• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Modernitas Sikap Kewirausahaan

Sikap adalah keadaan dan kesiapan mental, yang terorganisasi melalui pengalaman, yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua objek atau semua situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya Alport dalam (Tawardi 1999). Selanjutnya menurut Rakhmat dalam (Pakpahan 2009) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Menurut Krech, dkk, sikap adalah sistem atau organisasi yang bersifat menetap dari komponen koqnisi, efeksi dan konasi. Jadi sikap menekankan keterkaitan antara ketiga komponen yang saling menunjang. Koqnisi berupa sesuatu yang dipercayai oleh subyek pemilik sikap (keyakinan), komponen afektif merupakan komponen perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subyek (Tawardi 1999).

18 Menurut Ajzen dan Fishbein dalam (Pakpahan 2009), semakin positif sikap seseorang terhadap suatu obyek, semakin positif konsekuensi yang diterima, dan semakin didukung oleh norma subyektif maka semakin besar intensi untuk berperilaku. Sebaliknya, semakin negatif maka semakin kecil intensi untuk berperilaku.

Konsep sikap berbeda dengan konsep perilaku, perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang. Menurut Walgito dalam (Pakpahan 2009), perilaku yang dilakukan oleh seseorang disebut sebagai perilaku yang tampak (overt behaviour). Unsur-unsur perilaku yang tampak berupa tingkah laku (action). Perilaku juga dapat dikaitkan dengan reaksi yang terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antara individu dengan lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan.

Jika disimpulkan, maka sikap adalah kesiapan untuk berespon secara konsisten terhadap sesuatu obyek yang mempunyai aspek koqnisi, afeksi, dan kecenderungan untuk berkehendak, yang dapat bersifat positif dan negatif dengan intensitas yang berbeda, (Tawardi 1999). Sedangkan Trandis (1971) membagi sikap dalam tiga komponen yaitu: (1) komponen pengetahuan; (2) komponen keterampilan; dan (3) komponen sikap mental. Morris (1976) menyatakan bahwa perasaan dalam sikap terdiri tiga komponen utama, yaitu: (1) komponen kepercayaan (belief) terhadap suatu obyek tertentu; (2) komponen perasaan (feeling); dan (3) komponen kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu obyek.

Dengan demikian, menurut Tawardi (1999), yang dimaksud dengan sikap kewirausahaan adalah kesiapan seseorang untuk berespon secara konsisten terhadap sembilan aspek karakteristik atau ciri-ciri perilaku yang dimiliki oleh wirausaha. Penilaian tingkat sikap kewirausahaan yang dilakukan terhadap anggota kelompok belajar usaha adalah dengan cara mengetahui jumlah skor dari sembilan komponen indikatornya yang meliputi pemanfaatan peluang, berorientasi hasil, keluwesan bergaul, bekerja keras, percaya diri, pengambilan risiko, pengendalian kemampuan diri, keinovatifan, dan kemandirian, yang dapat diukur arah dan intensitasnya dengan jalan memperhatikan perilaku yang mencerminkan penilaian koqnisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak. Hasil

19 penelitian menunjukkan, secara total perilaku sikap kewirausahaan adalah sebagian (30,90 persen) anggota memiliki sikap kewirausahaan tergolong kategori rendah, sebanyak 49,10 persen tergolong kategori sedang, dan sisanya (20 persen) tergolong kategori tinggi. Secara keseluruhan responden bersikap terhadap kesembilan indikator berada taraf sedang, namun pada sikap aspek pemanfaatan peluang bertaraf rendah.

Berdasarkan penelitian (Fauzi 2009), sikap kewirausahaan ditandai dengan percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, berani menanggung risiko, kepemimpinan, keorisinilan, dan berorientasi pada masa depan.

Berdasarkan hasil pengolahan data dari 20 responden dan pembahasannya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sikap kewirausahaan yang dimiliki para pengusaha Tulang Sepatu yang bernilai 82,3 persen berada dalam interval 68 persen - <84 persen termasuk dalam kategori baik, hal ini dilihat dari indikator-indikator pembentuk sikap kewirausahaan seperti percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, pengambilan resiko, kepemimpinan, keorisinilan, dan berorientasi kemasa depan yang telah dimiliki oleh pengusaha Tulang Sepatu di Kecamatan Bandung Kulon.

