REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
(Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)
SKRIPSI
Oleh:
SUKMA SEJATI 0743010132
YAYASAN KESEJAHTERAAN DAN PENDIDIKAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLOTIK SURABAYA
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
serta Hidayahnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN dalam FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN” (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Wanita dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)”. Tugas ini dibuat dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan kurikulum wajib bagi mahasiswa Jurusan Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam tersusunnya tugas ini penulis mengucapakn terima kasih
sebesar-besarnya kepada Bapak Didik. S,sos sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingankepada penulis, disamping itu penulis jga ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, karena dengan rahmatnya dan karunianya saya dapat menyelesaikan
laporan ini.
2. Prof Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP,Selaku Rektor Universitas Pembangunan
Veteran Jawa Timur
3. Ibu Dra. Hj Suparwati, M. Si, Selaku Dekan Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Veteran Jawa Timur
4. Pak Juwito, D. Sos, M.si. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
5. Pak Ir. H. Didiek Tranggono M.si. Selaku dosen pembimbing yang memberikan
bimbingan dan dorongan demi terselesainya skripsi ini.
6. Orang Tua saya yang tercinta yang telah membimbing dan mendidik buah hatinya
dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
7. Serta teman – teman yang selalu menemani dikala bahagia dan sedih,
Dalam penyusunan Skripsi ini penulis sangat menyadari sepenuhnya
keterbatasan kemampuan atas penulis Skripsi ini sehingga hasilnya masih jauh dari
kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Akhir kata dari penulis mengharapkan semoga dengan terselesainya laporan
Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI……….. ii
KATA PENGANTAR………. iii
DAFTAR ISI……….……… v
DAFTAR LAMPIRAN………...…………viii
ABSTRAKSI……….………...ix
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1
1.2 Rumusan Masalah……….………...8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori………...9
2.1.3 Pengertian Kekerasan…………..………...13
2.1.4 Kekerasan terhadap Perempuan……….15
2.1.5 Teori Kekerasan……….17
2.2 Semiotika Komunikasi………...22
2.2.1 Pendekatan Semiotik dengan film……….………22
2.2.2 Model Semiotik John Fiske………..24
2.3 Kerangka Berpikir………..…...31
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian………32
3.1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian………...…….32
3.2 Kerangka Konseptual………34
3.2.1 Korpus……….………..…34
3.2.2 Definisi Operasional Konsep………35
3.2.2.1 Representasi……….35
3.2.3 Unit Analisis………36
3.3 Tehnik Pengumpuln Data……….36
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data……….41
4.1.1 Gambaran Umum Obyek……….41
4.1.2 Penyajian Data……….44
4.1.2.1Tokoh Anisa ………46
4.1.2.2Tokoh Kyai Hanan………47
4.1.2.3Tokoh Nyai Mutmainah………47
4.1.2.4Tokoh Khudori……….47
4.1.2.5Tokoh Syamsudin……….47
4.2 Analisis Data………48
4.2.1 Pada Level Realitas……….48
4.2.1.1Setting………..48
4.2.1.2Kostum dan Make up………..56
4.2.1.3Dialog………..58
4.2.2 Pada Level Representasi……….60
4.2.2.1Tehnik Kamera………60
4.2.2.2Pencahayaan………63
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan………..67
5.2 Saran……….69
DAFTAR PUSTAKA………..70
LAMPIRAN……….71
LAMPIRAN Potongan scene dalam film Perempuan Berkalung Sorban…………71
ABSTRAKSI
SUKMA SEJATI, 0743010132, Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)
Permasalahan dari judul adalah bagaiman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengakibatkan pengaruh terhadap sisi psikologis perempuan. Film yang yang disetting pada tahun 1970-an ini mengangkat tema kekerasan yang dialami oleh perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap tentang kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan yang tidak seimbang dan menyebabkan kekerasan yang sering dialami oleh perempuan.
Metode penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yang menggunakan analisis semiotic tentang representasi kekerasan pada perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level realitas, representasi, dan ideology.
Hasil penelitian ini berisi bahwa nilai kekerasan pada perempuan dalam film perempuan berkalung sorban adalah bentuk kekerasan dalam film ini terbagi menjadi dua yaitu, kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis. Penulis menyimpulkan bahwa tidak seharusnya perempuan menerima kekerasan yangn dilakukan oleh laki-laki karena hal itu dapat berdampak pada sisi mental psikologis yang dialami oleh perempuan.
Kata Kunci: Film Perempuan Berkalung Sorban, John Fiske, Kekerasan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi yang kini semakin maju, menjadikan setiap orang dan siapapun mudah dan cepat mendapatkan informasi dari manapun. Siapapun dapat menambah pengetahuan, pendidikan dan hiburan dengan mudah. Media yang digunakan kini semakin variatif dari manual hingga yang elektronik digital. Salah satu media yang saat ini marak digunakan adalah film.
Film tidak hanya menyampaikan kisah atau informasi tentang kehidupan manusia tetapi juga mampu melibatkan penonton kedalam kejadian itu. Film mampu melibatkan penonton kedalam kejadian atau peristiwa yang terjadi disana. Karena itu, selama menonton film, penonton, betul – betul diletakkan pada pusat segala kejadian dan peristiwa yang disuguhkannya, penonton pun akan merasa dibawa kedalam dunianya.
Alat Hiburan, Sumber Informasi, Alat pendidikan, dan juga merupakan pencerminan nilai – nilai sosial budaya suatu bangsa.
