• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Menurut Mezger hukum pidana didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (Sudarto, 1990: 5).

Menurut Lemaine hukum pidana adalah terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk Undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terhadap suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut (P.A.F Lamintang, 1997: 2). Hukum pidana berpokok pada perbuatan yang dapat dipidana (Verbrechen crime, atau perbuatan jahat) dan pidana (Sudarto, 1990: 23).

Istilah tindak pidana antara penulis yang satu dengan yang lain masih terdapat perbedaan-perbedaan. Ada yang menggunakan istilah strafbaarfeit, perbuatan pidana

(2)

maupun peristiwa pidana. Moelyatno, Guru Besar pada Universitas Gajah Mada, menggunakan istilah perbuatan pidana karena beliau berpendapat, bahwa “perbuatan itulah keadaan yang dibuat atau barang sesuatu yang dilakukan, (perbuatan) ini menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat”. Jadi mempunyai makna abstrak E.Utrecht memakai istilah peristiwa pidana, ada juga penulis yang memakai istilah delik (Sudarto, 1990: 23).

Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaarfeit” tersebut.

Perkataan “feit”itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Oleh karena pembentuk Undang-undang kita tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaarfeit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tersebut.

Hazewinkel-Suringa misalnya, mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari “strafbaarfeit” tersebut sebagai “suatu perilaku manusia yang

(3)

pada suatu tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya”. Van Hamel telah merumuskan “strafbaarfeit” itu sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” (P.A.F Lamintang, 1997: 181-182). Dari pengertian-pengertian tersebut maka dalam pokoknya ternyata:

a) Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku; b) Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi (Moeljatno, dalam Atik Tri Astuti, 2005: 9).

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

(4)

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

b) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP;

c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lainnya; d) Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachteraad seperti yang misalnya yang

terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e) Perasaan takut atau Vress seperti terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: a) Sifat melanggar hukum;

b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”di dalam kejahatan jabatan dalam Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (P.A.F Lamintang, 1997: 193-194).

Untuk menentukan unsur-unsur tindak pidana maka akan muncul dua aliran, yaitu aliran monoistis dan aliran dualistis. Aliran monoistis ini melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Jadi tidak ada pemisah antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan aliran dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran monoistis adalah:

(5)

a) D. Simons

Unsur-unsur strafbaarfeit adalah: 1) Perbuatan manusia;

2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum;

4) Dilakukan dengan kesalahan;

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit.

Yang disebut sebagai unsur obyektif strafbaarfeit ialah: 1) Perbuatan orang;

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu. Sedangkan yang disebut sebagai unsur subyektif strafbaarfeit ialah: 1) Orang yang mampu bertanggung jawab;

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b) Van Hamel

Unsur-unsur strafbaarfeit adalah:

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum;

(6)

3) Dilakukan dengan kesalahan; 4) Patut dipidana.

c) E. Mezger

Unsur-unsur strafbaarfeit adalah:

1) Perbuatan manusia dalam arti luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2) Sifat melawan hukum;

3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4) Diancam dengan pidana.

d) J. Baumman

Unsur-unsur strafbaarfeit adalah:

1) Perbuatan yang memenuhi rumusan delik; 2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan. e) Karni

Unsur-unsur strafbaarfeit adalah:

1) Delik ini mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak; 2) Yang dilakukan dengan salah dosa;

3) Oleh orang yang sempurna akal budinya;

4) Kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan.

f) Wirjono Prodjodikoro

Beliau mengemukakan definisi pendek, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

(7)

Sedangkan tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran dualistis adalah: a) H. B. Vos

Menurut H. B. Vos strafbaarfeit hanya berunsurkan: 1) Kelakuan manusia;

2) Diancam pidana dalam Undang-undang. b) Moeljatno

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: 1) Perbuatan manusia

2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil)

3) Bersifat melawan hukum (1, 2, 3 merupakan syarat materiil) (Sudarto, 1990: 24-26).

Dengan demikian, orang yang dikatakan melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya criminal act

Suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:

a. Perbuatan manusia

Menurut Sudarto, syarat pertama untuk adanya penjatuhan pidana adalah perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat.

(8)

b. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang

Ialah perbuatan konkret dari si pembuat harus mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang. Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik.

c. Bersifat melawan hukum

Perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan tersebut merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dengan kata lain bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan anti sosial (Sudarto, 1990: 26).

