OLEH :
CLAUDITA SASTRIS PASKANONKA NPM. 0643010048
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas limpahan berkat, Nikmat, serta Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “PUNK IN LOVE” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “PUNK IN LOVE”)
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini baik moral maupun tenaga antara lain :
1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.
4. Untuk keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta, perlindungan, waktu. Dan untuk adikku terimakasih telah menjadi inspirasiku, I believe Jesus always care u.
v
Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam penyusunan Proposal ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Skripsi ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga laporan ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima kasih.
Sidoarjo, 2 Maret 2010
HALAMAN PERSETUJUAN DAN
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI………...ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI...vi
DAFTAR LAMPIRAN...ix
DAFTAR GAMBAR………....x
ABSTRAKSI………...…xi
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Rumusan Masalah…….………...8
1.3 Tujuan Penelitian………...8
1.4 Manfaat Penelitian………...8
BAB II KAJIAN PUSTAKA...10
2.1 Landasan Teori………...10
2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa...10
2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial...11
2.1.3 Representasi……...14
2.1.4 Kekerasan……….…,,,,,………..17
2.1.4.1 Definisi Kekerasan..………17
2.1.8 Pendekatan Semiotika Dalam Film-John Fiske……..28
2.1.9 Kerangka Berpikir………..30
BAB III Metode Penelitian……...31
3.1 Metode Penelitian………...31
3.2 Kerangka Konseptual...32
3.2.1 Corpus……….32
3.2.2 Definisi Operasional………...36
3.2.2.1 Representasi………36
3.2.2.2 Kekerasan………37
3.2.2.3 Kategori Kekerasan…….………37
3.3 Unit Analisis………..………38
3.4 Jenis Sumber Data………...39
3.4.1 Sumber Data Primer………39
3.4.2 Sumber Data Skunder……….40
3.5 Teknik Pengumpulan Data………..40
3.6 Teknik Analisis Data………...40
BAB IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Dan Objek Penelitian Data………42
4.1.1 Gambaran Umum Film Punk In Love………42
4.1.2 Penyajian Data………43
4.2 Analisis Data………...46
DAFTAR PUSTAKA...81
LAMPIRAN – LAMPIRAN...85
Lampiran 1. Ody .C. Harahap : Berlaku Kejam Demi Totalitas
Lampiran 2. Ungkap Sisi Positif Komunitas Punk
Lampiran 3. Punk Pink Prank PoP (Punk In Love 2009)
Lampiran 4. Pasal-pasal tentang kekerasan dalam Standar Program Penyiaran (SPS) 2009
Lampiran 5. Pasal-pasal tentang kekerasan dalam Undang-Undang No.33 2009 tentang perfilman
Gambar 4.2 Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut
Gambar 4.3 Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate
Gambar 4.5 Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji
Gambar 4.6 Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual
Gambar 4.7 Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira
Gambar 4.8 Ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ditolak di suatu klinik
Gambar 4.9 Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun
Kekerasan Dalam Film “Punk In Love”)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam film melalui tokoh-tokoh utama.
Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi.
Data dibagi menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera, pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat.
Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan spiritual, kekerasan fungsional, kekerasan prikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan finansial. Kekerasan tersebut dilakukan karena latar belakang ekonomi atau kemiskinan yang dialami tokoh-tokoh utama dan kekerasan yang dihadirkan merupakan bumbu penyedap dan sarana humor dari film ini.
Kata kunci :
1.1 Latar Belakang Masalah
Film merupakan aktualisasi perkembangan kehidupan masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman film mengalami perkembangan, baik dari teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Bagaimanapun, film telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog antar tokoh dalam film.
Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sudah sangat dikenal. Dengan caranya sendiri, film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan secara unik; dapat juga dipakai sebagai sarana pameran bagi media lain dan juga sebagai sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang televisi, film seri, serta lagu (McQuail, 1987 : 14).
Dalam perkembangan media komunikasi masa sekarang ini, film menjadi salah satu media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan. Film berperan sebagai sarana modern yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan dan diakrabi oleh khalayak umum. Di samping itu film juga menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian lainnya kepada masyarakat umum.
Ketika seseorang melihat sebuah film, maka pesan yang disampaikan oleh film tersebut secara tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap maksud pesan dalam film. Seorang pembuat film merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan.
Graeme Turner mengungkapkan bahwa film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas. Sebaliknya”Film lebih merupakan representasi atau gambaran dari realitas, film membentuk dan ”menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi,dan ideologi dari kebudayaannya. ” (Sobur, 2006 : 127) .
Salah satu gambaran dari realitas yang berlaku ditengah masyarakat salah satunya adalah kekerasan. Gambaran dari realitas ini tercermin jelas dalam film-film yang tengah beredar di masyarakat. Bisa di bilang hampir semua film-film mengandung unsur kekerasan, bahkan film katun pun syarat dengan adegan kekerasan.
Muatan-muatan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Perfilman maupun peraturan yang dibuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi peraturan tersebut tidak menjadikan beberapa pembuat film untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Pelanggaran-pelanggaran kekerasan ini ditampilkan tidak hanya berupa bentuk non-verbal tetapi juga dari sisi verbal dalam sebuah film. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak(http://id.wiki.detik.com/wiki/Tindakan_kekerasan).
Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak negatif bagi penontonnya, karena bukan tidak mungkin bagi merekan untuk meniru apa yang dilihatnya dalam film.
Dalam perkembangannya, film di Indonesia dimonopoli oleh film yang mengangkat tema seputar remaja. Hal ini disebabkan karena pangsa pasar di Indonesia sebagian besar adalah remaja. Oleh karena itu, industri perfilman di Indonesia memiliki tendensi memproduksi film-film populer yang bersifat komersial, sehingga banyak film yang mengesampingkan estetika dan pesan moral yang hendak disampaikan.