Dari beberapa fungsi diatas, film dapat dimanfaatkan untuk mengapresiasikan pencerminan nilai – nilai social suatu bangsa misalnya tentang pengobaran semangat perjuangan gender dimana, perempuan berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan hak. Kontroversi tentang hak dan kesetaraan atas gender di Indonesia hingga saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang hangat. Karena sejauh ini diskriminasi gender terhadap perempuan masih sangat marak terjadi khususnya di Indonesia.Hingga kini perjuangan kesetaraan gender masih berkobar kuat khususnya di Indonesia, nilai – nilai kebudyaan yang sangat kuat membuat para perempuan masih dianggap berbeda dengan kaum pria baik dalam berpolotik dan mengenyam pendidikan. Kesadaran akan hal itulah maka para perempuan di Indonesia masih harus berjuang untuk menyatarakan hak tersebut.
memiliki jodoh atau pasangan hidup pun mereka tidak bisa menentukan sendiri, segalanya ditentukan oleh orang tua mereka.
Istilah gender saat itu mungkin belum dikenal oleh Kartini, karena pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau setara dengan tingkat sekolah dasar. Setamatnya E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana adat – istiadat yang berlaku ditempat kelahirannya. Sepengetahuanya tentang gerakan gender, lebih banyak didapat dari pergaulannya dengan orang – orang terpelajar. Dia mempunyai banyak teman, baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari Belanda, yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kartini sering mencurahkan isi hatinya untuk memajukan perempuan negerinya, kepada teman – teman Belandanya. Kartini juga gemar membaca buku, khususnya buku – buku mengenai kemajuan perempuan seperti karya – karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh – tokoh pejuang perempuan di Eropa. Kartini mulai menyadari betapa tertinggalnya perempuan sebangsanya bila dibandingkan dengan perempuan bangsa lain terutama perempuan Eropa. Sejak itulah, Kartini memulai keinginanya untuk memajukan kaumnya.
senantiasa dilalui manusia (Freire, 2003:24). Jika mengacu pada pandangan Freire tersebut, pendidkan memang tepat digunakan sebagai media pembebasan dengan menggarap realitas serta jati diri manusia secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi. Prinsip ini merupakan kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat.
Rekonstruksi budaya melalui pendidikan yang dilakukan Kartini ini membuahkan hasil yang gemilang. Kedua, membekali kompetensi hidup (life skill) dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Kartini juga mengajarkan berbagai macam ketrampilan untuk hidup lain yang sangat dibutuhkan kaumnya saat itu.
Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias Cuma – Cuma. Ketiga, mencari beasiswa untuk meningkatkan kemampuannya maupun kaum sebangsanya. Demi melaksanakn cita – cita mulianya itu, Kartini berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik.
Kekaguman kepada Kartini, sejatinya tidak perlu diwujutkan dengan jalan memitoskannya sebagaimana ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam kata penggantar buku Panggil Aku Kartini Saja, “Sampai sedemikan jauh, Kartini disebut – sebut diberbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai media biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dengan dunia dewa – dewa.”
Sejatinya, semakin kurang pengetahuan orang tentangnya, semakin kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal, Kartini sebenarnya jauh lebih agung melebihi mitos – mitos tentangnya. (Penulis Pemerhati Gender, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)
Fenomena kesetaraan gender ini kemudian dipilih oleh Abidah Al- Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban untuk menjadikan perempuan sebagai “subyek” (pencipta) bukan sekedar penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi pencipta menimbulkan masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan islam sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup.
Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Wordview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika
Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan kekerasan tokoh – tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.
Dalam buku Glosarium Seks dan Gender yang dimaksud kesetaraan gender (gender equality) ialah kesetaraan dan kesempatan perempuan dan laki –
laki,termasuk penghapusan diskriminasi gender dan tidak kesetaraan structural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa – jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.
Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi gender pada undang – undang tentang hak asasi manusia menunjukkan hubungan yang erat diantara keduanya atau dengan kata lain, perilaku diskriminatif merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, kekerasan dalam berbagai bentuk harus dihapuskan.
Pada dasarnya kesadaran untuk menghapuskan kekerasan dalam berbagai bentuk telah terjadi sejak lama, tetapi tindakan yang diambil, baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat operasional, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
masyarakat kurang mamou untuk memperoleh pelayanan public hampir pada semua bidang.
Hal itu antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran perkara perdata pada pengadilan tingkat pertam, sehingga menyulitkan kelompok masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan public di bidang hukum atau memperoleh keadilan. Kendala yang sama juga dialami oleh kelompok masyarakat kurang mampu dalam memperoleh pelayanan public pada bidang kehidupan lainnya.
Dibeberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering terjadi, antara lain dengan dibentuknya Peraturan Daerah (PERDA) yang menggatur
tentang tata cara berpakaina dan batas ruang gerak perempuan di ruang public serta melarangperempuan keluar malam tanpa muhrim.
1.2 Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang tersebut maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana representasi kekerasan yang ditampilkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban??
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana bentuk kekerasan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan konstribusi terhadap kajian studi tentang analisis isi yang menganalisis tentang film.
1.3.3 Manfaat Praktis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Film
Film adalah gambar hidup yang sering juga disebut movie. Film secara
kolektif, sering juga disebut sinema. Sinema itu itu sendiri bersumber dari kata
kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan
selulosa, biasa di kenal di Dunia para sineas sebagai seluloit.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang
berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar =
citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat
melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang bisa kita
sebut dengan kamera.
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang lain dan benda (termasuk fantasi
dan figure palsu) dengan kamera, dan / oleh animasi. Kamera film menggunakan pita
seluloit (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halide yang
menempel pada pita ini sangat sensitive terhadap cahaya. Saat proses cuci film,
silver halide yang telah terespon cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam,
sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terespon akan tinggal dan larut
Definisi film menurut UU 8/ 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang
merupakan media komunikasi masa pandang dengan yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, pinggiran video, dan
atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran
melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa
suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
dan elektronik.
Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plasyik yang
dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.
Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominant digunakan untuk
menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya
fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan
gambar. Dalam bidang sinemafotografi perihal media penyimpan ini telah mengalami
perkembangan yang pesat. Berturut=turut dikenal media penyimpan selluloid (film),
pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Sejalan
dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi,maka
pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa
menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang
menggunakan media selluloid pasa tahap penggambilan gambar. Pada tahap pasca
produksi gambar yang telah disdit dari media analog maupundiital dapat disimpan
pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan pada
Perkembangan teknologi media penyimpanan ini telah mengubah pengertian
film dari istilah yang mengacu pada bahan keistilah yang mengacu pada bentuk karya
seni audio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre(cabang) seni
yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya. Istilah film
pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastic yang dilapisi dengan zat
peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi
film ini menjadi media yang dominandigunakan untuk menyimpan pantulan cahaya
yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan
media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.
Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami
perkembangan yang pesat. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam
bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat
diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin
sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.
Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital
dapat disimpan dalam media fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat
disimpan dalam media selluloid, analog maupun digital.
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah menggubah pengertian
film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk
karya seniaudio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang)
seni yang menggunakan audio(suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.
2.1.2 Film sebagai salah satu alat komunikasi massa
Dalam pengertian umum, media massa adalah sarana informasi untuk
menyampaikanberita kepada masyarakat luas, baik yang menggunakan alat cetak
(surat kabar, majalah, bulletin, dan sebagainya) maupun elektronik (televise, radio,
internet, dan sebagainya). Sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat
elektronik dipadukan dengan hasil ekspresi seni dan budaya, film memiliki peranan
penting dalam masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya nuansa kehidupan
manusia dengan hal-hal yang bermanfaat dari berbagai dimensi. Penafsran tentang
makna bergantung dari sisi mana kita memandangnya. Film yang kita tonton
merupakan salah satu representasi dari realitas yang ada dalam masyarakat.
Walaupun kadang-kadang penuh imajinasi dan fiksi, tetapi tetap saja film itu
mengambil tema dari realitas social yang ada dalam masyarakat.
Menurut Tuner, film bukan hanya refleksi dari realitas tapi makna film
sebagai representasi realitas masyarakat. Film membentuk dan menghadirkan kembali
realitas berdasarkan kode-kode, konveksi-konveksi, dan ideology dari kebudayaan.
Menurut McQuail tugas film adalah menghibur, memberikan informasi dan
mendidik. “Media massa dalam menjalankan fungsinya menyajikan hiburan yang
dapat menyenangkan hati pembaca, pendengar, penonton. Hiburan itu dapat saja
muncul dalam bentuk musik, cerita maupun berita-berita ringan yang terjadi di sekitar
2.1.3 Pengertian Kekerasan
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau
hal yang keras. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras, jadi
kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999
:102). Sedangkan dalam bahasa Inggris, kekerasan (Violence) berarti sebagai suatu
serangan atau invasi fisik integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam
Saraswati, 2003 : 13).
Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi
potensialnya. Kata-kata kunci yang perlu diterapkan yaitu actual (nyata) dan potensial
(mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan kekerasan sering dilakukan
oleh seseorang atau lembaga yang dianggap kuat atau lebih dominant memiliki
otoritas tertentu. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan
melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak
dipatuhi. Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu potensial dilakukan oleh
siapapun dan sudah melekat didalam suatu pola relasi yang diantara kedua belah
pihak merupakan adanya ketidakseimbangan yang satu memiliki otoritas yang
lebih besar dari pada yang lainnya.
Kekerasan pada dasarnya tergolong kedalam dua bentuk kekerasan yang
mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan
maupun yang tidak, seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar
masyarakat) dan terorisme.
Kekerasan domestic adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga,
dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal, fisik, dan
psikologis. Kekerasan secara verbal seperti berkata-kata yang tidak semestinya,
kekerasan fisik misalnya, meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka atau
bekas luka ditubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan atau kematian. Kekerasan
psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri,
kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan jiwa serius kepada jenis kelamin perempuan (Avivia, 2006 : 179-180)
Menurut pasal 5 Undang-undang nomer 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa jenis
(Fokusmedia, 2004 :5-6), diantaranya:
1. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.
2. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan
hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, malu, tersinggung dan penderita psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk
paksaan atau mengancam untuk melakuakn hubungan seksual,
4. Kekerasan Ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan
kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok
dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan diluar rumah
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) ada dua
jenis kekerasan yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah
kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi, umpatan
olok-olok, hinaandan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara merasa
tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal adalah melalui
bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.
Kekerasan sangat sering kita jumpai yang kita tahu secara langsung hanyalah
sebagian dari kekerasan itu sendiri.
2.1.4 Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan yang dialami pada perempuan secara
fisik., seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi didepan umum
Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena adanya ketimpangan
dan tidak keadilan gender. Ketimpangan gender adalah peran dan hak perempuan
dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih
rendah dari laki-laki. “Hak Istimewa” yang dimiliki laki-laki seolah-olah menjadikan
perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan
semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Kekerasan pada perempuan dapat terjadi
dalam bentuk:
1. Tindakan kekerasan fisik
Tindakan kekererasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa
atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan menggunakan
anggota tubuk pelaku (tangan dan kaki) atau dengan alat-alat lainnya.
Misalnya seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan.
2. Tindakan kekerasan Non fisik
Tindakan kekerasan non fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk
merendahkan citra dan kepercayaan diri seseorang perempuan, baik melalui
kata-kata maupun perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki
korbannya.