2. Adanya criminal responsibility

Perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bisa dipertanggungjawabkan. Pengertian kemampuan bertanggung jawab menurut Simons ialah suatu keadaan psychis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun orangnya. Sehingga seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum, ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.

(9)

Sedangkan menurut Van Hamel pengertian kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan.

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

3. Pidana

Menurut Sudarto pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Saleh pengertian pidana ialah reaksi atau delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu (Saleh dalam Yazid Effendi dan Kuat Puji Prayitno, 2006: 17).

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

(10)

c. Pidana itu diberikan kepada yang telah melakukan pidana menurut Undang-undang (Muladi, 2005: 4).

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu: a) Kejahatan dan pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebut oleh Undang-undang. KUHP dalam buku II memuat delik-delik yang disebutkejahatan dan dalam buku III delik-delik yang disebut pelanggaran. Secara ilmu pengetahuan, kedua jenis tersebut dibedakan dalam dua pendapat yaitu:

1) Perbedaan yang bersifat kualitatif

Menurut perbedaan yang bersifat kualitatif didapati 2 (dua) jenis delik, ialah:

a. Rechtsdelicten

Ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keadilan. Misalnya pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan.

b. Wetdelicten

Ialah perbuatan yang oleh umum baru didasari sebagai suatu tindak pidana, karena Undang-Undang menyebutnya sebagai delik jadi karena ada Undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misalnya

(11)

memparkir mobil disebelah kanan jalan. Delik-delik semacam ini disebut pelanggaran.

Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam Undang-undang Pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan dan sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan.

2) Perbedaan yang bersifat kuantitatif

Pendapat ini hanya meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. b) Delik Formil dan Delik Materiil

1) Delik Formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.

2) Delik Materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.

c) Delik Commission, Delik Ommissionis, Delik Commissionis perommissionis Commissa

1) Delik Commission: delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

2) Delik Ommissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka Pengadilan (Pasal 522

(12)

KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP).

3) Delik Commissionis per ommissionis Commissa: delik yang berupa pelanggaran, larangan, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat.

d) Delik Dolus dan Delik Culpa

1) Delik Dolus: delik yang memuat unsur kesengajaan.

2) Delik Culpa: delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur. e) Delik Tunggal dan Delik Berganda

1) Delik Tunggal: delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. 2) Delik Berganda: delik yang baru merupakan delik apabila dilakukan

beberapa perbuatan, misalnya Pasal 481 (Penahanan sebagai kebiasaan) (Sudarto, 1990: 34).

f) Delik yang berlangsung terus dan Delik yang tidak berlangsung terus.

1) Delik yang berlangsung terus: delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan sesuatu norma.

2) Delik yang tidak berlangsung terus: delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan (Lamintang, 1997: 217).

g) Delik aduan dan Delik bukan aduan.

1) Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau dirugikan.

(13)

Menurut sifatnya, delik aduan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Delik aduan yang absolut yaitu delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.

b. Delik aduan yang relatif, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang dirugikan. 2) Delik bukan aduan: tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan

adanya suatu pengaduan (Lamintang, 1997: 218). h) Delik sederhana dan Delik yang ada pembenarannya.

1) Delik sederhana: delik-delik dalam bentuk yang pokok seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk Undang-undang (Lamintang,1997: 224). 2) Delik yang ada pembenarannya: delik yang ancamanpidananya diperingan

karena dilakukan dalam keadaan tertentu (Sudarto, 1990: 35).

i) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi.

j) Kejahatan Ringan (Sudarto, 1990: 35). B. Perkembangan Pengertian Perdagangan Orang

Perdagangan orang / perdagangan manusia yang populer dengan istilah Human Trafficking atau Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut sebagai perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional (Elsam, 2005: 1).

Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari

(14)

sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komerialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur. Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang (Hull, Sulistianingsih dan Jones, 1997).

Dalam era reformasi seperti sekarang ini, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lagi. Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu perdagangan orang yang bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang yang dengan cepat berkembang menjadi sindikat lintas batas negara dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri (Parjoko, 2005: 9).

Perdagangan manusia (trafficking) sekarang merupakan bisnis penghasil uang terbesar ketiga di dunia, sesudah perdagangan gelap senjata dan obat-obatan. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa perdagangan manusia memberikan 12 miliar dollar per tahun bagi kejahatan terorganisasi (Malarek, Victor, 2008:23).

Pengertian perdagangan orang menurut Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime Tahun 2000:

(15)

“Rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan / pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh” (Parjoko, 2005: 9).

