebagai refleksi dan realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film

sekedar memindahkan ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai

representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas

berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi dan ada ideology kebudayaannya (Irawanto,

(45)

3.2.3 Unit Analisis

Unit Analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan tanda dan lambang

berdasarkan pembagian level analisis oleh John Fiske, yang terdapat pada tokoh

Anissa sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dalam Perempuan Berkalung

Sorban . Kemudia diinterpretasikan dengan teori emiotik John Fiske.

3.3 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik.

1. Tehnik Dokumentasi atau pengumpulandata dengan menonton film

Perempuan Berkalung Sorban melalui VCD.

2. Penelitian juga mengadakan pengamatan serta melakukan pencatatan, sesuai

kategori yang telah ditentukan lalu dimasukkan kedalam lembar koding.

3.4 Tehnik Analisis Data

Peneliti memperoleh data dengan mengamati film yang menjadi obyek

penelitian yaitu Perempuan Berkalung Sorban. Berdasarkan data yang dikumpulkan.

Yang dihitung berdasarkan pergantian scene atau sesuai pergantian visual yang

muncul dalam layar. Dalam penelitian ini peneliti membagi kategori kedalam

beberapa variabel yaitu diskriminasi gender, kesetaraan gender, perihal positif yang

didapat dari perlakuan diskriminasi, kekerasan sebagai akibat dari perlawanan

(46)

Netral yang dimaksud oleh peneliti adalah adegan yang tidak ada kaitannya

dengan variable diskriminasi, kekerasan, hal positif yang didapat dan kesetaraan

gender. Data netral tersebut adalah berupa intercut yaitu visual tanpa dialog yang

merupakan penggambaran lokasi.

Level realitas sebagai berikut:

1. Latar (setting)

Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya

paradigma dari setting terdiri dari :

a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out

door/eksternal). Pada film Perempuan Berkalung Sorban ini bertempat lokasi

pada daerah pesantren putri Salafiah.

b. Penggambaran setting.

c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:

2. Kostum dan Make up (costume dan make up)

Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:

a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi

3. Dialog/Diam (dialogue/silence)

Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa

kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam

medium melalui ekspresi seperti

1. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi

(47)

3. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu

(kiasan)

4. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam

Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis

beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat

didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian,

ekspresi wajah, perilaku, dsb.

Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Teknik kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka

dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis

shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari

sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan

gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada

penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language,

ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai

kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang

sedang terjadi pada adegan itu.

b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,

(48)
[image:48.612.136.532.265.503.2]

medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS)

gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan

gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada

penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan

long shot.

c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan

sebagainya)

2. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya

informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis

yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya

disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam

perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang

semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau

atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).

Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh

television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera,

pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai

(49)

Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana

penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan,

musik, casting, editing dan narasi.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut

teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena

keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Obyek

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah suatu novel yang ditulis oleh

Abidah el Khalieqy yang berjudul sama dengan film Perempuan Berkalung Sorban.

Novel Perempuan Berkalung Sorban diterbitkan pada tahun 2001, kemudian diangkat

kelayar lebar oleh sutradara Hanung Bramantyo. Namanya melambung setelah

novelnya diangkat kedalam layar lebar dan menuai banyak kontroversi dari sineas

perfilman. Ini adalah karya novel dari Abidah el Khalieqy yang ke 5 dari 9 novel

yang dibuatnya.

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah kesekian kalinya film yang

mengusut tentang budaya agama islam. Film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah

film tentang pengorbanan seorang perempuan, seorang anak dari pasangan Kyai

Salafiah dan Nyai Muthmainnah. Anissa (Revalina S Temat) adalah seorang anak

perempuan yang memiliki pendirian yang sangat kuat, cantik dan cerdas. Anissa

hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di Pesantren Salafiah putrid Al-Huda, Jawa

Timur yang konservatif. Bagi kedua orang tua Anissa ilmu sejati dan benar adalah

hanyalah Al-Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap oleh orang tua

(51)

Dalam Pesantren Salafiah Putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi

seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu memebuat Anissa beranggapan

bahwa islam membela kaumnya laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan

tidak memiliki jiwa pemimpin yang dapat memimpin kaumnya. Tapi saat Anissa

membuka suara untuk memprotesnya malah Anissa selalu dianggap sebagai protesan

rengekan anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Hanya Khudori (Oka Antara),

paman dari pihak ibu yang selalu menemani Anissa dan selalu mendengarkan

protesan dari mulut Anissa. Dan hanya Khudori yang selalu menghibur sekaligus

menyajikan dunia yang baru bagi Anissa.

Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tetapi cinta itu tidak

terbalas karena Khudori menyadari bahwa dirinya masih ada hubungan dekat dengan

keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun Khudori bukan sedarah dengan

beliau. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membakar perasaan cintanya

kepada Anissa. Sampai akhirnya Khudori memutuskan melanjutkan sekolahnya ke

Kairo tanpa sepengetahuan Anissa. Anissa baru menyadari kalau Khudori telah

berangkat melanjutkan sekolah ke Kairo setelah sampai di Kairo dengan cara

mengirimkan surat kepada Anissa.

Kemudian secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah keJogja tanpa

sepengetahuan orang tuannya. Dan kemudian dari kenekatan dan keinginan Anissa

untuk berkuliah akhirnya Anissa diterima. Tetapi saat Anissa memberitahukan kabar

gembira tersebut Kyai Salafiah ayah dari Anissa tidak mengijinkan dengan alasan

(52)

perempuan yang belum menikah berada senderian jauh dari orang tuanya. Kemudian

Anissa merenggek dan protes dengan alasan yang diucapkan oleh ayahnya. Karena

menurut Anissa alasan ayahnya tidak masuk akal dan Anissa merasa dibedakan

dengan sang kakak yang melanjutkan sekolah di luar negeri.

Akhirnya keputusan ayahnya adalah menikahkan Anissa dengan Syamsudin

(Reza Rahardian), seorang anak Kyai dari Pesantren Salaf terbesar yang ada di Jawa

Timur. Sekalipun Anissa berontak dengan keinginan sang Ayah tetapi tetap

dilangsungkan juga. Selama pernikahan Anissa dengan Syamsudin, Anissa selalu

mendapatkan kekersan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh Syamsudin.

Seiring berjalannya waktu Syamsudin menikah kembali secara diam-diam dengan

Kalsum (Francine Roosenda) dengan alasan Anissa tidak dapat memenuhi kemauan

seorang suami dan tidak dapat memberikan keturunan selam menikah dengan

Syamsudin.

Harapan Anissa untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri seketika

runtuh dihadapan Anissa. Seketiak itu Anissa merasa tidak dihargai sedikitpun oleh

Syamsudin maupun istri kedua Syamsudin. Kemudian Anissa dengan diam-diam

pulang kerumah orang tuanya di Pesantren putrid Salafiah Al-Huda. Dan tanpa

sepengetahuan Anissa ternyata Khudori telah kembali ke Indonesia dari sekolahnya

di Kairo. Seketika itu Anissa tidak ingin kembali lagi kerumah Syamsudin. Dan saat

Syamsudin mengetahui hal tersebut kemudian Syamsudin memfitnah Anissa dengan

(53)

Saat itu juga kemudian Anissa menceraikan Syamsudin dan kemudian

menjalin kasih dengan Khudori, kemudian Khudori melamar dan mengajak menikah

Anissa tanpa piker panjang Anissa menerima permintaan dari Khudori karena Anissa

juga memiliki rasa dengan Khudori dari dahulu.

4.1.2 Penyajian Data

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang menceritakan tentang

keinginan yang kuat dari seorang perempuan tetapi menurut orang tuanya hal itu

bertentangan dengan hukum islam yang berlaku. Film ini banyak menuai protes dari

PBNU. Sekjen PBNU Endang Turmudi menyatakan keprihatinannya atas film

Perempuan Berkalung sorban yang di nilainya mendiskreditkan pesantren. Pesantren

dalam film tersebut digambarkan sangat tidak sesuai dengan realitas, sebagai institusi

pendidikan agama yang kolot, anti perubahan dan tertutup.

Ia mengaku menonton film ini di sebuah bioskop di Surabaya setelah

munculnya kontroversi di media. Dalam fil yang disutradarai oleh Hannung

Bramantyo ini, pesantren digambarkan sangat tradisional. Buku-buku yang tidak

sesuai dibakar. Perilaku anak Kyai yang biasa dipanggil Gus juga digambarkan

dengan tampilan kejam terhadap istrinya. Pesantren jarang ditampilkan dalam film,

saat menjadi cerita dalam film, malah digambarkan dengan sangat negative,

terangnya.