Film remaja Indonesia tidak terlepas dari perkembangan remaja di Indonesia itu sendiri. Apabila ditinjau lebih lanjut, masa remaja merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain, petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).
tayang kan di bioskop-bioskop Indonesia pada 9 Juli 2009. Film ini menceritakan perjuangan Arok yang diperankan Vino G. Bastian untuk menyatakan cinta kepada Maia yang diperankan oleh Girindra kara yang 5 hari lagi mau dipersunting cowok lain. Dalam perjalana dari Malang menuju Jakarta Arok ditemani Yoji (Andhika Pratama), Mojo (Yogi Finanda), dan Almira (Aulia Sarah). Sekumpulan sahabat ini memilih sub-kultur punk sebagai jalan hidup nya. Bermodal duit alakadarnya, empat sekawan ini lalu nekad berangkat ke Jakarta dengan misi menggagalkan pernikahan Maia-Andra. Berbagai rintangan mereka lalui termasuk nyasar ke Bromo, terjebak banjir di Semarang, mendadak sakit di Cirebon, sampai digebuki preman di Jakarta. Semua halangan ini bukannya membuat mereka patah semangat, tapi malah bikin persahabatan mereka makin erat.
Punk In Love memang bukan film tentang anak punk. Bukan juga film tentang cinta. Film garapan sutradara Ody C Harahap ini adalah film tentang persahabatan. Cuma kebetulan empat sekawan ini berdandan ala anak punk. Buktinya, meski suka musik punk, salah satu dari mereka diam-diam juga suka dangdut.
Cuma ada beberapa adegan yang mengisyaratkan ke-punk-an para tokoh utama, misalnya sebatas celetukan-celetukan seperti, “Anak punk kok pake baju basket?” dan satu adegan saat mereka tiba-tiba membahas filosofi punk.
Karena menceritakan sekumpulan anak punk yang berdomisili di kota Malang, maka dalam film ini banyak menggunakan dialog-dialog bahasa jawa.
Dan dimana anak punk di stereotype kan sebagai anak yang liar, kriminal, pemberontak dan semua yang berbau negative maka penggambaran dalam film ini berusaha memasukan unsur-unsur itu. Tak hanya dari sisi non-verbal dari sisi verbal pun banyak memakai umpatan-umpatan khas orang jawa yang bernada sarkasme.
kata-kata yang bermakna hubungan seks/persetubuhan; dan/atau, kata-kata-kata-kata yang bermakna kotoran manusia atau hewan dan
Serta disebutkan dalam Pasal 6f Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman juga disebutkan bahwa Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dalam film Punk In Love ini sarat dengan adegan-adegan yang menggunakan kekerasan verbal yang ditujukan baik untuk merendahkan martabat manusia ataupun hanya sekedar umpatan-umpatan. Pada salah satu adegan terlihat ketika Yoji di ejek teman-teman nya ketika mengetahui dulunya Yoji adalah model yang bertentangan dengan idealisme punk yang anti kemapanan. Di situ Yoji terlihat kesal dengan ejekan temannya dan mengeluarkan kata-kata “taek kon kabeh..tak dungak no cangkem mu gak mbalik”. Pada umpatan tersebut di
gambarkan teman-teman nya di samakan dengan kotoran yang mempunyai makna negatif.
Film ini menuai kritik dari khalayak nya, seperti sebuah kritik yang di lontarkan melalui sebuah sumber berikut :
“Tapi sayang, memirsa film ini saya malah jadi agak miris karena membayangkan penonton film ini akhirnya mudah untuk hanya sampai pada pemahaman-pemahaman yang dangkal dan negatif. Hanya sampai pada batas mengetahui bahwa yang dimaksud Punk itu adalah potongan rambut ala Indian, perilaku kasar, liar, dan... jorok.Sungguh patut disayangkan. Karena dalam kondisi masyarakat yang semakin modern seperti sekarang ini, sesungguhnya kita tak lagi membutuhkan sikap-sikap prejudice semacam itu. Poin
lain yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan film ini, adalah keberanian untuk menghadirkan sisi kedaerahan dalam sosok anak muda Indonesia. Memilih kota non-metropolitan seperti Malang sebagai lokasi asal keempat sosok tokoh sentral dalam cerita ini, serta keberanian untuk menggunakan bahasa Jawa kasar dalam banyak dialog tokoh-tokohnya, bukanlah hal yang pantas ditemukan dalam film Indonesia yang market (pasarnya) ditujukan bagi remaja.” (http://www.apakabar.ws).
Untuk itu peneliti menggunakan metode analisis semiotik sebagai alat analisis. Sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan lambang-lambang yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu lainnya berdasar kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu (Berger 2000:11-12).
1.2 Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan perimusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana representasi kekerasan pada film “Punk in Love” yang di perankan melalui aktor-aktor utamanya ? “
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui Representasi kekerasan melalui aktor-aktor utama.
1.4 Manfaat penelitian 1. Secara teoritis yaitu
Hasil penelitian diharapkan dapat mnambah kajian pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi terutama berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika.
2. Secara praktis yaitu
Dapat digunakan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada khalayak untuk lebih selektif dalam memilih film yang sesuai dengan etika yang
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa
Film juga dianggap sebagai media massa kerana ia merupakan alat
yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai
kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam
dan luas.
Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia
mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan
lain pada waktu unsur- unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang
dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya Film dengan lebih
mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami
unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan
surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad
ke-19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I dan perang
dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya
medium televisi (Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003 : 126).
Pengertian film menurut Undang – undang nomor 33 tahun 2009 tentang
perfilman, pasal 1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata
sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan
bagi pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau
fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai
show bussines merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar .(Mc Quail,
1987).
2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan
memproyeksikannya ke dalam layar. (Irawanto dalam Alex Sobur 2002 : 127).
Teori realitas sosial ini diperkenalkan oleh Peter L Berger, seorang
sosiolog interpretative. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat
teoritis utamanya, The Social Construction Of Reality (1966). Menurut Berger,
realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia dan
social bergantung pada manusia sebagai sumber subyeknya. Bagi berger, relitas
sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan
subyektif (individu) dengan dunia objektif. (Poloma, 2000 : 299).
Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk
yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain
terhadap penghasilannya. Sebaliknya manusia aalah hasil dari produk dari
masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 130).