Protokol ini juga menambahkan bahwa persetujuan yang telah diberikan oleh korban perdagangan manusia berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan tersebut kehilangan relevansinya (tidak lagi berarti), bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi diatas telah digunakan. Kemudian, setiap tindakan rekrutmen, transportasi, pemindahan, penempatan, atau penerimaan seorang anak dengan maksud tujuan eksploitasi, dianggap sebagai perdagangan manusia sekalipun cara-cara pemaksaan atau penipuan yang diuraikan dalam definisi di atas tidak digunakan.

Digunakannya cara tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan menunjukkan bahwa perdagangan orang dapat terjadi tanpa adanya kekerasan fisik. Adapun penyalahgunaan akan kedudukan rentan diartikan sebagai sebuah situasi di mana seseorang tidak memiliki pilihan atau yang dapat diterima, kecuali untuk pasrah pada penyalahgunaan yang terjadi. Cara-cara tersebut mengakibatkan terampasnya kehendak bebas seseorang. Tipu daya dan penipuan berkenaan dengan apa yang diperjanjikan dan realisasinya, yaitu mencakup jenis pekerjaan dan kondisi kerja (Elsam, 2005: 8).

Berkenaan dengan masalah persetujuan, Trafficking Protokol menetapkan bahwa persetujuan yang telah diberikan korban menjadi tidak relevan (dapat diabaikan) jika

(16)

cara-cara yang disebutkan dalam protokol tersebut ternyata telah digunakan (Elsam, 2005: 9).

Menurut GAATW, 1999 (Global Alliance Againts Traffic in Women), perdagangan manusia adalah segala yang meliputi tindakan yang berhubungan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan (wilayah suatu negara), pembelian, penjualan, transfer pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan seperti pekerjaan domestik, seksual atau produktif dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan dalam suatu lingkungan yang asing dari tempat tinggalnya semula dengan orang tuanya atau bukan ketika penipuan itu terjadi, tekanan, atau terkena lilitan yang pertama kali (Ghandi Lapian dan Hetty A. Geru, 2006: 95).

Sedangkan pengertian Perdagangan Orang dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:

“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:

(17)

a. Perbuatan adalah merekrut, mengangkat, memindahkan, menyembunyikan, atau menerima.

b. Sarana (cara) adalah untuk mengendalikan korban: ancaman penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian / penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

c. Tujuan adalah eksploitasi setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh (Harkristuti, 2003).

Walaupun wujud trafficking beraneka ragam, mayoritas korban di dalam ataupun melalui Indonesia adalah perempuan dan anak-anak yang mengalami trafficking untuk tujuan pekerjaan rumah tangga atau eksploitasi seksual (IOM, 2005: 1).

Pengertian eksploitasi seksual menurut ketentuan Pasal 1 Angka 8 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:

“Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”.

Sejarah pelacuran di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita, dan didorong oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial. Ketika Belanda memasuki pesisir Jawa sekitar awal abad ke 17 M, muncul aktivitas seksual oleh serdadu, pedagang, dan utusan VOC di sekitar pelabuhan. Namun, ketersediaan wanita Eropa sangat terbatas. Mereka hanya bisa mengambil perempuan pribumi yang dijual keluarganya. Pemanfaatan seks

(18)

wanita ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Misalnya, perempuan itu diakui sebagai pembantu, padahal dijadikan gundik yang layak digauli (Saffa Hasan, 2006: 22).

Jumlah selir yang dimiliki raja-raja dianggap memberi pengaruh baik pada citra kekuasaan mereka. Wanita-wanita itu juga mempercepat pembiakan keturunan untuk meneguhkan atau memperluas kekuasaan. Tak hanya di Jawa, di Bali misalnya seorang janda dari kasta bawah, jika tidak ada beking kuat keluarganya otomatis akan menjadi hak milik raja. Dan jika raja memutuskan tidak mengambilnya untuk keperluan lingkungan istana, sang raja akan mengirimkan para wanita selir itu ke luar kota untuk dijadikan sebagai pelacur. Ketentuan ini dengan catatan, sebagian penghasilannya wajib disetor ke istana. Tren ini berhubungan dengan perbudakan dan pengabdian seumur hidup. Kenyataan laten yang biasa dijumpai dalam sistem feodalisme di seluruh Asia (Saffa Hasan, 2006: 23).

Memang tradisi ini belum mencapai segi komersialisasinya sebagai industri seks dengan sistem germo dan profesionalitas. Akan tetapi, tradisi di zaman feodalisme ini membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang. Yakni, perempuan menjadi komoditas untuk memenuhi hasrat seksual laki-laki (Saffa Hasan, 2006: 24).