Ia takut gambaran ini akan member citra buruk kepada kelompok masyarakat.

(54)

Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memahami seorang seniman berhak untuk

berkreasi, namun di sisi lain juga harus menghargai sebuah kultur dengan nilai-nilai

yang dimilikinya. Kebebasan tidak berarti bisa mendiskreditkan pihak lain dengan

seenaknya, tandasnya.

Sayangnya, sejauh ini belum banyak kalangan pesantren yang berbicara

mengenai film ini. Suara keras datang dari Imam besar Masjid Istiqlal, KH Ali

Mustofa Ya”kub. Setelah kesuksesan fil Ayat-Ayat Cinta, dunia perfilman Indonesia

banyak mengangkat tema tentang islam dan pesantren. Selain itu sutradara film

Perempuan Berkalung Sorban Hannung Bramantyo, diprotes salah satu

penyuntingnovel dengan judul yang sama, Hinun Anisah. Pasalnya, film itu dinilai

tidak sesuai dengan kisah sebagaimana diceritakan dalam novel. Menurut Hindun

Hannung gagal menyampaikan substansi novel dalam film. Hal yang menonjol justru

kekersan seorang Kyai dan putranya. Pasalnya, sesungguhnya tidak seperti itu.

Ia menjelaskan sebetulnya dalam novel tersebut lebih ditonjolkan pergulatan

wacana tentang teks agama islam dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri

ataupun perempuan-laki-laki. Namun, hal itu tidak ada dalam film melainkan justru

pemberontakan seorang perempuan yang seakan-akan tidak didukung penafsiran akan

teks agama. Debatnya Anissa (tokoh perempuan yang diperankan oleh Revalina S

Temat) asal-asalan saja, tandasnya. Di dalam novel terlihat kekerasan yang dialami

Anissa itu berasal dari pemahaman terhadap agama yang sangat bias. Lalu Anissa

(55)

pengurus Cabang Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama Kabupaten

Jepara.

Tak hanya itu dijelaskan dia, tokoh Anissa didalam novel digambarkan

sebagai seorang perempuan pandai, cerdas serta menguasai teks-teks agama. Dia

(Anissa) berdebat dengan orang tua, guru, dan suami pertamanya (Syamsudin). Film

Perempuan Berkalung Sorban diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah

Al-Khalieqy. Berlatar belakang tahun 1980-an, budaya patriarki masih kuat di tengah

pesantren Salafiah (tradisional) di Jawa Timur, saat itu. Film itu mengisahkan tentang

seorang muslimah Anissa (Revalina S Temat) anak seorang Kyai kondang, Kyai

Hanan (Joshua Pandelaky) yan g memiliki Pesantren Putri Salafiah Al-Huda.

Belakangan film ini menjadi kontroversi karena dianggap memojokkan dunia

Pesantren. Di dalam film, pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan yang

kolot, anti perubahan dan tertutup. Sebagaian kalangan menganggap hal itu tidak

sesuai dengan kenyataan.

4.1.2.1 Tokoh Anissa

Tokoh Anissa diperankan oleh Revalina S Temat ia adalah seorang anak

perempuan dari Kyai Pesantren putri Salafiah. Anisa merupakan sosok perempuan

yang cerdas dan berpendirian kuat dengan keyakinannya. Dia juga perempuan yang

(56)

4.1.2.2 Tokoh Kyai Hanan

Tokoh Kyai Hanan diperankan oleh Joshua Pandelaki adalah seorang ayah

yang juga memiliki pesantren putri Salafiah. Dia adalah seorang ayah yang keras

mengajari dan mendidik anak perempuannya sesuai dengan sunah rosul yang beliau

terapkan.

4.1.2.3 Tokoh Nyai Muthmainnah

Tokoh Nyai Muthmainnah diperankan oleh Widyawati adalah istri dari Kyai

Hanan. Dia adalah sosok perempuan yang lemah lembut terhadap suami maupun

anaknya. Beliau tidak pernah membantah suami yang memiliki watak yang keras.

4.1.2.4 Tokoh Khudori

Tokoh Khudori diperankan oleh Oka Antara adalah seorang lelaki yang selalu

menemani Anissa saat Anissa merasa terpojokkan dengan peraturan-peraturan yang

tidak wajar yang diterapkan oleh ayahnya maupun guru Anissa saat disekolah. Selain

itu Khudorilah sosok lelaki yang dicintai oleh Anissa.