2. Keberhasilan Usaha Tulang Sepatu di Kecamatan Bandung Kulon dengan indikator yang meliputi aspek kemampuan dan kemauan, tekad yang kuat dan kerja keras, kesempatan dan peluang, berada pada tingkat yang sangat baik dimana tanggapan respondennya bernilai 84 persen berada diantara 84 persen - <100 persen. Hal ini mengidentifikasikan bahwa para pengusaha Tulang Sepatu sudah merasa berhasil dalam berusaha seiring dengan berkembangnya usaha yang dijalankan yang ditandai oleh meningkatnya daerah pemasaran.

3. Hasil analisis data tentang hubungan sikap kewirausahaan dengan keberhasilan usaha Tulang Sepatu, menunjukkan bahwa sikap kewirausahaan mempunyai hubungan dengan keberhasilan usaha yang ditandai oleh adanya korelasi yang kuat yakni r = 0,775. Selanjutnya hasil uji hipotesis menghasilkan t hitung > t tabel = 3,363 > 2,101, yang artinya ada hubungan antara sikap kewirausahaan dengan keberhasilan usaha.

20 Sedangkan berdasarkan penelitian Anggraeni, menemukan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam hal sikap kewirausahaan di antara kelompok pengusaha industri kecil berhasil, statis dan tidak berhasil, dan yang membedakan secara maksimal antara kelompok pengusaha industri kecil berhasil, statis dan tidak berhasil adalah aspek swa kendali dan prestatif; ada perbedaan yang signifikan dalam hal sikap kewirausahaan di antara pengusaha industri kecil pria dan wanita, ada hubungan yang signifikan antara sikap kewirausahaan, usia, lama berusaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan latar belakang keluarga secara bersama-sama dengan keberhasilan pengusaha industri kecil dan yang memberikan sumbangan yang terbesar adalah variabel sikap kewirausahaan dan variabel tingkat

Terkait dengan sikap yang modern, menurut Inkeles dalam (Myron 1977), tanda-tanda yang khas dari orang yang modern ada dua macam: yang satu merupakan ciri dalam dan yang lainnya merupakan ciri luar; yang satu mengenai lingkungan alam, yang lainnya mengenai sikap, nilai-nilai dan perasaan- perasaan. Ia menyebutkan bahwa manusia modern memiliki sifat:

1. Bersedia untuk menerima pengalaman-pengalaman yang baru dan terbuka bagi pembaharuan dan perubahan (inovatif)

2. Demokratis mengenai dua opini, bahwa ia sadar akan keragaman sikap dan opini disekitarnya, dan tidak menutup dirinya sendiri

3. Tepat pada waktunya, teratur dalam mengorganisir urusannya

4. Menginginkan dan terlibat dalam perencanaan serta organisasi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar

5. Yakin bahwa orang dapat belajar

6. Yakin bahwa keadaan dapat diperhitungkan dan dikendalikan 7. Menghargai orang lain, sadar akan harga diri orang lain

8. Berpikir maju terhadap teknologi, percaya terhadap perkembangan ilmu dan teknologi

9. Adil, orang modern percaya akan keadilan dalam pembagian

Seseorang modern apabila ia mempunyai kesanggupan untuk membentuk dan mempunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan-persoalan yang tidak saja timbul di sekitarnya, tetapi juga di luarnya. Tingkat kemodernan menurut

21 Inkeles, ditentukan pula oleh faktor-faktor yang efektif yakni pendidikannya; pemerintahan dan birokrasinya; komunikasi massa; dan pabrik atau usaha-usaha produktif dan administrstif lainnya.