Indonesia telah menjadi target alternatif untuk turisme seks anak dan jaringan pedofilia internasional. Anak-anak yang dijual sebagai tenaga keja di luar negeri menjadi sasaran empuk untuk dieksploitasi. Perdagangan anak atau child trafficking terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan. Umumnya perdagangan anak perempuan ditujukan untuk prostitusi (Jurnal Perempuan, 2004: 23).

(19)

Cara pandang bahwa perempuan adalah komoditas seks ini berakar dari ideologi patriarkhi dengan sistem nilai yang “phalloceniric”. Phallo atau Phallus yang berarti penis dianggap sebagai symbol kekuasaan dan dipercaya bahwa atribut-atribut maskulinitas merupakan norma bagi rumusan-rumusan kultural. Kepercayaan bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak perempuan dapat menambah kejantanan juga menjadi faktor yang menyebabkan anak menjadi komoditi seks komersial. Ketakutan laki-laki dewasa akan terserang virus HIV/AIDS jika berhubungan seksual dengan perempuan dewasa, juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan anak perempuan. Anak perempuan, apalagi yang masih perawan dianggap steril dari virus yang mematikan itu (Jurnal Perempuan, 2004: 25).

Faktor lain adalah ketergantungan Indonesia pada negara atau lembaga Internasional pemberi hutang. Sebagai negara pemilik hutang terbesar, Indonesia harus memaksakan diri menyesuaikan kebijakan ekonominya agar lebih berorientasi dan terintegrasi dengan pasar dan perekonomian global. Kebijakan tersebut merupakan syarat yang ditentukan oleh pihak pemberi hutang. Faktor keterbatasan lapangan kerja telah menciptakan kemiskinan yang meluas bagi perempuan (feminisasi kemiskinan), sehingga mendorong perempuan untuk bermigrasi (feminisasi migrasi). Kondisi demikian juga mendorong anak-anak perempuan untuk menyumbang ekonomi keluarga (Jurnal Perempuan, 2004: 26).

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang

(20)

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan buruk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 297 (KUHP) menentukan mengenai larangan perdagangan wanita, dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan dan diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 83 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk di jual dan diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Namun ketentuan dalam KUHP dan Undang-undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Oleh karena itu, diperlukan Undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus (Penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 2007, 2007: 45).

Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang terdapat dapat ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyatakan bahwa:

(21)

“(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidanadengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Pengertian tindak perdagangan orang menurut rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 546 menyatakan bahwa:

“ Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI”.

Rumusan diatas jika dirinci terdiri dari 3 bagian yakni: Bagian pertama: setiap orang yang melakukan

1) Perekrutan; 2) Pengiriman; 3) Penyerah terimaan.

Bagian kedua: dengan menggunakan 1) Kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) Penipuan;

(22)

4) Penyekapan;

5) Penyalahgunaan kekuasaan;

6) Pemanfaatan posisi kerentanan; atau 7) Penjeratan hutang.

Bagian ketiga: untuk tujuan 1) Mengeksploitasi; atau

2) Perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

2. Faktor terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan bukanlah fenomena yang sederhana, dan faktor-faktor yang membuat perempuan dan anak semakin rentan terhadap perdagangan bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Faktor yang menciptakan kerentanaan terhadap perdagangan orang diantaranya adalah:

a. Kemiskinan;

b. Tingkat pendidikan yang rendah; c. Peran perempuan dalam keluarga; d. Status dan kekuasaan;

e. Peran anak dalam keluarga; f. Asal mula buruh ijon; g. Pernikahan dini;

h. Kebijakan dan Undang-undang yang bias gender; i. Korupsi (Ruth Rosenberg, 2003: 25-29).

(23)

Di bawah ini adalah uraian singkat berbagai kategori oknum dan organisasi yang terlibat dalam perdagangan perempuan dan anak di Indonesia:

1) Agen Perekrut Tenaga Kerja

Agen perekrutan tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan, memperoleh identifikasi dan dokumen perjalanan, memberi pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam pekerjaannya di negara tujuan. Baik PJTKI yang terdaftar maupun tidak terdaftar melakukan praktik yang ilegal dan eksploitatif, seperti memfasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta secara ilegal menyekap buruh di penampungan. Mereka menjadi pelaku perdagangan ketika mereka memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan ketika ia hendak pulang ke tempat asalnya, ketika mereka menempatkan seorang buruh dalam pekerjaan yang berbeda dari yang sudah dianjurkan sebelumnya dan ketika mereka mengirim seorang perempuan, dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, untuk secara paksa bekerja dalam industri seks (Ruth Rosenberg, 2003: 23).