3. Tindakan kekerasan psikologis atau Jiwa
Tindakan kekerasan psikologis atau jiwa adalah tindakan yang bertujuan
mengganggu dan menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi
tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu
Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik secara domestic maupun public
secara individu maupun kelompok, seperti: inimidasi, pelecehan seksual,
penghinaan moral, pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, perzinaan,
kekejaman, pembunuhan dan eksploitasi tenaga kerja (migrant)perempuan tidak
pernah mendapatkan pelanggaran hak asasi perempuan sebagai manusia, tidak
pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius. Aturan hukum yang melindungi
kaum perempuan masih sangat lemah. (www.//suaramerdeka.co.id)
2.1.5 Teori-Teori Kekerasan
1.Teori Katharsis
Katharsis dalam Yunani berarti “pencucian” atau “pembersihan”. Para
pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan
(meskipun hanya tipuan kamera/fiksi) atau tindakan brutal dalam acara TV
atau film memberikan efek positif bagi penonton. Ketiak penonton melihat
tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan
yang dialami para tokoh di dalam TV/film, penonton juga ikut terlibat
berjuang. Dengan “happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada
dibawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian
kekerasan yang ditayangkan dalam TV/film memberikan efek positif pada
TV/film tidak membawa efek negative (merusak) sebaliknya justru membawa
efek positif bagi penonton.
2. Teori Imitasi
Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film
mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru, Bantingan tipuan seperti
dalam Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dan
lain-lain akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan
tindakan yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Padahal didalam film
adalah fiksi. Sebagai contoh, apabila apabila para actor Smack Down menjadi
idola anak/remaja ada kecenderungan anak/remaja terdorong untuk
mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermain Smack Down
meniru gerakan para actor tersebut. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu.
Dan permainan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut imitasi
adalah, bahwa sering kali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan
pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Happy endingnya
adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah berjuang
sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah
dengan kekerasan ala para tokoh idoal itu menjadi mosel bagi anak remaja
(tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar
pelajar bukan tidak mungkin dipicu oleh keinginan tampil sebagai hero
membela almamater teman, seperti tindakan heroic para tokoh film yang
3. Teori Kekerasan Struktural
Teori kekerasan structural dari Johann Galtung, seseorang kriminolog
dari Norwegia dan seorang polemolog adalah teori yang bertalian dengan
kekerasan yang paling menarik. Teori kekerasan structural pada hakekatnya
adalah teori kekerasan “sobursi”. Dengan “sobural” berarti suatu akronim dari
(nilai-nilai) social, (aspek) budaya, dan (factor) structural (masyarakat).
Teori ”kekerasan struktural” jika diimplementasikan seacar empiric
realistik,telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde baru)
melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi poloitik yang berkuasa yang
berbaju kultur jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibandingkan dengan Ken
Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda, (dalam buku
PramoedyaAnanta Toer, Arok Dedes Hasta Mitra, Jakarta, 2002). Kekerasan
structural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abat ke 21 dan
bukan pula solusi baru melalui kekerasan structural terhadap kekerasan.
Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan perbuatan
(fisik), sesungguhnya tidak selalu berarti demikian. Perbuatan kekerasan
apalagi yang structural bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis,
sampai pada bersifat naratifseperti berita-berita pers mengenai Sadam dan
Khadafi. (Turpin dan Kurtz, 1997 :91). Bahkan secara logika mungkin sulit
diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata
kekerasan. Suatu kekerasan structural yang sangat “naïf” dan terselubung
dengan maksud-maksud yang tidak etis.
Paling tidak ada empat pendekatan yang biasanyadigunakan baik oleh
peneliti Indonesia maupun peneliti dari luar, yaitu:
a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh
adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini
menegaskan adanya perbedaan esensial diantara kelompok-kelompok
etnik. Biasanya, peneliti ini menggunakan pendekatan ini cenderung
mencari kekuatan instristik dari kelompok-kelompok yang berbeda.
b. Kedua, Intrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada
peranaan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha
mencari actor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinay suatu konflik
kekerasan. Konflik denagn demikian dipandang dari sebuah produk dari
konflik anta relit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilitasi
dukungan dari kepentingannya.
c. Ketiga, Konstrukvitisme, yaitu anggapan bahwa mobilitas telah merubah
identitas dengan membawa massa kedalam kerangka kesadaran yang lebih
luas dan ekstra local. Hal ini membuat identitas dan komunitas menjadi
lebih luas dan terinstitusional. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa
konflik yang yang terjadi dinegara berkembang merupakan akibat dari
mengapa beberaqpa system politik justru menimbulkan konflik
sedangakan system yang lainnya tidak.
d. Keempat, Institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik telah terjadi
karena tidak adanya lemabaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja
secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan anta relit
atau kelompok.
Akiko menggunakan berbagai pendekatan, yaitu:
1. Psychological theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang
didiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relativedeprivation, dan social
identity theory, Sebagian peneliti menggangap bahwa konflik kekerasan
merupakan respon dari kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi), baik yang
absolute (alasan material) maupun relative (alas an psikologis). Karena itu
beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas
kelompok.
2. Human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk
melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja,
termasuk apakah ada perlindungan antara individu, kelompok dan komunitas
daria ancaman luar. Pendekatan ini lebih menfokuskan pada kehidupan
masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan
3. Social movement theory yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa
dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu
collective behavior dari Durkheim, grievance and frustration model yang
dikembangkan dari teori deprivasinyaTed Gurr, rational choice dari olson, dan
resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori digunakan untuk
melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi.
(http/www.google.co.id/kekerasan)
2.2 Semiotika Komunikasi
2.2.1 Pendekatan Semiotik dalam Film
Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai
hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film
memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat
hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan
budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan
menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna (Sobur,1993:127).
Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana
gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol
yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut
film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain :
kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang
kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler,
2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut.
Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.
Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan
tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih
sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah
makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul
antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda
tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).
Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske,
2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun
hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat
membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan
pertukaran makna.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek
medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini
jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera
work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan
bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher
ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan
sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu
bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak
kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan
ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil
(Berger,1982:37).