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan manyatakan
realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas objektif, dengan
membatasi realitas sebagai kausalitas yang berkaitan dengan fenomena yang
kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari
pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki
karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari yang diabaikan,
yang sebenarnya merupakan realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima
begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola
(typified) realitas sama-sama dimiliki leh orang lain. Akan tetapi berbeda
dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari
memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan proses
instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses
internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang
dialektis, berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia
sebagai produk masyarakat.(Poloma, 2000 : 301)
Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial
mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu, usaha pencurahan,
ekspresi diri manusia kedalam dunia, bailk dalam Negara, mental maupun fisik.
Kedua, obyektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik
yang bias jadi akan menghadapi penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas
yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkan. Ketiga,
internalisasi yakni penyerapan kembali dunia kedalam kesadaran sedemikian
rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
Berbagai macam unsur dunia yang terobyektifkan tersebut akan ditangkap
sebagai gejala internal bagi kesadaran memlalui internalisasi, manusia menjadi
hasil dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14)
Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi dan
eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus-menerus. Proses ini
merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, duluar sana tetap dunia
sosial obyektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia dalam
produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk
hokum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas
obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa
mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh
anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap
menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam duni sosialnya.
Akan tetapi, manusi tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata
lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas
manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif
membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya
yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah
mencoba mengunah masyarakat itu. (Poloma, 2000 : 316)
2.1.3 Representasi
Menurut John Fiske, yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu
yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam
komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yakni dialog, tulisan, video,
film, fotografi dan sebagainya. Konsep representasi bisa berubah- ubah. Selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah
pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah
makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti, 2000 dalam
http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang
sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada
sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep
yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam
memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu
melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat
bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita
mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal
sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati
kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam
merepresenta-sikan se-suatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada
se-suatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat
bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai
usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal? bagaimana
kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu imej
dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa
berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari
segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana
kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan
cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan
konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi
makna lewat bahasa yang kita pakai. (http://www.fathurin-zen.com)
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi
(peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang
abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam
‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita
tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama
memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat
rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta konseptual’ kita. Dalam
proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan
konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, ‘peta konseptual’,
dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa.
(http://www.fathurin-zen.com)
Kosep representasi bisa berubah-ubah selalu ada pemaknaan baru dan
pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya
adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu di komnstrukskan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Prektek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang
bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam
media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam film, alat-alat representasi itu
sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penikohan, dialog dan beberapa
sebagai representasi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar
memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi
dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan
kode-kode, konvoi-konvoi ada ideology kebudayaannya. (Irawanto, 1999 : 15)
2.1.4 Kekerasan 2.1.4.1 Definisi Kekerasan
Yang dimaksud dengan “kekerasan” disini adalah yang biasa
diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata
Latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari ferre, membawa)
yang kemudian berarti membawa kekuatan. R. Audi “merumuskan “violence”
sebagai “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang;
atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan
ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik
seseorang” (Windhu, 1992 : 62).
Kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang
memukul dan melukai bagi jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan
entah juga memisahkan orang dari kehidupanya. Melalui penderitaan atau
kesengsaraan yang diakibatkanya, kekerasan tampak sebagai representasi
kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan kepada orang lain.
Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai
kekuatan, manipulasi, fitnak, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang
merugikan, kata-kata yang memojokan, dan penghinaan merupakan ungkapan
nyata kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian kerana bisa
melukai tubuh, melikai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman
terhadap integritas pribadi. (s. Jehel, 2003 : 123)
2.1.4.2 Kategori Kekerasan
Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan antara lain
(Sunarto, 2009 : 137)
a) Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar
barang ke tubuh, menginjak, menlukai dengan tangan kosong, atau dengan
alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang
relevan.
b) Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam,
merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang
diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak,
suami, teman, atau orang tua).
c) Kekerasan seksual adalah melakukan tindakan yang mengarah
melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa
korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak
dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan
dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/ seks korban, memaksa
hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan
aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa.
d) .Kekerasan finansial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban,
menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial korban,
mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.
e) Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan dan kepercayaan
korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya,
memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.
f) Kekerasan fungsional adalah memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan
tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa
dikehendaki dan lain-lain yang relevan.
2.1.4.2 Kekerasan Dalam Media
Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya
sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas
menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjasi nilai-nilai kekerasan.
Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinidikan
dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai
dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan/simulasi kekerasan. Tanpa
terkecuali kekerasan yang sifatnya symbol, kekerasan yang berupa sikap tidak
saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar
dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa
terjebak bersikap represif. (http://id.shvoong.com)
Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya kekerasan sosial
riil. Informasi tentang kekerasan juga bias menambah kegelisahan umum
sehingga membangkitkan sikap representif masyarakat, alat penegak hukum.
(Haryatmoko, 2007 : 124)
Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga berdasarkan tiga tipe
dunia dalam media, yaitu : (Nel dalam buku Haryatmoko, 2007 : 127)
1. Kekerasan – dokumen → Merupakan bagian dari dunia riil atau factual.
Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar yang dapat
mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan gambar tersebt dipahami
pemirsa sebagai dokumen atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam
media dapat di representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan
(pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan) bias juga dengan situasi
(konflik, luka, tangisan) sehingga timbul emosi yang menggambarkan
2. Kekerasan – fiksi → menunjukan kepada kepemilikan dunia yang mungkin
ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan iklan. Kekerasan yang
terdapat dalam kisah fiksi dapat menyebabkan pemirsa terutama pada anak
bias meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi
menjadi berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada dalam
dunia riil.
3. Kekerasan – simulasi →Berasal dari dunia virtual, misal : dalam permainan
video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi memiliki dampak yang
sangat besar terhadap anak-anak yaitu dapat melahirkan masalah psikologis
diantaranya kemarahan, kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan
video.
Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai kekerasan
simbolik (Haryatmoko, 2007 : 127). Kekerasan simbolik berlangsung karena
system informasi dan medi besar berjalan mengukuti aturan tertentu dalam
bentuk keseragaman, tuntutan reportase langsung pada kejadian,
sensasionalisme, dan penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan
(Haryatmoko, 2007 : 128).
2.1.5 Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat
Media televisi memiliki dampak yang besar yang mempengaruhi cara
berpikir hingga perilaku melalui tayangan yang dikonsumsi oleh masyarakat
memiliki dampak yang sangat luas yang berpengaruh pada berbagai aspek,
sebagai berikut : psikologikal (body), afektif (feeling), kognitif (thinking), dan
behavior (action). Satu tayangan saja atau informasi di media memiliki dampak
tidak hanya jangka pendek. Namun jika berbagai paparan informasi atau
tayangan tersebut dikonsumsi secara terus menerus maka akan terakumulasi
pada cara berpikir hingga mendorong pada perilaku publik (Traudt, 2005 : 10).
Selain dampak-dampak yang telah disebutkan diatas tadi, masyarakat dan media
juga merupakan sumber pengetahuan langsung dan tak langsung. Pengetahuan
langsung merupakan berbagai pengalaman yang dialami seseorang sedangkan
pengalaman tak langsung adalah berbagai sumber pengetahuan yang didapat
dari media yang diaksesnya (Traudt, 2005 : 11). Misalnya saja tayangan yang
mengeksploitasi tindak kekerasan yang ditayangakan beramai-ramai oleh
berbagai televisi, tidak terdapat batasan dan pengaturan jam penayangan,
sehingga semua dapat menyaksikan program tersebut termasuk anak-anak.
Sehingga hal ini dapat berbahaya bagi perkembangan anak-anak. Melihat
dampak media yang cukup besar, penonton sudah saatnya menjadi lebih kritis,
menelaah dan menanyakan setiap informasi atau tayangan yang ditampilkan
(Traudt, 2005 : 82).
Ada lima jenis media massa yang dikenal sebagai "The big five of mass
media" yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi komunikasi
terhadap masyarakat (Social function) bersifat sosiologis sedangkan fungsi
terhadap individu (Individual function) bersifat psikologis (Sasa Djuarsa, 1993)
1. Social Function (Fungsi komunikasi massa terhadap masyarakat) :
a. Pengawasan lingkungan
b. Korelasi antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi
lingkungannya
c. Sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai
d. Hiburan (Lasswell dan wright, 1975)
2. Individual function (Fungsi komunikasi massa terhadap individu) :
a. Pengawasan atau pencarian informasi
b. Mengembangkan konsep diri
c. Fasilitasi dalam hubungan sosial
d. Substitusi dalam hubungan sosial\
e. Membantu melegakan emosi
f. Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan
g. Bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (Samuel L. Becker, 1985)
2.1.6 Respon Psikologi Warna
Secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi citra
orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respons
Color Scheme membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna
ketika memberikan respons secara psikologis kepada pemirsanya sebagai
berikut:
Merah. Mencerminkan kekuatan, energi, hasrat, cinta, gairah, semangat, dorongan, dan keinginan. Tetapi warna merah juga memiliki arti bahaya,
perang, kekejaman, kekerasan, api, permusuhan, darah, dan agresif.
Merah muda (pink). Mencerminkan sifat kewanitaan, kasih sayang, cinta, romantis, keceriaan, dan keremajaan. Tetapi bisa juga berarti naif, lemah,
dan merasa kekurangan.
Oranye. memiliki makna kehangatan, bersemangat, ceria, keseimbangan, musim gugur, menimbulkan getaran, dan warna ini banyak
digunakan pada beberapa situs web. Warna ini juga digunakan untuk meminta
perhatian.
Kuning. Melambangkan sinar matahari, emas, kekayaan, keberuntungan, dan juga kehidupan. Tetapi warna ini bisa juga melambangkan
ketidakjujuran, pengecut, cemburu, iri hati, pengkhianatan, penipuan,
kebohongan, resiko, dan sakit.
Hijau. Menggambarkan alam, lingkungan, kehidupan, pertumbuhan, stabil, santai, kesuburan, dan harapan. Tetapi warna ini bisa juga berarti
Biru. Memiliki makna kepercayaan, kesetiaan, ketenangan, kedamaian, ketulusan, kesejukan, air, awan, harmoni, kebersihan, konservatif, percaya diri,
dan penyembuhan. Warna ini merupakan warna yang aman dipakai untuk
desain. Selain itu, warna ini juga bermakna kesedihan, kedingingan, depresi,
dan penurunan vitalitas.
Ungu (violet). Mencerminkan kebangsawanan, perubahan, dan spiritual. Bisa juga berarti kesombongan, keangkuhan, kejam, kasar, dan duka cita.
Coklat. Berarti tanah, bumi, netral, hangat, aman, dan perlindungan. Bisa juga berarti kotor, tumpul, dan membosankan.
Abu-abu. Bermakna modern, cerdas, bersih, kokoh, masa depan, dan intelektual. Bisa juga berarti umur tua, kesedihan, dan kebosanan.
Putih. Melambangkan kesucian, kebersihan, kemurnian, kesederhanaan, damai, kebaikan, disiplin, perawan, perkawinan, musim dingin, dan salju. Bisa
juga bermakna kematian (budaya timur), dingin, mandul, steril, klinik, dan
hampa.
Hitam. Bermakna kekuatan, keanggunan, kemewahan, misteri, kecanggihan, kemakmuran, kepuasan, pengalaman, tegas, keras, kokoh, dan
sangat kuat. Tetapi memiliki makna negatif kematian (budaya barat), takut,
setan, kesedihan, duka cita, marah, anonim, dan penyesalan.
(http://slidemaker.com)
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani,
semeion,yang berarti tanda (Sobur, 2006 : 15). Studi tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika (Fiske, 2006 : 60).