2) Agen

Agen mungkin saja adalah orang asing yang datang ke suatu desa, atau tetangga, teman, atau bahkan kepala desa. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTKI yang terdaftar dan tidak terdaftar, memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrutnya. Mereka sering terlibat dalam

(24)

praktik ilegal seperti pemalsuan dokumen. Seorang agen mungkin dengan sadar terlibat dalam perdagangan perempuan ketika ia membohongi orang yang direkrutnya mengenai kebenaran dari pekerjaan yang akan dilakukan atau gaji yang akan diterimanya. Sebagai agen secara sadar merekrut perempuan untuk industri seks. Di sisi lain, banyak yang mungkin membantu perdagangan perempuan untuk industri seks tanpa menyadarinya. Agen mungkin tidak mengetahui yang sebenarnya dari suatu pekerjaan ketika mereka melakukan perekrutan untuk pekerjaan itu (Ruth Rosenberg, 2003: 24).

3) Pemerintah

Pejabat pemerintah juga memainkan peranan dalam eksploitasi dan perdagangan migran. Keterlibatan mereka antara lain adalah memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan dan ketenagakerjaan, atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara ilegal. Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari bahwa perempuan yang perekrutan dan pengirimannya mereka fasilitasi adalah korban perdagangan (Ruth Rosenberg, 2003: 24).

4) Majikan

Majikan, apakah mereka terlibat atau tidak dalam perekrutan, terlibat dalam perdagangan jika mereka memaksa buruh yang direkrut untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif. Seorang majikan terlibat dalam perdagangan jika ia tidak membayar gaji, secara ilegal menyekap buruh di

(25)

tempat kerja, melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap buruh, memaksa buruh untuk terus bekerja diluar keinginan mereka, atau menahan mereka dalam penjeratan utang (Ruth Rosenberg, 2003: 24).

5) Pemilik dan Pengelola Rumah Bordil

Sama dengan majikan di atas, pemilik dan pengelola bordil terlibat dalam perdagangan bila mereka memaksa seorang perempuan untuk bekerja di luar kemampuannya, menahannya dalam penjeratan utang, menyekap secara ilegal, membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003: 24).

6) Calo pernikahan

Seorang calo pernikahan yang terlibat dalam sistem pengantin pesanan terlibat dalam perdagangan ketika ia mengatur pernikahan yang mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif. Calo pernikahan mungkin menyadari atau tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan (Ruth Rosenberg, 2003: 24).

7) Orang Tua Dan Sanak Saudara

Orang tua dan sanak saudara lain menjadi pelaku perdagangan ketika mereka secara sadar menjual anak atau saudara mereka kepada seorang majikan, apakah ke dalam industri seks atau sektor lain. Orang tua juga memperdagangkan anak mereka ketika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima anak mereka di masa depan,

(26)

atau menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utang yang telah mereka buat sehingga memaksa anak mereka masuk ke dalam penjeratan utang (Ruth Rosenberg, 2003: 25).

8) Suami

Suami yang menikahi dan kemudian mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan protistusi, terlibat dalam perdagangan orang (Ruth Rosenberg, 2003: 25).

Bagi pengguna perdagangan orang baik yang secara langsung mengambil keuntungan dari korban, maupun yang tidak langsung melakukan eksploitasi, antara lain adalah:

1) Germo dan pengelola rumah bordil yang membutuhkan perempuan dan anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur;

2) Laki-laki hidung belang, pengidap pedofilia dan kelainan seks lainnya serta para pekerja asing dan pebisnis internasional yang tinggal sementara disuatu negara;

3) Para pengusaha yang membutuhkan pekerja anak yang murah, penurut, mudah diatur dan mudah ditakut-takuti;

4) Pengusaha bisnis hiburan yang memerlukan perempuan muda untuk dipekerjakan di panti pijat, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya; 5) Para pebisnis di bidang pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan

(27)

6) Agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggungjawab;

7) Sindikat narkoba yang memerlukan pengedar baru untuk memperluas jaringannya;

8) Keluarga menengah dan atas yang membutuhkan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga;

9) Keluarga yang ingin mengadopsi anak;

10) Laki-laki China dari luar negeri yang menginginkan perempuan “tradisional” sebagai pengantinnya (Parjoko, 2005: 15).

