Beberapa modus yang dapat dikategorikan dalam lingkup perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak-anak adalah sebagai berikut :
a. Diiming-imingi dengan pekerjaan yang mudah dan mendapat gaji yang besar bagi para perempuan/dijanjikan akan bekerja di cafe;
b. Adopsi/pengangkatan anak yang tidak sesuai prosedur atau diperjualbelikan kepada warga sendiri atau warga negara asing;
c. Pemesanan kemanten/mempelai perempuan atau permintaan dari tempat-tempat tertentu untuk dijadikan istri kontrakan;
d. Melibatkan anak-anak dalam perdagangan obat-obatan terlarang; e. Anak-anak yang dipekerjakan di perkebunan;
f. Eksploitasi pedophilia seksual; g. Pornografi perempuan dan anak;
h. Perdagangan perempuan dan anak untuk kerja paksa;
i. Mempekerjakan perempuan dan anak untuk pekerjaan pengemisan atau meminta-minta;
j. Mempekerjakan perempuan dan anak dalam kerja seks atau kegiatan pelacuran.
Pengertian eksploitasi seksual menurut ketentuan Pasal 1 Angka 8 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:
“Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”.
Sedangkan pengertian eksploitasi dengan melacurkan orang lain adalah kegiatan untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang lain dalam kegiatan prostitusi secara seksual (Elsam, 2005: 14).
Menurut Internasional Organization for Migration (IOM), ukuran yang berkenaan dengan perdagangan orang untuk bisnis pelacuran yaitu:
a. Calon korban mendapatkan bagian yang sangat kecil dari upah yang umumnya di bayar dalam bisnis pelacuran.
b. Calon korban diharuskan mendapat penghasilan dalam jumlah tertentu perhari.
c. Pengelola bordil atau pihak ketiga telah membayar ongkos transfer bagi calon korban dan / atau menyerahkan sebagian dari penghasilan calon korban kepada pihak ketiga.
d. Tempat dimana calon korban dipekerjakan berubah-ubah (IOM, 2005: 31). Prostitusi atau kerja seks komersial (commercial sex work) adalah pemberian layanan seks untuk melunasi utang atau keuntungan materiil. Banyak perdebatan mengenai pemilihan terminologi ketika seseorang memilih istilah “prostitusi” ketimbang “kerja seks komersial”. Istilah “prostitusi” mengungkapkan karakteristik aktifitas seksual yang dikomersialisasikan yang penting bagi orang-orang yang prihatin dengan rusaknya norma-norma materialistis, sementara istilah “kerja seks” menuangkan sejumlah karakteristik yang lebih penting bagi mereka yang menyadari sifat serupa dari seks yang mempunyai orientasi komersial dengan kegiatan lainnya yang berorientasi komersial. Karena itu, menggunakan salah satu dari kedua istilah ini untuk penguraian etnografis, kita menekankan perspektif subbudaya tertentu
terhadap prostitusi yaitu, pengembangan istilah kerja seks komersial merupakan inisiatif aktivis industri seks untuk mendorong pengakuan terhadap prostitusi sebagai sebuah pilihan ekonomi, ketimbang sebagai suatu identitas. Selain itu, “kerja seks komersial” mengandung elemen pilihan yang acap kali diduga tidak terdapat dalam “prostitusi” (Ruth Rosenberg, 2003: 71).
Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam industri seks (trafficker) ialah: a. Germo (pemilik rumah bordil atau ‘tante’)
Memberikan fasilitas bagi pekerja seks untuk menjalankan usahanya. Sebagai imbalan atas fasilitas tersebut, germo menerima sebagian dari penghasilan pekerja seks.
b. Mucikari
Memberikan pekerja seks perlindungan dan kontak dengan pelanggan dengan imbalan sebagian dari gaji mereka.
c. Calo
Merekrut perempuan dan gadis dari daerah asal kemudian mengirim mereka untuk dipekerjakan di dalam industri seks. Di daerah pedesaan, biasanya calo adalah penduduk setempat yang dikenal serta dipercaya di daerah tersebut. Calo akan memperoleh imbalan atas jasanya ini dari pemilik rumah bordil atau mucikari atau dapat juga menerima sebagian penghasilan pekerja seks bersangkutan selama ia menggeluti profesinya itu.
Berperan memasarkan layanan seks dengan memberikan informasi kepada pelanggan tentang lokasi, ‘aturan main’, jenis layanan yang tersedia dan tarif layanan seks. Mereka juga dapat bertindak sebagai pelantara, membawa pelanggan ke pekerja seks atau sebaliknya.
e. Penjaga keamanan
Berperan sebagai pelindung bagi pekerja seks dari pelanggan mereka dan penduduk di kawasan lokalisasi. Jika pekerja seks tidak bebas meninggalkan rumah bordil, mereka juga ditugasi untuk memastikan bahwa pekerja seks itu tidak akan melarikan diri.
f. Aparat pemerintah setempat
Aparat setempat terlibat dalam industri seks, mereka bertanggung jawab untuk mengatur sektor seks dan menawarkan program rehabilitasi kepada PSK perempuan yang ingin keluar dari kerja seks. Namun dalam praktiknya kinerja aparat setempat tercatat ‘bervariasi’ dalam hal keterlibatan mereka dilokalisasi.
g. Polisi
Peran utama polisi adalah menegakkan UU yang berkaitan dengan sektor seks. Meski kerja seks bukan sesuatu yang ilegaldi Indonesia, kegiatan yang biasa dilakukan polisi terhadap lokalisasi adalah razia. Mereka juga diketahui suka melecehkan PSK dan memeras uang. Sebagaimana aparat pemerintah setempat, dalam praktiknya polisi mempunyai catatan kinerja yang ‘berwarna-warni’ di lokalisasi dan pekerja
seks melaporkan menderita kekerasan dan pelecehan oleh polisi (Ruth Rosenberg, 2003: 106).
Untuk korban perdagangan anak, tanpa dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang sudah cukup untuk merupakan perdagangan orang-orang (Elsam, 2005: 9).
Pengertian anak menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Secara definitif, pengertian perdagangan anak adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja mulai dari perekrutan melalui bujukan dan penipuan, paksaan, dan ancaman, atau kekerasan, penculikan, bahkan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anak-anak untuk kemudian dikirim ke suatu tempat guna dipekerjakan paksa, kompensasi untuk membayar utang, kepentingan perbudakan, termasuk untuk dilacurkan (Suyatno, dalam Abu Huraerah, 2007: 102). Maraknya praktik perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:
a. Adanya kepercayaan para konsumen bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagai obat kuat, awet muda, dan mendatangkan hoki tertentu; b. Anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum
c. Orang tua kadang memandang anak perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan sehingga orang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untuk harga keperawanannya;
d. Pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya;
e. Jeratan hutang.
Faktor penyebab maraknya praktik perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual yang pertama dan kedua merupakan pandangan para pedopfil yang menyukai melakukan hubungan seks dengan anak-anak (Suyatno, dalam Abu Huraerah, 2007: 103).