Oleh Saussure, ilmu tentang tanda dinamainya semiology, sementara
oleh Peirce, yang lebih berkembang di Amerika, menghadirkannya dalam
peristilahan semiotic. Keduanya merujuk pada kata semeion dalam bahasa
Yunani yang berarti tanda. Saussure (1974 dalam Kress & Hodge, 1988 : 1)
mendaulat semiology sebagai, “the science of the life of signs in society,”
sementara Peirce sendiri, mendefinisikan semiotic sebagai, “is something which
stands to somebody for something in some respect or capacity.” (Pateda, 2001
dalam Sobur, 2004 : 41).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama –sama manusia
(Sobur,2003 : 15). Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things). Memaknai (to sinify)
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate), dalam hal mana objek –objek itu hendak berkomunikasi, tetapi
juga mengkonstitusu system terstruktur dari tanda (Barthes dalam Alex Sobur,
2003 : 15).
Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang
ahli filsuf yang hidup di peralihan abad lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf
dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana
proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar
ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika
tidak lan dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33).
Disisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun
berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai
seorang sarjana linguistic di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan menjadi bagian di psikologi sosial,
sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama ssemilogi akan
menunujukan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang
mengendalikannya (Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35).
Semiotika mempunyai tiga bidang studi nama, yaitu : (Fiske dalam buku
terjemahan Iriantara dan Subandy, 2007 : 60)
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda
yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam
menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan
manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi ini
mencakup cara berbagai kobe dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat atau budaya tau untuk mengeksploitasi
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini giliranya
bergantung pada pengguna kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknnya sendiri.
2.1.8 Pendekatan Semiotik Dalam Film – John Fiske
Menurut John Fiske (2004: 282), semiotika adalah studi tentang
pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana
makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari
jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.
Metode analisis semiotika ini menurut Fiske (1990: 189) tidak hanya
dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran
makna. Penekanan di sini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan
interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu kultur/budaya;
difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara
nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai-nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki
makna. Di sisi lain, semiotika melihat bahwa pesan merupakan konstruksi
tanda-tanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi
makna (Fiske, 1990: 2).
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication
Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu
komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi
dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya
akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan
pertukaran makna.
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya
pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan
dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali
menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang
berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang
ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan
disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks
dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. (Fiske, 2006 :9)
Fiske (Fiske, 1987 : 5). kemudian memilahnya ke dalam tiga level
pengkodean tayangan di televisi, yang dalam kasus penelitian ini juga
diberlakukan pada film,antara lain:
1. Level Pertama adalah reality (realitas), kode sosialnya antara lain,
appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan),
environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (gaya bicara),
gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara).
2. Level kedua adalah representation (representasi), kode sosialnya antara
lain, camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian),
3. Level ketiga adalah ideology (ideologi), kode sosialnya antara lain,
narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi),
dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran). Selain itu analisis
semiotik yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar (wide screen)
menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan oleh
televisi. Sehingga analisis yang dilakukan pada film.
2.1.9 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik, mengingat
film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek, baik verbal maupun
non-verbal. Menurut pendekatan semiotik John Fiske analisis isi terbagi atas tiga
level yaitu level realitas, level representasi dan level ideology. Sehingga
akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan
film ini.
Representasi kekerasan dalam film “Punk In Love” Teori Semiotika
John Fiske
Kekerasan fisik
Kekerasan psikologis
Kekerasan seksual
Kekerasan financial
3.1.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam (Moelong, 2002 : 3) menyatakan bahwa metode penelitian bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan kata deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Alasan menggunakan menggunakan metode kualiatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moelong, 2002 : 5).
Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk memberikan gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang terkonstruksi dalam film “Punk In Love”.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunaka metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur,
2004 : 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan memlalaui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian analisis yang dikemukakan John Fiske untuk merepresentasikan atau memaknai kekerasan dalam film “Punk In Love” melalui aktor-aktor utama.
3.2. Kerangka konseptual 3.2.1 Corpus
Kekerasan Psikologis :
Arok merendahkan Mojo karena berpamitan saat akan pergi
Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut
Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji
Ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ditolak di suatu klinik
Kekerasan Fisik :
Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun
Kekerasan Seksual :
Preman melakukan pelecahan seksual kepada Arok
Kekerasan Finansial :
Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira Kekerasan Spiritual :
Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual
Kekerasan Fungsional :
Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate
3.2.2. Definisi Operasional 3.2.2.1 Representasi
3.2.2.2 Kekerasan
Kekerasan dalam film ini adalan kegiatan atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan, dan tekanan suatu serangan / invasi fisik ataupun integritas mental psikologis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
3.2.2.3 Kategori Kekerasan
Kategori kekerasan dalam film “Punk In Love” ini adalah :
a) Kekerasan fisik : kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
b) Kekerasan psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
c) Kekerasan seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/ seks korban,
memaksa hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
d) .Kekerasan finansial : kekerasan dengan cara mengambil, mencuri uang, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
e) Kekerasan spiritual : kekerasan dengan cara merendahkan keyakinan dan kepercayaan, memaksa untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
f) Kekerasan fungsional : kekerasan dengan cara memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain-lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
3.3 Unit Analisis
1. Level Pertama adalah reality (realitas), kode sosialnya antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara) yang terdapat pada film “punk In Love”.
2. Level kedua adalah representation (representasi), kode sosialnya antara lain, camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara) yang terdapat pada film “punk In Love”. 3. Level ketiga adalah ideology (ideologi), kode sosialnya antara lain,
narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran) yang terdapat pada film “punk In Love”.
3.4 Jenis Sumber Data 3.4.1 Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD “Punk In Love”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah terbagi kedalam 15 chapter. Pembagian chapter-chapter ini membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data berupa gambar-gambar dalam film tersebut yang digunakan dalam penelitian ini.