Upaya memerangi tindak pidana Traffickingdimulai dengan mengenal indikator Traffickingdan tidak semua indikator harus ada terlebih dahulu untuk memunculkan dugaan atau kecurigaan telah dilakukannya tindak pidana Trafficking. Indikator umum Trafficking ialah sebagai berikut:

a. Orang yang berpeluang menjadi korban atau calon korban ternyata tidak menerima upah sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukannya atau dibayar hanya untuk sejumlah kecil dari yang seharusnya ia terima;

b. Calon korban tidak dapat mengelola sendiri upah yang ia terima atau harus menyerahkan sebagaian besar upahnya kepada pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa saja seorang perantara agen, majikan, atau dalam hal Trafficking untuk bisnis pelacuran, pengelola bordil atau mucikari;

c. Adanya ikatan utang piutang, calon korban berkewajiban untuk membayar sejumlah uang (dengan jumlah yang berlebihan) kepada pihak ketiga, sebelum ia akan diperkenankan untuk menerima dan mengelola

(28)

sepenuhnya upah yang seharusnya diterima kepadanya dan atau sebelum ia diperkenankan untuk berhenti atau meninggalkan pekerjaan tersebut; d. Pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak calon korban tidak

diperkenankan untuk meninggalkan tempat kerja atau penampungan untuk jangka waktu lama atau meninggalkan tempat tersebut tanpa didampingi orang lain atau ditempatkan di bawah pengawasan teru menerus;

e. Calon korban tidak diperkenankan berhenti bekerja;

f. Isolasi/ pembatasan kebebasan untuk mengadakan dan memelihara kontak dengan orang lain, seperti keluarga, teman-teman ataupun rekan kerja; g. Ditahan atau tidak diberikannya pelayanan kesehatan, makanan yang

memadai, dan lain-lain;

h. Pemerasan atau ancaman pemerasan terhadap keluarga atau anak-anak dari calon korban jiki ia tidak menuruti kehendak majikan atau menunjukkan sikap membangkang;

i. Ancaman penggunaan kekerasan;

j. Pada calon korban ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik;

k. Calon korban harus berkerja dalam kondisi yang sangat buruk dan atau harus bekerja untuk jangka waktu kerja yang sangat panjang;

l. Calon korban tidak membayar sendiri atau mengurus sendiri perjalanan, visa, paspor, dan lain-lain;

m. Calon korban tidak memegang sendiri surat-surat identitas diri atau dokumen perjalanannya;

(29)

n. Calon korban menggunakan paspor atau surat identitas diri palsu yang disediakan pihak ketiga;

o. Calon korban takut dideportasi (IOM, 2005: 30).

Terdapat banyak faktor terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan memberi andil bagi keberhasilan jaringan kejahatan tersebut. Faktor-faktor tersebut ialah:

a. Faktor-faktor yang menunjang permintaan (demand):

a) Perempuan dianggap cocok untuk pekerjaan di sektor informal yang terkenal dengan rendahnya upah, pekerjaan biasa, kondisi kerja yang penuh risiko, dan tidak adanya kewajiban untuk membuat kesepakatan atau perjanjian kerja.

b) Peningkatan permintaan akan pekerja dari luar negara untuk peran domestik dan pengasuhan, serta kurangnya atau tidak adanya sistem pengaturan yang mendukung.

c) Berkembangnya industri miliaran dollar dalam bidang seks dan hiburan.

d) Ciri kejahatan trafficking yang nyaris tanpa risiko dan keuntungan yang besar, ditambah kurangnya kehendak dan kesadaran serta kesulitan aparat penegak hukum untuk mengadili pelaku trafficking termasuk pemilik, pengelola, pengusaha, lembaga yang menerima, memanfaatkan korban trafficking.