Berdasarkan jenis kepribadian, Hagen dalam (Pakpahan 2010) ciri-ciri kepribadian inovatif antara lain: kebutuhan terhadap otonomi dan keteraturan, kebutuhan untuk memelihara dan memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri. Kualitas kepribadian tersebut tidak hanya sesuai dengan kepribadian inovatif untuk pembangunan ekonomi, tetapi lebih mencerminkan kenyataan yang sebenarnya daripada kepribadian otoriter. Kepribadian otoriter membayangkan lingkungan sosialnya kurang teratur dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tak yakin bahwa ia dinilai oleh lingkungan sosialnya. Ia membayangkan kekuasaan lebih sebagai fungsi dari posisi yang diduduki dibandingkan sebagai fungsi prestasi yang dicapai. Dalam kepribadian otoriter, pandangan kognitif mengenai duniawi dan membangkitkan kemarahan harus ditahan. Karena itu terdapat kebutuhan sangat besar untuk menundukkan, kurangnya kebutuhan untuk memelihara dan kurangnya kebutuhan untuk berprestasi, tidak dapat memberikan bobot yang sama antara berbuat untuk kesejahteraan orang lain dan berbuat untuk kesejahteraan diri sendiri.

Kepribadian inovatif menurut definisi ini termasuk ke dalam perilaku kreatif. Kepribadian inovatif memiliki kualitas yang dapat membantu perilaku kreatif. Menurut Hagen salah satu alasan mengapa individu tradisional tidak memiliki sifat inovatif adalah karena ia membayangkan dunia sebagai tempat yang kacau daripada sebagai tempat yang teratur dan dapat dianalisis. Karena itu dapat diperkirakan bahwa setiap masyarakat yang mengalami kemacetan ekonomi, diliputi kepribadian otoriter.

Menurut penelitian Pakpahan (2010), definisi modernitas sikap kewirausahaan adalah pandangan individu untuk merespon secara konsisten terhadap ciri-ciri yang dimiliki seorang wirausahawan dari keenam pernyataan proyeksi masing-masing atribut sikap dengan empat alternatif jawaban. Adapun atribut modernitas sikap kewirausahaan tersebut meliputi: (1) sikap mental mengutamakan prioritas; (2) sikap mental mengambil risiko; (3) sikap mental inovatif, (4) sikap mental yang mengunggulkan kerja keras; (5) sikap mental

22 menghargai waktu; (6) sikap memiliki motivasi berprestasi; (7) sikap mental percaya diri; (8) sikap mental tanggung jawab individual.

Dari kedelapan atribut tersebut, diujikan terhadap responden yang merupakan pengurus koperasi karyawan di Kecamatan Cibinong. Secara umum, dari semua responden yang diteliti memiliki pandangan yang modern terhadap kedelapan tema sikap. Melalui Uji Koefisien Rank Spearman diperoleh hasil bahwa variabel modernitas sikap kewirausahaan tidak memiliki korelasi dengan keberhasilan koperasi. Hal ini dilihat dari

ρ

hitung yang lebih kecil dibandingkan

ρ

tabel, yang berarti bahwa modernitas sikap kewirausahaan pengurus tidak berhubungan dengan keberhasilan koperasi karyawan.

2.4. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Menurut Partomo dan Soedjono dalam (Widiameiga 2010) definisi UMKM pada umumnya mencakup dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga kerja dan aspek pengelompokkan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam gugusan/kelompok perusahaan tersebut (range of the member employees).

Berdasarkan UU Nomor 9 dan Inpres Nomor 10, beberapa instansi menetapkan kriteria Usaha Kecil dan Usaha Menengah menurut beberapa pendekatan. Departemen Perindustrian, Lembaga Bank, dan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) menetapkan kriteria Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berdasarkan pendekatan (kriteria) modal. Berdasarkan jumlah modal, Usaha Mikro adalah usaha dengan modal kurang dari 200 juta rupiah. Usaha Kecil adalah usaha dengan modal sebesar 200 juta hingga satu milyar rupiah. Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha dengan modal sebesar satu hingga lima milyar rupiah. Sementara itu, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan kriteria Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berdasarkan pendekatan tenaga kerja. Sesuai dengan jumlah penggunaan tenaga kerja, Usaha Mikro adalah usaha dengan penggunaan tenagakerja 1-4 orang. Usaha Kecil adalah usaha dengan penggunaan tenagakerja 5-19 orang, sedangkan Usaha Menengah adalah usaha dengan penggunaan tenaga kerja 20- 99 orang, (Heatubin 2008).