2.2.2 Model Semiotik John Fiske
Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide
screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise, sehingga
analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level
1. Level Realitas (Reality)
Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,
lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai
kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.
Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat
didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:
a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada
film ”Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam penelitian ini, tokoh yang
menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang
mereka gunakan, serta apakah kostum dan make up yang
ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode
sosial dan kultural.
b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,
bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna
didalamnya.
c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam
dialog.
2. Level Representasi
Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan
casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
1) Shot
Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di
monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm
kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang
berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak,
focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full
shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot
memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus
menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan
potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan
dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa
berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun
yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.
Teknik pada shot meliputi :
1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan
a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan
gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai
dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu
sebagai fokusnya.
c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan
lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk
memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.
d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda
dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi
layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini
memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala
digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.
e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu
peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan
sebagaimya).
f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam
objek.
g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam
objek.
h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal
untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.
2. Teknik kamera perpindahan
a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan
untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan
b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.
Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang
menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.
c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi
objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan
penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan
ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television
and film).
2)Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya
informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang
membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai
”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur
dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu
menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang
dramatic adegan.
3. Penataan Suara/Musik
a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan
bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada
sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara
bersamaan.
b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu
adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional
atau adegan.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada
teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi
dalam film Perempuan Berkalung Sorban
4). Teknik Editing
a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau
lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk
merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau
membentuk kesan terhadap image atau ide.
b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan
3. Level Ideologi
Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam
suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti:
kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,
status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film
Perempuan Berkalung Sorban.
Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,
kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi
dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh
dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film
suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta
budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan
2.3. Kerangka berpikir
Kekerasan yang ada dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini merupakan
kekerasan yang dialami oleh perempuan berupa kekerasan fisik maupun kekerasan
psikologis yang ditayangkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.
Teori yang digunakan adalah teori analisis isi Film Perempuan Berkalung
Sorban merupakan media yang digunakan oleh Hanung Bramantyo untuk
menyampaikan pesan yang berisikan “Kekerasan” kepada khalayak luas yang
berperan sebagai komunikan.
Film “Perempuan Berkalung Sorban” di analisis sesuai dengan kekerasan
yang muncul dalam setiap adegan difilm tersebut. Bentuk yang tampak dalam
kekerasan dan diskriminasi gender terdapat pada dialog dan visual di setiap scene
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
3.1.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisis isi bentuk kekerasan dan
diskriminasi gender pada salah satu film karya sutradara muda Hanung Bramantyo
yang berjudul Perempuan Berkalung Sorban. Metodologi yang digunakan adalah
deskriptif kuantitatif. Sedangkan metode penelitian dalam penelitian ini
menggunakan metode analisis isi.
Analisis deskriptif kuantitatif yaitu melukiskan secara sistematik fakta atau
karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu atau secara factual dan cermat.
Sedangkan kuantitatif dapat diartikan dengan mencatat nilai – nilai bilangan atau
frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis hal yang didefinisikan.
Menurut Berelson & Kerlinger, analisis isi merupakan suatu metode untuk
mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif
terhadap pesan yang tampak (Wimmer & Dominick, 2000:135). Analisis isi adalah
suatu tehnik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengelola pesan atau suatu
alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari
Isi film yang akan diteliti lebih mengarah pada kekerasan dan diskriminasi
gender. Film Perempuan Berkalung Sorban ini berkaitan dengan isu yang beberapa
waktu terakhir ini di berbagai media massa maupun buku-buku, atau
kegiatan-kegiatan seperti seminar, diskusi, dan sejenisnya yang banyak membahas tentang
protes dan gugatan yang terkait dengan ketidak adilan dan diskriminasi gender
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi gender tersebut terdapat
hampir di semua tingkatan dan sektor, mulai dari tingkat internasional, Negara,
Keagamaan, Sosial (kemasyarakatan), Budaya, Ekonomi sampai rumah tangga.
Dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini diceritakan bahwa pesantren
Salafiah putri Al-Huda tempat Annisa dibesarkan, mengajarkan bagaimana menjadi
seseorang perempuan muslim. Dimana pelajaran itu membuat Annisa beranggapan
bahwa islam membela laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan tidak
seimbang. Dengan munculnya ini maka para penikmat film Indonesia disuguhkan
dengan kisah berbeda, isu tentang gender yang semakin marak akhir-akhir ini
membuat film tersebut menjadi kontroversi karena dianggap melecehkan syariat
islam.
Film yang meraih 7 Nominasi Festival Bandung ini dibintangi antara lain oleh
Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Nasya Abigail, Widyawati, Oka Antara, Reza
Rahadian, dan Ida Leman. Film ini didistibusikan oleh Kharisma Starvision Plus
dan mulai diputar secara perdana di Bioskop Indonesia pada tanggal 15 Januari 2009.
Pembuatan film ini didasari oleh novel yang berjudul sama tahun 2001 yang menulis
diadaptasikan menjadi sebuah naskah film oleh Ginatri S. Noer dan Hanung
Bramantyo. Film ini menyajikan latar tradisi sebuah sekolah pesantren di Jawa Timur
yang cenderung mempraktikan tradisi konservatif terhadap perempuan dan kehidupan
modern. Dialog film ini dibawakan dalam bahasa Indonesia, bahasa jawa, dan juga
terkadang bahasa arab yang sering digunakan di sekolah pesantren.