3.4.2 Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan tambahan dari sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti buku, majalah dan internet. Sumber bahan ini dapat melengkapi informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak dalam film “Punk In Love” dan melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan system tanda yang tampak pada cerita “Punk In Love” yang dapat digolongkan sebagai kekerasan. Kemudian tanda tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :
1. Level reality
Kode sosial yang termasuk dalam level pertama ini yaitu meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior (perilaku), speech (cara berbicara), gesture (sikaptubuh), dan
2. Level representation
Dalam level kedua ini, kode-kode yang termasuk didalamnya antara lain berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lighting (pencahayaan), music (musik), dan sound (suara) dalam “Film Punk In Love”. 3. Level ideology
Kode-kode yang termasuk dalam level ketiga yaitu narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), dan casting (pemeran) dalam “Film Punk In Love”.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Dan Penyajian Data
4.1.1. Gambaran Umum Film Punk In Love
Film Punk In Love di produksi oleh PT Tripar Multivision Plus atau Multivision Plus .Disutradarai oleh Ody C Harahap, mencoba untuk mengangkat kehidupan anak punk dalam film ini. Salah satu tujuannya agar masyarakat mendapat gambaran jelas tentang kehidupan anak punk yang sebenarnya.
Dengan mengambil genre film komedi romantis, Punk in Love mengungkapkan perjalanan anak punk dari Malang yang menuju Jakarta. Perjalanan yang membuat mereka melewati beberapa kota di Jawa, seperti Pati, Kudus, Semarang, dan Cirebon. Film ini dimainkan oleh Vino G Bastian, Andhika Pratama, Yogi Finanda, Aulia Sarah, dan Girindra Kara.
Insiden demi insiden harus dihadapi oleh mereka berempat. Dari mulai kebanjiran, terus kejar kejaran maut di sepanjang jalur Pantura sampai bertengkar dengan tukang sate dan peristiwa peristiwa konyol harus dilalui sepanjang jalan menuju Jakarta. Anak anak Punk ini harus menjaga imagenya sebagai anak punk, tetapi hati mereka tetap saja bisa sedih. Film ini cukup menghibur dan mampu membuat penontonnya tertawa karena banyak adegan adegan konyol sepanjang film ini. Lika-liku perjalanan anak-anak punk inilah yang kemudian menjadi cerita utama film ini.
Ody menjelaskan kisah film ini diilhami perjalanan yang dilakukan almarhum Yogi Aulia, seorang anak Punk yang juga mahasiswa fotografi di IKJ. Bersama beberapa teman punknya, Yogi pernah menceritakan kisah lucu itu, yang menginspirasi Ody untuk menuangkannya dalam bentuk film.
Berlatar belakang sub kultur Punk, film ini dibuat dengan tujuan merubah pandangan masyarakat tentang anak Punk. Tidak semua anak punk itu jahat atau brutal. Banyak di antara mereka yang memunyai kepedulian tinggi terhadap masalah sosial. Menurutnya, beberapa anak punk yang ia jumpai rata-rata memiliki karakter sopan, bahkan memiliki kesadaran tinggi untuk membuang sampah pada tempatnya.
4.1.2. Penyajian Data
mereka bertemu kembali dengan preman stasiun itu dan terjadi lagi pertengkaran. Namun pertengkaran kali ini di menangkan oleh mereka berempat. Tanpa diduga Maia melihat pertarungan Arok dengan preman-preman itu dan sadar apa yang dilakukan Arok adalah buktu cinta Arok. Maia pun ternyata juga mempunyai perasaan yang sama dengan Arok dan pernikahan Maia yang telah direncanakanpun batal dan diganti dengan pernikahan Maia dan Arok.
Di dalam film ini tindakan kekerasan seperti kekerasan kekerasan verbal dan non verbal dihadirkan untuk membumbui jalan cerita. Kekerasan verbal seperti berupa umpatan, ancaman, hinaan terliha pada adegan pada saat ketika Yoji di ejek teman-teman nya ketika mengetahui dulunya Yoji adalah model yang bertentangan dengan idealisme punk yang anti kemapanan. Di situ Yoji terlihat kesal dengan ejekan temannya dan mengeluarkan kata-kata “taek
kon kabeh..tak dungak no cangkem mu gak mbalik”. Pada umpatan tersebut di
4.2 ANALISIS DATA Penggalan scene 1
Gambar 4.1 Arok merendahkan Mojo karena berpamitan saat akan pergi
Level Realitas
Penampilan (kostun dan make up) :
Menunjukkan keseharian Arok, Yojo, Mojo dan Almira dengan dandanan khas anak Punk dengan rambut mohawk, celana ketat, asesoris keeling, tato dan cat rambut.
Setting :
Suasana tempat Arok, Yojo, Mojo dan Almira tinggal sehari-hari di sebuah stasiun di kota Malang. Menunjukkan sebuah bangkai kereta di belakang tempat yang biasa digunakan untuk tempat nongkrong mereka
Teknik kamera : Long Shot
Teknik kamera long shot pada kamera scene tersebut untuk menggambakan konflik dengan memperlihatkan ekspresi Arok ketika merendahkan Mojo.
Level Ideologi
Dialog :
Yoji : nandi kon Jo?
Mojo : kalian pada ga Pamit to?
Almira : aku males ketemu ibu ku
Mojo : aku kudu pamit, mak ku sendirian
Arok : jancok, manja raimu
Mojo : jarno mak ku dewe
Analisis :
punk yaitu anti kemapanan. Mereka memilih caranya sendiri untuk hidup tanpa adanya ikatan suatu aturan. Mereka tidak mau tinggal dalam rumah, mereka memilih tempat tinggal yang identik dengan kaum marginal dengan melakukan kegiatan ekonomi di jalanan. Hidup di luar ruangan seperti anak punk mencerminkan perilaku orang yang menjalaninya, di identikan dengan orang yang liar, tidak mau terikat aturan berandalan dan penuh dengan kekerasan.
Dan Dialog diatas terjadi ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Disini Mojo ijin kepada teman-temannya untuk berpamitan kepada emaknya terlebih dahulu. Jika dilihat latar belakang mereka sebagai anak punk, perbuatan Mojo memang terasa sedikit janggal karena anak punk adalah kaum yang ingin merdeka dalam hal apapun, melakukan sesuatu tanpa persetujuan siapapun dan terhadap orangtua sekalipun.