23 Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah :

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang, perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur Undang-Undang ini.

Adapun kriteria dari UMKM dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008, Pasal 6 adalah sebagai berikut:

1) Usaha Mikro memiliki kekayaan bersih (asset) kurang dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, omzet tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

2) Usaha Kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3) Usaha Menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,

24 memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah).

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2004) mengategorikan usaha mikro berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Industri kerajinan rumah tangga adalah perusahaan atau usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang, sedangkan industri kecil mempekerjakan 5 sampai 19 orang, (Kurniawan 2008). Menurut Hastuti dalam (Kurniawan 2008) usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja serta kepemilikan asset dan pendapatannya terbatas.

Kemudian dipaparkan oleh Sinaga dalam (Kurniawan 2008) bahwa Industri Kecil dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan aspek pengolahan dan teknologi yang digunakan, yaitu: 1) Kelompok industri kecil tradisional yang memiliki ciri-ciri penggunaan teknologi yang sederhana berlandaskan dukungan unit pelayanan teknis dan mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lain secara regional. Pengelolaannya bersifat sektoral dan masih dalam batas pembinaan administratif pemerintah; 2) Kelompok industri kerajinan menggunakan teknologi tepat guna tingkat madya dan sederhana, merupakan perpaduan industri kecil yang menerapkan proses modern dengan keterampilan nasional. Ciri yang amat spesifik adalah mengembangkan misi pelestarian budaya bangsa erat kaitannya dengan seni budaya bangsa; 3) Kelompok industri kecil modern menggunakan teknologi madya hingga modern dengan skala produksi terbatas, didasarkan atas dukungan penelitian dan pengembangan di bidang teknik. Penggunaannya lebih bersifat lintas sektoral dan menggunakan mesin industri produksi khusus.

2.5. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Sektor Pengolahan

Secara luas, agribisnis berarti ”bisnis berbasis sumber daya alam”. Obyek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Fungsi agribisnis terdiri dari kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan secara ekonomi,

25 yaitu sektor pengadaan dan penyaluran sarana produksi (input), produksi primer (on farm), pengolahan (agroindustri), dan pengemasan.

Adapun industri pengolahan berada pada subsistem agribisnis hilir (agroindustri) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir. Menurut Kementrian Koperasi dan BPS (2005) dalam (Heatubin 2008), sektor industri pengolahan terdiri dari industri migas dan industri non-migas. Industri migas meliputi pengilangan minyak bumi dan gas alam cair. Sedangkan industri non-migas terdiri dari 9 jenis industri (subsektor) masing-masing: (1) industri makanan; (2) industri tekstil; (3) industri barang kayu dan hasil hutan lainnya; (4) industri kertas dan barang cetakan; (5) industri pupuk, kimia, dan barang dari karet; (6) industri semen dan barang galian bukan logam; (7) industri logam dasar besi dan baja; (8) industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; (9) dan industri barang lainnya. Kegiatan-kegiatan dalam sektor ini mencakup kegiatan mengubah bentuk bahan organik dan non organik secara mekanis dan kimawi menjadi produk yang bermutu dan bernilai tinggi sehingga mendekati pada pemenuhan kebutuhan konsumen.

Berdasarkan Gordon & Craig dalam (Kurniawan 2008), Usaha Mikro dan Kecil sektor non-pertanian yang cocok dikembangkan di daerah pedesaan adalah industri pengolahan. UMK non pertanian di pedesaan biasanya bersifat informal, yang artinya tidak memiliki badan hukum tetap, dan dikuasai oleh masing- masing individu dan rumah tangga. Bagi masyarakat pedesaan, industri pengolahan dalam skala mikro dan kecil merupakan suatu peluang bagi tersedianya lapangan kerja.