3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1 Korpus
Didalam penelitian Kualitatif diperluhkan adanya suatu pembahasan masalah
yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada
perkembangannya oleh analisis kesewanangan. Corpus haruslah cukup luas untuk
memberi harapan yang beralasan bahwa unsure-unsur akan memelihara sebuah sistem
kemiripan dan perbedaan yang lengkap, corpus juga bersifat homogen mungkin, baik
homogeny pada taraf waktu (sinkroni). (Kurniawan, 2000:70). Keseluruhan scene
dalam film ini adalah 191 scene dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah
9 adegan baik kekerasan fisik maupun psikologis (selengkapnya ada pada lampiran)
dan dialog yang merujuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis dalam film
3.2.2 Definisi Operasional Konsep 3.2.2.1 Representasi
Representasi berasal dari kata “Represent” yang bermakna stand for artinya
berarti atau juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atau
sesuatu (Kerbs, 2001 : 456). Representasi juga dapat sebagai suatu tindakan yang
menghadirkan dan mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya,
biasanya berupa tanda atau symbol. (Piliang, 2003:21)
Representasi adalah konsep yang diguanakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Lewat bahasa symbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut itulah
seseorang dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu.
(Juliastuti, 2000)
Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita,
sceneraio, penokohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya. Menurut Graeme
Tuner (1991:128), maka film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda
dengan film sekedar sebagai refleksi dan realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film
sekedar memindahkan ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai
representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas
berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi dan ada ideology kebudayaannya (Irawanto,
3.2.3 Unit Analisis
Unit Analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan tanda dan lambang
berdasarkan pembagian level analisis oleh John Fiske, yang terdapat pada tokoh
Anissa sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dalam Perempuan Berkalung
Sorban . Kemudia diinterpretasikan dengan teori emiotik John Fiske.
3.3 Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik.
1. Tehnik Dokumentasi atau pengumpulandata dengan menonton film
Perempuan Berkalung Sorban melalui VCD.
2. Penelitian juga mengadakan pengamatan serta melakukan pencatatan, sesuai
kategori yang telah ditentukan lalu dimasukkan kedalam lembar koding.
3.4 Tehnik Analisis Data
Peneliti memperoleh data dengan mengamati film yang menjadi obyek
penelitian yaitu Perempuan Berkalung Sorban. Berdasarkan data yang dikumpulkan.
Yang dihitung berdasarkan pergantian scene atau sesuai pergantian visual yang
muncul dalam layar. Dalam penelitian ini peneliti membagi kategori kedalam
beberapa variabel yaitu diskriminasi gender, kesetaraan gender, perihal positif yang
didapat dari perlakuan diskriminasi, kekerasan sebagai akibat dari perlawanan
Netral yang dimaksud oleh peneliti adalah adegan yang tidak ada kaitannya
dengan variable diskriminasi, kekerasan, hal positif yang didapat dan kesetaraan
gender. Data netral tersebut adalah berupa intercut yaitu visual tanpa dialog yang
merupakan penggambaran lokasi.
Level realitas sebagai berikut:
1. Latar (setting)
Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya
paradigma dari setting terdiri dari :
a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out
door/eksternal). Pada film Perempuan Berkalung Sorban ini bertempat lokasi
pada daerah pesantren putri Salafiah.
b. Penggambaran setting.
c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:
2. Kostum dan Make up (costume dan make up)
Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:
a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi
3. Dialog/Diam (dialogue/silence)
Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa
kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam
medium melalui ekspresi seperti
1. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi
3. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu
(kiasan)
4. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam
Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis
beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat
didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian,
ekspresi wajah, perilaku, dsb.
Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Teknik kamera
Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:
a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka
dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis
shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari
sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan
gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language,
ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai
kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang
sedang terjadi pada adegan itu.
b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,
medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS)
gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan
gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan
long shot.
c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu
peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan
sebagainya)
2. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya
informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis
yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya
disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam
perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang
semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau
atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).
Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh
television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera,
pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai
Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana
penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan,
musik, casting, editing dan narasi.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut
teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Obyek
Film Perempuan Berkalung Sorban adalah suatu novel yang ditulis oleh
Abidah el Khalieqy yang berjudul sama dengan film Perempuan Berkalung Sorban.
Novel Perempuan Berkalung Sorban diterbitkan pada tahun 2001, kemudian diangkat
kelayar lebar oleh sutradara Hanung Bramantyo. Namanya melambung setelah
novelnya diangkat kedalam layar lebar dan menuai banyak kontroversi dari sineas
perfilman. Ini adalah karya novel dari Abidah el Khalieqy yang ke 5 dari 9 novel
yang dibuatnya.
Film Perempuan Berkalung Sorban adalah kesekian kalinya film yang
mengusut tentang budaya agama islam. Film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah
film tentang pengorbanan seorang perempuan, seorang anak dari pasangan Kyai
Salafiah dan Nyai Muthmainnah. Anissa (Revalina S Temat) adalah seorang anak
perempuan yang memiliki pendirian yang sangat kuat, cantik dan cerdas. Anissa
hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di Pesantren Salafiah putrid Al-Huda, Jawa
Timur yang konservatif. Bagi kedua orang tua Anissa ilmu sejati dan benar adalah
hanyalah Al-Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap oleh orang tua
Dalam Pesantren Salafiah Putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi
seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu memebuat Anissa beranggapan
bahwa islam membela kaumnya laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan
tidak memiliki jiwa pemimpin yang dapat memimpin kaumnya. Tapi saat Anissa
membuka suara untuk memprotesnya malah Anissa selalu dianggap sebagai protesan
rengekan anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Hanya Khudori (Oka Antara),
paman dari pihak ibu yang selalu menemani Anissa dan selalu mendengarkan
protesan dari mulut Anissa. Dan hanya Khudori yang selalu menghibur sekaligus
menyajikan dunia yang baru bagi Anissa.
Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tetapi cinta itu tidak
terbalas karena Khudori menyadari bahwa dirinya masih ada hubungan dekat dengan
keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun Khudori bukan sedarah dengan
beliau. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membakar perasaan cintanya
kepada Anissa. Sampai akhirnya Khudori memutuskan melanjutkan sekolahnya ke
Kairo tanpa sepengetahuan Anissa. Anissa baru menyadari kalau Khudori telah
berangkat melanjutkan sekolah ke Kairo setelah sampai di Kairo dengan cara
mengirimkan surat kepada Anissa.
Kemudian secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah keJogja tanpa
sepengetahuan orang tuannya. Dan kemudian dari kenekatan dan keinginan Anissa
untuk berkuliah akhirnya Anissa diterima. Tetapi saat Anissa memberitahukan kabar
gembira tersebut Kyai Salafiah ayah dari Anissa tidak mengijinkan dengan alasan
perempuan yang belum menikah berada senderian jauh dari orang tuanya. Kemudian
Anissa merenggek dan protes dengan alasan yang diucapkan oleh ayahnya. Karena
menurut Anissa alasan ayahnya tidak masuk akal dan Anissa merasa dibedakan
dengan sang kakak yang melanjutkan sekolah di luar negeri.
Akhirnya keputusan ayahnya adalah menikahkan Anissa dengan Syamsudin
(Reza Rahardian), seorang anak Kyai dari Pesantren Salaf terbesar yang ada di Jawa
Timur. Sekalipun Anissa berontak dengan keinginan sang Ayah tetapi tetap
dilangsungkan juga. Selama pernikahan Anissa dengan Syamsudin, Anissa selalu
mendapatkan kekersan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh Syamsudin.
Seiring berjalannya waktu Syamsudin menikah kembali secara diam-diam dengan
Kalsum (Francine Roosenda) dengan alasan Anissa tidak dapat memenuhi kemauan
seorang suami dan tidak dapat memberikan keturunan selam menikah dengan
Syamsudin.
Harapan Anissa untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri seketika
runtuh dihadapan Anissa. Seketiak itu Anissa merasa tidak dihargai sedikitpun oleh
Syamsudin maupun istri kedua Syamsudin. Kemudian Anissa dengan diam-diam
pulang kerumah orang tuanya di Pesantren putrid Salafiah Al-Huda. Dan tanpa
sepengetahuan Anissa ternyata Khudori telah kembali ke Indonesia dari sekolahnya
di Kairo. Seketika itu Anissa tidak ingin kembali lagi kerumah Syamsudin. Dan saat
Syamsudin mengetahui hal tersebut kemudian Syamsudin memfitnah Anissa dengan
Saat itu juga kemudian Anissa menceraikan Syamsudin dan kemudian
menjalin kasih dengan Khudori, kemudian Khudori melamar dan mengajak menikah
Anissa tanpa piker panjang Anissa menerima permintaan dari Khudori karena Anissa
juga memiliki rasa dengan Khudori dari dahulu.
4.1.2 Penyajian Data
Film Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang menceritakan tentang
keinginan yang kuat dari seorang perempuan tetapi menurut orang tuanya hal itu
bertentangan dengan hukum islam yang berlaku. Film ini banyak menuai protes dari
PBNU. Sekjen PBNU Endang Turmudi menyatakan keprihatinannya atas film
Perempuan Berkalung sorban yang di nilainya mendiskreditkan pesantren. Pesantren
dalam film tersebut digambarkan sangat tidak sesuai dengan realitas, sebagai institusi
pendidikan agama yang kolot, anti perubahan dan tertutup.
Ia mengaku menonton film ini di sebuah bioskop di Surabaya setelah
munculnya kontroversi di media. Dalam fil yang disutradarai oleh Hannung
Bramantyo ini, pesantren digambarkan sangat tradisional. Buku-buku yang tidak
sesuai dibakar. Perilaku anak Kyai yang biasa dipanggil Gus juga digambarkan
dengan tampilan kejam terhadap istrinya. Pesantren jarang ditampilkan dalam film,
saat menjadi cerita dalam film, malah digambarkan dengan sangat negative,
terangnya.
Ia takut gambaran ini akan member citra buruk kepada kelompok masyarakat.
Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memahami seorang seniman berhak untuk
berkreasi, namun di sisi lain juga harus menghargai sebuah kultur dengan nilai-nilai
yang dimilikinya. Kebebasan tidak berarti bisa mendiskreditkan pihak lain dengan
seenaknya, tandasnya.
Sayangnya, sejauh ini belum banyak kalangan pesantren yang berbicara
mengenai film ini. Suara keras datang dari Imam besar Masjid Istiqlal, KH Ali
Mustofa Ya”kub. Setelah kesuksesan fil Ayat-Ayat Cinta, dunia perfilman Indonesia
banyak mengangkat tema tentang islam dan pesantren. Selain itu sutradara film
Perempuan Berkalung Sorban Hannung Bramantyo, diprotes salah satu
penyuntingnovel dengan judul yang sama, Hinun Anisah. Pasalnya, film itu dinilai
tidak sesuai dengan kisah sebagaimana diceritakan dalam novel. Menurut Hindun
Hannung gagal menyampaikan substansi novel dalam film. Hal yang menonjol justru
kekersan seorang Kyai dan putranya. Pasalnya, sesungguhnya tidak seperti itu.
Ia menjelaskan sebetulnya dalam novel tersebut lebih ditonjolkan pergulatan
wacana tentang teks agama islam dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri
ataupun perempuan-laki-laki. Namun, hal itu tidak ada dalam film melainkan justru
pemberontakan seorang perempuan yang seakan-akan tidak didukung penafsiran akan
teks agama. Debatnya Anissa (tokoh perempuan yang diperankan oleh Revalina S
Temat) asal-asalan saja, tandasnya. Di dalam novel terlihat kekerasan yang dialami
Anissa itu berasal dari pemahaman terhadap agama yang sangat bias. Lalu Anissa
pengurus Cabang Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama Kabupaten
Jepara.