Dari dialog tersebut jelas terjadi kekerasan verbal secara tidak langsung seperti terlihat pada umpatan dan hinaan yang keluar dari perkataan Arok yang ia lakukan seperti dialog “jancok, manja raimu”, dengan umpatan tersebut sehingga menyinggung perasaan Mojo. Dan akhirnya Mojo membalas perkataan Arok dengan kata perlawanan dengan nada tinggi.
jawa berarti bersetubuh, jadi kata tersebut cenderung tabu untuk diucapkan dan dikategorikan kepada kata-kat yang tidak pantas diucapkan.
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, umpatan, hinaan dan menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. (menurut Kompas, 1993 : dalam penelitan Paul Joseph I.R(1996 : 37).
Apabila diperinci lagi, perbuatan Arok dapat dikategorikan sebagai kekerasan Psikologis. Kata-kata Arok disini membuat Mojo merasa malu didepan teman-temannya, itu terlihat ketika Arok melontarkan umpatan dan mengatai Mojo sebagai anak yang manja dan Mojo membalas perkataan dan umapatan Arok dengan kata-kata bernada tinggi.
Penggalan Scene 2
Level realitas
Penampilan (kostum dan make up) :
Menunjukkan keseharian Arok, Almira dan Yoji dengan dandanan khas anak punk melalui rambut Mohawk, celana ketat dan pakaian berasesoris keling. Dan kostom khas penyanyi dangdut yang berpakaian berani dan mencolok yaitu rok pendek dan warna terang.
Setting :
Suasana tempat istirahat supir truk, dan terlihat sebuah grup band dangdut yang sedang mengamen di sana.
Level Representasi
Teknik kamera : Long Shot
Pengambilan gambar dengan Long Shot agar penonton mengetahui mengenai grup musik dangdut yang berada di sekitar tokoh utama dalam hal ini penyanyi dangdut yang sedang bernyanyi dengan gaya dan kostum khasnya.
Pencahayaan
Sehingga pencahayaan disini ingin memperlihatkan bagaimana Yoji melecahkan grup musik dangdut diatas.
Level Ideologi Dialog :
Arok : “onok opo Ji ?”
Yoji : “iki lho gendeng, musik nya eleh banget iki lho cemen, trus kurang liar ngono lho, kurang rebel”
Analisis :
mencerminkan jiwa pemberontak dari yang mengenakannya, diamana pemberontak diidentikan dengan kekerasan.
Setting mengambil di sebuah tempat peristirahatan supir-supir truk yang akan melanjutkan perjalanan lagi. Pemilihan setting ini dimaksud untuk menggambarkan kemiskinan yang di alami tokoh utama, digambarkan tokoh utama lebih memilih menumpang truk untuk menuju Jakarta dari pada naik angkutan umum yang memerlukan biaya mahal.
Dialog yang diucapkan oleh Yoji dapat diartikan terdapat perilaku kekerasan yaitu kekerasan psikologis. Karena dialog yang diucapkan Yoji diatas merupakan sebuah ungkapan yang melecehkan aliran musik dangdut. Dapat diartikan musik dangdut identikan dengan musik yang rendah dan kampungan Dengan ucapan Yoji ini menyebabkan ketersinggungan penyanyi dangdut.
dipandang sebagai aliran musik yang jelek, kurang liar seperti cerminan kehidupan mereka.
Jika diurai, perkataan Yoji yang digunakan untuk merendahkan aliran music dangdut penuh dengan unsure kekerasan seperti ; Kata “cemen”, kata cemen sendiri sebenarnya bukanlah bahasa baku tetapi merupakan bahasa gaul
anak muda jaman sekarang. Kata cemen berarti penakut dan tidak punya nyali, jika dihubungkan dengan konteks perkataan Yoji dapat diartikan bahwa orang-orang yang berada dibelakang music dangdut merupakan orang-orang yang penakut dan tidak punya nyali. Perkataan ini jelas sebuak ungkapan yang merendahkan martabat manusia. Dan lagi pada ungkapan “kurang rebel” juga mempunyai mempunyai makna yang mengandung unsure kekerasan. Rebel sendiri berasal dari bahasa inggris yang berarti berontak. Berontak
sendiri dalam bahasa Indonesia berarti usaha untuk melawan untuk melepaskan diri dari sesuatu. Jadi Yoji menganggap bahwa aliran music yang sebenarnya adalah music yang memberontak dan melawan arus dari kehidupan.
Gambar 4.3 Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate
Level realitas
Penampilan (kostum dan make up) :
Tukang sate terlihat sederhana dengan mengenakan t-shirt putih polos dan setelan celana panjang hitam
Setting :
Lokasi tempat berjualan tukang sate dan terlihat sepi tanpa ada seorangpun selain Arok, Yoji, Mojo dan Almira yang sedang memeras tukang sate.
Level Representasi
Teknik kamera : Long Shot
Pengambilan gambar dengan Long Shot ini memberikan informasi kepada penonton mengenai bagaimana ekspresi tubuh Arok, Yoji, Mojo dan Almira yang memeras tukang sate dengan berpura-pura mabuk dan memperlihatkan ekspresi tukang sate yang ketakutan.
Pencahayaan
Pencahayaan lembut pada malam hari juga untuk mendukung terjadinya tindak kekerasan.
Level Ideologi Dialog :
Yoji : Sate sepuluh berapa ?
Penjual Sate : Tujuh ribu nggak peke lontong.
Arok : Ahh..larang, aku beli petang puluh tusuk, Al..kasih no duwik e.
Almira : Nih enam ribu.
Penjual sate : bercanda sampean dik, ini Cuma dapat tujuh tusuk gak pakek lontong.
Arok : Gawek no kono, aku gak gelem mekso.
Analisis :
mengenai pada orang-orang yang ekonomi atau orang-orang bawah sebagai sasaran kekerasan.