2.6. Permasalahan UMKM

Menurut Wijono (2005), kendala yang dihadapi oleh UMK dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu pasar, bantuan penyuluhan, dan akses terhadap sumber pembiayaan. Di lain sebab, Suhariyanto (2007) menyebutkan bahwa UMK di Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian yang memiliki produktivitas yang sangat rendah. Perubahan arah pembangunan dari sektor pertanian ke non pertanian masih menghadapi banyak kendala dalam hal

26 infrastruktur dan fasilitas ekonomi yang menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan UMK.

Beberapa permasalahan UMK menurut Arif dan Wibowo (2004) dalam Satya (2010) antara lain adalah masalah pemasaran produk, teknologi, pengelolaan keuangan, kualitas sumberdaya manusia dan permodalan. Selanjutnya berdasarkan Sumardjo (2001) dalam Satya (2010), permasalahan yang dihadapi oleh UMK disebabkan oleh:

(1) Posisi dalam persaingan rendah karena lemahnya informasi tentang kondisi lingkungan yang menyangkut pemasok, peraturan atau kebijakan pemerintah, kecenderungan perubahan pasar atau teknologi baru sehingga memiliki daya saing rendah.

(2) Usaha kecil sering tidak memiliki catatan mengenai usahanya secara teratur dan sistematis karena sering tercampur antara modal usaha dengan uang untuk rumah tangga, sehingga kesulitan untuk memperoleh dana dari bank.

(3) Kekurangmampuan pengusaha kecil untuk mengakses ke bank karena tidak adanya agunan untuk memenuhi tuntunan audit akuntansi dari bank.

(4) Keluar masuknya karyawan usaha kecil dengan intensitas yang tinggi yang disebabkan oleh rendahnya upah, ketidakjelasan masa depan, tidak adanya jaminan sosial dan kepastian usaha, sehingga sering ditinggalkan karyawan yang terampil.

Menurut Iwantono (2006) dalam Satya (2010) permasalahan yang dihadapi oleh UMK di Indonesia meliputi:

(1) Akses pasar, umumnya UMK tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai pasar. Mereka tidak memahami dan tidak memiliki informasi tentang pasar potensial atas jasa barang dan jasa yang dihasilkan. Selain itu, pelaku UMK juga tidak memahami sifat dan perilaku konsumen pembeli hasil produksinya dan juga sering gagal bertransaksi dalam kegiatan ekspor karena tidak terbiasa dengan praktek-praktek bisnis internasional.

27 (2) Kelemahan dalam pendanaan dan akses pada sumber pembiayaan. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterbatasan UMK dalam penyediaan dukungan keuangan yang bersumber dari internal usaha. Ketersediaan dana melalui berbagai kredit masih terbatas, prosedur perolehan yang rumit dan persyaratan yang cukup membebani seperti persyaratan administratif dan penjaminan.

(3) Kelemahan dalam organisasi dan manajemen. Dalam hal ini, sumberdaya manusia yang dimiliki UMK sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan manajemen dan bisnis yang memadai. Hal tersebut mengakibatkan para pelaku UMK akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan bersaing dengan pelaku bisnis lainnya yang memiliki keterampilan manajemen modern.

(4) Kelemahan dalam kapasitas dan penguasaan teknologi. Para pelaku UMK mengalami kesulitan dalam menghasilkan produk yang selalu dapat mengikuti perubahan permintaan pasar, sehingga barang-barang yang dihasilkan umumnya konvensional, kurang mengikuti perubahan model, desain baru, pengembangan produk dan tidak menyadari pentingnya mempertahankan hak paten.

(5) Kelemahan dalam jaringan usaha. Jaringan bisnis merupakan unsur dalam penetrasi pasar dan keunggulan bersaing. Kualitas SDM yang masih rendah dalam penguasaan teknologi informasi, mengakibatkan UMK pada umumnya belum mampu membangun jaringan bisnis. Cara- cara pemasaran maupun pengadaan bahan baku masih terbatas pada cara- cara konvensional sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi pasar melalui pengembangan jaringan usaha.