(30)

f) Kurangnya akses akan sistem hukum yang menjamin perlindungan, bantuan, ganti rugi bagi korban trafficking.

g) Devaluasi hak asasi perempuan dan anak.

b. Faktor-faktor yang menunjang penawaran dan persediaan:

a) Kurangnya akses akan pendidikan yang membatasi peluang perempuan untuk menambah penghasilan mereka dalam pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan yang lebih meningkat.

b) Kurangnya peluang akan pekerjaan yang sah dan memuaskan khususnya di pedesaan.

c) Kebijakan migrasi dan imigrasi serta peraturan imigrasi yang membedakan antara pria dan perempuan yang sering dimaksudkan untuk melindungi perempuan ternyata sebaliknya membatasi peluang perempuan untuk dapat bermigrasi secara legal.

d) Dibandingkan dengan pria, perempuan mempunyai akses yang kurang akan informasi mengenai migrasi/ peluang pekerjaan saluran rekrutmen, dan kurang sadar akan risiko bermigrasi.

e) Kekacauan sistem hukum/ penunjang karena bencana ulah manusia. f) Sikap masyarakat dan praktik dalam masyarakat yang tradisional,

yang menoleransi kekerasan terhadap perempuan (L.M Gandhi Lapian dan Hetty A. Geru, 2006: 65-66).

(31)

Beberapa modus yang dapat dikategorikan dalam lingkup perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak-anak adalah sebagai berikut :

a. Diiming-imingi dengan pekerjaan yang mudah dan mendapat gaji yang besar bagi para perempuan/dijanjikan akan bekerja di cafe;

b. Adopsi/pengangkatan anak yang tidak sesuai prosedur atau diperjualbelikan kepada warga sendiri atau warga negara asing;

c. Pemesanan kemanten/mempelai perempuan atau permintaan dari tempat-tempat tertentu untuk dijadikan istri kontrakan;

d. Melibatkan anak-anak dalam perdagangan obat-obatan terlarang; e. Anak-anak yang dipekerjakan di perkebunan;

f. Eksploitasi pedophilia seksual; g. Pornografi perempuan dan anak;

h. Perdagangan perempuan dan anak untuk kerja paksa;

i. Mempekerjakan perempuan dan anak untuk pekerjaan pengemisan atau meminta-minta;

j. Mempekerjakan perempuan dan anak dalam kerja seks atau kegiatan pelacuran.

Pengertian eksploitasi seksual menurut ketentuan Pasal 1 Angka 8 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:

“Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”.

(32)

Sedangkan pengertian eksploitasi dengan melacurkan orang lain adalah kegiatan untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang lain dalam kegiatan prostitusi secara seksual (Elsam, 2005: 14).

Menurut Internasional Organization for Migration (IOM), ukuran yang berkenaan dengan perdagangan orang untuk bisnis pelacuran yaitu:

a. Calon korban mendapatkan bagian yang sangat kecil dari upah yang umumnya di bayar dalam bisnis pelacuran.

b. Calon korban diharuskan mendapat penghasilan dalam jumlah tertentu perhari.

c. Pengelola bordil atau pihak ketiga telah membayar ongkos transfer bagi calon korban dan / atau menyerahkan sebagian dari penghasilan calon korban kepada pihak ketiga.

d. Tempat dimana calon korban dipekerjakan berubah-ubah (IOM, 2005: 31). Prostitusi atau kerja seks komersial (commercial sex work) adalah pemberian layanan seks untuk melunasi utang atau keuntungan materiil. Banyak perdebatan mengenai pemilihan terminologi ketika seseorang memilih istilah “prostitusi” ketimbang “kerja seks komersial”. Istilah “prostitusi” mengungkapkan karakteristik aktifitas seksual yang dikomersialisasikan yang penting bagi orang-orang yang prihatin dengan rusaknya norma-norma materialistis, sementara istilah “kerja seks” menuangkan sejumlah karakteristik yang lebih penting bagi mereka yang menyadari sifat serupa dari seks yang mempunyai orientasi komersial dengan kegiatan lainnya yang berorientasi komersial. Karena itu, menggunakan salah satu dari kedua istilah ini untuk penguraian etnografis, kita menekankan perspektif subbudaya tertentu

(33)

terhadap prostitusi yaitu, pengembangan istilah kerja seks komersial merupakan inisiatif aktivis industri seks untuk mendorong pengakuan terhadap prostitusi sebagai sebuah pilihan ekonomi, ketimbang sebagai suatu identitas. Selain itu, “kerja seks komersial” mengandung elemen pilihan yang acap kali diduga tidak terdapat dalam “prostitusi” (Ruth Rosenberg, 2003: 71).

Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam industri seks (trafficker) ialah: a. Germo (pemilik rumah bordil atau ‘tante’)

Memberikan fasilitas bagi pekerja seks untuk menjalankan usahanya. Sebagai imbalan atas fasilitas tersebut, germo menerima sebagian dari penghasilan pekerja seks.

b. Mucikari

Memberikan pekerja seks perlindungan dan kontak dengan pelanggan dengan imbalan sebagian dari gaji mereka.

c. Calo

Merekrut perempuan dan gadis dari daerah asal kemudian mengirim mereka untuk dipekerjakan di dalam industri seks. Di daerah pedesaan, biasanya calo adalah penduduk setempat yang dikenal serta dipercaya di daerah tersebut. Calo akan memperoleh imbalan atas jasanya ini dari pemilik rumah bordil atau mucikari atau dapat juga menerima sebagian penghasilan pekerja seks bersangkutan selama ia menggeluti profesinya itu.

(34)

Berperan memasarkan layanan seks dengan memberikan informasi kepada pelanggan tentang lokasi, ‘aturan main’, jenis layanan yang tersedia dan tarif layanan seks. Mereka juga dapat bertindak sebagai pelantara, membawa pelanggan ke pekerja seks atau sebaliknya.

e. Penjaga keamanan

Berperan sebagai pelindung bagi pekerja seks dari pelanggan mereka dan penduduk di kawasan lokalisasi. Jika pekerja seks tidak bebas meninggalkan rumah bordil, mereka juga ditugasi untuk memastikan bahwa pekerja seks itu tidak akan melarikan diri.

f. Aparat pemerintah setempat

Aparat setempat terlibat dalam industri seks, mereka bertanggung jawab untuk mengatur sektor seks dan menawarkan program rehabilitasi kepada PSK perempuan yang ingin keluar dari kerja seks. Namun dalam praktiknya kinerja aparat setempat tercatat ‘bervariasi’ dalam hal keterlibatan mereka dilokalisasi.

g. Polisi

Peran utama polisi adalah menegakkan UU yang berkaitan dengan sektor seks. Meski kerja seks bukan sesuatu yang ilegaldi Indonesia, kegiatan yang biasa dilakukan polisi terhadap lokalisasi adalah razia. Mereka juga diketahui suka melecehkan PSK dan memeras uang. Sebagaimana aparat pemerintah setempat, dalam praktiknya polisi mempunyai catatan kinerja yang ‘berwarna-warni’ di lokalisasi dan pekerja

(35)

seks melaporkan menderita kekerasan dan pelecehan oleh polisi (Ruth Rosenberg, 2003: 106).

Untuk korban perdagangan anak, tanpa dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang sudah cukup untuk merupakan perdagangan orang-orang (Elsam, 2005: 9).

Pengertian anak menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Secara definitif, pengertian perdagangan anak adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja mulai dari perekrutan melalui bujukan dan penipuan, paksaan, dan ancaman, atau kekerasan, penculikan, bahkan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anak-anak untuk kemudian dikirim ke suatu tempat guna dipekerjakan paksa, kompensasi untuk membayar utang, kepentingan perbudakan, termasuk untuk dilacurkan (Suyatno, dalam Abu Huraerah, 2007: 102). Maraknya praktik perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:

a. Adanya kepercayaan para konsumen bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagai obat kuat, awet muda, dan mendatangkan hoki tertentu; b. Anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum

(36)

c. Orang tua kadang memandang anak perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan sehingga orang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untuk harga keperawanannya;

d. Pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya;

e. Jeratan hutang.

Faktor penyebab maraknya praktik perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual yang pertama dan kedua merupakan pandangan para pedopfil yang menyukai melakukan hubungan seks dengan anak-anak (Suyatno, dalam Abu Huraerah, 2007: 103).

Referensi

Dokumen terkait

Dibuat oleh: Zamtinah Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta Ketua Prodi : Diperiksa oleh:

Nurul Huda Dusun Banjar Intang desa Tanjung Iman Kec.. Blambangan Pagar

SISTEM PELAPORAN BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT '& 'ama 7abatan #etua #&mite #eselamatan Pasien Rumah Sakit 1 Pengertian 7abatan Sese&rang yang diberikan wewenang

Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara latihan smash dengan ketinggian net tetap dan bertahap terhadap

[1] Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang temporal, yang diakibatkan oleh kegagalan

Kesimpulan dari teori kepuasan dan ketidakpuasan mengenai model Diskonfirmasi Ekspektasi menjelaskan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan merupakan perbandingan

The study belonged to Classroom Action Research which was implemented within two cycles. Each of the cycle consisted of four steps; Planning, Implementing,

Jawab : iya betul, di LP kita tidak mencantumkan tujuan, namun sudah bisa dilhat dari indikator yang susunannya ABCD. Indikator harus menggambarkan secara lengkap. i) Apa