Tak hanya itu dijelaskan dia, tokoh Anissa didalam novel digambarkan
sebagai seorang perempuan pandai, cerdas serta menguasai teks-teks agama. Dia
(Anissa) berdebat dengan orang tua, guru, dan suami pertamanya (Syamsudin). Film
Perempuan Berkalung Sorban diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah
Al-Khalieqy. Berlatar belakang tahun 1980-an, budaya patriarki masih kuat di tengah
pesantren Salafiah (tradisional) di Jawa Timur, saat itu. Film itu mengisahkan tentang
seorang muslimah Anissa (Revalina S Temat) anak seorang Kyai kondang, Kyai
Hanan (Joshua Pandelaky) yan g memiliki Pesantren Putri Salafiah Al-Huda.
Belakangan film ini menjadi kontroversi karena dianggap memojokkan dunia
Pesantren. Di dalam film, pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan yang
kolot, anti perubahan dan tertutup. Sebagaian kalangan menganggap hal itu tidak
sesuai dengan kenyataan.
4.1.2.1 Tokoh Anissa
Tokoh Anissa diperankan oleh Revalina S Temat ia adalah seorang anak
perempuan dari Kyai Pesantren putri Salafiah. Anisa merupakan sosok perempuan
yang cerdas dan berpendirian kuat dengan keyakinannya. Dia juga perempuan yang
4.1.2.2 Tokoh Kyai Hanan
Tokoh Kyai Hanan diperankan oleh Joshua Pandelaki adalah seorang ayah
yang juga memiliki pesantren putri Salafiah. Dia adalah seorang ayah yang keras
mengajari dan mendidik anak perempuannya sesuai dengan sunah rosul yang beliau
terapkan.
4.1.2.3 Tokoh Nyai Muthmainnah
Tokoh Nyai Muthmainnah diperankan oleh Widyawati adalah istri dari Kyai
Hanan. Dia adalah sosok perempuan yang lemah lembut terhadap suami maupun
anaknya. Beliau tidak pernah membantah suami yang memiliki watak yang keras.
4.1.2.4 Tokoh Khudori
Tokoh Khudori diperankan oleh Oka Antara adalah seorang lelaki yang selalu
menemani Anissa saat Anissa merasa terpojokkan dengan peraturan-peraturan yang
tidak wajar yang diterapkan oleh ayahnya maupun guru Anissa saat disekolah. Selain
itu Khudorilah sosok lelaki yang dicintai oleh Anissa.
4.1.2.5 Tokoh Syamsudin
Tokoh Syamsudin diperankan oleh Reza Rahardian adalah seorang anak dari
Kyai Besar yang kemudian menjodohkan Syamsudin dengan Anissa. Syamsudin
adalah sosok lelaki yang keras dan suka main tangan terhadap Anissa saat menjadi
4.2 Analisis Data 4.2.1 Pada Level Realitas
Fiske (1990:189) Level realitas terdiri dari Latar (setting), kostum dan
make up, dialog / diam. Tidak semua dialog dalam film ini akan dibahas, melainkan
hanya beberapa penggalan scene, adegan yang menampilkan representasi kekerasan
pada perempuan dalam film ” Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam menganalisis
dialog, ditampilkan per-scene secara keseluruhan agar dapat sekaligus memahami
konteks pada dialog.
4.2.1.1Setting
Visual: Ruang makan
Analisis:
Pada gambar diatas, memperlihatkan suatu ruangan makan yang bergaya
kuno, selayaknya setting dilakukan pada tahun 1970an. Hal ini terlihat dari salah satu
gorden berwarna putih agak kusam yang ada di ruang makan tersebut.
Disitu juga terlihat meja makan yang sangat sederhana terbuat dari kayu jati yang
berbentuk kotak persegi panjang, yang terdiri dari 4 kursi disamping sisi meja
tersebut.
Visual: Ruang Tamu Rumah Syamsudin dan Anissa
Scene 2 Saat Anissa dicekik oleh suaminya saat memecahkan gelas
Analisis :
Pada gambar scene diatas, memeperlihatkan suatu dinding rumah yang
tuanya suatu ruangan dalam rumah tersebut yang membuat warna itu berubah dari
warna aslinya.
Visual : Ruang Kamar Tidur Anissa dan Syamsudin
Scene 3 Saat Anissa dicekik karena tidak boleh bergaul dengan tetangga
Analisis:
Dalam gambar scene diatas terlihat ruangan kamar tidur yang terlihat di
dinding pigora foto yang menempel di dinding kamar mereka yang bergambar foto
pernikahan mereka yang didampingi oleh kedua orang tua mereka. Di gambar
tersebut menggambarkan bentuk keharmonisan yang mereka perlihatkan tetapi dalam
Visual: Tempat Tidur Anissa dan Khudori
Scene 4 Anissa dicekik oleh Syamsudin saat tidak mw melayani nafsu Syamsudin
Analisis:
Pada gambar diatas terlihat suatu bentuk ruangan dari kamar tidur Anissa dan
Khudori yang hanya terlihat didalam ruangan tersebut lemari dan tempat tidur yang
digunakan Anissa dan Syamsudin berbentuk klasik jauh dari kesan modern karena
film ini menggambarkan bentuk suasana pada tahun 1980-an jadi jauh terkesan dari
modern yang ditonjolkan. Tetapi hanya lemarinya saja yang terlihat seperti itu.
Terlihat dalam gambar diatas Anissa merasa tertekan dengan kelakuan
Syamsudin sehingga membuat Anissa pasrah dan menuruti kemauan Syamsudin
Visual: Halaman Pesantren Putri Salafiah
Scene 5 Saat Anissa dituduh oleh suaminya berzina didepan pondok pesantr