Dialog diatas di ucapkan pemeran Arok, Almira dan Yoji adalah merupakan kata-kata ancaman kepada penjual sate ketika mereka sedang kelaparan dan hanya mempunyai uang tujuh ribu rupiah. Arok, Yoji, Mojo dan Almira berpura-pura mabuk minuman keras menyuruh penjual sate untuk membuatkan sate empat puluh tusuk tetapi dengan uang yang mereka miliki hanya dapat membeli sate tujuh tusuk. Dengan nada suara yang tidak keras tetapi membuat penjual sate merasa tertekan dan ketakutan.
Dialog yang diucapkan mereka bertiga dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikologis dan kekerasan fungsional. Kekerasan psikologis tersebut dapat menyebabkan penjual sate tersebut merasa terintimidasi terpojok sehingga ia harus menurut walaupun sempat sedikit melawan dengan kata-kata. Dan kekerasan psikologis bisa menimbulkan pemberontakan sebagai respon dari rasa terintimidasi tersebut.
Penggalan scene 4
Gambar 4.4 Preman melakukan pelecahan seksual kepada Arok
Level realitas
Penampilan (kostum dan make up) :
Terlihat pimpinan preman yang mengenakan kemeja putih.
Level Representasi
Teknik kamera : Close Up
seksual kepada Arok. Terlihat ekspresi wajah yang preman yang sedang menikmati kekerasan seksual itu.
Pencahayaan :
Pencahayaan sedikit gelap karena suasana malam hari, pencahayaan juga ingin memfokuskan kepada ekspresi pimpinan preman yang melakukan kekerasan seksual.
Analisis :
Shot pada gambar diatas, pembuat film ingin menunjukan ekspresi preman secara Close Up. Tampak ekspresi preman yang tengah malakukan kekerasan seksual kepada Arok. Dengan mengerutkan dahi dan mulut terbuka menggambarkan preman yang sangat bernafsu melakukan kejahatan seksual kepada arok. Jenis kekerasan seksual ini jika di telusuri lebih dalam mengambil dari realitas yang tengah terjadi di masyarakat. Penyimpangan seksual dengan melakukan seksual sesama jenis yang awal nya banyak terjadi di negara-negara bagian barat, kini mulai banyak bermuculan di Indonesia. Keberanian para pelaku yang mulai menampakkan diri di kehidupan masyarakatlah yang menjadikan inspirasi dari penambahan unsur-unsur dalam film seperti ini.
mengganggu rumah tangga mereka. Arok pun menjadi sasaran kekerasan seksual dari preman itu, arok dipegang kedua tangannya oleh anak buah preman itu dan dipaksa berposisi jongkok. Arok dipaksa melayani keinginan preman untuk melakukan kegiatan seksual sesama jenis dengan pimpinan preman itu.
Perlakuan preman terhadap arok diatas tergolong kedalam kategori kekerasan seksual, Arok disini dipaksa melakukan Aktivitas seksual yang tidak dikehendakinya. Dalam konteks scene diatas, Arok dipegang kedua tangannya oleh dua orang preman dan dibuat tidak berdaya agar menurut untuk melakukan hubungan seksual sesama jenis.
[image:69.612.203.475.445.604.2]Penggalan scene 5
Gambar 4.5 Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji
Level realitas
Menunjukkan keseharian Arok, Yojo, Mojo dan Almira dengan dandanan khas anak Punk.
Setting :
Berlokasi di sebuah gang dengan sebidang tembok dibelakang dengan poster Yoji ketika menjadi model kalender
Level Representasi
Teknik kamera : Long Shot
Jarak Long Shot memberikan visual bagaimana Mojo, Arok dan Almira yang sedang mengolok-olok Yoji dan memperlihatkan bagaimana ekspresi tubuh Yoji yang hanya menundukkan kepala ketika sedang di olok-olok.
Level Ideologi
Dialog :
Arok : Asu, jancok, model kalender cok, baju basket..yoji Yoji : Opo seh rek
Arok : Aku minta tanda tangan mu dong Yoji : taek
Arok : ih sombong
Almira : Ajari mereka dong, biar kepilih
Yoji : ooh, kon pisan Al,,taek kon kabeh tak dongakno cangkem mu gak balik, puas ta kon, puas ? mbokne ancok
Analisis :
Dari shot diatas, Punk mudah dikenali terutama dari potongan rambut ala suku Indian di Amerika Serikat, Mo hawk seperti yang dikenakan Yoji. Dengan hanya menyisakan rambut membelah tengah kepala yang ditata meninggi dan diwarnai merah. Tatanan model rambut seperti ini mengisyaratkan kebebasan berekspresi bagi kaum punk. Pandangan kaum punk tentang arti rambut Mohawk berbeda dengan pandangan masyarakat awam. Potongan rambut Mohawk dipandang sebagai tatanan rambut yang aneh, tidak seperti kebanyakan orang. Model ini dapat mencerminkan jiwa pemberontak dari yang mengenakannya, diamana pemberontak diidentikan dengan kekerasan.
Celana dekil ketat berbahan jeans yang dikenakan Arok, Yoji dan Mojo pada dasar nya merupakan simbol dari keterhimpitan kaum bawah terhadap kapitalisme. Bahan jeans yang dipakai mencerminkan nilai demokratis yang mendalam. Jeans dapat juga dapat dijelaskan sebagai usaha untuk menolak semua identifikasi kelas sosial dalam masyarakat.
dalam film ini menghindari tempat-tempat yang berkesan mewah. Sebuah gang dengan tembok yang ditumbuhi lumut, cat yang kusam dan tidak terawat merepresantasikan lingkungan yang akrab dengan kehidupan Arok, Yoji, Mojo dan Almira. Sebagai anggota dari subkultur punk, mereka menolak sekali kehidupan yang berbau dengan materi, kekayaan, dan menolak semua yang berhubungan dengan kapitalisme. Pada scene sebelumnya diperlihatkan, Mojo tengah mengais-ngais makanan di tong sampah tepat didepan poster Yojo di gang itu. Dari konteks itu dapat terlihat pemilihan setting ini ingin menonjolkan cerminan kehidupan mereka berempat yang erat dengan kemiskinan.
Dialog diatas menggambarkan bagaimana tind