2.7. Keberhasilan Usaha

Menurut Riyanti (2003) menyatakan bahwa unsur terpenting di balik keberhasilan usaha adalah keterampilan wirausaha untuk mengenali pasar khusus dan mengembangkan suatu usaha di pasar tersebut. Begitu pula disebutkan bahwa keberhasilan usaha diukur dari tingkat kemajuan yang dicapai perusahaan dalam hal akumumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan,

28 perbaikan sarana fisik, perluasan usaha, dan kepuasan karyawan. Keberhasilan seorang wirausaha tidak semata-semata diukur dalam bentuk uang, tetapi juga melihat kemajuan dalam proses bisnis internal perusahaan dan kepuasan kerja karyawan. Ukuran kesuksesan seorang wirausaha antara lain adalah :

1) Kelangsungan usaha.

2) Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. 3) Meningkatkan kesejahteraan keluarga.

4) Meningkatkan kualitas hidup bagi para pemakai produk.

Syahrial (1998) dalam Satya (2010) mengemukakan bahwa sukses adalah kemampuan mengenal potensi diri dan mengoptimalkan potensi tersebut. Pribadi yang sukses adalah pribadi yang mendayagunakan potensinya sehingga bermanfaat bagi banyak orang. Dimensi kesuksesan antara lain:

1) Mengenal potensi diri dan mengoptimalkannya.

2) Tidak diukur secara materi, kekuasaan, atau status sosial. 3) Diukur dari nilai manfaatnya bagi orang lain.

4) Tetap dikenang secara luas meski sudah meninggal.

Kesuksesan usaha juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain:

1) Keluarga yang harmonis dan demokratis. 2) Pendidikan formal dan non formal.

3) Pergaulan dengan teman-teman yang sukses. 4) Lingkungan masyarakat yang kondusif.

Selain faktor kondusif, terdapat pula faktor-faktor yang menjadi penghambat meraih sukses, yaitu:

1) Adanya sikap tidak percaya diri.

2) Mental yang cepat puas, santai, dan feodal.

3) Sistem pendidikan nasional yang kurang memperhatikan sikap kritis, keberanian, dan kreativitas siswa.

4) Sistem politik yang cenderung represif.

Menurut penelitian Dirlanudin (2010), keberhasilan usaha bukanlah sesuatu yang dapat diraih dalam waktu yang sesaat namun memerlukan upaya keras, ketekunan dan kecekatan dalam mengelola usaha tersebut dengan terus

29 membaca lingkungan eksternal sejalan dengan perubahan dan tuntutan para konsumen. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan para pengusaha kecil industri agro antara lain adalah (1) jumlah pelanggan; (2) kecenderungan loyalitas; (3) perluasan pangsa pasar; (4) kemampuan bersaing; (5) peningkatan keuntungan.

Dari hasil pengumpulan data, selanjutnya dianalisis seluruh indikator peubah keberhasilan. Tingkat keberhasilan pengusaha kecil industri agro menunjukkan tingkat pencapaian mereka dalam mengelola usahanya. Di samping itu, keberhasilan juga menunjukkan eksistensi mereka.dalam mengatasi kendala dan permasalahan yang cenderung kompleks sejalan dengan perubahan faktor eksternal.

Berdasarkan penelitian Dirlanudin (2010) tersebut, dapat diketahui bahwa data mengelompok pada kategori sedang (87,3 persen) dan baik (9,2 persen), artinya para pengusaha kecil industri agro tingkat keberhasilannya cenderung pada kategori sedang, dengan kata lain keberhasilan relatif tidak besar. Hal ini dapat menyebabkan upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya terhambat. Masih perlu adanya peningkatan terhadap ke lima indikator yang disebutkan seperti jumlah pelanggan, loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan keuntungan. Dengan demikian, industri kecil dapat dikategorikan berhasil.

Kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Kemampuan kewirausahaan mendorong minat seseorang untuk mendirikan dan mengelola usaha secara profesional terutama menuju