4.1.2.5 Tokoh Syamsudin

Tokoh Syamsudin diperankan oleh Reza Rahardian adalah seorang anak dari

Kyai Besar yang kemudian menjodohkan Syamsudin dengan Anissa. Syamsudin

adalah sosok lelaki yang keras dan suka main tangan terhadap Anissa saat menjadi

(57)

4.2 Analisis Data 4.2.1 Pada Level Realitas

Fiske (1990:189) Level realitas terdiri dari Latar (setting), kostum dan

make up, dialog / diam. Tidak semua dialog dalam film ini akan dibahas, melainkan

hanya beberapa penggalan scene, adegan yang menampilkan representasi kekerasan

pada perempuan dalam film ” Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam menganalisis

dialog, ditampilkan per-scene secara keseluruhan agar dapat sekaligus memahami

konteks pada dialog.

4.2.1.1Setting

Visual: Ruang makan

(58)

Analisis:

Pada gambar diatas, memperlihatkan suatu ruangan makan yang bergaya

kuno, selayaknya setting dilakukan pada tahun 1970an. Hal ini terlihat dari salah satu

gorden berwarna putih agak kusam yang ada di ruang makan tersebut.

Disitu juga terlihat meja makan yang sangat sederhana terbuat dari kayu jati yang

berbentuk kotak persegi panjang, yang terdiri dari 4 kursi disamping sisi meja

tersebut.

Visual: Ruang Tamu Rumah Syamsudin dan Anissa

Scene 2 Saat Anissa dicekik oleh suaminya saat memecahkan gelas

Analisis :

Pada gambar scene diatas, memeperlihatkan suatu dinding rumah yang

(59)

tuanya suatu ruangan dalam rumah tersebut yang membuat warna itu berubah dari

warna aslinya.

Visual : Ruang Kamar Tidur Anissa dan Syamsudin

Scene 3 Saat Anissa dicekik karena tidak boleh bergaul dengan tetangga

Analisis:

Dalam gambar scene diatas terlihat ruangan kamar tidur yang terlihat di

dinding pigora foto yang menempel di dinding kamar mereka yang bergambar foto

pernikahan mereka yang didampingi oleh kedua orang tua mereka. Di gambar

tersebut menggambarkan bentuk keharmonisan yang mereka perlihatkan tetapi dalam

(60)

Visual: Tempat Tidur Anissa dan Khudori

Scene 4 Anissa dicekik oleh Syamsudin saat tidak mw melayani nafsu Syamsudin

Analisis:

Pada gambar diatas terlihat suatu bentuk ruangan dari kamar tidur Anissa dan

Khudori yang hanya terlihat didalam ruangan tersebut lemari dan tempat tidur yang

digunakan Anissa dan Syamsudin berbentuk klasik jauh dari kesan modern karena

film ini menggambarkan bentuk suasana pada tahun 1980-an jadi jauh terkesan dari

modern yang ditonjolkan. Tetapi hanya lemarinya saja yang terlihat seperti itu.

Terlihat dalam gambar diatas Anissa merasa tertekan dengan kelakuan

Syamsudin sehingga membuat Anissa pasrah dan menuruti kemauan Syamsudin

(61)

Visual: Halaman Pesantren Putri Salafiah

Scene 5 Saat Anissa dituduh oleh suaminya berzina didepan pondok pesantr

Gambar

gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari hasil tes siswa, dapat disimpulkan, bahwa (1) Hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan kedisiplinan siswa kelas III dalam pembelajaran pendidikan jasmani melalui permainan tradisional di

Perbincangan pada kali ini lebih banyak membincangkan soal perkahwinan dalam kalangan masyarakat seharian dan kesannya pada masa akan datang serta tujuannya mengikut pandangan

Orangtua di PAUD Terpadu mengetahui kebutuhan keamanan bagi anak sejak dini mengenai pendidikan seks, sehingga anak dapat membentengi dirinya dari perilaku yang tidak baik..

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kedudukan morfologi, klasifikasi morfem, proses morfologis, kategorisasi kata, proses

Cara Pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam hal cara pembayaran dimuka, importir

(2008), yaitu kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan pemecahan masalah, dan mengecek kembali. Tingkat kemampuan pemecahan masalah juga

Puji dan syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ ANALISIS